Anisa duduk di kamarnya dengan pandangan kosong. Pikiran dan perasaannya kusut, tidak tahu harus melangkah ke mana. Sejak pertemuan terakhir dengan Reza, semuanya semakin kacau. Ia ingin segala sesuatunya kembali seperti dulu, tapi kenyataan malah semakin rumit. Di satu sisi, Arya semakin posesif dan sering kali tidak bisa mengendalikan emosinya, sementara di sisi lain, Reza muncul lagi dengan segala penyesalannya. Reza, meski sudah tak lagi bekerja dan hidupnya tampak berantakan, masih terus berusaha untuk mendapatkan perhatian Anisa. Hari itu, Reza datang lagi ke kafe tempat mereka sering bertemu, tanpa undangan, tanpa peringatan. "Anisa, tolong beri aku kesempatan sekali lagi," pinta Reza, suaranya terdengar lirih namun mendesak. Anisa menghela napas panjang, menatap Reza yang terlihat lelah dan kehilangan arah. "Reza, kita sudah membicarakan ini. Aku tidak bisa kembali ke masa lalu. Aku sudah bersama Arya sekarang," jawab Anisa dengan nada tegas, meskipun hatinya sedikit berget
Anisa duduk termenung di atas kasurnya, menatap ponsel yang terus bergetar. Nama Arya muncul di layar, tetapi jari-jarinya tak bergerak untuk menjawab. Ia tak sanggup. Setelah kejadian kemarin, kepalanya penuh dengan pertanyaan, kebingungan, dan rasa sakit yang menghimpit dada.Sementara itu, pikiran tentang Reza juga terus membayanginya. Wajahnya yang kurus, matanya yang tampak letih dan penuh penyesalan. Anisa tak bisa mengabaikan fakta bahwa ia merasa kasihan pada Reza, meski tahu dirinya tak boleh terlalu terlibat. Tapi, bagaimana mungkin ia tak peduli? Reza adalah bagian dari masa lalunya yang pernah ia cintai sepenuh hati.“Aku nggak mungkin kembali ke dia,” Anisa berbisik pelan pada dirinya sendiri, mencoba meyakinkan hatinya. Namun, kenangan masa lalu mereka berdua terus membayang. Semua yang pernah mereka lalui bersama, kebahagiaan, kesedihan, dan cinta yang pernah ia rasakan untuk Reza. Anisa meremas bantalnya, seolah berharap bantal itu bisa meredam perasaannya yang bercamp
Hari-hari Anisa kini dipenuhi dengan rutinitas di kantor baru sebagai asisten pribadi. Pekerjaan di perusahaan pemasaran digital ini sebenarnya tidak terlalu sulit, namun ritme yang cepat dan tuntutan klien sering membuatnya merasa kewalahan. Setiap hari ia harus mengatur jadwal pertemuan, menyiapkan presentasi, dan memastikan klien mendapat update yang mereka butuhkan tepat waktu.Pagi itu, Anisa tiba di kantor lebih awal dari biasanya. Kopi panas di tangan, ia segera duduk di meja kerjanya dan membuka laptop, mempersiapkan diri untuk rapat penting dengan salah satu klien besar. Sekilas, ia merasa pekerjaannya mulai teratur, meski pikiran tentang Arya dan Reza masih membebani benaknya. Namun, bekerja keras menjadi pelariannya dari kebingungan yang terus menghantuinya.Telepon di mejanya berdering, memecah fokusnya. “Anisa, rapatnya akan dimulai dalam sepuluh menit. Klien sudah di ruang meeting,” suara atasannya terdengar di ujung telepon.“Oh, baik, Pak. Saya segera ke sana,” jawab A
Anisa membuka hari dengan tekad yang sedikit berbeda. Pikirannya lebih tenang setelah memutuskan untuk tidak lagi melarikan diri dari masalah yang ada. Ia sadar, dirinya tidak bisa terus menerus ditarik dalam konflik antara Arya dan Reza, dua orang yang sama-sama pernah memenuhi hatinya, namun dengan cara yang sangat berbeda. Hari itu, Anisa memutuskan untuk memberikan waktu pada dirinya sendiri, sebuah kesempatan untuk memahami apa yang sebenarnya ia inginkan.Pagi itu di kantor, Anisa tersenyum lebih lepas, mencoba mengalihkan pikiran dengan menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Ia mulai melihat ruang di mana ia bekerja sebagai tempat yang lebih dari sekadar pelarian. Kolega-kolega Anisa tampak mendukung keputusannya ini dengan memberikan semangat. Mereka menyadari perubahan dalam diri Anisa, yang kini terlihat lebih fokus dan lebih yakin pada dirinya sendiri.Di waktu makan siang, Anisa memilih untuk tidak langsung pergi ke kantin bersama teman-teman kantor seperti biasanya. Ia dudu
Ketika Arya memutuskan untuk membawa Anisa bertemu keluarganya, ia sempat merasa optimis bahwa orang tuanya akan melihat apa yang ia lihat dalam diri Anisa, seseorang yang tulus dan penuh kasih sayang. Anisa menyiapkan diri dengan hati-hati, memilih pakaian sederhana tapi elegan, berharap memberikan kesan baik kepada keluarga Arya.Saat mereka tiba di rumah keluarga Arya, Anisa bisa merasakan atmosfir dingin yang tak terucap dari tatapan ibu Arya. Keluarga Arya tinggal di sebuah rumah besar dengan interior yang menggambarkan kemapanan dan kesuksesan. Begitu mereka masuk, Arya menggenggam tangan Anisa, berusaha memberikan ketenangan. Tapi, tatapan curiga dari ibunya membuat Anisa merasa tidak nyaman.“Ibu, Ayah, ini Anisa,” kata Arya dengan nada lembut. “Kami sudah cukup lama bersama, dan… aku ingin kalian mengenalnya.”Ibu Arya, yang duduk dengan postur yang anggun namun kaku, hanya menatap Anisa dari ujung kepala hingga kaki, seolah menilai setiap detail dirinya. “Oh, jadi ini Anisa,
Anisa semakin merasa terhimpit dengan keadaan. Pertemuan terakhir dengan keluarga Arya meninggalkan kesan yang tak terlupakan, bukan karena hal manis, melainkan karena luka yang mendalam. Kata-kata tajam yang dilontarkan mereka masih bergema di benaknya, dan setiap kali ia mengingatnya, hatinya serasa ditusuk. Arya, meskipun tak henti memberikan dukungan, sering kali terjebak di antara posisinya sebagai anak dan sebagai kekasih. Anisa bisa merasakan konflik batin yang ada pada Arya, dan itu justru membuatnya semakin tersiksa.Suatu malam, Arya memutuskan untuk menjemput Anisa dan mengajaknya berjalan-jalan ke pinggir kota, jauh dari keramaian. Mereka duduk berdua di bawah langit malam yang penuh bintang, mencoba mencari kedamaian di antara kebingungan yang melanda.“Anisa, aku nggak mau kamu merasa tertekan atau terbebani karena keluargaku. Aku tahu mereka keras, tapi aku yakin bisa meluluhkan hati mereka,” ucap Arya sambil menggenggam tangan Anisa.Anisa tersenyum kecil, tetapi senyu
Malam itu, lampu-lampu kota berkelap-kelip dari jendela kamar mereka, menciptakan suasana hangat dan tenang. Anisa duduk di ujung tempat tidur, menatap keluar jendela sambil memikirkan semua yang terjadi akhir-akhir ini. Pertemuannya dengan Reza, kerumitan hubungannya dengan Arya, serta tuntutan pekerjaannya membuat pikirannya berkelana. Segala yang dialami akhir-akhir ini terasa begitu kompleks dan berat.Arya masuk ke dalam kamar dengan langkah perlahan, memperhatikan Anisa dalam diam. Tanpa berkata apa-apa, Arya duduk di samping Anisa, menggenggam tangannya dengan hangat.“Apa yang kamu pikirkan, Anisa?” tanyanya pelan, suaranya penuh kelembutan dan perhatian. Arya tahu bahwa akhir-akhir ini, Anisa banyak memikirkan hal-hal yang membebaninya. Rasa resah dan kebingungan selalu tampak di matanya, meskipun Anisa berusaha menyembunyikannya.Anisa menarik napas panjang, mencoba menyusun kata-kata yang tepat. “Semua ini terasa berat, Arya. Terkadang aku merasa takut... takut kalau semuan
Satu Minggu kemudian ....Setelah malam yang mereka habiskan bersama, pagi itu terasa berbeda bagi Anisa. Di sela-sela sinar matahari yang perlahan menyusup masuk melalui celah jendela kamar, Anisa bangun dengan perasaan yang campur aduk, rasa bahagia, cemas, dan sedikit gugup menyelimuti pikirannya. Arya masih tertidur di sampingnya, tampak tenang, dan itu sedikit banyak menenangkan kegelisahannya.Anisa mencoba menenangkan hatinya. Baginya, malam itu bukan hanya tentang cinta, tetapi juga tentang keputusan besar yang telah ia buat bersama Arya. Perasaan takut dan khawatir muncul di benaknya, memikirkan apakah ini adalah keputusan yang benar. Ia menarik napas panjang dan mengingat kembali bagaimana Arya selalu menjadi tempatnya berbagi segala cerita, suka, duka, dan mimpi-mimpi mereka. Namun, tetap saja, ia tak bisa mengabaikan sedikit rasa takut yang masih bertahan.Ketika Arya membuka matanya, ia menatap Anisa dengan senyum hangat yang membuat semua keraguan Anisa sedikit memudar.
Pesta pernikahan Anisa dan Malik tengah berlangsung meriah di sebuah gedung mewah yang dipenuhi dengan bunga-bunga indah dan dekorasi yang sempurna. Para tamu berbondong-bondong datang, berbincang hangat, dan menikmati suasana bahagia yang tercipta. Anisa, dengan gaun pengantin putih yang bersinar, tampak cantik di hadapan semua orang. Malam itu, semua mata tertuju padanya dan Malik, yang tampak sangat bahagia. Namun, di tengah kebahagiaan yang melingkupi mereka, sesuatu yang tak terduga terjadi.Arya yang sejak beberapa minggu lalu tidak terlihat oleh Anisa, tiba-tiba muncul di pintu masuk dengan wajah yang penuh emosi. Semua orang di ruangan itu terdiam sejenak saat melihatnya. Para tamu terperangah, bingung, dan tidak tahu harus berbuat apa. Anisa yang sedang tersenyum lebar menatap wajahnya, merasa seolah ada yang terhenti di dalam dadanya. Dia tidak percaya Arya benar-benar datang ke pesta pernikahannya."Anisa," Arya menyebut namanya dengan suara berat, hampir seperti desahan. "
Bab 74: Langkah Menuju PernikahanSetelah melewati berbagai tantangan bersama, Anisa dan Malik akhirnya merasa yakin bahwa mereka siap untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. Pernikahan bukanlah hal yang mudah untuk direncanakan, tetapi bagi mereka, ini adalah babak baru yang ingin dijalani dengan sepenuh hati.Malik memulai pembicaraan tentang pernikahan saat mereka menikmati makan malam bersama di sebuah restoran favorit mereka. Dengan suasana yang romantis, Malik menggenggam tangan Anisa dan berkata dengan lembut, "Nisa, aku tahu kita telah melalui banyak hal bersama. Aku merasa, ini saat yang tepat untuk kita melangkah lebih jauh. Apa kamu siap menjadi bagian dari hidupku selamanya?"Anisa terkejut mendengar kata-kata Malik. Hatinya berdebar, tetapi senyuman perlahan muncul di wajahnya. "Aku juga sudah memikirkan ini, Malik. Aku ingin bersama kamu, menjalani hidup dan menghadapi apa pun yang datang bersama-sama."Mendengar jawaban itu, Malik merasa lega dan bahagia. Malam it
Hubungan Anisa dan Malik berkembang pesat. Meskipun bayang-bayang masa lalu masih sering menghantui, mereka terus berusaha memperkuat fondasi cinta yang mereka bangun bersama. Namun, dalam setiap hubungan yang semakin serius, selalu ada tantangan yang harus dihadapi.Anisa terbangun pagi itu dengan perasaan hangat. Matahari menyelinap melalui celah-celah tirai, menciptakan bayangan lembut di dinding kamar. Ia menoleh ke arah ponselnya yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Ada pesan dari Malik."Pagi, Nisa. Aku ada kejutan untukmu hari ini. Jemput kamu jam 10, ya?"Anisa tersenyum kecil. Malik memang pandai membuatnya merasa istimewa. Ia segera bangkit, bersiap-siap dengan hati yang berbunga-bunga. Pukul 10 tepat, suara klakson terdengar dari luar rumah. Anisa keluar dan melihat Malik berdiri di samping mobilnya dengan senyuman lebar."Kita mau ke mana?" tanya Anisa begitu ia masuk ke dalam mobil."Rahasia," jawab Malik sambil mengedipkan mata. "Tapi aku yakin kamu akan suka."
Hubungan Anisa dan Malik semakin erat. Hari-hari mereka dipenuhi dengan percakapan panjang, tawa ringan, dan diskusi mendalam tentang masa depan. Anisa merasa nyaman bersama Malik, tetapi di balik kebahagiaan yang perlahan ia rasakan, ada bayang-bayang masa lalu yang terus menghantuinya.Pagi itu, Malik mengajak Anisa ke sebuah kafe kecil di pinggir kota. Tempatnya sederhana tetapi penuh kehangatan, dengan aroma kopi yang menyapa begitu pintu dibuka. Mereka memilih duduk di sudut yang sedikit tersembunyi, memberikan privasi untuk percakapan yang akan mereka lakukan."Ada yang ingin aku bicarakan, Nisa," kata Malik, memecah keheningan setelah pelayan membawa kopi mereka.Anisa menatap Malik dengan penasaran. "Apa itu? Kelihatannya serius."Malik mengambil napas panjang, jemarinya menggenggam cangkir kopi erat-erat. "Aku ingin kamu tahu sesuatu tentang aku. Sesuatu yang mungkin bisa mengubah cara kamu melihat aku."Jantung Anisa berdetak lebih cepat. "Apa maksudmu, Malik? Kamu bikin aku
Pagi itu, Anisa membuka matanya dan menemukan dirinya tersenyum tanpa sadar. Ia memikirkan percakapan panjang yang ia dan Malik miliki semalam. Mereka berbicara tentang banyak hal, dari kenangan masa kecil hingga mimpi-mimpi yang ingin mereka capai di masa depan. Malik memiliki cara untuk membuatnya merasa didengar dan dipahami, sesuatu yang tidak pernah benar-benar ia rasakan sebelumnya.Saat sedang menyesap kopi di balkon apartemennya, telepon Anisa berdering. Nama Malik muncul di layar.“Halo?” Anisa menjawab dengan nada lembut.“Selamat pagi, Nisa. Aku harap aku nggak ganggu waktu tenangmu,” kata Malik di ujung sana.“Nggak, kok. Ada apa?”“Aku lagi di kafe dekat apartemenmu. Kalau kamu ada waktu, aku ingin ajak kamu sarapan.”Anisa tersenyum. “Baiklah, beri aku lima belas menit.”Setelah bersiap-siap, Anisa melangkah keluar dan menemukan Malik menunggunya di sebuah meja di sudut kafe. Ia mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku, terlihat santai tetapi tetap rapi. Ketika
Anisa menatap layar ponselnya dengan ragu. Pesan dari Malik masih terpampang jelas di sana."Aku serius sama kamu, Nis. Aku harap kita bisa lanjut ke tahap yang lebih baik." Malik tidak pernah mendesak, tetapi Anisa tahu bahwa ia perlu membuat keputusan. Hatinya sudah mulai membuka diri, tetapi luka-luka masa lalunya masih membuatnya bimbang.Namun, malam itu, dengan keberanian yang terkumpul, Anisa mengetikkan balasan singkat. ”Kita coba jalani, ya.”Pagi berikutnya, Malik langsung menghubungi Anisa. Suaranya terdengar penuh semangat di telepon. “Aku nggak bisa berhenti senyum sejak baca pesan kamu semalam,” katanya dengan nada ceria.Anisa tertawa kecil, merasa malu tapi juga senang. “Kamu ini lebay,” balasnya, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya.“Serius, Nis. Aku pengin ketemu kamu hari ini. Ada waktu?”Anisa berpikir sejenak. Hari Minggu itu ia memang tidak punya rencana apa-apa. “Boleh. Tapi jangan di tempat yang terlalu ramai, ya.”“Setuju. Aku jemput kamu jam sebelas, ya.”Ke
Hari-hari Anisa mulai terasa lebih ringan. Setelah pertemuan terakhirnya dengan Lia, ia mencoba membuka diri terhadap kehadiran Malik. Meskipun masih ada bayangan masa lalu yang mengintip dari sela-sela pikirannya, kehangatan yang ditawarkan Malik membuatnya perlahan melangkah maju.Malam itu, Malik mengundang Anisa untuk makan malam bersama. Ia memilih restoran kecil dengan suasana yang nyaman, tidak terlalu ramai, dan memiliki pemandangan taman yang indah. Malik mengenakan kemeja biru langit, sementara Anisa tampil sederhana dengan blouse putih dan celana kain hitam. Saat Anisa tiba, Malik berdiri dan membukakan kursi untuknya, sesuatu yang membuat hati Anisa terasa hangat.“Makasih, Malik. Kamu nggak perlu repot-repot ngajak makan di tempat begini,” kata Anisa sambil tersenyum canggung.“Kenapa nggak? Kamu pantas mendapat sesuatu yang spesial,” jawab Malik sambil tersenyum.Percakapan mereka mengalir dengan mudah. Malik selalu tahu bagaimana membuat Anisa merasa nyaman. Ia tidak pe
Matahari bersinar cerah di luar jendela, tetapi bagi Anisa, hari itu terasa kelabu. Baru beberapa hari sejak perceraian resminya dengan Arya, dan perasaan campur aduk terus menghantui pikirannya. Ia mencoba menyesuaikan diri dengan kehidupannya yang baru, tetapi luka yang Arya tinggalkan masih terasa segar.Anisa sedang duduk di sofa apartemen kecilnya ketika ponselnya berbunyi. Nama Lia muncul di layar. Teman dekatnya itu terus memastikan Anisa tidak merasa sendiri sejak perceraiannya.“Lagi apa, Nis?” tanya Lia setelah Anisa menjawab panggilannya.“Enggak ngapa-ngapain. Cuma duduk aja, mikir.”“Mikirin apa?”Anisa terdiam sejenak. “Mikirin... apa aku udah buat keputusan yang benar. Perceraian ini... aku nggak tahu, Lia. Kadang aku merasa lega, tapi di sisi lain, aku juga merasa kosong.”“Itu wajar, Nis,” jawab Lia dengan nada lembut. “Kamu baru saja keluar dari hubungan yang penuh konflik. Kamu butuh waktu untuk menemukan dirimu lagi.”“Kadang aku merasa gagal,” ujar Anisa pelan. “A
Ruang sidang terasa sunyi, meskipun di dalamnya dipenuhi oleh orang-orang yang sibuk dengan pikiran masing-masing. Anisa duduk di salah satu bangku, menunduk dengan wajah yang sulit ditebak. Tangannya gemetar ringan, menggenggam map berisi dokumen perceraian yang akan segera disahkan. Di seberangnya, Arya duduk dengan wajah datar, namun mata yang kosong mengisyaratkan perasaan tertekan.Ini adalah hari yang tidak pernah mereka bayangkan akan datang. Pernikahan yang dimulai dengan cinta yang besar kini harus diakhiri di ruang sidang ini. Sebuah keputusan yang berat, tetapi tak terhindarkan.“Sidang akan dimulai,” suara hakim memecah keheningan.Anisa mengangkat wajahnya, memaksakan diri untuk terlihat tegar. Ia merasa seperti batu besar sedang menekan dadanya, membuat setiap tarikan napas terasa berat. Di sampingnya, pengacaranya memberikan tatapan menenangkan, seolah mengisyaratkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, Anisa tahu, tidak ada yang benar-benar baik-baik saja dalam s