“Sudah berapa lama Deva tertidur, Bu?” Deva kembali memungut botol minuman yang terlepas dari tangannya. Dengan kegusaran dia menghela nafas berharap mimpinya tadi bukan pertanda buruk.
“Sekitar hampir sejam, kau pastinya kelelahan, Nak. Tentang Terryn jangan khawatir, Aluna dan rekan dokter lainnya sedang mengusahakan yang terbaik untuk istrimu.” Ibu Imelda mengusap bahu anaknya dengan lembut. Deva mengangguk perlahan, dengan kekuatan yang tersisa di dalam dirinya dia berusaha untuk tetap tenang.
Tak lama kemudian Aluna muncul dan Deva berdiri untuk menyambutnya serta bersiap mendengarkan apa kata kakak perempuannya itu.
“Kak ….” Deva hanya mampu menyapanya pendek tak mampu untuk menanyakan lebih lanjut kondisi Terryn.
“Terryn baik-baik saja, meskipun tadi dia butuh tambahan darah tapi semua bisa teratasi, Willy sudah mendonorkan darahnya untuk Terryn. Stok rumah sakit untuk golongan darah Terryn sedang kosong dan Willy bersedia untuk menyumbangkan darahnya. Deva, kamu beruntung memiliki dua orang sahabat yang luar biasa seperti Willy dan Desta. sekarang kamu tenang saja dan kita berdoa agar operasi ini bisa selesai dengan baik.” Alun menepuk bahu Deva dan memilih duduk kembali di sisi ibunya.
Deva mengedarkan pandangannya dan melihat Willy tengah berjalan ke arahnya. Deva menyambutnya juga dengan pelukan hangat, dia membenarkan kata-kata Aluna barusan jika dia memang beruntung memiliki sahabat seperti Willy dan Desta.
“Gue berutang budi sama lu, Will.” dengan terharu Deva mengucapkan kalimat itu. Willy menepuk-nepuk bahu Deva dan memintanya duduk kembali.
“Kebetulan golongan darah gue sama dengan Terryn dan kondisi juga baik untuk donor darah. Lu tenang aja setelah kejadian dulu itu sehabis keluar dari rumah sakit gue udah jalani hidup sehat, gue udah gak ngerokok sama minum lagi dan gue gak punya riwayat penyakit apa pun, darah gue aman buat Terryn.” Willy terkekeh untuk menghibur Deva. Deva mendengar itu menarik seulas senyumnya dan mengucapkan kata terima kasih berulang kali.
Keluarga Terryn menunggu sejam lagi untuk melihat lampu kamar operasi dimatikan. Deva berdiri di depan pintu untuk menunggu dokter keluar. Ini kali kedua bagi Deva untuk merasa gugup yang luar biasa setelah operasi kelahiran putrinya.
Dokter yang mengoperasi Terryn pun muncul dari balik pintu untuk memberi keterangan, Deva segera mendekatinya dengan raut wajah penuh pengharapan.
“Operasinya berjalan dengan baik, tapi kita tetap harus melihat perkembangan nyonya Terryn ke depannya. Semoga semua berjalan sesuai rencana.”
“Terima kasih banyak pak Dokter, terima kasih.” Deva bernafas dengan lega,dia menyalami dokter itu dengan suka cita. Dipeluknya ibunya serta ibu mertuanya dengan rasa haru, lalu berganti pelukan pada Aluna disertai kecupan sayang di kedua pipi kakaknya itu. Juga pada Willy tapi sahabatnya itu bercanda, “Jangan pake cium-cium gue yaa … kebayang gue sama Jang Nara!” dan gelak tawa mereka pun terdengar setelah ketegangan yang meliputi mereka selama berjam-jam.
Terryn masih dirawat dalam ruangan intensif, Deva mengenakan jubah higienis, penutup kepala serta masker untuk bisa masuk melihat istrinya. Segala alat penopang kehidupan tampak selang-seling di atas tubuh Terryn. Perlahan Deva meraih jemari Teryyn dan menggenggamnya. Air mata harunya tak bisa dibendung lagi, siapapun yang telah menjadi pendonor bagi istrinya itu tak akan habis waktu dan ucapan terima kasih untuk dikatakannya dalam hati.
“Segera lah pulih Yin, aku dan Sheira menunggumu, sayang. Cepatlah bangun, aku sudah sangat merindukanmu lagi. Aku akan selalu berada di sini bersamamu, Sheira sudah bisa pulang besok dan ibu Asih yang akan mengasuhnya sementara bersama dua orang suster yang aku sewa jasanya. Kau ingin segera melihat putri kita kan? Maka dari itu cepatlah kembali, Sayangku.” Deva mengelus punggung tangan Terryn lalu meletakkannya kembali. Dia yakin jika dalam waktu dekat Terryn akan bangun dan semuanya akan dimulai lagi dari awal.
Sheira tampak tenang dalam dekapan ibu Asih dalam perjalanan menuju rumahnya. Deva duduk di samping ibu Asih sambil memperhatikan wajah bayi kecilnya yang masih memerah. Sheira bayi yang kuat meski sejak lahir mamanya tidak bisa berada bersamanya. Bayi kecil yang manis dan tidak rewel seakan mengerti dengan situasi yang terjadi pada kedua orangtuanya.
Deva membuka pintu kamar yang sudah di desain bersama Terryn. Ketika mengetahui jika mereka akan memiliki seorang anak perempuan, mereka merancang kamar itu dengan nuansa merah muda, putih dan a la putri kerajaan.
“Waaah … Kamar Sheira bagus sekali, pasti Sheira bakal betah di kamar ini sambil menunggu mama pulang yaa?” Ibu Asih meletakkan bayi Sheira perlahan. Bayi itu masih tertidur dengan pulas dan merasa nyaman di ranjang bayi yang dihiasi dengan kelambu yang juga berwarna merah muda.
“Kamu jangan khawatir soal Sheira, Ibu akan merawatnya dengan baik, kamu fokus saja dengan Terryn di rumah sakit.” ibu Asih memandangi wajah menantunya yang masih terlihat letih. Ujung jari Deva menyentuh pipi Sheira, bayi itu menggeliat perlahan.
“Sheira di sini dulu yaa sama nenek Asih, Papa mau jagain Mama dulu di rumah sakit, semoga Mama bisa pulang cepat dan kita berkumpul bersama.” Deva mengelus-elus pipi putrinya dengan penuh kasih sayang.
“Maaf sudah merepotkan Ibu karena harus ikut menjaga Sheira selama Deva dan Terryn di rumah sakit.” Deva menatap ibu mertuanya dengan tatapan lembut, dia bersyukur karena dikelilingi oleh orang-orang yang sangat peduli kepadanya.
“Sheira itu cucu Ibu, jangan bilang seperti itu, Ibu sudah sangat senang bisa membantu merawatnya, ibumu sampai cemburu pada Ibu karena Ibu bisa lebih banyak bersama Sheira karena dia harus bekerja di hotel dan memantau perusahaanmu juga.”
Deva tersenyum dan kembali melihat putrinya yang masih tertidur, diperbaiki letak selimut Sheira dan dia meminta dua suster yang membantu ibu Asih untuk bekerja dengan baik.
“Ibu, Deva harus kembali ke rumah sakit lagi yaa, kalau ada apa-apa hubungi Deva segera. Tolong jaga Sheira dengan baik.” Deva meraih tangan ibu mertuanya dan menciumnya dengan khidmat, ibu Asih mengelus bahu menantunya dan mengantarkan Deva hingga ke pintu.
Deva berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju kamar Terryn. Istrinya itu sudah dipindahkan ke ruang perawatan VIP dan keadaannya sudah mulai membaik. Tangannya perlahan membuka pintu agar tidak terdengar oleh Terryn tapi istrinya ternyata sudah bangun dan menyambut kedatangan Deva dengan senyuman. Terryn sudah siuman setelah setengah hari setelah operasi dan membuat Deva semakin bernafas dengan lega.
“Aku kira kau sedang tidur, Yin.” Deva mendekati istrinya dan mencium lembut dahinya. Terryn tersenyum lembut menerima perlakuan Deva yang penuh cinta itu.
“Yin sudah bangun dari tadi sejak Kak Deva mengantarkan Sheira pulang. Bagaimana perjalanan kalian?” tanya Terryn masih dengan suara yang lemah, pernafasannya sejauh ini cukup baik pasca menerima paru-paru baru.
“Dia anak yang pintar, tidak rewel dan tenang hingga sampai di rumah. Bagaimana denganmu?” Deva meraih kursi dan duduk di samping tempat tidur Terryn. Dia memperbaiki letak selimut Terryn dan merapikan rambut Terryn yang menutupi dahinya.
“Yin sudah merasa lebih baik, Yin ingin cepat pulih agar bisa bersama dengan Sheira di rumah.” ujar Terryn sambil menggenggam tangan Deva dengan erat.
“Bersabarlah, kita ikuti instruksi dokter yaa. Yin, terima kasih karena sejauh ini kau berjuang dan bertahan. Aku pernah bermimpi jika kau pamit akan pergi dariku, itu sangat menyakitkan dan menakutkan. Rasanya aku masih gemetar kalau mengingat mimpi itu.” Deva bergidik di depan Terryn dan membuat perempuan itu tersenyum.
“Yin tidak akan pergi lagi dari Kak Deva, Yin ingin bersama suami Yin yang paling baik sedunia juga putri Yin. Yin tidak akan kemana-mana lagi, Kak.” ujar Terryn dengan air mata yang merebak di pelupuk matanya.
Deva meraih tangan Terryn dan menciumnya dengan dalam, ditatapnya istrinya yang baginya seakan telah diberi keajaiban.
“Jangan menangis, Yin. Aku sudah janji tidak akan membuatmu menangis lagi, kau harus bahagia di sisiku.” Deva mengusap sudut mata Terryn yang basah.
“Setelah keluar dari rumah sakit kita akan mulai semuanya dari awal lagi, aku akan jadi suami dan papa terbaik bagi kau dan Sheira.” Deva masih memegang erat tangan Terryn.
Ketukan di pintu terdengar, Deva menoleh dan mempersilakan masuk orang yang mengetuknya. Dari balik pintu terlihat Ashiqa yang datang seorang diri sambil membawa keranjang buah. Deva berdiri menyambut Ashiqa dan menanyakan di mana Rama suaminya. Ashiqa menjawab jika suaminya sedang berada di luar kota sehingga tidak bisa menemaninya. Deva pun meninggalkan mereka berdua agar bisa leluasa mengobrol.
“Yin, aku ke kantin dulu yaa, nanti aku balik lagi.” lalu Deva menghilang di balik pintu.
“Terryn Arunika … bahkan dalam keadaan seperti ini pun kamu gak mau bilang-bilang ke aku, tega kamu yaa!” Ashiqa duduk memberengut di hadapan Terryn. Terryn hanya tersenyum dan meminta maaf.
“Yang penting kamu sudah ada di sini kan? Maaf … paling tidak aku sudah kembali dari kematian Chika.”
“Duuuh … Kamu kok ngomongnya gitu sih Yin? Cepat sembuh yaa … Cepat pulang … Aku mau bawa Raka untuk melihat baby Sheira.”
“Ouh yaa … kabar Raka bagaimana?”
“Yiiin … besanan yuuk! Aku lamar Sheira untuk Raka yaa!” seru Ashiqa tiba-tiba dengan pendar mata yang berbinar bahagia.
Terryn tertawa kecil mendengar lelucon Ashiqa sahabatnya, setelah melahirkan Sheira Terryn baru sekali saja melihatnya. Selebihnya Sheira dirawat di ruang khusus anak dan dirinya pun terkulai tak berdaya di kamar ini. “Jika jodoh mereka tak akan kemana.” Terryn menyunggingkan senyumnya. “Oh yaa Yin, aku dengar dari ibu Asih kalau kak Deva nyaris saja jadi pendonor paru untukmu, gak nyangka banget kalau perjuangan cinta kak Deva memang benar-benar total sama kamu. Untungnya kakak ipar kamu, mba Aluna menemukan donor yang tepat lebih cepat hingga dia meyakinkan adiknya kalau dia tidak perlu jadi donor.” Ashiqa memandang wajah Terryn yang tiba-tiba menegang. Tentunya Terryn tidak pernah tahu tentang rencana suaminya untuk menjadi pendonor baginya. “Kamu … Tahu hal ini ‘kan, Yin?” Ashiqa menelisik lebih jauh karena Terryn terlihat terkejut. “Iya, aku tahu dan hal ini masih membuatku terkejut berkali-kali mengingat niat kak Deva itu.” mata Terryn berkaca-kaca, dia tidak ingin Ashiqa me
Jantung Terryn berdegup kencang ketika mobil sudah terhenti tepat di halaman rumah, Deva membukakan pintu mobil untuknya dan membimbingnya keluar dari mobil. Ibu Asih dan ibu Imelda sudah menyambut kedatangannya dengan penuh sukacita. Dalam gendongan ibu Asih tampak bayi Sheira yang menatap ke arahnya. Mata Terryn berkaca-kaca ketika tangan Sheira bergerak-gerak seakan ingin menggapainya. “Hey … Baby Sheira, Mama kangen banget Sayang….” Terryn mengambil tangan mungil itu dan mengecupnya, apalah daya Terryn belum bisa menggendong Sheira karena bekas operasi di dadanya itu.“Selamat datang kembali, Nak.” sambut ibu Asih sambil membelai kepala Terryn lembut. Bergantian dengan Ibu Asih kini Ibu Imelda yang hati-hati memeluknya dan mencium dahi Terryn lembut. Deva masih sibuk membawakan barang-barang Terryn dan memasukkannya ke kamar mereka. Matanya hanya mampu membaca betapa bahagianya kedua ibunya menyambut kepulangan Terryn dan betapa berbahagianya pula Terryn melihat putrinya. “Yin,
Apapun bisa terjadi jika Tuhan berkehendak. Dalam kasus Terryn bisa saja dia tidak akan bisa punya bayi yang lucu dan sehat, kegigihannya untuk menjalani program hamil hanya butuh waktu yang singkat. Semua adalah kebesaran Tuhan yang tidak akan pernah berhenti disyukuri Terryn. Hidup dengan paru-paru baru juga merupakan kemurahan Tuhan lainnya, bahkan Deva suaminya yang sudah siap menjadi pendonor di detik-detik terakhir digantikan oleh pendonor lain. Manusia memang berencana dan rencana Tuhan yang akan tetap berlaku dalam hidup manusia. Terryn sedang memilihkan baju untuk Sheira, usianya kini enam bulan. Artinya sudah setengah tahun juga operasi besar yang dijalani Terryn sudah berlalu. Walaupun harus meminum obat seumur hidupnya, Terryn bisa beraktifitas seperti biasa. Hanya saja Deva mengawasi Terryn dengan ketat agar jangan sampi beraktifitas berlebih yang membuatnya kelelahan. Terryn memakaikan Sheira baju yang cantik untuk menghadiri pesta ulang tahun Raka, putra Ashiqa dan Ra
Seorang laki-laki muda baru saja mengakhiri presentasi sangat penting dan bergengsi di hadapan para petinggi negara dan orang-orang dari perusahaan besar lainnya. Mereka bertepuk tangan dan memberi ucapan selamat serta dukungan setelah pria muda itu mendapat persetujuan dengan mega proyek pembangunan yang tidak sembarang perusahaan bisa mendapatkannya.Deva Danuarta tersenyum bangga dengan pencapaian gemilang anak muda itu dan semakin yakin jika di tangan anak itu Melda’s Constructions akan semakin maju. Dari sudut ruangan dia melihat sosoknya tengah disalami oleh beberapa orang penting dari dalam dan dari luar negeri. Semua puas dan antusias dengan penyampaiannya tadi dan mereka berharap agar usaha anak muda itu diberi kemudahan dan kesuksesan.“Ouh Papa ada di sini? Kenapa gak kasih tau Panji kalo Papa akan hadir juga, pasti panji akan jemput Papa.” Panji segera mendekati Deva dan menyalami dan mencium punggung tangan laki-laki yang dengan besar hati telah merawatnya selama tujuh be
Panji berdiri di dekat pintu kedatangan, Sheira hari ini tiba dari luar negeri. Seperti janjinya kepada ayahnya angkatnya dia akan menjemput gadis yang punya seribu macam cara untuk menyusahkan dirinya. Entah di mana letak salah Panji sehingga dari awal Sheira langsung membencinya. Mungkin karena saat pertama mereka bertemu Panji terlihat lusuh, gembel dan wajahnya sembab karena menangis. Minggu-minggu awal dia sangat kesulitan beradaptasi dengan lingkungannya yang baru. Juga betapa judes dan manjanya Sheira. Mama Yin selalu menegur sikap Sheira yang tidak sopan, mulai dari cara halus hingga cara kasar. Gadis kecil yang cantik seperti boneka itu tidak peduli karena sikap omanya yang selalu membelanya. Deva menjadi sangat pusing dengan ulah Sheira yang kian hari kian menjadi. Tahun berlalu Panji akhirnya jadi terbiasa dengan sikap kasar Sheira. Meskipun diperlakukan seperti babu, Panji tidak pernah keberatan dan menjalani semuanya dengan lapang dada. Toh dia masih memiliki cinta kasih
Panji memasang baik-baik pendengarannya hingga dia sangat yakin jika yang tengah berteriak-teriak di dalam itu adik angkatnya Sheira. Dengan perlahan Bony membuka pintu dan terkejut melihat dua gadis sedang saling menjambak rambut dan seorang laki-laki setengah telanjang kesulitan melerainya. "Astagaaa… Sheira!" Panji langsung melompat untuk memisahkan keduanya. Tenaga kedua perempuan itu sangat kuat bertarung satu dengan yang lainnya yang membuat Panji cukup kesusahan. Sheira bergerak kesana kemari menyerang perempuan yang berbaju tidur tapi telanjang itu karena bahan yang dipakainya sangat tipis dan pendek. Bony sempat menahan tawa karena pemandangan "indah" yang tidak pada tempatnya terombang ambing dalam jambakan Sheira. "Sheira sudah! … sudah… ayo kita pulang!" Panji menyentak Sheira agar bisa terlepas tapi Sheira belum puas dia masih menendang kesana kemari. Sementara Windy ditahan oleh Aldo. Sheira pun tersadar, jika Panji sudah melerai perkelahiannya dengan Windy dan mula
Terryn memeluk putrinya dengan hangat lalu mencium kedua pipinya dengan gemas. Gadis itu pun menyalami Deva dan dari Deva dia mendapatkan pelukan dan ciuman yang sama. Keduanya terlihat sangat senang akhirnya putri mereka telah kembali.“Ini ada bunga dan kue kesukaan Mama, tadi kami mampir membelinya, Mama pasti suka.” Sheira menunjuk pada bingkisan yang dipegang oleh Panji. Sebenarnya Terryn tahu jika itu adalah inisiatif Panji tapi Terryn menerimanya dengan suka cita.“Lho, pipi kamu kenapa Sheira sampai bengkak begitu?” Terryn menyentuh pipi Sheria yang tadi telapak tangan Windy sempat mendarat di sana. Panji menatap Sheira serius dan menunggu drama dari gadis biang masalah itu.“Ouh … itu Ma, ternyata kosmetik Sheira di Aussie kurang cocok dipakai di Indo jadinya wajah Sheira kayak alergi gitu. Sheira udah buang kok dan cepat-cepat ganti yang baru.” Alasan Sheira cukup masuk di akal dan Panji tersenyum kecil mendengarnya. Sheira mendehem sambil melotot ke arah Panji.“Ayo kita be
“Lalu siapa yang akan mengurusi semua keperluan kamu, kamu butuh seorang manajer ‘kan? Papa gak sreg kamu pilih jalan ini Sheira.” Deva menggeleng-geleng kepala tanda kecewa. Panji hanya masih melihat ke arah lain, sungguh gadis ini paling bisa membawa kejutan dalam rumah mereka.“Papa tenang aja, Sheira sudah punya manajer sendiri, Vero, selama di Aussie dia yang mengurus semuanya. Besok Vero datang dan akan Sheira perkenalkan kepada kalian.”“Duh … Sheira … Sheira … selalu saja kamu begini, mengambil keputusan sendiri, kalau ada apa-apa paling yang repot Panji lagi.” Deva berdecak mendengar penuturan putrinya itu.“Lho kenapa memang? Cucuku juga berhak menentukan jalannya sendiri. Memangnya hanya Panji saja yang berhak menentukan sendiri setiap keputusan di perusahaan? Kita kasih Sheira kesempatan kali ini, dia butuh dukungan kita, keluarganya,” timpal oma Imelda yang merasa jika Panji terlalu dipuja oleh putranya itu.Panji menahan nafas setiap oma Imelda berbicara, selalu saja ada
“Viviii … sini Nak, sini sama Ibu, jangan begini Sayang. Vivi marah lagi yaa? Ayo sini… sini….” Ibu Dei mengambil alih Vivi yang masih berontak hendak menyerang Sheira. Dari wajah dan sorot anak itu betapa Vivi ingin mengatakan banyak hal tetapi gadis kecil itu hanya bisa berteriak menangis tantrum.“Sheira, kamu baik-baik saja? Astaga kepala kamu berdarah!” seru Panji panik, segera diambilnya kotak tisu yang ada di meja dan menarik cepat beberapa lembar tisu lalu menekan luka Sheira.“A-aku baik-baik saja, aku tidak apa-apa.” Sheira mengambil alih sendiri tisu itu untuk ditekan di kepalanya.“Bu, ada apa dengan Vivi? Kenapa dia tiba-tiba jadi begini?” Panji mendekati ibu Dewi yang masih menahan Vivi dalam pelukannya. Sheira yang tahu diri karena penyebab kemarahan Vivi pelan-pelan meninggalkan ruangan tanpa suara. Dia berdiri di balik pintu untuk menunggu penjelasan ibu Dewi.“Ibu
Keadaan Sheira semakin hari semakin membaik, kesehatannya sudah pulih tetapi dia memutuskan untuk tidak kembali dulu ke lokasi syuting. Sheira masih menjalani masa berkabung dan rumah produksi sinetronnya mengerti akan hal itu. Kesempatan itu digunakan Sheira untuk berkunjung ke rumah panti asuhan Sayap Ibu. Seperti yang dijanjikan Panji, lelaki itu akan menemani kemanapun Sheira ingin pergi.Sheira membeli berbagai macam mainan yang sangat banyak serta makanan lezat. Berkotak-kotak pizza serta ayam goreng yang terkenal dengan gerainya di penjuru dunia itu dibeli Sheira penuh semangat. Panji sampai kewalahan membawa mainan dan makanan itu. Anak-anak menyambut kehadiran Panji dengan penuh suka cita pun dengan ibu Dewi, ibu pengasuh mereka.Sheira mendekat perlahan pada sosok wanita di depannya itu, meraih tangannya dan mencium tangannya seperti dia melakuk
“Kau sudah bangun rupanya, aku baru saja membuat bubur ayam ceker kesukaanmu.” Panji datang sambil membawa sebuah nampan yang berisi mangkuk dengan asap yang mengepul tipis. aroma gurih menguar di udara dan menerbitkan selera Sheira meskipun lidahnya terasa sedikit pahit. Wajah Panji sudah lebih tenang dari sebelumnya.Perawat itu tersenyum lagi dan meminta pamit meninggalkan kamar mereka. Panji menyiapkan sarapan Sheira dengan cekatan. Meniup sesaat bubur di sendok itu sebelum disuapi ke mulut Sheria. Sheira menyantapnya dengan pelan, sedikit hambar mungkin karena lidahnya yang pahit terasa. Namun dia tidak ingin menyia-nyiakan usaha yang telah dilakukan Panji untuknya.“Habiskan yaa, supaya kamu punya tenaga lagi dan cepat pulih.” Panji menyendokkan kembali bubur itu kepada Sheira.
Sheira membuka matanya perlahan, hal yang dilihatnya adalah Panji yang tertidur di kursi samping tempat tidurnya. Laki-laki itu menggunakan lengan untuk menopang kepalanya. Mata Sheira berkeliling dan melihat punggung lengan kirinya yang tertancap jarum infus juga tiang infus yang menggantungkan kantung cairan berisi asupan makanan serta obat untuk Sheira.Jam di dinding menunjukkan pukul tiga dini hari, Sheira merasa ingin buang air kecil. Dirasakan jika tubuhnya masih diliputi demam dan sungguh payah untuk bergerak. Dicobanya untuk menyibak selimut dan duduk tapi kepalanya masih sangat berat sementara desakannya untuk buang air kecil semakin menjadi. Terdengar rintihan kecil dari mulut gadis itu ketika jarum infus di punggung lengannya bergerak.Panji merasakan gerakan di tempat tidur Sheira dan membuat laki-laki itu terbangun.
“Bony, tolong panggilkan dokter dan Venus tolong bantu aku mengganti baju Sheira.” Panji menatap Sheira dengan tatapan prihatin, dirinya sibuk mengurus pemakaman Terryn sehingga kondisi Sheira luput dari perhatiannya. Vero yang biasa menjaganya pun hampir datang terlambat karena pesawatnya yang delay.“Kakak ‘kan suaminya. kenapa harus cari orang buat ganti baju istri sendiri?” tanya Venus bingung.“A-aku … aku belum pernah bersama dengan Sheira, jadi aku masih … aah tolong saja kakakmu ini, Ve!” seru Panji gugup. Venus menarik sudut bibirnya mengetahui hal itu. Mereka sama sekali belum menjadi suami istri pada umumnya.“Tolong siapkan air hangat dan handuk kecil yaa, Min.” Panji menggulung lengan kemejanya, dan membantu Venus melepaskan sepat
Suasana pemakaman tampak begitu suram dengan aura kesedihan bagi keluarga yang ditinggalkan. Langit pun seakan menegaskan jika ini adalah waktu yang paling gelap untuk mereka dengan mengirimkan gumpalan awan gelap kelabu.Ashiqa yang datang bersama Rama dan putranya Raka, sahabat Terryn itu tak menyangka jika Terryn sudah tiada. Lama Ashiqa memeluk Sheira yang tampak antara bernyawa dan tidak bernyawa. Juga pada Panji, berangkai kata penghiburan diucapkan pada pemuda yang telah menjadi bagian hidup Terryn. Sejarah tentang Panji pun diketahui oleh Ashiqa sehingga dia tahu jika Panji ikut larut dalam duka yang besar atas kepergian perempuan baik hati itu.Vero yang hadir turut merasakan kesedihan, dirinya ikut menanggung rasa bersalah seperti yang Sheira rasakan sekarang. Oma Imelda menangis meraung meratapi menantu kesayangannya yang kini telah berku
Dokter keluar dari ruangan,usai memeriksa Terryn, buru-buru Panji dan Deva mendekat. Dokter mengatakan jika Terryn sudah sadar dan ingin menemui suami dan anak dan menantunya secara bergantian. Deva pun masuk terlebih dahulu untuk menemui istrinya.“Yin Sayang, ada apa denganmu? Kamu berangkat dari rumah baik-baik saja, apa ada hubungannya dengan putri kita?” Deva menggenggam tangan Terryn dengan erat. Terryn hanya menggeleng dan meneteskan air mata.“Waktuku akan habis sebentar lagi, Kak. Terima kasih selama ini sudah berada di sisiku, mencintaiku dan tak pernah jauh dariku,” jawab Terryn lemah.“Tolong jangan bicara seperti itu, Yin. Kau akan tetap bersamaku dan anak-anak dalam waktu yang lebih lama lagi.”“Kak, aku ingin bicar
“Apa yang telah kulakukan? Ma, Mama,bangun Ma, maafkan Shei, Mama’” ucap Sheira berulang kali sambil mengguncang bahu Terryn pelan. Tak ada respon dari perempuan paruh baya itu.“Yaa Tuhan … jangan ambil Mamaku sekarang … jangan ….” Sheira menutup wajahnya sambil mengulang-ngulang kalimat itu. Setelah Terryn menampar wajahnya dan terjatuh pingsan, Sheira sesaat kebingungan lalu menelpon ambulans dan membawa Terryn ke rumah sakit. Dia sempat menelpon Deva, Panji dan Oma Imelda. Semua yang ditelponnya tentu saja terkejut dan menanyakan mengapa Terryn bisa kolaps lagi seperti itu.Derap langkah terburu-buru terdengar mendekat, Sheira berharap itu adalah papanya, Deva, tetapi yang tiba lebih dulu adalah Panji. Dengan wajah cemas laki-laki muda itu menghampiri Sheira yang terlihat mengkerut takut
Mata Sheira terpejam rapat, kebenciannya selama ini yang tertanam begitu kuat mulai dikhawatirkannya sedikit demi sedikit terkikis oleh sikap Panji yang selalu baik kepadanya. Andai saja hari itu di mana saat Sheira berulang tahun yang ke tujuh Panji tidak merusak kado pemberian omanya. Asal muasal percikan benci bermula. Kenangan Sheira di masa kecil terulang di dalam kepalanya. Bahkan ketika Sheira mencoba berbaring, kejadian rusaknya kado itu masih saja berputar-putar dalam ingatannya. Betapa dirinya saat itu sangat marah karena Panji tidak sengaja merusak kotak musik pemberian omanya. Hal itu juga yang menjadi pemicu pertengkaran ayahnya dengan oma Imelda.Ayahnya kala itu membela Panji dari serbuan amarah oma Imleda dan Sheira. Ayahnya pun melindungi Panji yang akan dipukul oma Imelda memakai payung. Suara ketukan pintu terdengar membuyarkan lamunan Sheira dan Mimin muncul dari balik pintu sambil membawa nampan setelah dipersilakan masuk.“Itu apa, Min?” Sheira mengambil posis