Terryn tertawa kecil mendengar lelucon Ashiqa sahabatnya, setelah melahirkan Sheira Terryn baru sekali saja melihatnya. Selebihnya Sheira dirawat di ruang khusus anak dan dirinya pun terkulai tak berdaya di kamar ini.
“Jika jodoh mereka tak akan kemana.” Terryn menyunggingkan senyumnya.
“Oh yaa Yin, aku dengar dari ibu Asih kalau kak Deva nyaris saja jadi pendonor paru untukmu, gak nyangka banget kalau perjuangan cinta kak Deva memang benar-benar total sama kamu. Untungnya kakak ipar kamu, mba Aluna menemukan donor yang tepat lebih cepat hingga dia meyakinkan adiknya kalau dia tidak perlu jadi donor.” Ashiqa memandang wajah Terryn yang tiba-tiba menegang. Tentunya Terryn tidak pernah tahu tentang rencana suaminya untuk menjadi pendonor baginya.
“Kamu … Tahu hal ini ‘kan, Yin?” Ashiqa menelisik lebih jauh karena Terryn terlihat terkejut.
“Iya, aku tahu dan hal ini masih membuatku terkejut berkali-kali mengingat niat kak Deva itu.” mata Terryn berkaca-kaca, dia tidak ingin Ashiqa merasa bersalah telah membocorkan sesuatu yang dirahasiakan Deva.
“Kau sangat beruntung menjadi istrinya Yin, dia tipe laki-laki yang sanggup berkorban apa saja demi istrinya, bahkan membelah dadanya dan memberikan satu paru-parunya. Aku jadi percaya pada kalimat gombalan, ‘belahlah dadaku!’ itu.” Tapi yaa itu … meski gak jadi pendonor tapi niatnya udah full banget.” Ashiqa tersenyum lebar sambil memegang tangan Terryn.
“Cepat sembuh yaa Yin, aku kangen banget sama masakanmu, kue-kue kamu, candaan kita. Bayangin deeh kalo kita hangout bareng dengan baby bala-bala kita nanti.”
Terryn mengangguk dengan senyum khasnya yang manis. Rasa optimisnya mulai muncul di sorot matanya, dia sungguh merindukan Sheira dan kelak jika dia sudah sehat dia akan melakukan hal seperti yang dikatakan Ashiqa.
“Terima kasih yaa kamu udah datang Chika, aku jadi pengen cepat-cepat pulih terus kita jalan-jalan bareng Raka dan Sheira.” Terryn membalas genggaman Ashiqa. Mereka berdua mengobrol lagi tentang Raka, putra Ashiqa yang tumbuh dengan menggemaskan. Ashiqa pun memperlihatkan foto kiriman Deva I*-nya tentang kamar Sheira yang sangat cantik.
Obrolan mereka pun berakhir ketika ponsel Ashiqa berdering dan meminta Ashiqa untuk pulang segera. Sahabat Terryn itu mengecup kedua pipi Terryn dan pamit pulang.
“Sampaikan salam aku sama kak Deva yaa, kasih tahu aku kalau kamu nanti udah keluar dari rumah sakit.”
Sekali lagi Terryn hanya mengangguk mengiyakan. Ashiqa pun melambaikan tangannya sebelum menghilang di balik pintu.
Kamar Terryn pun kembali sunyi, kerinduannya pada keluarganya semakin menusuk-nusuk hatinya. Terutama kepada Sheira buah hatinya yang sudah berada di rumahnya tanpa kehadirannya sebagai ibu sang bayi.
Pikiran Terryn masih menjelajah di alam bawah sadarnya sehingga dia tidak mendengar jika Deva sudah masuk dan duduk di sampingnya. Terryn masih memikirkan kata-kata Ashiqa tentang suaminya yang sudah siap jadi pendonor paru baginya dan dia tidak tahu sama sekali tentang itu.
“Sayang … Kamu lagi mikirin apa?” Deva mendaratkan kecupan kecilnya di pipi Terryn yang sedari tadi tidak merespon panggilannya.
“Ouh … Engh … Kak Deva, kapan Kakak kembali?” Terryn sedikit terkejut ketika orang yang tengah dalam pikirannya tiba-tiba ada di sampingnya sekarang ini.
“Cukup lama untuk menunggumu selesai melamun, tapi karena tak kunjung selesai aku harus menciummu dulu supaya sadar.” Deva tersenyum sambil memencet ujung hidung Terryn pelan.
“Duduk di dekatku, Kak.” pinta Terryn, dia menekan tombol tempat tidurnya agar posisinya bisa lebih tinggi lagi hampir setengah duduk. Deva mengikuti keinginan istrinya dan mereka kini nyaris berhadapan. Terryn mengangkat tangannya dan menyentuh dada Deva yang terbalut baju kaos lengan panjang berwarna biru tua. Ujung jemari Terryn menyusuri dada Deva, lalu menempelkan telapak tangannya pada dada Deva yang bidang itu.
Deva memandangi tangan Terryn yang menempel di dadanya sambil mengerutkan dahinya.
“Dada ini nyaris dibelah hanya karena aku membutuhkan satu paru-paru yang sehat.” ujar Terryn dengan suara gemetar.
“Tapi Syukurlah karena kak Aluna membawakan donor yang lain tepat pada waktunya hingga aku tidak perlu melihat bekas jahitan di sini.” kali ini dia mengusap dada Deva dengan perlahan seiring dengan titik-titik air matanya yang jatuh menetes.
Deva hanya membuang nafas, apa yang dirahasiakannya akhirnya terkuak dan ini yang dia hindari, melihat Terryn bersedih.
“Aku akan melakukan apa saja untuk membuatmu bertahan hidup, Yin. Andai nyawa pun bisa dibagi maka dengan sukarela aku akan membaginya untukmu.” Deva meraih tangan Terryn dan mengecup ujung jemarinya dengan lembut. Tangan itu dipindahkannya menempel di pipi Deva.
“Jangan bersedih lagi, jangan menangis, semuanya sudah selesai, operasimu berjalan lancar dan aku ada di sini untukmu.” Deva menghapus jejak air mata Terryn. Mengusap pipi Terryn dengan punggung jemarinya.
“Yang kau lakukan sekarang hanya fokus saja pada masa pulihmu, itu saja. Yang lainnya itu urusanku.” Deva memajukan badannya dan dengan hati-hati memeluk Terryn, lalu menambah lagi sebuah kecupan di dahinya. Deva menekan tombol tempat tidur agar bisa mengembalikan posisi Terryn.
“Istirahat yaa, hari ini kau sudah banyak bercakap-cakap dengan Ashiqa. Pulihkan tenagamu lagi, aku harus memeriksa beberapa laporan dari Desta.”
Terryn mengangguk dan memejamkan matanya kembali, separuh tubuhnya memang masih merasakan kebas dan sedikit ngilu. Tenaganya memang tidak cukup banyak saat ini, Deva benar bahkan hanya mengobrol dengan Ashiqa saja dia sudah merasa sangat lelah. Namun, paling tidak dia sudah bisa bernafas dengan normal lagi, tidak merasakan sesak dan tercekik.Terryn mencoba untuk tidur setelah Deva berpindah ke sofa dan membuka laptopnya.
Dua pekan lebih Terryn berada di rumah sakit untuk pemulihan, selama itu pula Deva bolak-balik rumah sakit, rumah dan kantornya. Perkembangan Terryn sejauh ini pun sangat menggembirakan, transplantasi paru yang dijalaninya terbilang sukses oleh para dokter.
Di akhir pekan ketiga Terryn pun bersiap untuk pulang ke rumah. Selama ini dia hanya melihat bayinya melalui panggilan video yang dilakukannya dengan ibu Asih. Kerinduan Terryn sudah benar-benar menumpuk dan tidak sabar lagi untuk bertemu dengan Sheira.
Deva menemani Terryn duduk di belakang saat mobil mereka meninggalkan rumah sakit. Dokter sekali lagi mengingatkan agar Terryn tetap datang untuk kontrol secara berkala beberapa bulan kedepan. Deva memastikan jika Terryn pasti akan datang sesuai dengan dengan jadwalnya dan meminum obat yang diberikan dokter secara rutin dan teratur.
Tangan Deva menggenggam erat tangan Terryn, istrinya tampak gugup akan kembali pulang setelah beberapa lama berada di rumah sakit.
“Kamu tuh kayak mau malam pertama aja gugup dan gelisah gitu.” Deva menepuk pelan punggung tangan Terryn. Istrinya menoleh pada Deva sambil mencebik lalu membuang muka lagi ke arah jendela mobil.
“Yin gak gugup yaa waktu malam pertama kita dulu, kak Deva aja tuh yang gugup.” jawab Terryn tidak mau kalah.
“Kamu itu kelihatan gelisah seperti sekarang ini, gugup dan gak mau melihat ke arah aku.” Deva tertawa kecil, dia masih mengingat malam panjang yang mereka habiskan di villa Deva di desa.
“Yin khawatir kalau Sheira gak kenalin Yin lagi, udah sebulan usia putri kita dan Yin gak ada buat Sheira.” suara Terryn terdengar pelan dan sendu.
“Hey … Yin … Liat sini, liat ke aku.” pinta Deva sambil meraih bahu Terryn perlahan. Terryn mengikuti gerakan suaminya dan pelan-pelan melihat ke arah Deva. Deva mendekatkan wajahnya dan mendaratkan sebuah kecupan kecil di bibir Terryn yang terasa semanis buah strawberry karena lipgloss yang dipakainya.
“Semuanya akan baik-baik saja, Yin Sayang. Kamu akan jadi ibu terbaik buat putri kita nanti. Kamu yang tenang, kamu gak akan sendiri, ada aku yang akan selalu membantumu juga ibu Asih serta ibuku yang akan membantumu merawat Sheira dengan baik.” ujar Deva dengan suara yang menenangkan Terryn seketika.
“Jangan khawatirkan apa pun, semua memang akan terasa baru, nikmati saja dan jangan merasa kau akan gagal. Disaat kamu nanti menyentuh Sheira dan berbicara padanya Sheira akan tahu jika kau adalah mamanya, suara yang paling sering didengarnya ketika di dalam perut mamanya. Jadi tenang yaa?” Deva menatap Terryn dengan tatapan teduh, ada rasa sejuk yang dirasakannya. Deva yang kini benar-benar berbeda dengan Deva yang dulu dijulukinya CEO Kutub Utara.
Deva yang sekarang adalah pria yang hangat, tak lagi tukang perintah, selalu tersenyum dan kata-katanya selalu mampu membuat Terryn tenang. Terryn tersenyum mendengar apa yang baru saja dikatakan suaminya. Mobil mereka masih melaju membelah jalanan ketika Terryn memberikan sebuah ciuman manis di bibir suaminya. Cinta kasih keduanya terasa semakin kuat terjalin setelah apa yang terjadi pada Terryn.
Jantung Terryn berdegup kencang ketika mobil sudah terhenti tepat di halaman rumah, Deva membukakan pintu mobil untuknya dan membimbingnya keluar dari mobil. Ibu Asih dan ibu Imelda sudah menyambut kedatangannya dengan penuh sukacita. Dalam gendongan ibu Asih tampak bayi Sheira yang menatap ke arahnya. Mata Terryn berkaca-kaca ketika tangan Sheira bergerak-gerak seakan ingin menggapainya. “Hey … Baby Sheira, Mama kangen banget Sayang….” Terryn mengambil tangan mungil itu dan mengecupnya, apalah daya Terryn belum bisa menggendong Sheira karena bekas operasi di dadanya itu.“Selamat datang kembali, Nak.” sambut ibu Asih sambil membelai kepala Terryn lembut. Bergantian dengan Ibu Asih kini Ibu Imelda yang hati-hati memeluknya dan mencium dahi Terryn lembut. Deva masih sibuk membawakan barang-barang Terryn dan memasukkannya ke kamar mereka. Matanya hanya mampu membaca betapa bahagianya kedua ibunya menyambut kepulangan Terryn dan betapa berbahagianya pula Terryn melihat putrinya. “Yin,
Apapun bisa terjadi jika Tuhan berkehendak. Dalam kasus Terryn bisa saja dia tidak akan bisa punya bayi yang lucu dan sehat, kegigihannya untuk menjalani program hamil hanya butuh waktu yang singkat. Semua adalah kebesaran Tuhan yang tidak akan pernah berhenti disyukuri Terryn. Hidup dengan paru-paru baru juga merupakan kemurahan Tuhan lainnya, bahkan Deva suaminya yang sudah siap menjadi pendonor di detik-detik terakhir digantikan oleh pendonor lain. Manusia memang berencana dan rencana Tuhan yang akan tetap berlaku dalam hidup manusia. Terryn sedang memilihkan baju untuk Sheira, usianya kini enam bulan. Artinya sudah setengah tahun juga operasi besar yang dijalani Terryn sudah berlalu. Walaupun harus meminum obat seumur hidupnya, Terryn bisa beraktifitas seperti biasa. Hanya saja Deva mengawasi Terryn dengan ketat agar jangan sampi beraktifitas berlebih yang membuatnya kelelahan. Terryn memakaikan Sheira baju yang cantik untuk menghadiri pesta ulang tahun Raka, putra Ashiqa dan Ra
Seorang laki-laki muda baru saja mengakhiri presentasi sangat penting dan bergengsi di hadapan para petinggi negara dan orang-orang dari perusahaan besar lainnya. Mereka bertepuk tangan dan memberi ucapan selamat serta dukungan setelah pria muda itu mendapat persetujuan dengan mega proyek pembangunan yang tidak sembarang perusahaan bisa mendapatkannya.Deva Danuarta tersenyum bangga dengan pencapaian gemilang anak muda itu dan semakin yakin jika di tangan anak itu Melda’s Constructions akan semakin maju. Dari sudut ruangan dia melihat sosoknya tengah disalami oleh beberapa orang penting dari dalam dan dari luar negeri. Semua puas dan antusias dengan penyampaiannya tadi dan mereka berharap agar usaha anak muda itu diberi kemudahan dan kesuksesan.“Ouh Papa ada di sini? Kenapa gak kasih tau Panji kalo Papa akan hadir juga, pasti panji akan jemput Papa.” Panji segera mendekati Deva dan menyalami dan mencium punggung tangan laki-laki yang dengan besar hati telah merawatnya selama tujuh be
Panji berdiri di dekat pintu kedatangan, Sheira hari ini tiba dari luar negeri. Seperti janjinya kepada ayahnya angkatnya dia akan menjemput gadis yang punya seribu macam cara untuk menyusahkan dirinya. Entah di mana letak salah Panji sehingga dari awal Sheira langsung membencinya. Mungkin karena saat pertama mereka bertemu Panji terlihat lusuh, gembel dan wajahnya sembab karena menangis. Minggu-minggu awal dia sangat kesulitan beradaptasi dengan lingkungannya yang baru. Juga betapa judes dan manjanya Sheira. Mama Yin selalu menegur sikap Sheira yang tidak sopan, mulai dari cara halus hingga cara kasar. Gadis kecil yang cantik seperti boneka itu tidak peduli karena sikap omanya yang selalu membelanya. Deva menjadi sangat pusing dengan ulah Sheira yang kian hari kian menjadi. Tahun berlalu Panji akhirnya jadi terbiasa dengan sikap kasar Sheira. Meskipun diperlakukan seperti babu, Panji tidak pernah keberatan dan menjalani semuanya dengan lapang dada. Toh dia masih memiliki cinta kasih
Panji memasang baik-baik pendengarannya hingga dia sangat yakin jika yang tengah berteriak-teriak di dalam itu adik angkatnya Sheira. Dengan perlahan Bony membuka pintu dan terkejut melihat dua gadis sedang saling menjambak rambut dan seorang laki-laki setengah telanjang kesulitan melerainya. "Astagaaa… Sheira!" Panji langsung melompat untuk memisahkan keduanya. Tenaga kedua perempuan itu sangat kuat bertarung satu dengan yang lainnya yang membuat Panji cukup kesusahan. Sheira bergerak kesana kemari menyerang perempuan yang berbaju tidur tapi telanjang itu karena bahan yang dipakainya sangat tipis dan pendek. Bony sempat menahan tawa karena pemandangan "indah" yang tidak pada tempatnya terombang ambing dalam jambakan Sheira. "Sheira sudah! … sudah… ayo kita pulang!" Panji menyentak Sheira agar bisa terlepas tapi Sheira belum puas dia masih menendang kesana kemari. Sementara Windy ditahan oleh Aldo. Sheira pun tersadar, jika Panji sudah melerai perkelahiannya dengan Windy dan mula
Terryn memeluk putrinya dengan hangat lalu mencium kedua pipinya dengan gemas. Gadis itu pun menyalami Deva dan dari Deva dia mendapatkan pelukan dan ciuman yang sama. Keduanya terlihat sangat senang akhirnya putri mereka telah kembali.“Ini ada bunga dan kue kesukaan Mama, tadi kami mampir membelinya, Mama pasti suka.” Sheira menunjuk pada bingkisan yang dipegang oleh Panji. Sebenarnya Terryn tahu jika itu adalah inisiatif Panji tapi Terryn menerimanya dengan suka cita.“Lho, pipi kamu kenapa Sheira sampai bengkak begitu?” Terryn menyentuh pipi Sheria yang tadi telapak tangan Windy sempat mendarat di sana. Panji menatap Sheira serius dan menunggu drama dari gadis biang masalah itu.“Ouh … itu Ma, ternyata kosmetik Sheira di Aussie kurang cocok dipakai di Indo jadinya wajah Sheira kayak alergi gitu. Sheira udah buang kok dan cepat-cepat ganti yang baru.” Alasan Sheira cukup masuk di akal dan Panji tersenyum kecil mendengarnya. Sheira mendehem sambil melotot ke arah Panji.“Ayo kita be
“Lalu siapa yang akan mengurusi semua keperluan kamu, kamu butuh seorang manajer ‘kan? Papa gak sreg kamu pilih jalan ini Sheira.” Deva menggeleng-geleng kepala tanda kecewa. Panji hanya masih melihat ke arah lain, sungguh gadis ini paling bisa membawa kejutan dalam rumah mereka.“Papa tenang aja, Sheira sudah punya manajer sendiri, Vero, selama di Aussie dia yang mengurus semuanya. Besok Vero datang dan akan Sheira perkenalkan kepada kalian.”“Duh … Sheira … Sheira … selalu saja kamu begini, mengambil keputusan sendiri, kalau ada apa-apa paling yang repot Panji lagi.” Deva berdecak mendengar penuturan putrinya itu.“Lho kenapa memang? Cucuku juga berhak menentukan jalannya sendiri. Memangnya hanya Panji saja yang berhak menentukan sendiri setiap keputusan di perusahaan? Kita kasih Sheira kesempatan kali ini, dia butuh dukungan kita, keluarganya,” timpal oma Imelda yang merasa jika Panji terlalu dipuja oleh putranya itu.Panji menahan nafas setiap oma Imelda berbicara, selalu saja ada
Panji baru saja menyelesaikan wawancara eksklusifnya dengan The Special. Oma Imelda, Deva dan Terryn menyalami kru majalah dengan wajah sumringah. Mereka sempat mendapat sedikit sesi wawancara untuk melengkapi berita mereka mengenai Panji. Tak bisa dipungkiri jika saat ini terbersit rasa bangga di dalam hati oma Imelda atas pencapaian Panji.“Ma, aku kembali ke apartemen lagi yaa malam ini, aku ‘kan udah nginap semalam.” Panji meraih tangan Terryn dan menggenggamnya erat, mereka masih duduk di teras samping usai wawancara dengan majalah itu.“Anak Nakal! Mama itu masih kangen banget sama kamu, nginap semalam lagi yaa? Besok kamu berangkat ke kantor dari sini.” Terryn masih menahan putra angkatnya, masih segar dalam ingatan Terryn berat rasanya kala itu harus melepas Panji untuk tinggal di apartemennya ketika dia baru memulai karir di perusahaan suaminya. Dengan dalih jika Panji ingin mandiri walaupun alasan sebenarnya adalah tingkah laku Sheira yang membuat Panji tidak pernah nyaman.
“Viviii … sini Nak, sini sama Ibu, jangan begini Sayang. Vivi marah lagi yaa? Ayo sini… sini….” Ibu Dei mengambil alih Vivi yang masih berontak hendak menyerang Sheira. Dari wajah dan sorot anak itu betapa Vivi ingin mengatakan banyak hal tetapi gadis kecil itu hanya bisa berteriak menangis tantrum.“Sheira, kamu baik-baik saja? Astaga kepala kamu berdarah!” seru Panji panik, segera diambilnya kotak tisu yang ada di meja dan menarik cepat beberapa lembar tisu lalu menekan luka Sheira.“A-aku baik-baik saja, aku tidak apa-apa.” Sheira mengambil alih sendiri tisu itu untuk ditekan di kepalanya.“Bu, ada apa dengan Vivi? Kenapa dia tiba-tiba jadi begini?” Panji mendekati ibu Dewi yang masih menahan Vivi dalam pelukannya. Sheira yang tahu diri karena penyebab kemarahan Vivi pelan-pelan meninggalkan ruangan tanpa suara. Dia berdiri di balik pintu untuk menunggu penjelasan ibu Dewi.“Ibu
Keadaan Sheira semakin hari semakin membaik, kesehatannya sudah pulih tetapi dia memutuskan untuk tidak kembali dulu ke lokasi syuting. Sheira masih menjalani masa berkabung dan rumah produksi sinetronnya mengerti akan hal itu. Kesempatan itu digunakan Sheira untuk berkunjung ke rumah panti asuhan Sayap Ibu. Seperti yang dijanjikan Panji, lelaki itu akan menemani kemanapun Sheira ingin pergi.Sheira membeli berbagai macam mainan yang sangat banyak serta makanan lezat. Berkotak-kotak pizza serta ayam goreng yang terkenal dengan gerainya di penjuru dunia itu dibeli Sheira penuh semangat. Panji sampai kewalahan membawa mainan dan makanan itu. Anak-anak menyambut kehadiran Panji dengan penuh suka cita pun dengan ibu Dewi, ibu pengasuh mereka.Sheira mendekat perlahan pada sosok wanita di depannya itu, meraih tangannya dan mencium tangannya seperti dia melakuk
“Kau sudah bangun rupanya, aku baru saja membuat bubur ayam ceker kesukaanmu.” Panji datang sambil membawa sebuah nampan yang berisi mangkuk dengan asap yang mengepul tipis. aroma gurih menguar di udara dan menerbitkan selera Sheira meskipun lidahnya terasa sedikit pahit. Wajah Panji sudah lebih tenang dari sebelumnya.Perawat itu tersenyum lagi dan meminta pamit meninggalkan kamar mereka. Panji menyiapkan sarapan Sheira dengan cekatan. Meniup sesaat bubur di sendok itu sebelum disuapi ke mulut Sheria. Sheira menyantapnya dengan pelan, sedikit hambar mungkin karena lidahnya yang pahit terasa. Namun dia tidak ingin menyia-nyiakan usaha yang telah dilakukan Panji untuknya.“Habiskan yaa, supaya kamu punya tenaga lagi dan cepat pulih.” Panji menyendokkan kembali bubur itu kepada Sheira.
Sheira membuka matanya perlahan, hal yang dilihatnya adalah Panji yang tertidur di kursi samping tempat tidurnya. Laki-laki itu menggunakan lengan untuk menopang kepalanya. Mata Sheira berkeliling dan melihat punggung lengan kirinya yang tertancap jarum infus juga tiang infus yang menggantungkan kantung cairan berisi asupan makanan serta obat untuk Sheira.Jam di dinding menunjukkan pukul tiga dini hari, Sheira merasa ingin buang air kecil. Dirasakan jika tubuhnya masih diliputi demam dan sungguh payah untuk bergerak. Dicobanya untuk menyibak selimut dan duduk tapi kepalanya masih sangat berat sementara desakannya untuk buang air kecil semakin menjadi. Terdengar rintihan kecil dari mulut gadis itu ketika jarum infus di punggung lengannya bergerak.Panji merasakan gerakan di tempat tidur Sheira dan membuat laki-laki itu terbangun.
“Bony, tolong panggilkan dokter dan Venus tolong bantu aku mengganti baju Sheira.” Panji menatap Sheira dengan tatapan prihatin, dirinya sibuk mengurus pemakaman Terryn sehingga kondisi Sheira luput dari perhatiannya. Vero yang biasa menjaganya pun hampir datang terlambat karena pesawatnya yang delay.“Kakak ‘kan suaminya. kenapa harus cari orang buat ganti baju istri sendiri?” tanya Venus bingung.“A-aku … aku belum pernah bersama dengan Sheira, jadi aku masih … aah tolong saja kakakmu ini, Ve!” seru Panji gugup. Venus menarik sudut bibirnya mengetahui hal itu. Mereka sama sekali belum menjadi suami istri pada umumnya.“Tolong siapkan air hangat dan handuk kecil yaa, Min.” Panji menggulung lengan kemejanya, dan membantu Venus melepaskan sepat
Suasana pemakaman tampak begitu suram dengan aura kesedihan bagi keluarga yang ditinggalkan. Langit pun seakan menegaskan jika ini adalah waktu yang paling gelap untuk mereka dengan mengirimkan gumpalan awan gelap kelabu.Ashiqa yang datang bersama Rama dan putranya Raka, sahabat Terryn itu tak menyangka jika Terryn sudah tiada. Lama Ashiqa memeluk Sheira yang tampak antara bernyawa dan tidak bernyawa. Juga pada Panji, berangkai kata penghiburan diucapkan pada pemuda yang telah menjadi bagian hidup Terryn. Sejarah tentang Panji pun diketahui oleh Ashiqa sehingga dia tahu jika Panji ikut larut dalam duka yang besar atas kepergian perempuan baik hati itu.Vero yang hadir turut merasakan kesedihan, dirinya ikut menanggung rasa bersalah seperti yang Sheira rasakan sekarang. Oma Imelda menangis meraung meratapi menantu kesayangannya yang kini telah berku
Dokter keluar dari ruangan,usai memeriksa Terryn, buru-buru Panji dan Deva mendekat. Dokter mengatakan jika Terryn sudah sadar dan ingin menemui suami dan anak dan menantunya secara bergantian. Deva pun masuk terlebih dahulu untuk menemui istrinya.“Yin Sayang, ada apa denganmu? Kamu berangkat dari rumah baik-baik saja, apa ada hubungannya dengan putri kita?” Deva menggenggam tangan Terryn dengan erat. Terryn hanya menggeleng dan meneteskan air mata.“Waktuku akan habis sebentar lagi, Kak. Terima kasih selama ini sudah berada di sisiku, mencintaiku dan tak pernah jauh dariku,” jawab Terryn lemah.“Tolong jangan bicara seperti itu, Yin. Kau akan tetap bersamaku dan anak-anak dalam waktu yang lebih lama lagi.”“Kak, aku ingin bicar
“Apa yang telah kulakukan? Ma, Mama,bangun Ma, maafkan Shei, Mama’” ucap Sheira berulang kali sambil mengguncang bahu Terryn pelan. Tak ada respon dari perempuan paruh baya itu.“Yaa Tuhan … jangan ambil Mamaku sekarang … jangan ….” Sheira menutup wajahnya sambil mengulang-ngulang kalimat itu. Setelah Terryn menampar wajahnya dan terjatuh pingsan, Sheira sesaat kebingungan lalu menelpon ambulans dan membawa Terryn ke rumah sakit. Dia sempat menelpon Deva, Panji dan Oma Imelda. Semua yang ditelponnya tentu saja terkejut dan menanyakan mengapa Terryn bisa kolaps lagi seperti itu.Derap langkah terburu-buru terdengar mendekat, Sheira berharap itu adalah papanya, Deva, tetapi yang tiba lebih dulu adalah Panji. Dengan wajah cemas laki-laki muda itu menghampiri Sheira yang terlihat mengkerut takut
Mata Sheira terpejam rapat, kebenciannya selama ini yang tertanam begitu kuat mulai dikhawatirkannya sedikit demi sedikit terkikis oleh sikap Panji yang selalu baik kepadanya. Andai saja hari itu di mana saat Sheira berulang tahun yang ke tujuh Panji tidak merusak kado pemberian omanya. Asal muasal percikan benci bermula. Kenangan Sheira di masa kecil terulang di dalam kepalanya. Bahkan ketika Sheira mencoba berbaring, kejadian rusaknya kado itu masih saja berputar-putar dalam ingatannya. Betapa dirinya saat itu sangat marah karena Panji tidak sengaja merusak kotak musik pemberian omanya. Hal itu juga yang menjadi pemicu pertengkaran ayahnya dengan oma Imelda.Ayahnya kala itu membela Panji dari serbuan amarah oma Imleda dan Sheira. Ayahnya pun melindungi Panji yang akan dipukul oma Imelda memakai payung. Suara ketukan pintu terdengar membuyarkan lamunan Sheira dan Mimin muncul dari balik pintu sambil membawa nampan setelah dipersilakan masuk.“Itu apa, Min?” Sheira mengambil posis