Fenita menelan ludahnya. “A-aku nggak ingin sejauh itu, Mas.”
“Maksudnya?”
“Aku sebenarnya hanya ingin tau saja. Minimal kalau ada orang tanya siapa papaku, aku bisa menjawab. Selanjutnya aku bisa beralasan papa dan mamaku sudah berpisah sejak aku kecil, atau semacam itu.”
Fenita menjeda ucapannya. Dia menatap Kemal yang tampak kaget.
“B-bukankah i-itu kedengarannya akan lebih baik? Lebih terhormat. I-iya nggak sih?” Fenita menunduk. Mendadak dia tidak yakin dengan argumennya sendiri.
Kemudian dia mengambil pisau makan yang tadi sempat terjatuh di dekat piringnya, tetapi tidak dia pakai untuk mengiris, hanya diketuk-ketuk di pinggiran piringnya.
Kemal terlihat menghela napas panjang. Tampak segaris senyum yang terkesan seperti kurang tulus. “Y-ya itu terserah Sayang. Cuma menurut Mas, Sayang punya hak. Sayang juga darah daging Pak Galih.”
Fenita berderai dua detik. Tawa yang serupa orang berdehem.
“Aku ini anak yang dilahirkan di luar pernikahan, Mas, mana ada anak haram seperti aku punya hak? Lagi pula kata Mama sejak semula papaku nggak pernah menginginkan aku. Mamaku sudah dibayar untuk menutup urusan ini.”
Kemal terlihat membolakan mata. Namun cepat tersenyum lagi. Lalu bergerak untuk menyentuh tangan Fenita. Dielus-elusnya dengan mesra. Lelaki itu seperti kehilangan kata-katanya setelah sedari tadi begitu menggebu.
“Ayo cepat dihabiskan, Mas. Sudah hampir jam sepuluh, nanti telat,” ujar Fenita menunjuk jam di pergelangan tangan Kemal.
Satu butir air mata tiba-tiba jatuh di pipi mulus gadis itu. Namun Fenita mengikisnya dengan sangat cepat. Dia berusaha fokus kepada hidangan yang sedang dia makan.
Kemal tampaknya mengikuti gerak Fenita. Lelaki berkulit putih itu mulai menyuapkan potongan ayam ke dalam mulutnya.
“Jadi, pertunangan kita akan diulang?” Fenita membuka obrolan lain.
“Iya dong. Atau lebih baik kita langsung menikah saja?”
Fenita hampir tersedak. Mulutnya yang semula melongo kaget, perlahan melebar menggaris sebuah senyum indah.
“Serius?” jeritnya tertahan.
Kemal mengangguk mantap. “Tapi jangan minta mahar yang tinggi-tinggi ya. Sayang kan ngerti keadaan keluarga Mas.”
“Iya… .” Wajah Fenita mendadak bercahaya. Tersenyum-senyum sambil terus menatap wajah Kemal. Dia tidak mencari pria kaya, yang dia cari adalah pria yang mencintainya dengan tulus.
Fenita merasa Kemal adalah orang itu. Apalagi keluarga besar Kemal juga menyambutnya dengan baik. Semoga setelah kesalahpahaman ini justru membuat mereka lebih hangat.
“By the way, cincin kita gimana?” tanya Kemal.
“Nanti aku tanya sama Mama, barangkali sudah disimpan dia. Kemarin aku langsung kabur,” sahut Fenita sambil tertawa. “Kalau hilang, kita bisa pesan lagi. Kemarin juga cuma seminggu jadi kan?”
Kemal mengangguk. Dahinya terlihat berkerut, seperti sedang memikirkan sesuatu. Namun lelaki itu tidak berkata apa-apa lagi hingga makannya selesai. Setelah itu Kemal pamit karena harus pergi bekerja.
Kemal bekerja sebagai supervisor marketing di toko bahan kue dan roti yang menjadi supplier tetap resto Mama Erna. Satu hari dia datang ke resto itu karena menggantikan seorang sales yang sedang berhalangan.
Di situlah dia dan Fenita berjumpa untuk pertama kali. Kemudian mereka menjadi intens berkomunikasi setelah Fenita mulai mengelola cafe-nya.
Di awal hubungan mereka, Fenita perlu usaha ekstra keras untuk meyakinkan Mama Erna tentang pilihannya terhadap lelaki itu. Setelah dia mengancam akan kabur, barulah Mama Erna mengizinkan dia bertunangan.
Sejak dulu hubungannya dengan Mama Erna memang terasa aneh. Sang mama tidak pernah menampakkan kasih sayang dengan sentuhan fisik, bahkan Mama Erna sering sekali mengeluarkan kata-kata yang menusuk hati. Namun jika Fenita sudah mengancam pergi dari rumah, Mama Erna selalu tampak ketakutan. Dan itu yang sering Fenita gunakan sebagai senjata.
Waktu bergulir siang. Cafe pun mulai ramai.
Dari pintu kantornya Fenita dapat melihat dua orang yang menempati salah satu meja di dekat kolam ikan. Dia gembira. Cafe-nya dari hari ke hari sudah menampakkan perkembangan yang menggembirakan untuk ukuran usaha yang masih merintis.
Fenita baru saja akan duduk, saat telepon interkom di mejanya berbunyi.
“Selamat pagi Bu Fenita, ada tamu untuk Ibu. Namanya Bu Rinta dan Bu Desi.”
“Oh.” Fenita terkaget. Dia sempat mematung beberapa detik sebelum akhirnya menyuruh sang penjaga keamanan yang meneleponnya itu, untuk mengantarkan kedua tamunya masuk.
“Fenita Sayang!” Bu Rinta langsung memeluk Fenita begitu mereka masuk ke ruang kerja Fenita. “Maafkan sikap Ibu semalam ya. Ibu terbawa emosi.”
Tante Desi melakukan hal yang sama saat Bu Rinta melepas pelukan. “Tante juga minta maaf, Fe. Nggak seharusnya Tante bersikap jahat seperti itu. Sungguh Tante sangat menyesal.”
Fenita mengangguk. Matanya telah basah. “Yang penting Ibu setuju dengan pernikahan kami kan?”
“Menikah?” Bu Rinta terbelalak lucu, kemudian dia menoleh pada adik ipar yang berdiri di sebelahnya. “Tentu saja, kami senang kalau kamu benar-benar bisa menjadi keluarga. Iya kan, Des?”
Tante Desi gegas mengiyakan.
Ketiganya duduk. Bu Rinta mengambil posisi di samping Fenita. Tangannya terus merangkul pundak kekasih Kemal itu. “Hampir saja kami kehilangan anak baik seperti kamu, Fe. Untung Kemal ngotot menjelaskan semuanya semalam.”
“Kemal sangat mencintai kamu, Fe. Katanya dia lebih baik mati kalau nggak jadi menikah sama kamu,” timpal Tante Desi.
Fenita membalas pelukan Bu Rinta. Ya, pelukan seperti inilah yang dia rindukan sejak dulu. Hatinya membuncah. Dia merasa Kemal dan keluarganya adalah hadiah dari kesabarannya selama ini.
“Jadi Kemal sudah bilang ya kalau mau langsung menikahi kamu?” tanya Bu Rinta.
“Iya, Bu. Tapi tetap butuh persiapan kan? Aku ingin momen seumur hidup sekali ini dirayakan dengan meriah,” sahut Fenita suka cita.
Fenita menatap dua wajah yang ceria di depannya menjadi seperti orang bingung. “Oh, tapi Ibu nggak usah kuatir, nanti aku akan mengurus semuanya.”
“Wah, Mbak Rinta, karma baik apa yang Mbak terima. Bisa dapat menantu se-sempurna Fenita? Sudah cantik, berpendidikan, kaya ray– eh maksudnya punya bisnis sendiri.”
Bu Rinta tampak melebarkan matanya. Namun satu detik kemudian dia tertawa renyah.
“Tapi ada satu hal yang ingin Ibu minta dengan sangat, Sayang,” tutur Bu Rinta.
“Ibu ingin papa kandungmu bisa ikut menyaksikan kamu menikah,” kata Bu Rinta pelan.“Maksud Ibumu baik, Fe. Supaya keluarga kami tidak digunjingkan.” Tante Desi buru-buru menambahkan penjelasan. Dia terlihat bangkit, lalu berdiri di sisi kanan Fenita.Bu Rinta terlihat mengangguk-angguk. “Iya, betul begitu.”Fenita terdiam. Dia tidak menyangka pembicaraan yang semula hangat, ternyata mengarah ke sana.“Sayang… semua anak berhak mengenal ayahnya, terlepas dari masa lalu yang terjadi di antara ayah dan ibunya. Seperti kamu dan papamu. Darahnya tetap ada di tubuhmu,” kata Bu Rinta.Fenita semakin gelisah. Dia teringat akan perkataan Mama Erna, kalau papanya yang bukan orang sembarangan itu bisa saja membuat hidupnya dalam bahaya. Gadis itu pun menggeleng pelan. “Maaf, Bu, tapi aku nggak sependapat soal ini. Aku nggak butuh dia, aku sudah cukup seperti sekarang.”“Kalau ada kasak kusuk di pernikahan kalian gimana?” tanya Bu Rinta. Terdengar sedikit mendesak.“K-kita bisa bilang kalau p-p
“Kok harta Pak Galih?” Suara Fenita tercekat.Kepalanya spontan berdenyut. Apakah tuduhan Mama Erna ternyata benar? Jika Kemal memang hanya mengincar harta?“B-bukan h-harta yang seperti itu,” sahut Kemal cepat. Kalimatnya menjadi begitu gagap. “J-jangan salah sangka dulu, Sayang.”Fenita dapat mendengar helaan napas Kemal yang panjang. Lalu mereka terdiam beberapa detik.“Gini loh maksud Mas, em… Mama Erna pasti tidak akan tinggal diam melihat kita menikah kan?” tanya Kemal hati-hati. “Mas kok agak kuatir, setelah itu Mama Erna akan mengerahkan berbagai macam cara untuk mengacaukan pernikahan kita. Menyakiti Sayang.”“Sangat tidak mungkin kalau Mama Erna melepas Sayang begitu saja. Iya nggak?”Fenita terdiam. Apa yang diucapkan Kemal terdengar menyeramkan. Namun kalau diingat kembali bagaimana selama ini Mama Erna terus menerus memaksakan kehendak pada dirinya, Fenita jadi merasa bahwa argumen sang kekasih ada benarnya.“Kalau Pak Galih sudah ada di sisi kita, Sayang jadi punya perli
“Tapi kenapa beda dengan yang ada di foto kemarin ya, Mas?” bisik Fenita lagi. Gadis itu sampai mengerutkan kelopak mata, semacam usaha untuk menajamkan pandangan.“Yang ini kayaknya jauh lebih muda,” lanjut Fenita.“Mas rasa itu memang bukan Pak Galih, Sayang,” jawab Kemal. Dia menatap Fenita sekilas. Lalu dia mengangguk mantap. “Mungkin dia asisten atau apa. Maklumlah, Pak Galih kan pejabat. Mungkin ada semacam standar penerimaan tamu gitu.”Fenita bertambah gemetar mendengar ucapan itu. Namun dia tetap berhasil menyamakan langkah Kemal, hingga mereka berdua akhirnya sampai di hadapan lelaki berjas biru tua yang mereka gunjingkan diam-diam.“Selamat siang.” Lelaki itu menyapa terlebih dahulu. Senyumnya menyembul. “Perkenalkan, saya Nolan Tjandra. Mohon ijin memberitahu bahwa sementara ini saya mewakilkan Bapak, sebab Bapak ternyata ada meeting mendadak yang sangat penting.”“Tapi nanti Pak Galih bisa menemui kami kan?” tukas Kemal.“Iya, sudah ada dalam agenda beliau kok, hanya diun
“Tunggu!”Lengkingan itu spontan membuat Fenita dan Kemal berhenti. Sedianya Kemal akan memasangkan cincin di jari manis Fenita. Malam ini adalah malam pertunangan mereka. Meski hanya dihadiri oleh keluarga Fenita dan Kemal, tetapi diadakan secara cukup mewah. Bertempat di sebuah resto terkenal milik Mama Erna, yang tidak lain ibu kandung Fenita.“Tunggu, Mal. Tahan dulu!” Suara itu terdengar lagi.Tidak berapa lama sang pemilik suara, seorang ibu bertubuh besar dari rombongan keluarga Kemal, terlihat berdiri. Dia lalu melangkah mendekati panggung kecil, di mana Fenita dan Kemal berdiri berhadapan, bersiap saling memasangkan cincin pertunangan. Fenita mengenal perempuan bertubuh besar itu. Dia Tante Desi, adik dari Bu Rinta, ibu kandung Kemal.“Des, bukan waktunya bercanda!” tegur Bu Rinta, terlihat dia hendak menarik tangan sang adik ipar.“Ini serius, Mbak, ini soal masa depan Kemal,” ujar Tante Desi tetap merangsek maju. Ternyata perempuan itu tidak menuju ke panggung, melainkan
“Jangan mengancam, Fe.” Mama Erna terlihat hendak meraih pundak Fenita, tetapi gadis itu cepat berkelit.“Sungguh, ini semua demi kebaikanmu. Karena papamu itu bukan orang sembarangan,” kata Mama Erna lagi.Fenita merasa frustasi setiap mendengar kalimat itu. Memangnya kenapa kalau papanya bukan orang sembarangan? Dia tetap punya hak untuk mengetahui siapa ayahnya, seperti milyaran anak lain di dunia ini.“Oke, jadi Mama lebih pilih aku tanya ke Tante Desi ya?” tantang Fenita. Mama kandungnya itu terlihat melenguh. “Tidak akan ada bed–”“Ada bedanya, Ma. Aku sudah mengatakannya berkali-kali. Ada bedanya untuk masa depanku,” potong Fenita. Suaranya terdengar seperti berputus asa. Perdebatan ini sejatinya sudah sering terjadi di antara mereka.Mama Erna menghela napas panjang. Wanita cantik itu tampak menghindari tatap muka dengan sang anak.“Ma, lihatlah diri Mama. Sampai sekarang Mama tidak menikah. Apa Mama juga ingin aku melajang seumur hidup, hanya karena nggak ada laki-laki yang
Keluar dari resto Mama Erna, Fenita melajukan mobil ke arah yang dia hafal betul di luar kepala. Rumah Kemal. Namun saat mobil sudah dekat dengan gerbang perumahan, hati Fenita tiba-tiba meragu. Mungkin benar kata sang mama, kalau Kemal benar-benar punya cinta yang besar, seharusnya tadi lelaki itu tetap berdiri di sampingnya. Minimal Kemal tinggal sebentar untuk mendapat penjelasan terlebih dahulu. Tidak langsung ikut pergi bersama keluarganya.“Cinta tulus itu nggak ada, Fe,” kata Mama Erna suatu hari. “Di jaman sekarang ini, uang adalah tujuan setiap manusia.”Fenita mendesah. Dia ingin sekali mengingkarinya. Namun kenyataan yang dia temui selama ini hampir semua seperti itu. Teman-teman sekolahnya sering memanfaatkan dia. Pacar-pacarnya yang terdahulu selalu ingin dibelikan ini dan itu. Yang pada akhirnya Fenita tahu dia cuma menjadi ATM berjalan bagi mereka. Tidak ada yang menerima dirinya berdasarkan cinta kasih.Semula Fenita merasa Kemal berbeda. Sebab sedari awal, lelaki itu
Keesokan paginya, Fenita yang sebenarnya hampir tidak tidur, turun sudah dalam keadaan rapi.“Nah, gitu… baru anak Mama. Perempuan kuat,” cetus ibu kandung Fenita itu. “Mau ke cafe kan?” Fenita hanya mengulas senyum tipis. “Fokuskan hidup kamu untuk membangun cafe-mu. Itulah bibit kebahagiaan kamu yang sejati.”“Aku pergi dulu, Ma.”Fenita malas berlama-lama meladeni Mama Erna. Dia berjalan keluar seraya melihat pergelangan tangan kirinya. Masih ada waktu untuk menyantap sesuatu di cafe nanti, sebelum dia bertemu Kemal. Dia lapar sekali sedari semalam, tetapi terlalu malas untuk makan. Akibatnya sekarang dia kelaparan.Fenita membawa mobilnya sedikit lebih kencang untuk memburu waktu. Dua puluh menit kemudian mobil itu berbelok pada cafe yang masih tutup. Penjaga yang melihatnya segera membukakan pintu seraya memberi salam hormat.Cafe kecil ini baru tiga bulan dia kelola. Dia dapat dari Mama Erna, sebagai hadiah kelulusannya. Perempuan itu menginginkan Fenita menjadi pebisnis. Dan
“Tapi kenapa beda dengan yang ada di foto kemarin ya, Mas?” bisik Fenita lagi. Gadis itu sampai mengerutkan kelopak mata, semacam usaha untuk menajamkan pandangan.“Yang ini kayaknya jauh lebih muda,” lanjut Fenita.“Mas rasa itu memang bukan Pak Galih, Sayang,” jawab Kemal. Dia menatap Fenita sekilas. Lalu dia mengangguk mantap. “Mungkin dia asisten atau apa. Maklumlah, Pak Galih kan pejabat. Mungkin ada semacam standar penerimaan tamu gitu.”Fenita bertambah gemetar mendengar ucapan itu. Namun dia tetap berhasil menyamakan langkah Kemal, hingga mereka berdua akhirnya sampai di hadapan lelaki berjas biru tua yang mereka gunjingkan diam-diam.“Selamat siang.” Lelaki itu menyapa terlebih dahulu. Senyumnya menyembul. “Perkenalkan, saya Nolan Tjandra. Mohon ijin memberitahu bahwa sementara ini saya mewakilkan Bapak, sebab Bapak ternyata ada meeting mendadak yang sangat penting.”“Tapi nanti Pak Galih bisa menemui kami kan?” tukas Kemal.“Iya, sudah ada dalam agenda beliau kok, hanya diun
“Kok harta Pak Galih?” Suara Fenita tercekat.Kepalanya spontan berdenyut. Apakah tuduhan Mama Erna ternyata benar? Jika Kemal memang hanya mengincar harta?“B-bukan h-harta yang seperti itu,” sahut Kemal cepat. Kalimatnya menjadi begitu gagap. “J-jangan salah sangka dulu, Sayang.”Fenita dapat mendengar helaan napas Kemal yang panjang. Lalu mereka terdiam beberapa detik.“Gini loh maksud Mas, em… Mama Erna pasti tidak akan tinggal diam melihat kita menikah kan?” tanya Kemal hati-hati. “Mas kok agak kuatir, setelah itu Mama Erna akan mengerahkan berbagai macam cara untuk mengacaukan pernikahan kita. Menyakiti Sayang.”“Sangat tidak mungkin kalau Mama Erna melepas Sayang begitu saja. Iya nggak?”Fenita terdiam. Apa yang diucapkan Kemal terdengar menyeramkan. Namun kalau diingat kembali bagaimana selama ini Mama Erna terus menerus memaksakan kehendak pada dirinya, Fenita jadi merasa bahwa argumen sang kekasih ada benarnya.“Kalau Pak Galih sudah ada di sisi kita, Sayang jadi punya perli
“Ibu ingin papa kandungmu bisa ikut menyaksikan kamu menikah,” kata Bu Rinta pelan.“Maksud Ibumu baik, Fe. Supaya keluarga kami tidak digunjingkan.” Tante Desi buru-buru menambahkan penjelasan. Dia terlihat bangkit, lalu berdiri di sisi kanan Fenita.Bu Rinta terlihat mengangguk-angguk. “Iya, betul begitu.”Fenita terdiam. Dia tidak menyangka pembicaraan yang semula hangat, ternyata mengarah ke sana.“Sayang… semua anak berhak mengenal ayahnya, terlepas dari masa lalu yang terjadi di antara ayah dan ibunya. Seperti kamu dan papamu. Darahnya tetap ada di tubuhmu,” kata Bu Rinta.Fenita semakin gelisah. Dia teringat akan perkataan Mama Erna, kalau papanya yang bukan orang sembarangan itu bisa saja membuat hidupnya dalam bahaya. Gadis itu pun menggeleng pelan. “Maaf, Bu, tapi aku nggak sependapat soal ini. Aku nggak butuh dia, aku sudah cukup seperti sekarang.”“Kalau ada kasak kusuk di pernikahan kalian gimana?” tanya Bu Rinta. Terdengar sedikit mendesak.“K-kita bisa bilang kalau p-p
Fenita menelan ludahnya. “A-aku nggak ingin sejauh itu, Mas.”“Maksudnya?”“Aku sebenarnya hanya ingin tau saja. Minimal kalau ada orang tanya siapa papaku, aku bisa menjawab. Selanjutnya aku bisa beralasan papa dan mamaku sudah berpisah sejak aku kecil, atau semacam itu.” Fenita menjeda ucapannya. Dia menatap Kemal yang tampak kaget.“B-bukankah i-itu kedengarannya akan lebih baik? Lebih terhormat. I-iya nggak sih?” Fenita menunduk. Mendadak dia tidak yakin dengan argumennya sendiri. Kemudian dia mengambil pisau makan yang tadi sempat terjatuh di dekat piringnya, tetapi tidak dia pakai untuk mengiris, hanya diketuk-ketuk di pinggiran piringnya.Kemal terlihat menghela napas panjang. Tampak segaris senyum yang terkesan seperti kurang tulus. “Y-ya itu terserah Sayang. Cuma menurut Mas, Sayang punya hak. Sayang juga darah daging Pak Galih.”Fenita berderai dua detik. Tawa yang serupa orang berdehem.“Aku ini anak yang dilahirkan di luar pernikahan, Mas, mana ada anak haram seperti ak
Keesokan paginya, Fenita yang sebenarnya hampir tidak tidur, turun sudah dalam keadaan rapi.“Nah, gitu… baru anak Mama. Perempuan kuat,” cetus ibu kandung Fenita itu. “Mau ke cafe kan?” Fenita hanya mengulas senyum tipis. “Fokuskan hidup kamu untuk membangun cafe-mu. Itulah bibit kebahagiaan kamu yang sejati.”“Aku pergi dulu, Ma.”Fenita malas berlama-lama meladeni Mama Erna. Dia berjalan keluar seraya melihat pergelangan tangan kirinya. Masih ada waktu untuk menyantap sesuatu di cafe nanti, sebelum dia bertemu Kemal. Dia lapar sekali sedari semalam, tetapi terlalu malas untuk makan. Akibatnya sekarang dia kelaparan.Fenita membawa mobilnya sedikit lebih kencang untuk memburu waktu. Dua puluh menit kemudian mobil itu berbelok pada cafe yang masih tutup. Penjaga yang melihatnya segera membukakan pintu seraya memberi salam hormat.Cafe kecil ini baru tiga bulan dia kelola. Dia dapat dari Mama Erna, sebagai hadiah kelulusannya. Perempuan itu menginginkan Fenita menjadi pebisnis. Dan
Keluar dari resto Mama Erna, Fenita melajukan mobil ke arah yang dia hafal betul di luar kepala. Rumah Kemal. Namun saat mobil sudah dekat dengan gerbang perumahan, hati Fenita tiba-tiba meragu. Mungkin benar kata sang mama, kalau Kemal benar-benar punya cinta yang besar, seharusnya tadi lelaki itu tetap berdiri di sampingnya. Minimal Kemal tinggal sebentar untuk mendapat penjelasan terlebih dahulu. Tidak langsung ikut pergi bersama keluarganya.“Cinta tulus itu nggak ada, Fe,” kata Mama Erna suatu hari. “Di jaman sekarang ini, uang adalah tujuan setiap manusia.”Fenita mendesah. Dia ingin sekali mengingkarinya. Namun kenyataan yang dia temui selama ini hampir semua seperti itu. Teman-teman sekolahnya sering memanfaatkan dia. Pacar-pacarnya yang terdahulu selalu ingin dibelikan ini dan itu. Yang pada akhirnya Fenita tahu dia cuma menjadi ATM berjalan bagi mereka. Tidak ada yang menerima dirinya berdasarkan cinta kasih.Semula Fenita merasa Kemal berbeda. Sebab sedari awal, lelaki itu
“Jangan mengancam, Fe.” Mama Erna terlihat hendak meraih pundak Fenita, tetapi gadis itu cepat berkelit.“Sungguh, ini semua demi kebaikanmu. Karena papamu itu bukan orang sembarangan,” kata Mama Erna lagi.Fenita merasa frustasi setiap mendengar kalimat itu. Memangnya kenapa kalau papanya bukan orang sembarangan? Dia tetap punya hak untuk mengetahui siapa ayahnya, seperti milyaran anak lain di dunia ini.“Oke, jadi Mama lebih pilih aku tanya ke Tante Desi ya?” tantang Fenita. Mama kandungnya itu terlihat melenguh. “Tidak akan ada bed–”“Ada bedanya, Ma. Aku sudah mengatakannya berkali-kali. Ada bedanya untuk masa depanku,” potong Fenita. Suaranya terdengar seperti berputus asa. Perdebatan ini sejatinya sudah sering terjadi di antara mereka.Mama Erna menghela napas panjang. Wanita cantik itu tampak menghindari tatap muka dengan sang anak.“Ma, lihatlah diri Mama. Sampai sekarang Mama tidak menikah. Apa Mama juga ingin aku melajang seumur hidup, hanya karena nggak ada laki-laki yang
“Tunggu!”Lengkingan itu spontan membuat Fenita dan Kemal berhenti. Sedianya Kemal akan memasangkan cincin di jari manis Fenita. Malam ini adalah malam pertunangan mereka. Meski hanya dihadiri oleh keluarga Fenita dan Kemal, tetapi diadakan secara cukup mewah. Bertempat di sebuah resto terkenal milik Mama Erna, yang tidak lain ibu kandung Fenita.“Tunggu, Mal. Tahan dulu!” Suara itu terdengar lagi.Tidak berapa lama sang pemilik suara, seorang ibu bertubuh besar dari rombongan keluarga Kemal, terlihat berdiri. Dia lalu melangkah mendekati panggung kecil, di mana Fenita dan Kemal berdiri berhadapan, bersiap saling memasangkan cincin pertunangan. Fenita mengenal perempuan bertubuh besar itu. Dia Tante Desi, adik dari Bu Rinta, ibu kandung Kemal.“Des, bukan waktunya bercanda!” tegur Bu Rinta, terlihat dia hendak menarik tangan sang adik ipar.“Ini serius, Mbak, ini soal masa depan Kemal,” ujar Tante Desi tetap merangsek maju. Ternyata perempuan itu tidak menuju ke panggung, melainkan