Keira menatap suaminya dengan sedikit sangsi. Dia tahu, pemuda yang mengaku sebagai tunangan Fenita itu sedikit berbahaya. Tentang kisah kelam ini pun terkuak sebab Kemal tiada henti membombardir media sosial milik Galih yang dikelola oleh seorang admin.Dari laporan admin yang memegang akun itulah kemudian Galih memerintahkan tim pengacaranya untuk menyelidiki kebenaran berita yang dihembuskan Kemal. Nyatanya, semua pesan-pesan yang Kemal kirimkan tiada henti selama tiga hari berturut-turut, benar adanya.Saat itu Galih langsung mengumpulkan orang-orang kepercayaannya untuk membahas hal tersebut. Dan diputuskan bahwa demi masa depan karir politiknya, mau tidak mau Galih harus merangkul Fenita. Sebab jika tidak, Fenita justru dapat menjadi bumerang yang membuat segala sesuatu yang sudah dia tanam dari lama akan berantakan.“Tenanglah, Ma. Semua aman terkendali,” ujar Galih seraya mengecup dahi sang istri.“Mama kok jadi kepikiran kalau Kemal itu sebenarnya hanya mengincar uang kita sa
Untuk sampai ke kantor Pak Galih, ternyata Mama Erna membawa mobil dan sopir pribadinya. Maka mereka bertiga pun pergi dari situ dengan memakai kendaraan tersebut.Mama Erna mempersilakan Fenita untuk memilih tempat makan. Dan dia setuju saat Fenita menunjuk sebuah resto jepang yang kelihatannya cukup privasi untuk membahas permintaan Pak Galih tadi.Sampai di resto, mereka duduk dengan sikap canggung. Saat pelayan datang, ketiganya memilih menu secara acak saja tanpa banyak pertimbangan. Baik Fenita, Kemal maupun Mama Erna kompak meminta dipilihkan menu yang dapt tersaji dengan cepat.Dan tidak perlu menunggu waktu lama, masing-masing dari mereka sudah menghadapi makanan.Begitu pelayan mundur, Fenita mulai menceritakan tentang pertemuan dengan ayahnya, sekaligus permintaan yang dia maksud tadi.“Jadi Pak Galih ingin mengumumkan Sayang sebagai anak biologisnya secara resmi?” Mata Kemal membulat. Dia terlihat tidak percaya dengan apa yang baru saja diceritakan oleh sang kekasih.“Yang
Mama Erna menghela napas. Dia menatap Kemal, lalu perlahan menyingkirkan tangan Fenita yang melingkari sekitar kedua pundaknya.“Mama kan sudah bilang, Fe. Papa kamu itu bukan orang sembarangan, kita tidak punya pilihan selain menurut apa katanya,” desah Mama Erna.Fenita dan Kemal berpandangan. Fenita bisa melihat, ada secuil senyum yang coba disembunyikan oleh Kemal, meski akhirnya senyum itu tidak jadi terkembang sempurna.“Jadi kita akan balik ke kantor Pak Galih?” Mama Erna melihat kepada Fenita.“O-oh, aku lupa menanyakan hal itu,” desis Fenita. “A-aku terlalu gugup tadi.”Kemal gegas menangkap tangan Fenita. “Nggak apa-apa, Sayang. Kita bisa—”“Mama telpon saja Pak Galih,” potong Mama Erna seraya meraih tasnya. Dan dalam sekejap tangannya sudah membawa telepon genggam ke telinga kanannya.Fenita melebarkan mata. Sejak kapan Mama Erna punya nomor Pak Galih? Rasa penasarannya yang menggunung terpaksa dia tahan, sebab dia melihat mamanya mulai bicara dengan nada amat formal dan se
“Ibu ini kalau soal duit paling cepat deh,” celetuk Kemal.“Padahal dulu yang paling… .”Dia tertawa, sengaja tidak meneruskan kalimatnya. Hanya melirik penuh arti, lalu masuk ke dalam rumah.Bu Rinta yang sedianya belum beres membersihkan teras rumahnya, mengikuti langkah Kemal. Dia berpura-pura tidak mendengar ledekan dari anaknya itu.“Ibu bikinin kopi ya?” Bu Rinta meletakkan sapunya begitu saja dekat Kemal. Tanpa menunggu jawaban dari Kemal, Bu Rinta menuju dapur. Dan dalam waktu kurang dari lima menit dia sudah kembali dengan secangkir kopi instan.“Gimana? Dapat berapa juta dari Galih Sukma? Atau milyar ya, Mal?” tanya Bu Rinta seraya menghempaskan pantatnya ke sofa dekat Kemal. Wajahnya begitu serius.“Aduh, sabar dong, Bu. Masa langsung duit-duit aja,” gelak Kemal.Kemal melirik, tersenyum lagi. Namun dia tidak segera menjawab, dia lebih memilih untuk mengangkat cangkir kopinya. Menyeruput pelan-pelan sembari memejamkan mata. Jelas sekali dia sengaja menggoda ibunya.Bu Rinta
“Tunggu!”Lengkingan itu spontan membuat Fenita dan Kemal berhenti. Sedianya Kemal akan memasangkan cincin di jari manis Fenita. Malam ini adalah malam pertunangan mereka. Meski hanya dihadiri oleh keluarga Fenita dan Kemal, tetapi diadakan secara cukup mewah. Bertempat di sebuah resto terkenal milik Mama Erna, yang tidak lain ibu kandung Fenita.“Tunggu, Mal. Tahan dulu!” Suara itu terdengar lagi.Tidak berapa lama sang pemilik suara, seorang ibu bertubuh besar dari rombongan keluarga Kemal, terlihat berdiri. Dia lalu melangkah mendekati panggung kecil, di mana Fenita dan Kemal berdiri berhadapan, bersiap saling memasangkan cincin pertunangan. Fenita mengenal perempuan bertubuh besar itu. Dia Tante Desi, adik dari Bu Rinta, ibu kandung Kemal.“Des, bukan waktunya bercanda!” tegur Bu Rinta, terlihat dia hendak menarik tangan sang adik ipar.“Ini serius, Mbak, ini soal masa depan Kemal,” ujar Tante Desi tetap merangsek maju. Ternyata perempuan itu tidak menuju ke panggung, melainkan
“Jangan mengancam, Fe.” Mama Erna terlihat hendak meraih pundak Fenita, tetapi gadis itu cepat berkelit.“Sungguh, ini semua demi kebaikanmu. Karena papamu itu bukan orang sembarangan,” kata Mama Erna lagi.Fenita merasa frustasi setiap mendengar kalimat itu. Memangnya kenapa kalau papanya bukan orang sembarangan? Dia tetap punya hak untuk mengetahui siapa ayahnya, seperti milyaran anak lain di dunia ini.“Oke, jadi Mama lebih pilih aku tanya ke Tante Desi ya?” tantang Fenita. Mama kandungnya itu terlihat melenguh. “Tidak akan ada bed–”“Ada bedanya, Ma. Aku sudah mengatakannya berkali-kali. Ada bedanya untuk masa depanku,” potong Fenita. Suaranya terdengar seperti berputus asa. Perdebatan ini sejatinya sudah sering terjadi di antara mereka.Mama Erna menghela napas panjang. Wanita cantik itu tampak menghindari tatap muka dengan sang anak.“Ma, lihatlah diri Mama. Sampai sekarang Mama tidak menikah. Apa Mama juga ingin aku melajang seumur hidup, hanya karena nggak ada laki-laki yang
Keluar dari resto Mama Erna, Fenita melajukan mobil ke arah yang dia hafal betul di luar kepala. Rumah Kemal. Namun saat mobil sudah dekat dengan gerbang perumahan, hati Fenita tiba-tiba meragu. Mungkin benar kata sang mama, kalau Kemal benar-benar punya cinta yang besar, seharusnya tadi lelaki itu tetap berdiri di sampingnya. Minimal Kemal tinggal sebentar untuk mendapat penjelasan terlebih dahulu. Tidak langsung ikut pergi bersama keluarganya.“Cinta tulus itu nggak ada, Fe,” kata Mama Erna suatu hari. “Di jaman sekarang ini, uang adalah tujuan setiap manusia.”Fenita mendesah. Dia ingin sekali mengingkarinya. Namun kenyataan yang dia temui selama ini hampir semua seperti itu. Teman-teman sekolahnya sering memanfaatkan dia. Pacar-pacarnya yang terdahulu selalu ingin dibelikan ini dan itu. Yang pada akhirnya Fenita tahu dia cuma menjadi ATM berjalan bagi mereka. Tidak ada yang menerima dirinya berdasarkan cinta kasih.Semula Fenita merasa Kemal berbeda. Sebab sedari awal, lelaki itu
Keesokan paginya, Fenita yang sebenarnya hampir tidak tidur, turun sudah dalam keadaan rapi.“Nah, gitu… baru anak Mama. Perempuan kuat,” cetus ibu kandung Fenita itu. “Mau ke cafe kan?” Fenita hanya mengulas senyum tipis. “Fokuskan hidup kamu untuk membangun cafe-mu. Itulah bibit kebahagiaan kamu yang sejati.”“Aku pergi dulu, Ma.”Fenita malas berlama-lama meladeni Mama Erna. Dia berjalan keluar seraya melihat pergelangan tangan kirinya. Masih ada waktu untuk menyantap sesuatu di cafe nanti, sebelum dia bertemu Kemal. Dia lapar sekali sedari semalam, tetapi terlalu malas untuk makan. Akibatnya sekarang dia kelaparan.Fenita membawa mobilnya sedikit lebih kencang untuk memburu waktu. Dua puluh menit kemudian mobil itu berbelok pada cafe yang masih tutup. Penjaga yang melihatnya segera membukakan pintu seraya memberi salam hormat.Cafe kecil ini baru tiga bulan dia kelola. Dia dapat dari Mama Erna, sebagai hadiah kelulusannya. Perempuan itu menginginkan Fenita menjadi pebisnis. Dan
“Ibu ini kalau soal duit paling cepat deh,” celetuk Kemal.“Padahal dulu yang paling… .”Dia tertawa, sengaja tidak meneruskan kalimatnya. Hanya melirik penuh arti, lalu masuk ke dalam rumah.Bu Rinta yang sedianya belum beres membersihkan teras rumahnya, mengikuti langkah Kemal. Dia berpura-pura tidak mendengar ledekan dari anaknya itu.“Ibu bikinin kopi ya?” Bu Rinta meletakkan sapunya begitu saja dekat Kemal. Tanpa menunggu jawaban dari Kemal, Bu Rinta menuju dapur. Dan dalam waktu kurang dari lima menit dia sudah kembali dengan secangkir kopi instan.“Gimana? Dapat berapa juta dari Galih Sukma? Atau milyar ya, Mal?” tanya Bu Rinta seraya menghempaskan pantatnya ke sofa dekat Kemal. Wajahnya begitu serius.“Aduh, sabar dong, Bu. Masa langsung duit-duit aja,” gelak Kemal.Kemal melirik, tersenyum lagi. Namun dia tidak segera menjawab, dia lebih memilih untuk mengangkat cangkir kopinya. Menyeruput pelan-pelan sembari memejamkan mata. Jelas sekali dia sengaja menggoda ibunya.Bu Rinta
Mama Erna menghela napas. Dia menatap Kemal, lalu perlahan menyingkirkan tangan Fenita yang melingkari sekitar kedua pundaknya.“Mama kan sudah bilang, Fe. Papa kamu itu bukan orang sembarangan, kita tidak punya pilihan selain menurut apa katanya,” desah Mama Erna.Fenita dan Kemal berpandangan. Fenita bisa melihat, ada secuil senyum yang coba disembunyikan oleh Kemal, meski akhirnya senyum itu tidak jadi terkembang sempurna.“Jadi kita akan balik ke kantor Pak Galih?” Mama Erna melihat kepada Fenita.“O-oh, aku lupa menanyakan hal itu,” desis Fenita. “A-aku terlalu gugup tadi.”Kemal gegas menangkap tangan Fenita. “Nggak apa-apa, Sayang. Kita bisa—”“Mama telpon saja Pak Galih,” potong Mama Erna seraya meraih tasnya. Dan dalam sekejap tangannya sudah membawa telepon genggam ke telinga kanannya.Fenita melebarkan mata. Sejak kapan Mama Erna punya nomor Pak Galih? Rasa penasarannya yang menggunung terpaksa dia tahan, sebab dia melihat mamanya mulai bicara dengan nada amat formal dan se
Untuk sampai ke kantor Pak Galih, ternyata Mama Erna membawa mobil dan sopir pribadinya. Maka mereka bertiga pun pergi dari situ dengan memakai kendaraan tersebut.Mama Erna mempersilakan Fenita untuk memilih tempat makan. Dan dia setuju saat Fenita menunjuk sebuah resto jepang yang kelihatannya cukup privasi untuk membahas permintaan Pak Galih tadi.Sampai di resto, mereka duduk dengan sikap canggung. Saat pelayan datang, ketiganya memilih menu secara acak saja tanpa banyak pertimbangan. Baik Fenita, Kemal maupun Mama Erna kompak meminta dipilihkan menu yang dapt tersaji dengan cepat.Dan tidak perlu menunggu waktu lama, masing-masing dari mereka sudah menghadapi makanan.Begitu pelayan mundur, Fenita mulai menceritakan tentang pertemuan dengan ayahnya, sekaligus permintaan yang dia maksud tadi.“Jadi Pak Galih ingin mengumumkan Sayang sebagai anak biologisnya secara resmi?” Mata Kemal membulat. Dia terlihat tidak percaya dengan apa yang baru saja diceritakan oleh sang kekasih.“Yang
Keira menatap suaminya dengan sedikit sangsi. Dia tahu, pemuda yang mengaku sebagai tunangan Fenita itu sedikit berbahaya. Tentang kisah kelam ini pun terkuak sebab Kemal tiada henti membombardir media sosial milik Galih yang dikelola oleh seorang admin.Dari laporan admin yang memegang akun itulah kemudian Galih memerintahkan tim pengacaranya untuk menyelidiki kebenaran berita yang dihembuskan Kemal. Nyatanya, semua pesan-pesan yang Kemal kirimkan tiada henti selama tiga hari berturut-turut, benar adanya.Saat itu Galih langsung mengumpulkan orang-orang kepercayaannya untuk membahas hal tersebut. Dan diputuskan bahwa demi masa depan karir politiknya, mau tidak mau Galih harus merangkul Fenita. Sebab jika tidak, Fenita justru dapat menjadi bumerang yang membuat segala sesuatu yang sudah dia tanam dari lama akan berantakan.“Tenanglah, Ma. Semua aman terkendali,” ujar Galih seraya mengecup dahi sang istri.“Mama kok jadi kepikiran kalau Kemal itu sebenarnya hanya mengincar uang kita sa
Suami istri itu lagi-lagi berpandangan. Lalu saling melempar senyum.“Fenita,” ujar Keira sembari mengelus punggung tangan Fenita. “Mungkin kamu sudah tahu bahwa masa lalu Papa dan Mama kamu dapat merusak reputasi Papa kamu jika sampai didengar lawan politiknya….”Keira sengaja berhenti bicara. Elusan di punggung tangan Fenita semakin dia tekankan. “J-jadi… jadi k-kami ingin minta bantuan kamu.”“Bantuan?” Mata Fenita membelalak. “Bantuan bagaimana, Bu?”Keira dan Pak Galih mengangguk bersamaan.“Bantuan yang sangat berarti untuk Papa, Fe,” sahut Pak Galih. “Tapi kita akan sama-sama diuntungkan kok.”“Ya betul!” sambung Keira. Nadanya sedikit naik.Ketiga orang di dalam ruangan itu pun saling menatap satu sama lain. Fenita dengan tatapan bingung. Sedang Keira dan Pak Galih seperti saling melemparkan sebuah kode.Pada akhirnya Pak Galih yang terlebih dahulu memecah kebuntuan. Setelah dia menghela napas, dia berbicara, “Bisakah pertemuan kita ini, kita angkat ke publik?”“Hah? Gimana?”
Pak Galih menatap Fenita. Seulas senyum dia cipta, sedang tangannya masih rapat memegang telapak tangan Fenita dengan sikap tenang.“Fenita, kenalkan ini Ibu Keira, istri Papa,” kata Pak Galih. “Ibu Keira, sudah tahu sejak lama tentang keberadaan kamu, tentang peristiwa itu.”Pak Galih membawa tangan Fenita untuk lebih dekat kepada tangan Keira.Dan perempuan berkerudung itu gegas mengambil tangan Fenita, dia genggam dengan sedikit meremas. Keira yang sedari tadi diam membisu, akhirnya menerbitkan senyum tipis. “Ya, apa yang dikatakan papamu memang betul. Tapi aku tidak menyangka kamu ternyata sudah sebesar ini, Fenita.”Keira bergerak untuk memeluk. Ada isak yang dia tahan dalam dadanya. Meskipun tampak gagal, sebab perempuan dua anak itu akhirnya benar-benar terisak.Fenita yang semula bingung. Membalas pelukan dengan sedikit canggung. Namun ketika merasa bahwa Keira membawanya ke dalam dekapan tulus, gadis itu pun memeluk Keira sama eratnya. Lalu dia menjadi ikut terisak.“Hei, kal
Nolan bangkit dari duduknya. “Ya tepat yang seperti saya katakan barusan, Mbak Fenita. Pak Galih hari ini hanya bersedia bertemu dengan Anda. Mungkin lain kali, Pak Galih dapat bertemu dengan Mas Kemal dan Ibu Erna juga.”“Saya rasa Ibu Erna dan Mas Kemal dapat memakluminya,” tambah Nolan.“Tentu saja, Pak Nolan,” sahut Kemal.Sedang Mama Erna hanya mengangguk.“Mari, Mbak Fenita!” Nolan mengajak sekali lagi.Fenita menelan ludah. Dia menatap sang kekasih. Suaranya penuh keragu-raguan. “T-tapi a-apakah masih bisa diusahakan kalau s-saya bersama….”“Pergilah, Sayang. Nggak apa-apa. Mas tunggu di sini,” kata Kemal.Nolan bergerak mendahului. Dia menuju keluar, lalu segera membuka pintu, dan menahan benda itu agar tetap terbuka sembari menunggu Fenita untuk menyusulnya.Fenita menoleh pada Mama Erna dan Kemal secara bergantian. Dia baru melangkah saat melihat Kemal mengangguk sembari tersenyum lebar.Sepeninggal Fenita, Mama Erna gegas berdiri. Dia menatap tajam pada Kemal, tersirat penu
Fenita menelan ludah. Sungguh dia tidak mengerti sebenarnya apa yang terjadi di sini.Nolan yang masih berdiri, menatap kepada Fenita. “Mbak Fenita, apakah boleh duduk dulu? Kita akan membahas sesuatu sambil menunggu kedatangan Pak Galih.”Fenita tergagap. Dia hanya mengangguk, lalu berangsur menempatkan pantatnya kembali ke kursi. Mata gadis itu bisa melihat jika sang mama wajahnya telah menjadi merah merata, tampak sekali jika wanita itu menahan amarah. Entah mengapa air mata Fenita pun mulai mengalir. Bahkan kian deras saat dirasakan tangan Kemal mengelus pundaknya.Nolan terlihat menarik napas panjang. “Ibu Erna, Mas Kemal dan Mbak Fenita dimohon untuk dapat bersama-sama menahan diri ya. Kita di sini untuk berdiskusi, jadi saling mendengar dan saling bicara secara bergantian. Tanpa adanya emosi.”Tidak ada yang menjawab ucapan Nolan. Masing-masing nama yang disebut hanya menghela napas. Terkhusus Fenita, dia menjadi terisak-isak. Bahunya mulai berguncang.“Baik, saya anggap semua
“Tapi kenapa beda dengan yang ada di foto kemarin ya, Mas?” bisik Fenita lagi. Gadis itu sampai mengerutkan kelopak mata, semacam usaha untuk menajamkan pandangan.“Yang ini kayaknya jauh lebih muda,” lanjut Fenita.“Mas rasa itu memang bukan Pak Galih, Sayang,” jawab Kemal. Dia menatap Fenita sekilas. Lalu dia mengangguk mantap. “Mungkin dia asisten atau apa. Maklumlah, Pak Galih kan pejabat. Mungkin ada semacam standar penerimaan tamu gitu.”Fenita bertambah gemetar mendengar ucapan itu. Namun dia tetap berhasil menyamakan langkah Kemal, hingga mereka berdua akhirnya sampai di hadapan lelaki berjas biru tua yang mereka gunjingkan diam-diam.“Selamat siang.” Lelaki itu menyapa terlebih dahulu. Senyumnya menyembul. “Perkenalkan, saya Nolan Tjandra. Mohon ijin memberitahu bahwa sementara ini saya mewakilkan Bapak, sebab Bapak ternyata ada meeting mendadak yang sangat penting.”“Tapi nanti Pak Galih bisa menemui kami kan?” tukas Kemal.“Iya, sudah ada dalam agenda beliau kok, hanya diun