“Kok harta Pak Galih?” Suara Fenita tercekat.
Kepalanya spontan berdenyut. Apakah tuduhan Mama Erna ternyata benar? Jika Kemal memang hanya mengincar harta? “B-bukan h-harta yang seperti itu,” sahut Kemal cepat. Kalimatnya menjadi begitu gagap. “J-jangan salah sangka dulu, Sayang.” Fenita dapat mendengar helaan napas Kemal yang panjang. Lalu mereka terdiam beberapa detik. “Gini loh maksud Mas, em… Mama Erna pasti tidak akan tinggal diam melihat kita menikah kan?” tanya Kemal hati-hati. “Mas kok agak kuatir, setelah itu Mama Erna akan mengerahkan berbagai macam cara untuk mengacaukan pernikahan kita. Menyakiti Sayang.” “Sangat tidak mungkin kalau Mama Erna melepas Sayang begitu saja. Iya nggak?” Fenita terdiam. Apa yang diucapkan Kemal terdengar menyeramkan. Namun kalau diingat kembali bagaimana selama ini Mama Erna terus menerus memaksakan kehendak pada dirinya, Fenita jadi merasa bahwa argumen sang kekasih ada benarnya. “Kalau Pak Galih sudah ada di sisi kita, Sayang jadi punya perlindungan. Maksud Mas gitu, jadi bukan kita minta uang sama Pak Galih.” Kemal tertawa. Terdengar sedikit hambar, meski ada riak-riak kelegaan. Fenita tercenung. Jauh di lubuk hatinya dia ingin sekali Kemal langsung saja mengajaknya pergi dari sini. Menikah, lalu mereka bisa hidup bersama sampai tua. Dia tidak apa-apa kalau harus mencari pekerjaan. Atau mungkin merintis usaha kecil-kecilan. Bagi Fenita dapat bersanding dengan Kemal selamanya adalah kebahagiaan tertinggi. “Halo, Sayang. Apa masih di sana?” Suara Kemal terdengar lebih nyaring. “Ya,” jawab Fenita lesu. Air sudah mulai berkumpul memenuhi kelopak matanya. “Kenapa jalan kita jadi susah begini?” “Bukan susah, Sayang. Tapi kita perlu strategi. Menghadapi Mama kamu yang punya uang, kita harus punya tameng yang setara dengan dia. Semoga kamu ngerti maksud Mas.” Fenita menarik sekaligus menghembus napasnya dalam durasi cepat. Setelah itu dia diam beberapa saat. “Beneran semua yang Mas pikirin cuma untuk kebaikan hidup Sayang, masa depan kita,” lirih Kemal. Terdengar mendayu. “Tapi itu kalau Sayang masih percaya sama Mas ya.” Fenita menahan isak. Ruang pikiran dalam kepalanya ribut sekali. Kalau dia disuruh memilih antara mamanya atau Kemal. Tanpa ragu sedikit pun dia akan pilih lelaki itu. Kemal punya cinta nyata. Kemal punya keluarga yang hangat. Yang bisa diajak untuk berbagi rasa. Sesuatu yang belum pernah dia dapatkan dalam hidupnya selama ini. Fenita membayangkan, saat nanti sudah menikah dengan Kemal, dirinya akan selalu bisa bicara apa saja, mungkin sambil berpelukan di tempat tidur. Mungkin juga suatu saat dia akan belanja bersama Bu Rinta, sebagai menantu dan mertua yang harmonis. Apalagi jika sudah punya anak, pasti dunia Fenita tambah berwarna. Tidak kesepian lagi. Ah, sekedar membayangkan saja sudah terasa sangat bahagia. Dia akan punya keluarga yang saling peduli, seperti layaknya orang-orang lain. “Sayang…,” desah Kemal. “Oke, Mas. Aku akan ikut apa rencana Mas saja.” Fenita memejamkan mata saat mengucapkan itu. Air mengalir di kedua pipinya. Meski sebenarnya dia belum setuju betul, tetapi dia tidak ingin kehilangan Kemal. Sebab hanya Kemal beserta keluarganya yang bisa menerima diri Fenita, yang terlahir tanpa ayah yang jelas. Fenita mendengar dengusan napas lega Kemal di ujung telinganya. “Syukurlah Sayang ngerti maksud Mas,” kata Kemal, terdengar suka cita. “Sekarang tenangkan diri Sayang. Bersikaplah seolah-olah Sayang menuruti semua keinginan Mama Erna.” “Jangan buat Mama Erna curiga. Mas takut, rencana kita akan digagalkan.” *** Waktu yang dijanjikan Kemal akhirnya tiba. Fenita sudah berhasil menyelundupkan baju dan beberapa perhiasan ke dalam mobilnya. Kata Kemal, sekedar berjaga jika rencana mereka berantakan di tengah jalan. Gadis berambut panjang itu tetap pergi dari rumah seperti biasa. Di tengah jalan dia menelepon asistennya dan memberitahu bahwa dia akan pergi ke beberapa toko untuk mencari pernak pernik keperluan cafe. Tentu saja itu hanya akal-akalan, sebab setelah telepon ditutup, Fenita melajukan mobilnya ke rumah Kemal. Dia akan menitipkan mobilnya di situ. Kemudian dari rumah Kemal, Fenita naik taksi bersama kekasihnya ke stasiun. Kereta api menjadi pilihan sebab itulah transportasi tercepat di antara beberapa alat transportasi yang ada. “Sayang takut?” tanya Kemal saat kereta api sudah bergerak cepat. “Empat atau lima jam lagi Sayang akan ketemu Papa Sayang.” Fenita hanya menghela napas. Perasaannya tidak karuan. Dia tidak pernah berpikir akan sampai sejauh ini, tetapi mungkin ini yang terbaik untuk hidupnya. Gadis itu lebih memilih menjatuhkan kepalanya ke pundak Kemal. Dia tidak ingin menjawab pertanyaan sang kekasih. Fenita mulai merasa seluruh badannya dingin. Sampai dia harus meringkuk di pelukan Kemal agar mendapat sedikit kehangatan. Dia juga hanya menanggapi seperlunya saja setiap Kemal mengajaknya bicara. Sampai akhirnya, waktu yang terasa begitu panjang bagi Fenita, berakhir juga. Kereta yang mereka tumpangi telah sampai di stasiun tujuan. “Kita naik taksi, kantornya nggak jauh dari sini kok,” ujar Kemal begitu mereka turun dari kereta api. Fenita meremas genggaman tangan Kemal yang tengah menggandengnya menuju pintu keluar. Dia kemudian mengangguk. “Rileks-lah, kita sudah berhasil sejauh ini,” bisik Kemal. “Demi masa depan kita.” Fenita kembali mengangguk. Namun dia merasa sedikit sesak napas saat taksi memasuki halaman sebuah gedung dengan banyak bendera partai politik. “Selamat siang, Pak. Saya Kemal sudah ada janji dengan Pak Galih,” kata Kemal saat melewati pos keamanan. Mereka menunggu sejenak, sebelum akhirnya diminta untuk menuju sebuah ruangan yang terpisah dari gedung utama. “Ayo, Sayang!” Kemal menuntun Fenita turun dari taksi. “Kita sudah ditunggu di sana.” Kaki Fenita bergetaran saat sepatunya beradu dengan jalanan. Semakin mendekat, semakin terasa lemas. Hatinya langsung berdesir-desir, ketika seorang lelaki muda memakai jas biru tua muncul di ambang pintu. Seperti sengaja menunggu kedatangan mereka berdua. Dia tampan, dan terlihat amat berwibawa. “Apa dia Pak Galih?” bisik Fenita kepada Kemal.“Tapi kenapa beda dengan yang ada di foto kemarin ya, Mas?” bisik Fenita lagi. Gadis itu sampai mengerutkan kelopak mata, semacam usaha untuk menajamkan pandangan.“Yang ini kayaknya jauh lebih muda,” lanjut Fenita.“Mas rasa itu memang bukan Pak Galih, Sayang,” jawab Kemal. Dia menatap Fenita sekilas. Lalu dia mengangguk mantap. “Mungkin dia asisten atau apa. Maklumlah, Pak Galih kan pejabat. Mungkin ada semacam standar penerimaan tamu gitu.”Fenita bertambah gemetar mendengar ucapan itu. Namun dia tetap berhasil menyamakan langkah Kemal, hingga mereka berdua akhirnya sampai di hadapan lelaki berjas biru tua yang mereka gunjingkan diam-diam.“Selamat siang.” Lelaki itu menyapa terlebih dahulu. Senyumnya menyembul. “Perkenalkan, saya Nolan Tjandra. Mohon ijin memberitahu bahwa sementara ini saya mewakilkan Bapak, sebab Bapak ternyata ada meeting mendadak yang sangat penting.”“Tapi nanti Pak Galih bisa menemui kami kan?” tukas Kemal.“Iya, sudah ada dalam agenda beliau kok, hanya diun
Fenita menelan ludah. Sungguh dia tidak mengerti sebenarnya apa yang terjadi di sini.Nolan yang masih berdiri, menatap kepada Fenita. “Mbak Fenita, apakah boleh duduk dulu? Kita akan membahas sesuatu sambil menunggu kedatangan Pak Galih.”Fenita tergagap. Dia hanya mengangguk, lalu berangsur menempatkan pantatnya kembali ke kursi. Mata gadis itu bisa melihat jika sang mama wajahnya telah menjadi merah merata, tampak sekali jika wanita itu menahan amarah. Entah mengapa air mata Fenita pun mulai mengalir. Bahkan kian deras saat dirasakan tangan Kemal mengelus pundaknya.Nolan terlihat menarik napas panjang. “Ibu Erna, Mas Kemal dan Mbak Fenita dimohon untuk dapat bersama-sama menahan diri ya. Kita di sini untuk berdiskusi, jadi saling mendengar dan saling bicara secara bergantian. Tanpa adanya emosi.”Tidak ada yang menjawab ucapan Nolan. Masing-masing nama yang disebut hanya menghela napas. Terkhusus Fenita, dia menjadi terisak-isak. Bahunya mulai berguncang.“Baik, saya anggap semua
Nolan bangkit dari duduknya. “Ya tepat yang seperti saya katakan barusan, Mbak Fenita. Pak Galih hari ini hanya bersedia bertemu dengan Anda. Mungkin lain kali, Pak Galih dapat bertemu dengan Mas Kemal dan Ibu Erna juga.”“Saya rasa Ibu Erna dan Mas Kemal dapat memakluminya,” tambah Nolan.“Tentu saja, Pak Nolan,” sahut Kemal.Sedang Mama Erna hanya mengangguk.“Mari, Mbak Fenita!” Nolan mengajak sekali lagi.Fenita menelan ludah. Dia menatap sang kekasih. Suaranya penuh keragu-raguan. “T-tapi a-apakah masih bisa diusahakan kalau s-saya bersama….”“Pergilah, Sayang. Nggak apa-apa. Mas tunggu di sini,” kata Kemal.Nolan bergerak mendahului. Dia menuju keluar, lalu segera membuka pintu, dan menahan benda itu agar tetap terbuka sembari menunggu Fenita untuk menyusulnya.Fenita menoleh pada Mama Erna dan Kemal secara bergantian. Dia baru melangkah saat melihat Kemal mengangguk sembari tersenyum lebar.Sepeninggal Fenita, Mama Erna gegas berdiri. Dia menatap tajam pada Kemal, tersirat penu
Pak Galih menatap Fenita. Seulas senyum dia cipta, sedang tangannya masih rapat memegang telapak tangan Fenita dengan sikap tenang.“Fenita, kenalkan ini Ibu Keira, istri Papa,” kata Pak Galih. “Ibu Keira, sudah tahu sejak lama tentang keberadaan kamu, tentang peristiwa itu.”Pak Galih membawa tangan Fenita untuk lebih dekat kepada tangan Keira.Dan perempuan berkerudung itu gegas mengambil tangan Fenita, dia genggam dengan sedikit meremas. Keira yang sedari tadi diam membisu, akhirnya menerbitkan senyum tipis. “Ya, apa yang dikatakan papamu memang betul. Tapi aku tidak menyangka kamu ternyata sudah sebesar ini, Fenita.”Keira bergerak untuk memeluk. Ada isak yang dia tahan dalam dadanya. Meskipun tampak gagal, sebab perempuan dua anak itu akhirnya benar-benar terisak.Fenita yang semula bingung. Membalas pelukan dengan sedikit canggung. Namun ketika merasa bahwa Keira membawanya ke dalam dekapan tulus, gadis itu pun memeluk Keira sama eratnya. Lalu dia menjadi ikut terisak.“Hei, kal
Suami istri itu lagi-lagi berpandangan. Lalu saling melempar senyum.“Fenita,” ujar Keira sembari mengelus punggung tangan Fenita. “Mungkin kamu sudah tahu bahwa masa lalu Papa dan Mama kamu dapat merusak reputasi Papa kamu jika sampai didengar lawan politiknya….”Keira sengaja berhenti bicara. Elusan di punggung tangan Fenita semakin dia tekankan. “J-jadi… jadi k-kami ingin minta bantuan kamu.”“Bantuan?” Mata Fenita membelalak. “Bantuan bagaimana, Bu?”Keira dan Pak Galih mengangguk bersamaan.“Bantuan yang sangat berarti untuk Papa, Fe,” sahut Pak Galih. “Tapi kita akan sama-sama diuntungkan kok.”“Ya betul!” sambung Keira. Nadanya sedikit naik.Ketiga orang di dalam ruangan itu pun saling menatap satu sama lain. Fenita dengan tatapan bingung. Sedang Keira dan Pak Galih seperti saling melemparkan sebuah kode.Pada akhirnya Pak Galih yang terlebih dahulu memecah kebuntuan. Setelah dia menghela napas, dia berbicara, “Bisakah pertemuan kita ini, kita angkat ke publik?”“Hah? Gimana?”
Keira menatap suaminya dengan sedikit sangsi. Dia tahu, pemuda yang mengaku sebagai tunangan Fenita itu sedikit berbahaya. Tentang kisah kelam ini pun terkuak sebab Kemal tiada henti membombardir media sosial milik Galih yang dikelola oleh seorang admin.Dari laporan admin yang memegang akun itulah kemudian Galih memerintahkan tim pengacaranya untuk menyelidiki kebenaran berita yang dihembuskan Kemal. Nyatanya, semua pesan-pesan yang Kemal kirimkan tiada henti selama tiga hari berturut-turut, benar adanya.Saat itu Galih langsung mengumpulkan orang-orang kepercayaannya untuk membahas hal tersebut. Dan diputuskan bahwa demi masa depan karir politiknya, mau tidak mau Galih harus merangkul Fenita. Sebab jika tidak, Fenita justru dapat menjadi bumerang yang membuat segala sesuatu yang sudah dia tanam dari lama akan berantakan.“Tenanglah, Ma. Semua aman terkendali,” ujar Galih seraya mengecup dahi sang istri.“Mama kok jadi kepikiran kalau Kemal itu sebenarnya hanya mengincar uang kita sa
Untuk sampai ke kantor Pak Galih, ternyata Mama Erna membawa mobil dan sopir pribadinya. Maka mereka bertiga pun pergi dari situ dengan memakai kendaraan tersebut.Mama Erna mempersilakan Fenita untuk memilih tempat makan. Dan dia setuju saat Fenita menunjuk sebuah resto jepang yang kelihatannya cukup privasi untuk membahas permintaan Pak Galih tadi.Sampai di resto, mereka duduk dengan sikap canggung. Saat pelayan datang, ketiganya memilih menu secara acak saja tanpa banyak pertimbangan. Baik Fenita, Kemal maupun Mama Erna kompak meminta dipilihkan menu yang dapt tersaji dengan cepat.Dan tidak perlu menunggu waktu lama, masing-masing dari mereka sudah menghadapi makanan.Begitu pelayan mundur, Fenita mulai menceritakan tentang pertemuan dengan ayahnya, sekaligus permintaan yang dia maksud tadi.“Jadi Pak Galih ingin mengumumkan Sayang sebagai anak biologisnya secara resmi?” Mata Kemal membulat. Dia terlihat tidak percaya dengan apa yang baru saja diceritakan oleh sang kekasih.“Yang
Mama Erna menghela napas. Dia menatap Kemal, lalu perlahan menyingkirkan tangan Fenita yang melingkari sekitar kedua pundaknya.“Mama kan sudah bilang, Fe. Papa kamu itu bukan orang sembarangan, kita tidak punya pilihan selain menurut apa katanya,” desah Mama Erna.Fenita dan Kemal berpandangan. Fenita bisa melihat, ada secuil senyum yang coba disembunyikan oleh Kemal, meski akhirnya senyum itu tidak jadi terkembang sempurna.“Jadi kita akan balik ke kantor Pak Galih?” Mama Erna melihat kepada Fenita.“O-oh, aku lupa menanyakan hal itu,” desis Fenita. “A-aku terlalu gugup tadi.”Kemal gegas menangkap tangan Fenita. “Nggak apa-apa, Sayang. Kita bisa—”“Mama telpon saja Pak Galih,” potong Mama Erna seraya meraih tasnya. Dan dalam sekejap tangannya sudah membawa telepon genggam ke telinga kanannya.Fenita melebarkan mata. Sejak kapan Mama Erna punya nomor Pak Galih? Rasa penasarannya yang menggunung terpaksa dia tahan, sebab dia melihat mamanya mulai bicara dengan nada amat formal dan se
Fenita membulatkan mata. Jadi kalau benar begitu, artinya dia bukan murni anak haram? Meskipun siri, sebenarnya Mama Erna dan Pak Galih menikah?Tiba-tiba Pak Galih merangkul Fenita dengan erat. Membuat Fenita sedikit gelagapan. Gadis itu spontan saja balas memeluk, lalu menyembunyikan wajahnya di dada Pak Galih.Sedang Pak Galih kembali menatap pada para wartawan yang sepertinya kalap mengabadikan momen mereka.“Ya, kami memang menikah siri, tapi sehabis melahirkan kami bercerai baik-baik,” desah Pak Galih.Fenita menegakkan kepala. Kembali menatap Pak Galih. Matanya sudah basah. “Benarkah?” lirihnya.Lirih sekali suara itu. Saking lirihnya, tidak dapat ditangkap oleh telinga siapa pun yang ada di sekitar situ. Sebab suara gemuruh dari para kuli tinta terus bergelombang naik. Gemuruh hebat, yang seakan-akan tidak menyisakan ruang sedikit pun bagi suara lain.“Mungkin kami bisa mendengar dari Bu Erna?” teriak salah satu di antara gerombolan wartawan yang duduk di sebelah kanan. Dia me
Fenita menelan ludah. Dia sampai tidak mampu mengangguk. Namun kakinya melangkah, mengiringi ayunan kaki Pak Galih. Dia berjalan sembari menunduk, membiarkan ayahnya menuntun langkah. Sementara Mama Erna berjalan di belakangnya, berjejer dengan Keira dan Pak Ferdinand.Semakin jauh melangkah, Fenita merasa kakinya semakin lunglai. Apalagi saat melihat sebuah pintu besar yang terbuka, dan terdengar suara-suara bergemuruh dari sana. Tangan Fenita spontan meraih pinggang Pak Galih.“Tenanglah, semua akan baik-baik saja,” bisik Pak Galih sembari mengambil tangan Fenita yang sempat meremas pinggangnya. Kemudian dia genggam tangan anaknya itu.Dengan bergandengan, Pak Galih dan Fenita memasuki ruangan.Pak Ferdinand terlihat sigap mendahului, sehingga kini dia sudah berada paling depan. Sampai di depan deretan meja yang sudah diatur rapi, dia berseru dengan nada lucu, “Semua harus tertib, kalau tidak ingin ditendang keluar ya!”
“Jangan berpikir ini pemerasan, Fe,” ujar Mama Erna. Dia kembali tertawa. Kali ini sembari menutup mulutnya dengan kedua tangan yang dia tangkupkan beberapa detik.“Kamu tau? Ini adalah kerja sama yang saling menguntungkan!” tandas Mama Erna sambil meluruhkan tangannya. “Pak Galih dapat nama baik, kamu dapat uang. And happy ending untuk semua.”Mama Erna bertepuk tangan, dan kembali tertawa.Kedua perempuan cantik itu reflek saling menatap.Beberapa jenak Fenita hanya bisa terpaku, sampai akhirnya Mama Erna memalingkan wajahnya. Seringai kembali muncul di wajah Mama Erna, saat itulah dengan serta merta ada sesuatu yang melintas di kepala Fenita. Dia kemudian mulai tersenyum. Dari senyum tipis menjadi semakin lebar.Setelah sedari tadi dia membiarkan Mama Erna terus menerus mentertawakannya, sekarang dia ingin sedikit membalas. Dia tegakkan kepala, dagunya sedikit terangkat.“Dan Mama dapat apa? Kok a
Kemal menghela napas. “Bu, jangan gegabah. Kita tidak boleh menunjukkan pada Fenita kalau kita menginginkan uangnya. Apalagi sampai meminta.”“Ibu kan tau sendiri, mamanya Fenita itu sepertinya sudah mencium niatku sedari awal,” lanjut Kemal. “Tadi sewaktu kami bersama, dia itu tiap detik mengingatkan Fenita bahwa aku ini mengincar uangnya. Nah, kalau Ibu begitu, nanti Fenita akan tersadar.”“Kalau Fenita sadar? Kita belum dapat apa-apa loh,” tambah Kemal. Nadanya sedikit naik.Bu Rinta mencebik. Gestur dan mimik wajahnya langsung memancarkan kekecewaan. Bola matanya memandang ke atas dengan gerakan perlahan.“Sabar ya, Bu. Kalau mau sukses harus bisa tahan diri,” Kemal menatap wajah ibunya. “Ingat, yang kita incar bukan hanya sejuta dua juta. Tapi bisa milyar. Milyar, Bu!”“Iya!” Bu Rinta memekik geram.“Kalau gitu, tolong beliin di toko online. Yang imitasi, dua puluh ribuan juga nggak apa-apa, Mal. Kalung sama gelang.” Bu Rinta berdiri. Dia melangkah, lalu mengambil sapunya.Sampai
“Ibu ini kalau soal duit paling cepat deh,” celetuk Kemal.“Padahal dulu yang paling… .”Dia tertawa, sengaja tidak meneruskan kalimatnya. Hanya melirik penuh arti, lalu masuk ke dalam rumah.Bu Rinta yang sedianya belum beres membersihkan teras rumahnya, mengikuti langkah Kemal. Dia berpura-pura tidak mendengar ledekan dari anaknya itu.“Ibu bikinin kopi ya?” Bu Rinta meletakkan sapunya begitu saja dekat Kemal. Tanpa menunggu jawaban dari Kemal, Bu Rinta menuju dapur. Dan dalam waktu kurang dari lima menit dia sudah kembali dengan secangkir kopi instan.“Gimana? Dapat berapa juta dari Galih Sukma? Atau milyar ya, Mal?” tanya Bu Rinta seraya menghempaskan pantatnya ke sofa dekat Kemal. Wajahnya begitu serius.“Aduh, sabar dong, Bu. Masa langsung duit-duit aja,” gelak Kemal.Kemal melirik, tersenyum lagi. Namun dia tidak segera menjawab, dia lebih memilih untuk mengangkat cangkir kopinya. Menyeruput pelan-pelan sembari memejamkan mata. Jelas sekali dia sengaja menggoda ibunya.Bu Rinta
Mama Erna menghela napas. Dia menatap Kemal, lalu perlahan menyingkirkan tangan Fenita yang melingkari sekitar kedua pundaknya.“Mama kan sudah bilang, Fe. Papa kamu itu bukan orang sembarangan, kita tidak punya pilihan selain menurut apa katanya,” desah Mama Erna.Fenita dan Kemal berpandangan. Fenita bisa melihat, ada secuil senyum yang coba disembunyikan oleh Kemal, meski akhirnya senyum itu tidak jadi terkembang sempurna.“Jadi kita akan balik ke kantor Pak Galih?” Mama Erna melihat kepada Fenita.“O-oh, aku lupa menanyakan hal itu,” desis Fenita. “A-aku terlalu gugup tadi.”Kemal gegas menangkap tangan Fenita. “Nggak apa-apa, Sayang. Kita bisa—”“Mama telpon saja Pak Galih,” potong Mama Erna seraya meraih tasnya. Dan dalam sekejap tangannya sudah membawa telepon genggam ke telinga kanannya.Fenita melebarkan mata. Sejak kapan Mama Erna punya nomor Pak Galih? Rasa penasarannya yang menggunung terpaksa dia tahan, sebab dia melihat mamanya mulai bicara dengan nada amat formal dan se
Untuk sampai ke kantor Pak Galih, ternyata Mama Erna membawa mobil dan sopir pribadinya. Maka mereka bertiga pun pergi dari situ dengan memakai kendaraan tersebut.Mama Erna mempersilakan Fenita untuk memilih tempat makan. Dan dia setuju saat Fenita menunjuk sebuah resto jepang yang kelihatannya cukup privasi untuk membahas permintaan Pak Galih tadi.Sampai di resto, mereka duduk dengan sikap canggung. Saat pelayan datang, ketiganya memilih menu secara acak saja tanpa banyak pertimbangan. Baik Fenita, Kemal maupun Mama Erna kompak meminta dipilihkan menu yang dapt tersaji dengan cepat.Dan tidak perlu menunggu waktu lama, masing-masing dari mereka sudah menghadapi makanan.Begitu pelayan mundur, Fenita mulai menceritakan tentang pertemuan dengan ayahnya, sekaligus permintaan yang dia maksud tadi.“Jadi Pak Galih ingin mengumumkan Sayang sebagai anak biologisnya secara resmi?” Mata Kemal membulat. Dia terlihat tidak percaya dengan apa yang baru saja diceritakan oleh sang kekasih.“Yang
Keira menatap suaminya dengan sedikit sangsi. Dia tahu, pemuda yang mengaku sebagai tunangan Fenita itu sedikit berbahaya. Tentang kisah kelam ini pun terkuak sebab Kemal tiada henti membombardir media sosial milik Galih yang dikelola oleh seorang admin.Dari laporan admin yang memegang akun itulah kemudian Galih memerintahkan tim pengacaranya untuk menyelidiki kebenaran berita yang dihembuskan Kemal. Nyatanya, semua pesan-pesan yang Kemal kirimkan tiada henti selama tiga hari berturut-turut, benar adanya.Saat itu Galih langsung mengumpulkan orang-orang kepercayaannya untuk membahas hal tersebut. Dan diputuskan bahwa demi masa depan karir politiknya, mau tidak mau Galih harus merangkul Fenita. Sebab jika tidak, Fenita justru dapat menjadi bumerang yang membuat segala sesuatu yang sudah dia tanam dari lama akan berantakan.“Tenanglah, Ma. Semua aman terkendali,” ujar Galih seraya mengecup dahi sang istri.“Mama kok jadi kepikiran kalau Kemal itu sebenarnya hanya mengincar uang kita sa
Suami istri itu lagi-lagi berpandangan. Lalu saling melempar senyum.“Fenita,” ujar Keira sembari mengelus punggung tangan Fenita. “Mungkin kamu sudah tahu bahwa masa lalu Papa dan Mama kamu dapat merusak reputasi Papa kamu jika sampai didengar lawan politiknya….”Keira sengaja berhenti bicara. Elusan di punggung tangan Fenita semakin dia tekankan. “J-jadi… jadi k-kami ingin minta bantuan kamu.”“Bantuan?” Mata Fenita membelalak. “Bantuan bagaimana, Bu?”Keira dan Pak Galih mengangguk bersamaan.“Bantuan yang sangat berarti untuk Papa, Fe,” sahut Pak Galih. “Tapi kita akan sama-sama diuntungkan kok.”“Ya betul!” sambung Keira. Nadanya sedikit naik.Ketiga orang di dalam ruangan itu pun saling menatap satu sama lain. Fenita dengan tatapan bingung. Sedang Keira dan Pak Galih seperti saling melemparkan sebuah kode.Pada akhirnya Pak Galih yang terlebih dahulu memecah kebuntuan. Setelah dia menghela napas, dia berbicara, “Bisakah pertemuan kita ini, kita angkat ke publik?”“Hah? Gimana?”