Keesokan paginya, Fenita yang sebenarnya hampir tidak tidur, turun sudah dalam keadaan rapi.
“Nah, gitu… baru anak Mama. Perempuan kuat,” cetus ibu kandung Fenita itu. “Mau ke cafe kan?”
Fenita hanya mengulas senyum tipis.
“Fokuskan hidup kamu untuk membangun cafe-mu. Itulah bibit kebahagiaan kamu yang sejati.”
“Aku pergi dulu, Ma.”
Fenita malas berlama-lama meladeni Mama Erna. Dia berjalan keluar seraya melihat pergelangan tangan kirinya. Masih ada waktu untuk menyantap sesuatu di cafe nanti, sebelum dia bertemu Kemal. Dia lapar sekali sedari semalam, tetapi terlalu malas untuk makan. Akibatnya sekarang dia kelaparan.
Fenita membawa mobilnya sedikit lebih kencang untuk memburu waktu. Dua puluh menit kemudian mobil itu berbelok pada cafe yang masih tutup. Penjaga yang melihatnya segera membukakan pintu seraya memberi salam hormat.
Cafe kecil ini baru tiga bulan dia kelola. Dia dapat dari Mama Erna, sebagai hadiah kelulusannya. Perempuan itu menginginkan Fenita menjadi pebisnis. Dan katanya cafe ini dipakai untuk berlatih sebelum Fenita memegang bisnis yang lebih besar.
“Pak, nanti kalau Pak Kemal datang, suruh langsung ke kantor saya ya,” perintah Fenita pada penjaga keamanannya.
Setelah itu dia meminta salah satu stafnya untuk membawakan makanan apa pun yang sudah tersedia. Kurang dari sepuluh menit, sepotong croissant dengan isian ayam dan jamur, bersanding bersama secangkir kopi susu, terhidang di depannya. Fenita pun makan dengan lahap.
Tidak berapa lama, Kemal datang. Lelaki itu mengangguk saat Fenita menawarinya sarapan. Maka mereka berdua menikmati makanan yang sama.
“Sayang, Ibu titip salam permintaan maaf, Tante Desi juga. Tolong maafkan kesalahan keluarga Mas ya,” kata Kemal. “Berita semalam cukup mengagetkan, jadi bikin semua nggak bisa berpikir jernih.”
Fenita mengangguk. “Aku bisa maklum Mas. Semua ibu pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya.”
“Ah, Sayangnya Mas, udah cantik rupa, cantik hati pula. Makasih sudah menerima Mas apa adanya.” Kemal tersenyum manis, lalu mengunyah potongan jamur.
“Aku yang banyak kurangnya, Mas,” jawab Fenita bahagia.
“Jadi gimana soal p-papaku?” Fenita merasa lututnya sedikit bergetar.
Kemal terlihat meletakkan garpu, lalu tangan yang sudah kosong itu meraih tangan Fenita. Diremasnya dengan lembut beberapa saat.
“Tante Desi sudah cerita semua,” tutur Kemal hati-hati. “Namanya Galih Sukma.”
Fenita menahan napas. Jadi Mama Erna tidak membohonginya. Laki-laki itu benar bernama Galih.
“Sayang tau nggak? Papa Sayang ternyata seorang pejabat. Lagi viral juga loh.”
“Pejabat? Viral?” Manik mata Fenita membesar. Dia mengulang dua kata tersebut layaknya orang bodoh.
Kemal terlihat mengangguk. “Dia masih muda tapi jadi kandidat paling kuat sebagai kepala daerah. Mungkin tahun mendatang dia bisa jadi presiden.”
Fenita menjatuhkan pisau makannya dengan spontan. Inikah yang menyebabkan Mama Erna melarangnya tahu lebih jauh tentang ayah biologisnya? Ternyata lelaki itu seorang pejabat negara?
“Sayang, kamu baik-baik saja?” Kemal berdiri, lalu terlihat meraih tubuh sang kekasih.
Fenita menyambut pelukan Kemal. Dia sedikit meremas pinggang lelaki itu, sekedar melampiaskan perasaan yang entah apa bentuknya.
“Sayang bisa liat siapa Galih Sukma itu, ada komplit di sosial media,” tutur Kemal seraya mengurai pelukan.
Lelaki itu terlihat memasukkan tangan kanannya ke saku celana, lalu keluar bersamaan dengan sebuah telepon genggam. Kemal kini duduk bersisian dengan Fenita.
“Liat!”
Fenita menghela napas dalam-dalam sebelum menerima alat komunikasi milik Kemal itu.
Pertama-tama Fenita melihat seorang lelaki tampan yang tersenyum lebar. Dia terlihat begitu gagah dengan outfit-nya yang tampak serba mentereng. Kesan mahal terpancar jelas dari ujung sepatu hingga rambutnya.
Fenita perlu lebih dari tiga menit untuk memandangi wajah lelaki yang bernama Galih Sukma tersebut. Mencari-cari gurat wajah yang mungkin mempunyai kemiripan dengan dirinya.
“Senyum Pak Galih mirip senyum Sayang,” cetus Kemal. Seakan dia tahu apa yang ada dalam pikiran kekasihnya.
Fenita menoleh. Tersenyum dengan bibir bergetar, lalu mengangguk membenarkan. Namun senyumnya hilang saat melihat gambar selanjutnya.
Dia melihat Galih bersama seorang perempuan cantik berkerudung, dan dua gadis cilik dalam balutan baju motif senada.
Fenita menelan ludah. Papanya terlihat bahagia. Dua gadis cilik, yang sudah pasti adalah adik-adiknya itu, juga terlihat bahagia. Apalagi perempuan berkerudung yang dirangkul Galih. Lengkung tawanya paling lebar. Itu pasti istrinya.
Sudut hati Fenita tertohok melihat kenyataan ini. Dia menahan napas selama mungkin. Dengan gemetaran dia mengembalikan telepon genggam itu kepada si empunya.
“Dia bahagia, tanpa pernah memikirkan ada lagi anaknya yang memerlukan kasih sayang di sini,” ceplos Kemal. Membuat Fenita mulai terisak.
“Tapi Mas janji, Mas akan bantu Sayang untuk mendapatkan hak Sayang sebagai anak,” lanjut Kemal.
“Hah? Maksudnya?” Fenita menegakkan kepala. Dia cukup kaget mendengar hal tersebut.
“Mas sudah dapat alamat Pak Galih. Mas akan antar kamu ketemu dia. Tapi tunggu Mas ngajuin cuti dulu ya. Mungkin minggu depan. Gimana?”
Fenita terdiam. Dia ingat pesan Mama Erna untuk tidak menjauh dari ayah biologisnya itu. Lagi pula sebenarnya dia hanya ingin tahu siapa ayahnya. Tanpa ingin mengenal lelaki itu lebih dekat.
“Sayang berhak kok mendapat pengakuan. Kalau Pak Galih menolak, kita bisa viralkan, biar dia gagal jadi kepala daerah. Itung-itung karma karena sudah menelantarkan Sayang sekian tahun,” ucap Kemal berapi-api.
Fenita menelan ludahnya. “A-aku nggak ingin sejauh itu, Mas.”“Maksudnya?”“Aku sebenarnya hanya ingin tau saja. Minimal kalau ada orang tanya siapa papaku, aku bisa menjawab. Selanjutnya aku bisa beralasan papa dan mamaku sudah berpisah sejak aku kecil, atau semacam itu.” Fenita menjeda ucapannya. Dia menatap Kemal yang tampak kaget.“B-bukankah i-itu kedengarannya akan lebih baik? Lebih terhormat. I-iya nggak sih?” Fenita menunduk. Mendadak dia tidak yakin dengan argumennya sendiri. Kemudian dia mengambil pisau makan yang tadi sempat terjatuh di dekat piringnya, tetapi tidak dia pakai untuk mengiris, hanya diketuk-ketuk di pinggiran piringnya.Kemal terlihat menghela napas panjang. Tampak segaris senyum yang terkesan seperti kurang tulus. “Y-ya itu terserah Sayang. Cuma menurut Mas, Sayang punya hak. Sayang juga darah daging Pak Galih.”Fenita berderai dua detik. Tawa yang serupa orang berdehem.“Aku ini anak yang dilahirkan di luar pernikahan, Mas, mana ada anak haram seperti ak
“Ibu ingin papa kandungmu bisa ikut menyaksikan kamu menikah,” kata Bu Rinta pelan.“Maksud Ibumu baik, Fe. Supaya keluarga kami tidak digunjingkan.” Tante Desi buru-buru menambahkan penjelasan. Dia terlihat bangkit, lalu berdiri di sisi kanan Fenita.Bu Rinta terlihat mengangguk-angguk. “Iya, betul begitu.”Fenita terdiam. Dia tidak menyangka pembicaraan yang semula hangat, ternyata mengarah ke sana.“Sayang… semua anak berhak mengenal ayahnya, terlepas dari masa lalu yang terjadi di antara ayah dan ibunya. Seperti kamu dan papamu. Darahnya tetap ada di tubuhmu,” kata Bu Rinta.Fenita semakin gelisah. Dia teringat akan perkataan Mama Erna, kalau papanya yang bukan orang sembarangan itu bisa saja membuat hidupnya dalam bahaya. Gadis itu pun menggeleng pelan. “Maaf, Bu, tapi aku nggak sependapat soal ini. Aku nggak butuh dia, aku sudah cukup seperti sekarang.”“Kalau ada kasak kusuk di pernikahan kalian gimana?” tanya Bu Rinta. Terdengar sedikit mendesak.“K-kita bisa bilang kalau p-p
“Kok harta Pak Galih?” Suara Fenita tercekat.Kepalanya spontan berdenyut. Apakah tuduhan Mama Erna ternyata benar? Jika Kemal memang hanya mengincar harta?“B-bukan h-harta yang seperti itu,” sahut Kemal cepat. Kalimatnya menjadi begitu gagap. “J-jangan salah sangka dulu, Sayang.”Fenita dapat mendengar helaan napas Kemal yang panjang. Lalu mereka terdiam beberapa detik.“Gini loh maksud Mas, em… Mama Erna pasti tidak akan tinggal diam melihat kita menikah kan?” tanya Kemal hati-hati. “Mas kok agak kuatir, setelah itu Mama Erna akan mengerahkan berbagai macam cara untuk mengacaukan pernikahan kita. Menyakiti Sayang.”“Sangat tidak mungkin kalau Mama Erna melepas Sayang begitu saja. Iya nggak?”Fenita terdiam. Apa yang diucapkan Kemal terdengar menyeramkan. Namun kalau diingat kembali bagaimana selama ini Mama Erna terus menerus memaksakan kehendak pada dirinya, Fenita jadi merasa bahwa argumen sang kekasih ada benarnya.“Kalau Pak Galih sudah ada di sisi kita, Sayang jadi punya perli
“Tapi kenapa beda dengan yang ada di foto kemarin ya, Mas?” bisik Fenita lagi. Gadis itu sampai mengerutkan kelopak mata, semacam usaha untuk menajamkan pandangan.“Yang ini kayaknya jauh lebih muda,” lanjut Fenita.“Mas rasa itu memang bukan Pak Galih, Sayang,” jawab Kemal. Dia menatap Fenita sekilas. Lalu dia mengangguk mantap. “Mungkin dia asisten atau apa. Maklumlah, Pak Galih kan pejabat. Mungkin ada semacam standar penerimaan tamu gitu.”Fenita bertambah gemetar mendengar ucapan itu. Namun dia tetap berhasil menyamakan langkah Kemal, hingga mereka berdua akhirnya sampai di hadapan lelaki berjas biru tua yang mereka gunjingkan diam-diam.“Selamat siang.” Lelaki itu menyapa terlebih dahulu. Senyumnya menyembul. “Perkenalkan, saya Nolan Tjandra. Mohon ijin memberitahu bahwa sementara ini saya mewakilkan Bapak, sebab Bapak ternyata ada meeting mendadak yang sangat penting.”“Tapi nanti Pak Galih bisa menemui kami kan?” tukas Kemal.“Iya, sudah ada dalam agenda beliau kok, hanya diun
Fenita menelan ludah. Sungguh dia tidak mengerti sebenarnya apa yang terjadi di sini.Nolan yang masih berdiri, menatap kepada Fenita. “Mbak Fenita, apakah boleh duduk dulu? Kita akan membahas sesuatu sambil menunggu kedatangan Pak Galih.”Fenita tergagap. Dia hanya mengangguk, lalu berangsur menempatkan pantatnya kembali ke kursi. Mata gadis itu bisa melihat jika sang mama wajahnya telah menjadi merah merata, tampak sekali jika wanita itu menahan amarah. Entah mengapa air mata Fenita pun mulai mengalir. Bahkan kian deras saat dirasakan tangan Kemal mengelus pundaknya.Nolan terlihat menarik napas panjang. “Ibu Erna, Mas Kemal dan Mbak Fenita dimohon untuk dapat bersama-sama menahan diri ya. Kita di sini untuk berdiskusi, jadi saling mendengar dan saling bicara secara bergantian. Tanpa adanya emosi.”Tidak ada yang menjawab ucapan Nolan. Masing-masing nama yang disebut hanya menghela napas. Terkhusus Fenita, dia menjadi terisak-isak. Bahunya mulai berguncang.“Baik, saya anggap semua
Nolan bangkit dari duduknya. “Ya tepat yang seperti saya katakan barusan, Mbak Fenita. Pak Galih hari ini hanya bersedia bertemu dengan Anda. Mungkin lain kali, Pak Galih dapat bertemu dengan Mas Kemal dan Ibu Erna juga.”“Saya rasa Ibu Erna dan Mas Kemal dapat memakluminya,” tambah Nolan.“Tentu saja, Pak Nolan,” sahut Kemal.Sedang Mama Erna hanya mengangguk.“Mari, Mbak Fenita!” Nolan mengajak sekali lagi.Fenita menelan ludah. Dia menatap sang kekasih. Suaranya penuh keragu-raguan. “T-tapi a-apakah masih bisa diusahakan kalau s-saya bersama….”“Pergilah, Sayang. Nggak apa-apa. Mas tunggu di sini,” kata Kemal.Nolan bergerak mendahului. Dia menuju keluar, lalu segera membuka pintu, dan menahan benda itu agar tetap terbuka sembari menunggu Fenita untuk menyusulnya.Fenita menoleh pada Mama Erna dan Kemal secara bergantian. Dia baru melangkah saat melihat Kemal mengangguk sembari tersenyum lebar.Sepeninggal Fenita, Mama Erna gegas berdiri. Dia menatap tajam pada Kemal, tersirat penu
Pak Galih menatap Fenita. Seulas senyum dia cipta, sedang tangannya masih rapat memegang telapak tangan Fenita dengan sikap tenang.“Fenita, kenalkan ini Ibu Keira, istri Papa,” kata Pak Galih. “Ibu Keira, sudah tahu sejak lama tentang keberadaan kamu, tentang peristiwa itu.”Pak Galih membawa tangan Fenita untuk lebih dekat kepada tangan Keira.Dan perempuan berkerudung itu gegas mengambil tangan Fenita, dia genggam dengan sedikit meremas. Keira yang sedari tadi diam membisu, akhirnya menerbitkan senyum tipis. “Ya, apa yang dikatakan papamu memang betul. Tapi aku tidak menyangka kamu ternyata sudah sebesar ini, Fenita.”Keira bergerak untuk memeluk. Ada isak yang dia tahan dalam dadanya. Meskipun tampak gagal, sebab perempuan dua anak itu akhirnya benar-benar terisak.Fenita yang semula bingung. Membalas pelukan dengan sedikit canggung. Namun ketika merasa bahwa Keira membawanya ke dalam dekapan tulus, gadis itu pun memeluk Keira sama eratnya. Lalu dia menjadi ikut terisak.“Hei, kal
Suami istri itu lagi-lagi berpandangan. Lalu saling melempar senyum.“Fenita,” ujar Keira sembari mengelus punggung tangan Fenita. “Mungkin kamu sudah tahu bahwa masa lalu Papa dan Mama kamu dapat merusak reputasi Papa kamu jika sampai didengar lawan politiknya….”Keira sengaja berhenti bicara. Elusan di punggung tangan Fenita semakin dia tekankan. “J-jadi… jadi k-kami ingin minta bantuan kamu.”“Bantuan?” Mata Fenita membelalak. “Bantuan bagaimana, Bu?”Keira dan Pak Galih mengangguk bersamaan.“Bantuan yang sangat berarti untuk Papa, Fe,” sahut Pak Galih. “Tapi kita akan sama-sama diuntungkan kok.”“Ya betul!” sambung Keira. Nadanya sedikit naik.Ketiga orang di dalam ruangan itu pun saling menatap satu sama lain. Fenita dengan tatapan bingung. Sedang Keira dan Pak Galih seperti saling melemparkan sebuah kode.Pada akhirnya Pak Galih yang terlebih dahulu memecah kebuntuan. Setelah dia menghela napas, dia berbicara, “Bisakah pertemuan kita ini, kita angkat ke publik?”“Hah? Gimana?”
Fenita membulatkan mata. Jadi kalau benar begitu, artinya dia bukan murni anak haram? Meskipun siri, sebenarnya Mama Erna dan Pak Galih menikah?Tiba-tiba Pak Galih merangkul Fenita dengan erat. Membuat Fenita sedikit gelagapan. Gadis itu spontan saja balas memeluk, lalu menyembunyikan wajahnya di dada Pak Galih.Sedang Pak Galih kembali menatap pada para wartawan yang sepertinya kalap mengabadikan momen mereka.“Ya, kami memang menikah siri, tapi sehabis melahirkan kami bercerai baik-baik,” desah Pak Galih.Fenita menegakkan kepala. Kembali menatap Pak Galih. Matanya sudah basah. “Benarkah?” lirihnya.Lirih sekali suara itu. Saking lirihnya, tidak dapat ditangkap oleh telinga siapa pun yang ada di sekitar situ. Sebab suara gemuruh dari para kuli tinta terus bergelombang naik. Gemuruh hebat, yang seakan-akan tidak menyisakan ruang sedikit pun bagi suara lain.“Mungkin kami bisa mendengar dari Bu Erna?” teriak salah satu di antara gerombolan wartawan yang duduk di sebelah kanan. Dia me
Fenita menelan ludah. Dia sampai tidak mampu mengangguk. Namun kakinya melangkah, mengiringi ayunan kaki Pak Galih. Dia berjalan sembari menunduk, membiarkan ayahnya menuntun langkah. Sementara Mama Erna berjalan di belakangnya, berjejer dengan Keira dan Pak Ferdinand.Semakin jauh melangkah, Fenita merasa kakinya semakin lunglai. Apalagi saat melihat sebuah pintu besar yang terbuka, dan terdengar suara-suara bergemuruh dari sana. Tangan Fenita spontan meraih pinggang Pak Galih.“Tenanglah, semua akan baik-baik saja,” bisik Pak Galih sembari mengambil tangan Fenita yang sempat meremas pinggangnya. Kemudian dia genggam tangan anaknya itu.Dengan bergandengan, Pak Galih dan Fenita memasuki ruangan.Pak Ferdinand terlihat sigap mendahului, sehingga kini dia sudah berada paling depan. Sampai di depan deretan meja yang sudah diatur rapi, dia berseru dengan nada lucu, “Semua harus tertib, kalau tidak ingin ditendang keluar ya!”
“Jangan berpikir ini pemerasan, Fe,” ujar Mama Erna. Dia kembali tertawa. Kali ini sembari menutup mulutnya dengan kedua tangan yang dia tangkupkan beberapa detik.“Kamu tau? Ini adalah kerja sama yang saling menguntungkan!” tandas Mama Erna sambil meluruhkan tangannya. “Pak Galih dapat nama baik, kamu dapat uang. And happy ending untuk semua.”Mama Erna bertepuk tangan, dan kembali tertawa.Kedua perempuan cantik itu reflek saling menatap.Beberapa jenak Fenita hanya bisa terpaku, sampai akhirnya Mama Erna memalingkan wajahnya. Seringai kembali muncul di wajah Mama Erna, saat itulah dengan serta merta ada sesuatu yang melintas di kepala Fenita. Dia kemudian mulai tersenyum. Dari senyum tipis menjadi semakin lebar.Setelah sedari tadi dia membiarkan Mama Erna terus menerus mentertawakannya, sekarang dia ingin sedikit membalas. Dia tegakkan kepala, dagunya sedikit terangkat.“Dan Mama dapat apa? Kok a
Kemal menghela napas. “Bu, jangan gegabah. Kita tidak boleh menunjukkan pada Fenita kalau kita menginginkan uangnya. Apalagi sampai meminta.”“Ibu kan tau sendiri, mamanya Fenita itu sepertinya sudah mencium niatku sedari awal,” lanjut Kemal. “Tadi sewaktu kami bersama, dia itu tiap detik mengingatkan Fenita bahwa aku ini mengincar uangnya. Nah, kalau Ibu begitu, nanti Fenita akan tersadar.”“Kalau Fenita sadar? Kita belum dapat apa-apa loh,” tambah Kemal. Nadanya sedikit naik.Bu Rinta mencebik. Gestur dan mimik wajahnya langsung memancarkan kekecewaan. Bola matanya memandang ke atas dengan gerakan perlahan.“Sabar ya, Bu. Kalau mau sukses harus bisa tahan diri,” Kemal menatap wajah ibunya. “Ingat, yang kita incar bukan hanya sejuta dua juta. Tapi bisa milyar. Milyar, Bu!”“Iya!” Bu Rinta memekik geram.“Kalau gitu, tolong beliin di toko online. Yang imitasi, dua puluh ribuan juga nggak apa-apa, Mal. Kalung sama gelang.” Bu Rinta berdiri. Dia melangkah, lalu mengambil sapunya.Sampai
“Ibu ini kalau soal duit paling cepat deh,” celetuk Kemal.“Padahal dulu yang paling… .”Dia tertawa, sengaja tidak meneruskan kalimatnya. Hanya melirik penuh arti, lalu masuk ke dalam rumah.Bu Rinta yang sedianya belum beres membersihkan teras rumahnya, mengikuti langkah Kemal. Dia berpura-pura tidak mendengar ledekan dari anaknya itu.“Ibu bikinin kopi ya?” Bu Rinta meletakkan sapunya begitu saja dekat Kemal. Tanpa menunggu jawaban dari Kemal, Bu Rinta menuju dapur. Dan dalam waktu kurang dari lima menit dia sudah kembali dengan secangkir kopi instan.“Gimana? Dapat berapa juta dari Galih Sukma? Atau milyar ya, Mal?” tanya Bu Rinta seraya menghempaskan pantatnya ke sofa dekat Kemal. Wajahnya begitu serius.“Aduh, sabar dong, Bu. Masa langsung duit-duit aja,” gelak Kemal.Kemal melirik, tersenyum lagi. Namun dia tidak segera menjawab, dia lebih memilih untuk mengangkat cangkir kopinya. Menyeruput pelan-pelan sembari memejamkan mata. Jelas sekali dia sengaja menggoda ibunya.Bu Rinta
Mama Erna menghela napas. Dia menatap Kemal, lalu perlahan menyingkirkan tangan Fenita yang melingkari sekitar kedua pundaknya.“Mama kan sudah bilang, Fe. Papa kamu itu bukan orang sembarangan, kita tidak punya pilihan selain menurut apa katanya,” desah Mama Erna.Fenita dan Kemal berpandangan. Fenita bisa melihat, ada secuil senyum yang coba disembunyikan oleh Kemal, meski akhirnya senyum itu tidak jadi terkembang sempurna.“Jadi kita akan balik ke kantor Pak Galih?” Mama Erna melihat kepada Fenita.“O-oh, aku lupa menanyakan hal itu,” desis Fenita. “A-aku terlalu gugup tadi.”Kemal gegas menangkap tangan Fenita. “Nggak apa-apa, Sayang. Kita bisa—”“Mama telpon saja Pak Galih,” potong Mama Erna seraya meraih tasnya. Dan dalam sekejap tangannya sudah membawa telepon genggam ke telinga kanannya.Fenita melebarkan mata. Sejak kapan Mama Erna punya nomor Pak Galih? Rasa penasarannya yang menggunung terpaksa dia tahan, sebab dia melihat mamanya mulai bicara dengan nada amat formal dan se
Untuk sampai ke kantor Pak Galih, ternyata Mama Erna membawa mobil dan sopir pribadinya. Maka mereka bertiga pun pergi dari situ dengan memakai kendaraan tersebut.Mama Erna mempersilakan Fenita untuk memilih tempat makan. Dan dia setuju saat Fenita menunjuk sebuah resto jepang yang kelihatannya cukup privasi untuk membahas permintaan Pak Galih tadi.Sampai di resto, mereka duduk dengan sikap canggung. Saat pelayan datang, ketiganya memilih menu secara acak saja tanpa banyak pertimbangan. Baik Fenita, Kemal maupun Mama Erna kompak meminta dipilihkan menu yang dapt tersaji dengan cepat.Dan tidak perlu menunggu waktu lama, masing-masing dari mereka sudah menghadapi makanan.Begitu pelayan mundur, Fenita mulai menceritakan tentang pertemuan dengan ayahnya, sekaligus permintaan yang dia maksud tadi.“Jadi Pak Galih ingin mengumumkan Sayang sebagai anak biologisnya secara resmi?” Mata Kemal membulat. Dia terlihat tidak percaya dengan apa yang baru saja diceritakan oleh sang kekasih.“Yang
Keira menatap suaminya dengan sedikit sangsi. Dia tahu, pemuda yang mengaku sebagai tunangan Fenita itu sedikit berbahaya. Tentang kisah kelam ini pun terkuak sebab Kemal tiada henti membombardir media sosial milik Galih yang dikelola oleh seorang admin.Dari laporan admin yang memegang akun itulah kemudian Galih memerintahkan tim pengacaranya untuk menyelidiki kebenaran berita yang dihembuskan Kemal. Nyatanya, semua pesan-pesan yang Kemal kirimkan tiada henti selama tiga hari berturut-turut, benar adanya.Saat itu Galih langsung mengumpulkan orang-orang kepercayaannya untuk membahas hal tersebut. Dan diputuskan bahwa demi masa depan karir politiknya, mau tidak mau Galih harus merangkul Fenita. Sebab jika tidak, Fenita justru dapat menjadi bumerang yang membuat segala sesuatu yang sudah dia tanam dari lama akan berantakan.“Tenanglah, Ma. Semua aman terkendali,” ujar Galih seraya mengecup dahi sang istri.“Mama kok jadi kepikiran kalau Kemal itu sebenarnya hanya mengincar uang kita sa
Suami istri itu lagi-lagi berpandangan. Lalu saling melempar senyum.“Fenita,” ujar Keira sembari mengelus punggung tangan Fenita. “Mungkin kamu sudah tahu bahwa masa lalu Papa dan Mama kamu dapat merusak reputasi Papa kamu jika sampai didengar lawan politiknya….”Keira sengaja berhenti bicara. Elusan di punggung tangan Fenita semakin dia tekankan. “J-jadi… jadi k-kami ingin minta bantuan kamu.”“Bantuan?” Mata Fenita membelalak. “Bantuan bagaimana, Bu?”Keira dan Pak Galih mengangguk bersamaan.“Bantuan yang sangat berarti untuk Papa, Fe,” sahut Pak Galih. “Tapi kita akan sama-sama diuntungkan kok.”“Ya betul!” sambung Keira. Nadanya sedikit naik.Ketiga orang di dalam ruangan itu pun saling menatap satu sama lain. Fenita dengan tatapan bingung. Sedang Keira dan Pak Galih seperti saling melemparkan sebuah kode.Pada akhirnya Pak Galih yang terlebih dahulu memecah kebuntuan. Setelah dia menghela napas, dia berbicara, “Bisakah pertemuan kita ini, kita angkat ke publik?”“Hah? Gimana?”