DENGAN kepala masih diliputi keheranan, Seta mau tak mau ladeni empat prajurit yang menyerangnya. Segunung pertanyaan yang muncul di benak harus dibenamkannya dalam-dalam.
Sementara itu empat mata pedang yang terarah ke tubuh Seta semakin mendekat. Terarah pada empat bagian berbeda. Yakni dada, perut, punggung, dan batang leher.
Keempatnya merupakan sasaran mematikan. Serta datang dari empat penjuru mata angin sekaligus! Berkelebat cepat mengeluarkan suara berkesiau nan menggidikkan.
Wuttt! Wuttt!
Seta tentu saja tak mau mati konyol. Sembari menggeram kasar tangannya bergerak cepat. Lalu, sret! Ia kembali mencabut pedang yang tergantung di pinggang.
Dalam satu gerakan cepat sang prajurit bergerak memutar. Pedang di tangannya digerakkan sedemikian rupa membentuk tameng. Mementahkan semua sambaran pedang yang menuju ke tubuhnya.
Trang! Trang! Trang!
Suara berdentrangan keras menggema
TANPA perlawanan lagi Seta akhirnya berhasil diringkus. Setelah dikeluarkan dari dalam jaring perangkap, kedua tangan sang wira tamtama diikat kencang-kencang ke belakang tubuh.Seisi gua lantas digedelah. Apa-apa yang dirasa terkait dengan komplotan Ranajaya dibawa sebagai barang bukti. Sedangkan anak buah lelaki tersebut dibawa semuanya, termasuk mereka-mereka yang terluka.Setelah itu barulah para prajurit Jenggala itu bergerak keluar dari gua. Terus turun melintasi air terjun. Lalu berarak menyusuri jalan setapak di sela-sela semak belukar.Seta yang menjadi tawanan ditempatkan bersama-sama Ranajaya dan anak buahnya. Membuat sang prajurit merutuk panjang-pendek di dalam hati."Sial! Seharusnya lelaki jahanam itu sudah mati di tanganku tadi. Yang terjadi kemudian malah begini. Dasar bodoh!" makinya pada diri sendiri.Sepanjang perjalanan itu Seta harus menahan kesal. Pasalnya ia berjalan tepat di bel
TUMPUKAN kulit padi yang terserak di lantai dengan mudah terlalap api. Gabah yang disusun tinggi kemudian ikut terbakar. Dengan cepat kobaran api pun membesar. Melalap apa saja yang ada di sana.Seta menjadi tegang. Benda panas kemerahan tahu-tahu saja sudah melingkar di sekelilingnya. Hawa panas menyengat seketika menyergap kulit sang prajurit. Keringatnya bercucuran deras.Sementara di tempat lain, Ranajaya tampak menyeringai lebar. Tatapan matanya menyorotkan kesenangan yang berbalut kebengisan. Lalu tawa lelaki bercambang bauk itu pecah membelah keheningan malam."Tolong! Tolong aku!" jerit Seta ketika api mulai merayap, membakar sekujur tubuhnya.Sang prajurit coba gerakkan tangannya yang terikat erat, namun sia-sia. Anehnya, kakinya yang tak terikat tiba-tiba saja menjadi lemah. Tak dapat pula digerakkan.Ketakutan merayapi diri Seta. Bukan karena menyadari dirinya bakal mati terbakar. Lebih-lebih
BENAR dugaan Seta. Tak lama kemudian muncul beberapa sosok di tempat tersebut. Mereka berhenti tepat di hadapan ruang tahanan Seta.Seta sontak berdiri. Sepasang matanya memandang tak berkesip pada sosok-sosok tersebut. Yang tak lain beberapa orang prajurit, dipimpin seorang perwira rendah."Buka!" seru perwira rendah tersebut dengan kasar. Memberi perintah pada prajurit yang bersamanya.Salah seorang prajurit melangkah maju. Tangannya yang memegang kunci bergerak. Membuka gembok pada pintu ruang tahanan. Diiringi suara berisik nyaring beradunya logam.Belum sepenuhnya pintu ruang tahanan terbuka, perwira rendah tadi sudah masuk ke dalam."Ah, Seta! Sungguh tidak aku sangka ternyata kau benar-benar masih hidup," ujar perwira rendah tersebut begitu berada di hadapan Seta.Yang diajak bicara beri sikap menghormat. Bagaimanapun Seta hanyalah seorang wira tamtama, sedangkan orang di hadapannya it
AKIBAT terlalu sibuk mencari-cari pedangnya yang entah di mana, Seta menjadi lengah. Sambaran pedang dua prajurit di hadapannya semakin dekat. Terlihat sulit dihindari.Untung saja kesadaran Seta pulih di saat yang tepat. Sejengkal lagi mata tajam dua pedang menggores kulitnya, sang wira tamtama Jenggala cepat lengkungkan punggung ke belakang. Diturunkan serendah mungkin.Wuutt! Wuutt!Sambaran dua pedang hanya menemui udara kosong. Lewat satu jengkal di atas perut Seta.Sang prajurit lantas ulurkan kedua tangannya, mencapai lantai ruangan. Dalam sekali sentak, tubuhnya kemudian berjungkir balik menjauhi lawan.Sembari berjungkir balik begitu, kedua kaki Seta dihantamkan ke depan. Menendang pergelangan tangan dua prajurit yang masih terbengong-bengong karena serangan mereka meleset.Des! Des!“Aaaa!”Yang ditendang berseru kaget. Tubuh mereka sontak terjajar
MELIHAT empat prajurit yang dibawanya dirobohkan Seta, si perwira rendah jadi menggeram marah. Kedua tangannya dilipat ke pinggang. Tatapan matanya nyalang memerah menatap sang wira tamtama.Meski demikian diam-diam perwira rendah tersebut memuji di dalam hati. Mau tak mau ia harus mengakui jika kemampuan Seta sudah meningkat pesat.“Hmm, rupanya dia menghilang selama ini untuk memperdalam kemampuan olah kanuragan. Pantas saja empat prajurit pilihan yang aku bawa tadi dapat dikalahkannya,” batin perwira rendah tersebut.“Benar perkiraanku. Adalah keputusan bodoh tidak langsung menghabisinya saat berada di Gua Selogiri waktu itu. Prajurit satu ini bisa jadi duri dalam daging bagi rencanaku!” tambah sang perwira rendah.Sementara itu Seta melangkah mendekat. Lalu berhenti sejarak satu depa (sekitar 1,86 meter) dari hadapan perwira rendah di hadapannya.“Aku tidak menyangka ka
SETA lantas melangkah keluar dari dalam ruang tahanan. Namun baru saja tangannya membuka pintu ruangan tersebut, terdengar suara berdesing dari arah belakang.Sing!Sontak Seta miringkan tubuhnya ke samping. Sebilah pedang lewat persis satu jengkal dari bahunya.Pucatlah wajah sang prajurit mengetahui hal itu. Sempat terlambat menghindar, pasti batang lehernya sudah kena babat putus oleh sambaran pedang tajam tersebut.“Pembokong keparat!” geram Seta.Sembari berkata begitu sang prajurit balikkan badannnya. Sebelah kakinya terangkat, melepas satu tendangan memutar ke arah pembokong di belakang.Des!“Aaaa!”Serangan balasan yang tak disangka-sangka itu mendarat telak di rahang lawan. Terdengar jeritan mengaduh. Lalu berisik suara tembok ruang tahanan terhantam benda besar lagi berat. Ditutup nyaring bunyi berkelontangan.Rupanya yang baru saja melakukan bokongan adalah salah
SEBAGAI prajurit, Seta tentu paham seluk beluk keraton. Bahkan juga kawasan jeron beteng Kkotaraja. Karenanya ia tahu saat itu dirinya sedang berada di mana.Hal itu membuat sang prajurit dapat dengan mudah menyelinap dari satu bangunan ke bangunan lain. Dari satu sudut tersembunyi, ke sudut yang lain.Sementara dari kejauhan, terdengar suara ramai teriakan banyak orang. Seta tajamkan pendengaran. Tak lama kemudian gerahamnya bergemeletuk keras.“Sial! Para prajurit di ruang tahanan bawah tanah itu pasti sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi,” batin Seta gusar.Sang prajurit lantas arahkan pandangan matanya ke sekeliling. Mengamat-amati keadaan. Terlihat olehnya beberapa orang magalah (prajurit bersenjata tombak) berdiri siaga di gerbang-gerbang yang memisahkan bangsal-bangsal besar di dalam keraton tersebut.Setelah menimbang-nimbang sesaat, Seta berkesimpulan akan lebih mudah baginya untu
MATAHARI belum lagi tenggelam sempurna di ufuk barat. Namun hawa dingin mencucuk tulang sudah menyungkupi seantero kaki Gunung Kampud.Di beberapa tempat bahkan tampak kabut mengambang di udara senja. Hewan-hewan malam pun mulai unjuk suara. Walau masih terdengar perlahan, seolah malu-malu.Sesore itu Sitadewi sudah unjuk diri di kajaliran yang ada di Penginapan Sekarwangi. Tak biasanya ia datang ke sana sebelum gelap datang.Denyut kajaliran baru mulai terasa saat malam telah benar-benar kelam. Sebelum itu, para jalir lebih suka menghabiskan waktu mereka di dalam kamar masing-masing.“Tumben, Sita?” tegur salah seorang wanita pekerja penginapan begitu melihat kemunculan gadis itu.Yang ditegur hanya tersenyum manis. Tak menanggapi sepatah kata pun. Langkahnya diteruskan menuju ke satu ruangan kecil di sudut penginapan. Tempat di mana Ki Palakrama biasa berada.Perempuan itu ingin
Seta menunggu hingga matahari tergelincir dari ubun-ubun. Saat itu, kebanyakan abdi dalem akan sibuk di bangsal tengah—membersihkan ruangan utama setelah santap siang para pembesar. Waktu yang tepat untuk menyusup ke bangsal timur, tempat Wadu tinggal sebelum ia menghilang entah ke mana.Seta memilih jalan belakang, melalui lorong-lorong sempit yang biasa dilalui pengangkat air dan pemikul kayu. Langkahnya ringan, tubuhnya setengah bersembunyi di balik tiang dan tabir. Ia tahu betul, satu kesalahan kecil bisa membuatnya diadili karena menyusup ke ruang kediaman abdi dalem tanpa izin.Bangsal timur sunyi. Di luar, hanya ada satu penjaga yang duduk malas sambil mengunyah sirih. Seta menunggu sampai penjaga itu lengah, lalu menyelinap masuk lewat pintu samping.Ruangan itu gelap, lembap, dan penuh bau keringat. Tikar pandan digelar berderet, menunjukkan bahwa tempat itu dihuni beberapa orang sekaligus.Seta melangkah pelan, menyusuri sudut demi sudut h
Langkah Seta tak langsung menuju ke barak. Pagi itu, setelah meninggalkan kediaman permaisuri, ia berputar arah ke sisi belakang istana.Di sanalah dapur besar kerajaan berdiri, nyaris tak pernah sepi sejak fajar. Asap tipis mengepul dari tungku tanah liat, aroma rebusan daging dan beras merah bercampur dengan harum dedaunan segar yang baru dipotong.Seta menyusup di antara para pelayan yang sibuk, menyapa sekadarnya agar tak tampak mencurigakan. Pandangannya mencari satu nama—Ni Lastri, juru masak kepala yang sudah puluhan tahun mengabdi di istana permaisuri.Tak lama, ia menemukan orang yang dicari-cari di balik anyaman tikar bambu, tengah membersihkan lembaran-lembaran daun pisang.“Ni Lastri…” Seta menyapa dengan suara rendah.Perempuan tua itu menoleh cepat, sedikit heran. “Oh, Raden Seta? Ada angin apa pagi-pagi kemari?”“Tidak usah panggil raden. Aku… aku hanya abdi bi
Cahaya pagi menyelusup pelan ke balik tirai sutra kamar permaisuri Panjalu. Suasana cerah yang sangat berlawanan dengan kabar muram yang akan disampaikan Seta pada pemilik tempat ini.Burung-burung belum lama berkicau di taman dalam ketika Seta melangkah masuk, menunduk hormat di hadapan Sasi Kirana yang telah duduk di bangku rendah, mengenakan kain selendang tipis warna biru senja. Rambutnya masih basah setelah mandi, dan matanya sembab. Entah karena lelah, atau ada sesuatu yang ia rasakan sejak semalam.“Ada apa pagi-pagi begini kau menghadapku, Seta?” bisiknya lirih. Seakan tahu gelagat, ia menyuruh pelayannya mundur menjauh sehingga kini dirinya dan Seta seakan tengah berbicara empat mata.Seta menunggu sampai pintu ditutup rapat. Barulah ia menjawab. “Lira… pelayan Gusti… tewas dibunuh.”Sasi Kirana tersentak. Nafasnya tercekat. “Apa maksudmu?” tanyanya, nyaris tanpa suara.“Tadi malam, h
Dini hari turun pelan-pelan seperti kabut, menyusup lembut ke balik dinding-dinding bata dan atap genteng istana Panjalu.Seta belum tidur sejak semalam. Ia terus berjaga di serambi belakang tempat dapur istana berada, matanya tak lepas dari lorong kecil yang tembus ke arah sumur tua. Tempat itulah yang semalam menjadi jalur Wadu menghancurkan sepotong surat.Di balik tembok, waktu terasa beku. Sesekali terdengar suara kelelawar, sesekali suara tikus kecil di sela-sela kayu. Namun malam itu, ada sesuatu yang berbeda.Seta yang duduk memeluk lutut perlahan menegakkan tubuh. Sebuah langkah ringan terdengar—terlalu ringan untuk seorang lelaki, dan terlalu gelisah untuk sekadar pelayan menuju sumur.Dari celah bayangan, tampak sekelebat sosok perempuan berjalan pelan-pelan membawa kendi. Baju pelayannya kusam oleh lembab dini hari, rambutnya digelung seadanya, seolah terburu-buru. Ia menoleh dua kali ke belakang, seperti takut ketahuan.Seta meng
Seta memilih untuk tidak menanggapi secara terburu-buru. Sejak semula, ia tidak ingin kehadirannya di istana Panjalu memancing perhatian. Maka ia menahan diri, hanya memperhatikan dari balik bayang-bayang pilar batu di serambi samping ketika sosok abdi muda itu keluar dari bilik dapur pembantu. Gerak-geriknya terlalu tenang—terlalu teratur untuk ukuran pelayan baru.Tiap pagi, pelayan itu muncul lebih cepat dari yang lain, dan tiap malam ia pulang paling lambat. Namun ada satu hal yang membuat Seta semakin curiga: ia tak pernah terlihat berbincang dengan siapa pun. Tak ada senda gurau, tak ada obrolan remeh-temeh seperti yang biasa dilakukan para abdi muda lainnya. Ia hanya diam, bekerja, dan sesekali menghilang dari pandangan.Malam itu, selepas membasuh diri dan bersantap malam seadanya di bilik dalam, Seta diam-diam mengikuti langkah pelayan muda itu dari kejauhan. Ia menunggu sampai hampir seluruh isi istana permaisuri tertidur. Ketika suara malam tinggal des
Tak terasa, sudah nyaris sepekan Seta menetap di istana Panjalu. Ia tinggal diam-diam di bangsal kecil dekat taman belakang, bagian dari kompleks kediaman Permaisuri Sasi Kirana.Bangunan itu dahulu tempat istirahat emban dan pelayan istana. Letaknya agak terpencil, dikelilingi pepohonan dan jalan setapak, membuatnya tempat yang ideal untuk sembunyi dari mata pengintai.Sasi Kirana sendiri yang mengatur semuanya. Tak banyak pelayan yang tahu bahwa ada seorang tamu rahasia yang diam-diam tinggal di sana. Ia hanya mempercayakan hal itu pada dua emban tua dan satu pengawal muda yang telah bersumpah setia padanya sejak masih menjadi puteri Jenggala.Namun ketenangan itu mulai terusik.Sejak fajar tadi, Seta merasa ada yang ganjil. Seorang pelayan baru tampak mondar-mandir di sekitar lorong yang menghubungkan dapur ke taman belakang.Gerak-gerik pelayan itu terlalu hati-hati di mata Seta, terlalu memperhitungkan langkah. Seperti seseorang yang ingin ter
Di istana, Seta tidak mengetahui bahwa bayang-bayang bahaya mulai mengintai. Ia tetap menjalankan tugasnya tanpa cela, dengan sikap penuh siaga.Setiap pagi, ia mengiringi Sasi Kirana ke taman, juga mengikuti Dyah Ardana berlatih menulis dan bermain di sana.Seta belum menyadari jika setiap gerak-geriknya terus diawasi dari kejauhan.Sudut belakang pasar tua Kotaraja menjadi tempat mata-mata Dyah Srengga mengintai istana permaisuri. Seperti petang itu, ketika dua orang bersandar di tembok bata sambil berbincang pelan.“Sudah aku pastikan kebenerannya. Rombongan Permaisuri dari Jenggala sudah kembali ke timur dua hari lalu,” kata salah satu dari mereka, berselendang kusam dan memakai caping lebar. "Namun rupanya ada satu yang tampaknya sengaja ditinggalkan di sini."“Maksudmu, pengawal yang tengah mengiringi Sasi Kirana dan Dyah Ardana itu?”“Ya, benar sekali. Laki-laki itu membuatku curiga. Dia masuk ke dalam istana Permaisuri Panjalu sebagai anggota rombongan dari Jenggala. Namun seka
Hari-hari pertama di istana Panjalu terasa seperti babak baru bagi Seta. Sebagai prajurit, ia telah menjalani banyak tugas berat, tetapi tak satu pun seperti yang kini diembannya—menjadi bayangan di belakang permaisuri Panjalu dan putranya yang seorang calon penerus takhta, tanpa boleh mengungkapkan jati diri yang sebenarnya.Seta ditempatkan di lingkungan dalam istana sebagai bagian dari pengawal keluarga raja, tetapi tidak satu pun menyadari bahwa ia bukan sekadar prajurit biasa. Terlebih dalam kesehariannya Seta mengenakan busana dan ikat kepala khas abdi Panjalu, tidak mencolok namun tetap gagah.Sikapnya tenang, selalu menjaga jarak yang tepat, dengan tatapan matanya tajam tapi sopan—ciri khas prajurit berpengalaman.Pembawaan itu membuat Sasi Kirana dan putranya, Dyah Ardana, cepat menyukai kehadiran Seta. Sang calon putera mahkota bahkan mulai sering meminta diajak berlatih pedang-pedangan kayu, dan Seta dengan sabar meladeni, meski tak lupa selalu berjaga di sekeliling mereka.
Rombongan Permaisuri Jenggala akhirnya tiba di gerbang megah istana Panjalu menjelang senja. Suara genderang dan tiupan seruling mengiringi kedatangan mereka, sementara para pelayan istana dan prajurit berbaris rapi di halaman depan.Sri Prabu Kamesywara berdiri di tangga utama bersama Sasi Kirana dan puteranya yang masih kecil, Dyah Ardana. Wajah mereka berseri-seri menyambut kedatangan sang tamu agung.“Selamat datang di Panjalu, Ibunda Permaisuri,” Sri Prabu Kamesywara menyambut dengan suara lantang, langkahnya mantap menuruni tangga. Ia membungkuk hormat, diikuti Sasi Kirana yang tersenyum hangat.“Terima kasih, Ananda Prabu,” Permaisuri menjawab lembut, turun dari kereta kencana dengan bantuan mbok emban. Wajahnya sedikit letih, tetapi masih memancarkan wibawa yang anggun.Dyah Ardana berlari kecil menghampiri eyangnya, kedua tangannya terangkat tinggi memohon pelukan. Permaisuri menyambutnya dengan penuh kasih sayang, membela