Di vila Keluarga Subroto.Farel dan Barra kembali. Wajah mereka masih dipenuhi keterkejutan sekaligus kelegaan. Untung saja, mereka tidak benar-benar menyinggung Afkar!Bayu, Tara, Heru, dan Karen sedang duduk di ruang tamu. Mereka menikmati teh sambil menunggu kabar. Semua orang penasaran dengan hasil malam ini."Karen, kamu menang," ujar Farel sambil tersenyum getir. Suaranya terdengar agak lesu."Menang?" Karen mengangkat alisnya, lalu tersenyum. "Sudah kuduga! Aku sudah bilang, 'kan?"Karen bertanya dengan penasaran dan antusias, "Afkar benaran mengalahkan semua ahli Keluarga Safira sendirian? Pertempurannya pasti sangat sengit dan mengagumkan, 'kan?"Bayu dan Tara juga menatap Farel dengan tatapan penasaran. Apa benar Afkar berhasil melakukannya sendirian? Mereka juga ingin mengetahui kejadian spesifiknya.Namun, Farel hanya tersenyum getir dan menggeleng. "Memang mengagumkan, tapi nggak terlalu sengit."Farel menjulurkan satu jarinya. "Satu tendangan! Cuma dengan satu tendangan,
Musaf si berengsek ini tidak menceritakan kejadian yang sebenarnya sebelumnya!"Barra, bawa dia pergi! Jangan sampai aku melihatnya lagi!" pekik Farel sambil menunjuk Musaf dengan penuh amarah.....Keesokan pagi.Mungkin sebagai hadiah atas kontribusi Afkar semalam, Felicia akhirnya melepaskan Afkar hari ini. Dia tidak menyiksa Afkar di perusahaan.Setelah mengantar Felicia ke perusahaan, Afkar pergi ke daerah pegunungan di pinggiran kota dan mendaki ke puncak gunung, tempat dia membuat terobosan malam itu.Energi spiritual di kota dan di pegunungan berbeda. Meskipun sama-sama tipis, perbedaan tetap ada.Setelah menembus tingkat pembangunan fondasi, Afkar yang tidak mengalami hambatan pun melanjutkan latihan dengan penuh semangat.Peristiwa semalam membuat Afkar semakin sadar betapa pentingnya kekuatan. Meskipun sekarang adalah masyarakat peradaban, hukum alam yang berlaku tidak pernah berubah, yaitu yang kuat yang bertahan dan yang lemah yang punah.Sayangnya, di dunia modern ini, en
Wajah Namish seketika menunjukkan kepanikan, lalu tersenyum dan berdalih, "Sebentar lagi musim gugur, dua kolam itu menarik nyamuk, bukan? Jadi, aku suruh orang untuk menutupnya.""Oh, begitu ya ...." Mateo mengangguk, menatap Namish dalam-dalam, lalu tidak berkata apa-apa lagi.Detik berikutnya, dia mengeluarkan sebuah desain dan meletakkannya di depan Namish. "Pak Namish, halamanmu ini luas sekali, harus diatur dengan baik! Ini adalah desain baru yang kubuat untukmu. Coba lihat, apakah tata letaknya memuaskan? Maksudku, di kedua sisi pintu masuk utama manor ini, pasanglah dua patung hewan pembawa rezeki, lalu ...."Mateo mulai menjelaskan idenya kepada Namish.Namun, pikiran Namish benar-benar kacau. Dia sama sekali tidak mengerti tentang hal ini. Yang ada di pikirannya hanyalah kekhawatiran dan kecurigaan. Dia merasa Mateo pasti ingin memasang fengsui buruk untuk mencelakai keluarganya."Pak Namish, gimana menurutmu?""Pak Namish? Lagi mikir apa?" tanya Mateo setelah selesai menje
Afkar mengusap kepala Shafa dan menenangkannya dengan lembut."Bu Laura, orang tua Shafa sudah datang," kata Nia sambil melirik Afkar dan memberi tahu ibu muda berambut ikal itu.Kepala sekolah paruh baya menatap Afkar dengan ekspresi datar, lalu segera menggantinya dengan senyum lebar dan berkata kepada wanita itu, "Bu Laura, pihak kami memang ada kekurangan dalam pengawasan. Saya meminta maaf atas hal itu. Namun, tanggung jawab lebih besar ada di pihak sana. Bukankah begitu?"Laura, wanita muda berambut ikal itu, melangkah mendekat, lalu menunjuk Afkar dan bertanya dengan nada ketus, "Gimana sih kamu mendidik anakm? Masih kecil sudah belajar mukul orang! Mau jadi apa dia nanti? Lihat, anakku sampai babak belur begini!"Sambil berbicara, dia menarik anak lelakinya, Conan, ke depan untuk menunjukkan kondisinya kepada Afkar. Anak lelaki bernama Conan itu memang terlihat lebam di hidung dan wajahnya."Papa, dia yang narik rokku duluan," kata Shafa dengan wajah sedih sambil melambaikan ta
Laura menatap Afkar dengan penuh amarah dan berkata dengan tajam, "Dengar nggak? Minta maaf sekarang, atau tampar dirimu sendiri beberapa kali! Atau mau aku sendiri yang turun tangan?"Sambil berbicara, Laura menunjuk hidung Afkar dengan sikap mengancam, seolah siap untuk menampar kapan saja."Papa! Shafa bikin masalah, ya? Kalau begitu, Shafa minta maaf saja ke Conan ...." Shafa yang memeluk kaki Afkar dengan panik, berkata dengan suara pelan. Meskipun merasa tertekan, dia lebih tidak ingin ayahnya dipermalukan di depan umum.Mendengar ucapannya, Laura tertawa sinis. "Dengar nggak? Anak kecil saja lebih tahu diri daripada kamu!"Conan semakin sombong. Dia menunjuk-nunjuk ke arah Shafa sambil berkata, "Hah! Berani lawan aku? Papa dan mamaku lebih hebat daripada papamu!"Kepala sekolah dan Nia memandang Afkar dan Shafa dengan wajah puas. Bagi mereka, ini semua terjadi karena Shafa yang membuat mereka harus meminta maaf setengah mati kepada Laura.Afkar menggenggam tangan kecil Shafa, la
Namun, di detik berikutnya ....Bahkan sebelum mereka sempat mendekati Afkar, satu per satu satpam itu langsung terlempar ke udara. Adegan ini membuat Laura dan Tarno terkejut. Mereka langsung berhenti bergerak. Conan langsung melompat ketakutan dan bersembunyi di belakang kedua orang tuanya.Kepala sekolah dan Nia juga menunjukkan ekspresi terkejut. Mereka tidak menyangka bahwa ayah Shafa ternyata begitu tangguh."Kamu ... kamu masih berani mukul orang? Apa kamu tahu ...." Dengan wajah muram, Tarno mencoba berbicara.Namun, sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya, Afkar sudah melayangkan tamparan keras. Tarno terlempar ke lantai dan berputar-putar sebelum akhirnya terjatuh. Bahkan beberapa giginya copot dan berdarah.Afkar sebenarnya sudah menahan tenaganya. Jika tidak, tamparan itu cukup untuk membuat Tarno pingsan atau bahkan lebih buruk lagi."Kamu cari mati! Aku ...." teriak Laura penuh kebencian begitu melihat suaminya dipukul.Plak!Namun, Laura juga menerima tamparan keras
Mengingat Shafa akan merasa sedih mendengar dirinya dikeluarkan, Afkar merasa marah. Afkar tidak keberatan jika kepala sekolah itu tidak berpihak padanya saat dia berkonflik dengan Tarno tadi. Namun kini, kepala sekolah itu malah mau mengeluarkan Shafa untuk menyenangkan hati Tarno dan istrinya."Shafa tenang saja, Ayah nggak akan biarkan kamu dikeluarkan! Percaya sama Papa ...," hibur Afkar dengan suara lembut."Ya! Papa, Shafa nggak mau dikeluarkan. Aku mau sekolah ...," ucap Shafa dengan mata berkaca-kaca dan wajah memelas."Haha ... nggak akan dikeluarkan? Kamu lagi bohong anakmu ya? Asal tahu saja, kalau kamu berani mukul kami, anakmu pasti akan dikeluarkan dari sekolah ini!" ejek Laura sambil tertawa setelah mendengar ucapan Afkar."Sialan, sudah nyinggung aku, masih berani mau sekolah di sini? Jangan mimpi!" maki Tarno."Pak Afkar, nanti datang ke kantor kepala sekolah, aku akan kembalikan semua uang sekolahnya padamu. Mulai besok, anakmu nggak usah datang lagi!""Sekolah ini ng
"Kamu bilang apa? Kamu mau telepon Pak Namish? Kamu pikir kamu siapa?" Kepala sekolah mendengus sambil melipat tangan di dada."Pura-pura saja! Ini trik yang biasa digunakan orang-orang dari kalangan bawah!" Nia juga memandang Afkar dengan tatapan merendahkan."Hahaha! Kamu punya nomor pamanku? Ayo, aku kasih nomor dia! Hubungi dia, aku mau lihat apakah dia mau repot-repot menjawab teleponmu!" Tarno tertawa terbahak-bahak, seolah-olah mendengar lelucon terbesar dalam hidupnya.Afkar mengabaikan ejekan mereka, lalu mengambil ponselnya dan langsung menelepon."Masih mau pura-pura?" Kepala sekolah mencibir lagi.Namun pada saat itu, suara dering ponsel terdengar nyaring di luar kantor.Ternyata, Namish sudah berada di lokasi. Setelah mendapat informasi dari orang kepercayaannya bahwa Afkar sedang berada di TK Asri, dia langsung bergegas ke sana."Halo? Pak Afkar! Akhirnya kamu mengangkat teleponku." Suara seorang pria paruh baya terdengar dari luar dengan sangat sopan dan penuh hormat. "A
"Hehe ...." Afkar terkekeh-kekeh tanpa emosi, mengangkat bahu dan berkata, "Ya sudah kalau nggak percaya! Tadi kalian bilang demi Gulzar, kalian rela melakukan apa saja. Sekarang malah menjilat ludah sendiri. Apa gigimu lebih berharga daripada nyawa Gulzar?"Mata Gael berkilat beberapa kali. Dia mengedarkan tatapan bahaya ke Yola. Merasakan tatapan itu, Yola langsung merasa gugup dan berkata dengan panik, "Pak Gael, dia cuma bicara omong kosong! Orang ini sengaja memanfaatkanmu. Dia punya dendam padaku, makanya bicara seperti itu! Jangan percaya dia, kumohon!”"Pak Gael, jangan ...." Victor juga bersuara dengan panik.Namun, Gael sudah bertindak. Dia mencengkeram rambut Yola dengan ekspresi marah. Lebih baik percaya daripada tidak!Lagi pula, dia sudah lama merasa kesal terhadap Yola. Tuan muda mereka bersama wanita ini sebelum kecelakaan terjadi! Membayangkan dirinya harus menghadapi amarah Keluarga Samoa setelah pulang, Gael semakin marah!"Kamu ini pembawa sial! Kalau bukan karena k
"Berhenti!" Yola langsung panik dan berteriak dengan nada melengking. Dia segera berdiri di depan Afkar untuk menghalangi jalannya. "Afkar, hari ini kamu harus menyelamatkannya apa pun yang terjadi!""Oh? Kamu pikir kamu bisa menghalangiku? Atau kamu berharap dia bisa menghentikanku?" tanya Afkar sambil menunjuk Gael, lalu melirik para pengawal Keluarga Permono. "Atau mungkin kamu berharap pada sampah-sampah ini?""Kamu ...." Yola langsung terdiam, wajahnya memerah karena marah dan malu.Sebelumnya, Afkar sempat berhadapan langsung dengan Gael dan tidak kalah sedikit pun. Jika dia benar-benar menolak menyelamatkan Gulzar, orang-orang yang ada di sini memang tidak bisa menghentikannya.Namun, jika Afkar pergi begitu saja, mereka tentu akan menghadapi pembalasan dendam Keluarga Samoa, termasuk Yola. Bahkan, seluruh Keluarga Permono mungkin akan menanggung kemarahan Keluarga Samoa.Putra bungsu Keluarga Samoa mati di sini. Keluarga Samoa tidak akan peduli apakah itu disengaja oleh Yola at
Detik berikutnya, mata direktur itu membelalak, seolah-olah melihat hantu. Dia menatap Mateo yang berdiri di belakang Afkar."Hehe, kenapa memangnya kalau aku bisa?" Afkar menatapnya sambil bertanya dengan nada nakal."Ini ... ini ... gimana mungkin? Kenapa dia hidup? Ini ... ini nggak mungkin!" Direktur itu menunjuk ke arah Mateo dengan ekspresi tidak percaya.Beberapa dokter lainnya juga tampak sangat terkejut. Melihat Mateo yang berdiri di samping Afkar, mereka hampir mengira Mateo bangkit dari kematian.Hidup? Orang yang sebelumnya telah dinyatakan akan meninggal, yang menurut mereka pasti tidak akan selamat, sekarang berdiri di sana hidup-hidup?"Apa yang terjadi?" tanya Gael dengan bingung saat melihat reaksi para dokter.Yola dan Victor juga menampilkan ekspresi penuh keraguan. Sebelumnya, di ruang gawat darurat, Mateo terbaring di sana. Mereka hanya tahu ada pasien yang sekarat menggunakan ruang gawat darurat, tetapi tidak melihat siapa wajahnya."Ini ... dia benar-benar selama
Keluarga Permono berkiprah di bisnis barang antik, sehingga memiliki beberapa rumah lelang berskala besar. Itu sebabnya, Keluarga Permono pernah bekerja sama dengan Keluarga Samoa.Bertahun-tahun yang lalu, Keluarga Samoa tidak dapat mengadakan lelang di lokasi mereka sendiri karena suatu alasan. Jadi, mereka meminjam tempat lelang milik Keluarga Permono. Sejak saat itu, kedua keluarga menjalin hubungan baik.Belakangan ini, Keluarga Samoa mendengar tentang Pil Rejuvenasi yang mulai populer di kalangan kelas atas Kota Nubes. Dikatakan bahwa pil itu memiliki efek luar biasa, bahkan satu butir bisa mencapai harga puluhan miliar.Harus diketahui bahwa sebelumnya di Kota Nubes dan wilayah sekitarnya, bisnis pil semacam ini selalu dimonopoli oleh Keluarga Samoa. Makanya, Keluarga Samoa mengirim seorang pengurus, Gael, untuk menyelidiki asal-usul Pil Rejuvenasi.Namun, putra bungsu Keluarga Samoa, Gulzar, yang dikenal suka bermain dan tidak tertarik belajar seni bela diri keluarga, memanfaat
Apalagi, Keluarga Permono pernah bekerja sama dengan Keluarga Samoa. Mereka sangat memahami betapa kuatnya fondasi Keluarga Samoa.Jika tidak, Victor tidak akan merendahkan dirinya seperti ini di hadapan seorang pengurus Keluarga Samoa."Gulzar pasti baik-baik saja. Ya, pasti," ucap Victor berulang kali."Ya, ya, Gulzar pasti akan selamat!" Yola juga berdoa untuk keselamatan Gulzar.Namun, Gael hanya membalas, "Semoga begitu!"Saat ini, beberapa orang berjalan mendekat dengan santai. Begitu melihat mereka, Yola, Victor, Gael, serta para pengawal Keluarga Permono langsung menunjukkan ekspresi tidak ramah."Afkar, Felicia? Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Yola dengan dingin.Gael menatap Afkar sambil bertanya, "Bocah, aku sedang sibuk dan nggak punya waktu untukmu. Kamu malah sengaja muncul di hadapanku ya?"Afkar tersenyum dingin. "Barusan aku dengar kalian berdoa agar pemuda di dalam sana selamat, 'kan? Heh, sayang sekali .... Aku harus memberitahumu, rumah sakit ini nggak akan
Afkar sebelumnya sempat melirik kondisi pemuda itu dan yakin bahwa rumah sakit tidak akan mampu menyelamatkannya.Dilihat dari sikap Yola dan ayahnya, Afkar merasa ini adalah kesempatan untuk memanfaatkan keadaan. 'Kalian ingin pemuda itu tetap hidup? Oke, mari kita lihat sejauh apa mereka akan bersandiwara!'Selanjutnya, Afkar melanjutkan proses penyembuhan Mateo. Dia terus menyalurkan energi naga ke tubuh Mateo, sekaligus menggunakan teknik akupunktur "Sembilan Vitalitas" dari Kitab Kaisar Naga.Mateo yang awalnya berada di ambang kematian menurut ilmu medis modern, perlahan-lahan menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang luar biasa.Entah berapa lama kemudian, Mateo akhirnya bangun dan turun dari ranjang. Meskipun wajahnya masih agak pucat, dia sudah mampu untuk berdiri dan berjalan."Sekarang kamu cuma perlu istirahat beberapa hari dan semuanya akan pulih sepenuhnya," ucap Afkar sambil tersenyum.Mata Mateo berkaca-kaca. Dia memandang Afkar dengan penuh rasa syukur. Sesaat kemudian, d
Melihat situasi itu, Felicia segera menarik Shafa ke samping. Tatapannya penuh kemarahan saat menatap pihak lawan. Dia tidak menyangka mereka begitu arogan, langsung menyerang tanpa peringatan.Afkar hanya mendengus dingin. Satu tangannya tetap fokus menyalurkan energi naga ke tubuh Mateo, sementara tangan lainnya diangkat untuk menangkis serangan.Bam! Suara benturan keras terdengar disertai dengan getaran udara. Lengan bawah Afkar sontak bertabrakan dengan tulang kering pria berbaju putih.Tap! Tap! Tap! Pria berbaju putih itu mundur tiga langkah sebelum akhirnya bisa berdiri dengan stabil. Sebaliknya, Afkar tetap duduk tegak seperti gunung yang tak tergoyahkan."Kalau mau bersikap sombong, setidaknya becermin dulu! Sudah kubilang, temanku masih butuh perawatan di sini. Pergi sana!" Suara Afkar dingin tetapi berwibawa, menunjukkan posisinya.Wajah pria berbaju putih berubah serius. Dia menatap Afkar dengan mata berkilat ragu. "Bocah, kamu tahu siapa yang sedang kamu lawan?""Tuan mud
Tampak direktur unit gawat darurat masuk dengan tergesa-gesa, ekspresinya penuh dengan ketidaksabaran dan kecemasan!Di belakangnya, beberapa tenaga medis mendorong ranjang rumah sakit darurat. Di atas ranjang itu, terbaring seseorang yang tubuhnya berlumuran darah dan terlihat dalam kondisi sangat kritis.Di samping dan belakangnya, ada banyak orang yang mengikuti. Masing-masing menunjukkan wajah penuh kekhawatiran."Cepat! Selamatkan tuan muda kami!" Seorang pria paruh baya yang berpakaian rapi terus berteriak dengan keras."Kenapa di ruang gawat darurat ini masih ada orang lain? Cepat usir mereka keluar!" Terdengar suara seorang wanita yang tajam, kasar, dan arogan."Siapa mereka? Suruh mereka pergi sekarang juga! Kalau sampai pengobatan tertunda, rumah sakit ini akan menerima akibatnya!" Pria paruh baya lainnya yang mengenakan setelan formal, juga berbicara dengan arogan.Mendengar keributan itu, Afkar yang sedang merawat Mateo pun perlahan-lahan menoleh dengan tatapan dingin. Mata
"Ya sudah, jangan nangis lagi. Papa akan masuk dan melihatnya. Papa nggak akan membiarkan Paman Mateo meninggal."Afkar menghapus air mata Shafa, lalu segera memasuki ruang gawat darurat. Felicia mengikuti di belakangnya.Saat itu, dokter yang baru saja keluar dari ruangan hanya bisa menggeleng mendengar perkataan Afkar. Mereka mengira Afkar hanya berusaha menenangkan anaknya."Kalau pasien masih bisa selamat dalam kondisi ini, berarti dia seorang dewa! Kami saja nggak bisa menyelamatkannya, apa yang bisa dia lakukan?" Kepala dokter itu mencibir, merasa tidak senang dengan pernyataan Afkar.....Di dalam ruang gawat darurat, Mateo terbaring di sana. Darah masih mengalir perlahan dari mulut dan hidungnya.Beberapa alat medis dan tabung telah dilepas, hanya selembar kain putih yang menutupi tubuhnya. Jelas, pihak rumah sakit telah menyerah untuk menyelamatkannya dan langkah berikutnya adalah mengurus jenazahnya.Namun, seolah-olah merasakan sesuatu atau mungkin itu adalah momen terakhirn