Namun, di detik berikutnya ....Bahkan sebelum mereka sempat mendekati Afkar, satu per satu satpam itu langsung terlempar ke udara. Adegan ini membuat Laura dan Tarno terkejut. Mereka langsung berhenti bergerak. Conan langsung melompat ketakutan dan bersembunyi di belakang kedua orang tuanya.Kepala sekolah dan Nia juga menunjukkan ekspresi terkejut. Mereka tidak menyangka bahwa ayah Shafa ternyata begitu tangguh."Kamu ... kamu masih berani mukul orang? Apa kamu tahu ...." Dengan wajah muram, Tarno mencoba berbicara.Namun, sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya, Afkar sudah melayangkan tamparan keras. Tarno terlempar ke lantai dan berputar-putar sebelum akhirnya terjatuh. Bahkan beberapa giginya copot dan berdarah.Afkar sebenarnya sudah menahan tenaganya. Jika tidak, tamparan itu cukup untuk membuat Tarno pingsan atau bahkan lebih buruk lagi."Kamu cari mati! Aku ...." teriak Laura penuh kebencian begitu melihat suaminya dipukul.Plak!Namun, Laura juga menerima tamparan keras
Mengingat Shafa akan merasa sedih mendengar dirinya dikeluarkan, Afkar merasa marah. Afkar tidak keberatan jika kepala sekolah itu tidak berpihak padanya saat dia berkonflik dengan Tarno tadi. Namun kini, kepala sekolah itu malah mau mengeluarkan Shafa untuk menyenangkan hati Tarno dan istrinya."Shafa tenang saja, Ayah nggak akan biarkan kamu dikeluarkan! Percaya sama Papa ...," hibur Afkar dengan suara lembut."Ya! Papa, Shafa nggak mau dikeluarkan. Aku mau sekolah ...," ucap Shafa dengan mata berkaca-kaca dan wajah memelas."Haha ... nggak akan dikeluarkan? Kamu lagi bohong anakmu ya? Asal tahu saja, kalau kamu berani mukul kami, anakmu pasti akan dikeluarkan dari sekolah ini!" ejek Laura sambil tertawa setelah mendengar ucapan Afkar."Sialan, sudah nyinggung aku, masih berani mau sekolah di sini? Jangan mimpi!" maki Tarno."Pak Afkar, nanti datang ke kantor kepala sekolah, aku akan kembalikan semua uang sekolahnya padamu. Mulai besok, anakmu nggak usah datang lagi!""Sekolah ini ng
"Kamu bilang apa? Kamu mau telepon Pak Namish? Kamu pikir kamu siapa?" Kepala sekolah mendengus sambil melipat tangan di dada."Pura-pura saja! Ini trik yang biasa digunakan orang-orang dari kalangan bawah!" Nia juga memandang Afkar dengan tatapan merendahkan."Hahaha! Kamu punya nomor pamanku? Ayo, aku kasih nomor dia! Hubungi dia, aku mau lihat apakah dia mau repot-repot menjawab teleponmu!" Tarno tertawa terbahak-bahak, seolah-olah mendengar lelucon terbesar dalam hidupnya.Afkar mengabaikan ejekan mereka, lalu mengambil ponselnya dan langsung menelepon."Masih mau pura-pura?" Kepala sekolah mencibir lagi.Namun pada saat itu, suara dering ponsel terdengar nyaring di luar kantor.Ternyata, Namish sudah berada di lokasi. Setelah mendapat informasi dari orang kepercayaannya bahwa Afkar sedang berada di TK Asri, dia langsung bergegas ke sana."Halo? Pak Afkar! Akhirnya kamu mengangkat teleponku." Suara seorang pria paruh baya terdengar dari luar dengan sangat sopan dan penuh hormat. "A
"Paman ... nggak ada apa-apa! Cuma salah paham ...." Tarno tidak bodoh, mana mungkin dia tidak bisa melihat bahwa Namish sedang ingin memohon sesuatu pada Afkar."Betul, cuma salah paham! Nggak ada apa-apa ... nggak ada apa-apa ...." Laura ikut mengangguk, matanya tampak menghindari tatapan Namish."Pak Namish, ini cuma pertengkaran anak-anak saja," tambah kepala sekolah dengan panik dan mencoba meredakan situasi."Oh, cuma salah paham? Kalian tadi bilang mau mengusir anakku dari sekolah, mau bikin aku nggak bisa hidup di Kota Nubes, 'kan?" kata Afkar dengan nada datar."Kepala sekolah ini bilang anakku adalah anak dari keluarga nggak punya sopan santun dan harus dikeluarkan. Sekarang tiba-tiba bilang nggak ada apa-apa?"Mendengar hal itu, ekspresi Namish berubah drastis dan terlihat marah besar.Plak! Plak!Dua tamparan keras mendarat di wajah Tarno dan Laura."Dasar bodoh! Kalian berani ngancam Pak Afkar?" teriak Namish marah.Tarno dan Laura memegangi pipi mereka, wajah mereka berub
"Kami salah! Tolong maafkan kami ... huhu ...." Laura mengusap air matanya sambil memohon dengan nada penuh kesedihan.Conan yang sejak tadi ketakutan, mendekati Shafa dengan wajah penuh rasa bersalah dan takut untuk meminta maaf.Namun, Afkar mengangkat tangannya dengan wajah dingin dan sedikit kesal. "Anaknya nggak perlu. Kalau dia nggak bisa bersikap baik, anakku bisa mengurusnya sendiri."Meski marah, Afkar tidak mau membuang energi untuk berdebat dengan seorang anak kecil."Benar, benar! Terima kasih, Pak Afkar!" Tarno dan Laura mengangguk-angguk sambil membungkuk."Conan, cepat ucapkan terima kasih sama Paman!"Conan menundukkan kepala, lalu membungkuk dengan sopan, "Terima kasih, Paman! Shafa, aku minta maaf ....""Nggak apa-apa ...." Shafa yang sebelumnya menangis di pelukan ayahnya, sekarang tersenyum kecil dan menggelengkan kepala.Namish yang berdiri di sisi Afkar, menatap Lasti dan Nia dengan serius, lalu bertanya, "Pak Afkar, bagaimana Anda mau menangani dua orang ini?"Me
Dengan wajah penuh kebencian, Lasti berteriak, "Kenapa aku dipecat? Kalau bukan karena kamu mukul orang, aku juga nggak akan mengeluarkan anakmu!"Dia menoleh kepada Namish dan melanjutkan, "Pak Namish! Aku nggak tahu kalau dia itu teman Bapak. Keponakanmu dipukul dan aku membantu Keluarga Manggala. Apakah itu salah? Kenapa aku langsung dipecat?"Nia juga tidak mau kalah. "Benar! Kenapa kami nggak diberi kesempatan sedikit pun?"Namish mengerutkan alisnya dan mendengus, "Oh? Kalian masih merasa benar?""Memang begitu, Pak Namish! Meskipun kami salah, kesalahan kami nggak seberat itu sampai harus dipecat. Benar nggak?" Lasti memberanikan diri untuk bertanya dengan nada sedikit menantang.Afkar tertawa dingin, lalu menatap mereka dengan pandangan penuh penghinaan. "Kalian mau ngomong soal keadilan sekarang?""Waktu kalian dengan mudahnya memutuskan untuk mengeluarkan anakku hanya untuk menyenangkan Keluarga Manggala, apa kalian peduli soal keadilan saat itu?"Afkar berbalik menatap Namis
"Ditambah kali ini aku membantumu, totalnya Keluarga Manggala harus membayarku 400 miliar!"Mendengar hal itu, Namish mengumpat Reno dalam hati dan merasa anak itu benar-benar pembuat masalah. Wajahnya sedikit berkedut, lalu dia berkata, "Empat ratus miliar lagi? Pak Afkar, apa ini nggak terlalu ... mahal?""Hm! Aku juga merasa itu agak mahal, jadi lupakan saja," jawab Afkar sambil mengangguk dan tersenyum dingin, kemudian berbalik hendak pergi.Namish terkejut dan wajahnya berubah panik. Dia tidak menyangka Afkar tidak akan menawar atau bernegosiasi sama sekali dan langsung meninggalkannya.Sebenarnya, harga 400 miliar untuk menolong anaknya dan dia sendiri tidak terlalu mahal. Namun, naluri seorang pebisnis membuatnya secara otomatis mencoba menawar. Siapa sangka, Afkar sama sekali tidak bermain sesuai aturan itu."Nggak! Nggak mahal! Empat ratus miliar! Empat ratus saja! Pak Afkar, tolong bantu aku! Tolong selamatkan keluargaku!"Namish memohon dengan putus asa. Pengalaman buruk seb
Mendengar perkataan Afkar, Mateo tahu bahwa dirinya telah ketahuan. Pernyataannya barusan sudah menjadi pengakuan secara tidak langsung.Wajah Namish berubah tegang dan mundur selangkah secara refleks. Tatapan Namish terhadap Mateo dipenuhi ketakutan dan kemarahan. Dibandingkan dengan preman yang hanya mengandalkan kekerasan fisik, Namish merasa Mateo jauh lebih mengerikan.Mencelakai orang diam-diam jelas jauh lebih menakutkan daripada pisau atau peluru.Untungnya, hari ini Afkar datang. Namish hanya bisa berharap pemuda ini bisa menyelesaikan masalah yang menghantui keluarganya ini sepenuhnya."Sebagai seorang praktisi fengsui, bukannya membantu orang menyingkirkan energi negatif, kamu malah pakai fengsui untuk mencelakai orang. Kamu nggak merasa rendahan?" tanya Afkar dengan nada dingin."Mateo, aku nggak punya dendam sama kamu. Kenapa kamu mau mencelakai keluargaku?" tanya Namish."Nggak ada dendam? Hahaha .... Apa kamu lupa semua perbuatan memalukan yang kamu lakukan di masa lalu?
"Rasanya pasti sangat memuaskan membunuh seorang genius, 'kan? Bocah, kenapa kamu nggak menyembunyikan kekuatanmu sampai akhir? Sepertinya, mentalmu masih belum cukup matang!""Ingat baik-baik untuk kehidupan selanjutnya, sebelum kamu benar-benar tumbuh kuat, belajarlah untuk menunduk dan menyembunyikan taringmu!"Giiik! Giiik .... Di saat itu, beberapa mobil tiba-tiba berhenti tidak jauh dari sana. Suara rem mereka memecah keheningan.Jelas, mereka juga menyadari ada sesuatu yang terjadi di jalan ini dan memutuskan untuk menepi dan mengamati.Dari salah satu mobil, terlihat sosok Raditya, Santo Sekte Bulan Hitam, bersama dengan Kelam dan Orion."Santo, bukankah itu Afkar?" Kelam menyipitkan mata sambil bertanya dengan ekspresi terkejut.Raditya mengangguk pelan. "Yang berjubah biru itu sepertinya adalah perwakilan dari Keluarga Pakusa dari dunia misterius. Dilihat dari situasinya, sepertinya dia sedang mengincar Afkar.""Terus, kita harus gimana?" tanya Kelam.Orion yang duduk di kurs
Afkar melajukan mobil off-road dengan kecepatan paling tinggi, melintasi jalanan di antara kaki pegunungan.Felicia sudah mengatakan, kalau Afkar tidak sempat kembali, paling-paling Fadly akan menyerahkan kekuasaannya. Namun, Afkar tetap memilih untuk mengambil risiko dengan meninggalkan Desa Langga.Dia tahu ini keputusan berisiko. Namun, yang lebih menakutkan adalah kemungkinan kecil yang bisa berakibat fatal.Afkar tidak bisa memastikan, jika benar Fadly mengadakan pertemuan dunia mafia dan secara resmi bergabung dengan Organisasi NC, apakah pihak lawan akan menepati janji atau justru berbalik menghancurkan setelah mendapatkan apa yang mereka mau.Jadi, jika memang harus ada yang mengambil risiko, Afkar lebih rela itu dirinya sendiri, bukan orang-orang yang dia sayangi.Mungkin memang begitu watak Afkar sejak dulu, seseorang yang lebih dikendalikan oleh perasaan daripada logika. Sejak dia rela menjual ginjal demi menyelamatkan putrinya, bahkan menabrakkan diri demi uang kompensasi,
Setelah mendengar ucapan itu, Afkar tidak bisa membantah dan hanya bisa mengangguk pelan sambil berkata, "Baiklah."Saat itu juga, tiba-tiba dia teringat sesuatu dan matanya langsung berbinar. "Kalau begitu, kita nggak perlu terburu-buru. Aku mau telepon orang dulu."Menghadapi kemungkinan penyergapan yang akan datang, Afkar tiba-tiba teringat akan seorang penolong, Murad.Putra Keluarga Hasyim yang seluruh tubuhnya seperti dilapisi kulit pohon itu punya latar belakang yang luar biasa kuat. Bahkan, pengikut yang selalu ada di sekelilingnya pun punya kekuatan yang tidak bisa diprediksi.Apalagi, Murad masih mengandalkan Afkar untuk menyembuhkannya. Pria itu tidak mungkin ingin melihat Afkar mati.Sekarang ada yang ingin menyergapnya, bukankah kekuatan Murad akan sangat berguna? Namun, kemungkinan butuh beberapa hari agar bala bantuan bisa tiba.Bagaimanapun, nyawa adalah hal yang utama. Afkar dan Rose bisa tinggal di Desa Langga beberapa hari, paling-paling keluar uang sedikit.Lagi pul
Semalam pun berlalu dengan tenang.Setelah beristirahat semalaman, Afkar bersama dua rekannya meninggalkan wilayah Sekte Langga. Rose telah mendapatkan kualifikasi untuk menjadi murid Sekte Langga, tetapi dia belum langsung menetap di sana, karena masih harus pulang untuk mengurus beberapa hal.Saat itu, Afkar belum tahu bahwa Felicia dan yang lainnya sudah hampir gila karena tidak bisa menghubunginya sama sekali.Tentu saja, yang pergi bukan hanya mereka bertiga. Setelah uji coba peringkat individu selesai, keluarga-keluarga dan sekte-sekte juga turut kembali ke Desa Langga di luar.Ketika Afkar dan dua rekannya kembali ke penginapan di ujung desa itu, mereka langsung melihat rombongan Keluarga Darmadi di sana.Setelah Logan tewas, kini yang memimpin adalah seorang pria paruh baya dengan kekuatan tingkat pembentukan inti tahap awal. Namanya Rudy, paman Logan."Afkar, berani sekali kamu membunuh Logan! Menurutmu musuh Keluarga Samoa masih kurang banyak ya?" Begitu melihat Afkar, Rudy l
Rose merasa dirinya yang mengambil alih kendali. Entah kenapa, di dalam hatinya, dia merasa Afkar ini ... agak menggemaskan.Saat sedang sombong, Afkar seolah-olah akan terbang ke langit. Namun, baru dicium sekali, dia langsung malu?Rose menutup mulutnya sambil tersenyum geli, lalu berdiri dan berkata, "Afkar, kamu memang nggak bisa menerimaku jadi wanitamu, tapi kita sudah pernah melewati hidup dan mati bersama. Nggak masalah kalau aku jadi sahabatmu, 'kan?""Pokoknya, aku sangat berterima kasih atas semua kebaikanmu terhadapku dan Keluarga Samoa. Aku sampai nggak tahu harus membalasnya dengan apa. Kelak kalau kamu butuh bantuan, aku pasti akan siap bertaruh nyawa untukmu."Setelah mengucapkan itu, dia sekali lagi menatap Afkar dengan dalam, lalu akhirnya membuka pintu dan pergi."Fiuh ...." Afkar akhirnya mengembuskan napas panjang. Dia merasa lebih lega.Dia menyentuh pipinya. Rasanya masih ada sisa kehangatan dan aroma lembut dari Rose. Sebuah senyuman getir pun muncul di wajahnya
Afkar hampir tersedak saat mendengar perkataan Rose!Astaga! Mau jadi istri mudanya? Berani sekali wanita ini mengatakan hal seperti itu!Sebelumnya Rose bersikap angkuh di hadapannya, tetapi sekarang malah mau jadi istri mudanya? Dari ekspresinya, sepertinya dia tidak bercanda?"Nona Rose, sekarang ini zaman apa? Kita hidup di masyarakat yang menganut sistem monogami, bukan zaman poligami! Jangan bercanda deh!" Afkar berkata sambil mengelap keringat di dahinya.Mendengar itu, mata indah Rose tampak sedikit meredup. Dia menggigit bibirnya dan bertanya, "Apa kamu masih dendam karena sikapku yang dulu? Aku tahu .... Waktu itu aku salah menilai. Aku nggak seharusnya meremehkanmu ...."Afkar melambaikan tangan, menyela, "Bukan, bukan karena itu! Cuma, cara pandang kita saja yang beda. Aku nggak bisa terima poligami dan aku sangat menghargai istriku, jadi ...."Afkar tersenyum getir dalam hati. Akhirnya, dia paham juga apa maksud dari pepatah "paling susah menolak cinta seorang wanita canti
Detik berikutnya, Pisau Naga Es di depan Afkar tiba-tiba bergetar hebat, mengeluarkan dengingan tajam dan jernih. Suara itu seperti raungan harimau dan naga yang mengamuk.Pada saat yang sama, bilah memancarkan cahaya perak yang terang, menyala selama beberapa detik sebelum akhirnya meredup kembali.Mata Afkar berbinar terang. Dia bisa merasakan seolah-olah dirinya dan pedang itu telah terhubung dalam satu kesatuan yang harmonis.Afkar menggenggam gagangnya, kembali mengelus permukaan bilah. Namun, kali ini dia tidak lagi merasakan aura tajam ataupun hawa dingin yang menusuk. Yang dia rasakan hanyalah keluwesan serta keintiman.Seakan-akan Pisau Naga Es bukan sekadar senjata, melainkan sepasang mata yang menyatu dengan tubuhnya. Ketajamannya hanya akan diarahkan pada musuh dan tidak akan pernah menyakiti tuannya."Luar biasa! Pedang ini benar-benar bisa dirasuki oleh roh pedang milikku! Jadi, ini yang disebut ... senjata yang memiliki roh?"Afkar memegang pedang itu erat-erat, merasaka
Setelah Afkar dan lainnya meninggalkan tempat Zinia, mereka kembali ke halaman yang sementara ditinggali mereka selama berada di tempat ini.Karena berada di wilayah sekte, para pendatang seperti mereka tidak diperbolehkan berkeliaran sembarangan. Setelah makan, Afkar hanya berdiam diri di dalam kamar.Dia duduk bersila di atas ranjang, merasakan perubahan yang terjadi setelah menembus ke tingkat pembentukan inti secara saksama.Berbeda dengan para kultivator tingkat pembentukan inti biasa, kini seluruh pusat energinya telah berubah menjadi bola padat yang terbentuk dari energi sejati murni yang sangat terkondensasi. Daya tahan bola itu bahkan sekeras logam mulia.Energi sejati dalam bentuk seperti ini biasanya hanya bisa dicapai oleh kultivator tingkat pembentukan inti tahap puncak.'Dengan kekuatanku yang sekarang, bagaimana kalau aku melawan seorang kultivator tingkat inti emas?' batin Afkar.Tadi saat bersama Zinia, Afkar secara halus mencoba menggali informasi tentang kekuatan Saf
Afkar melanjutkan, "Benar, Keluarga Samoa memang takut menyinggung Sekte Langga dan hal itu sama sekali nggak perlu ditutupi. Tapi, aku bisa dengan tegas memberitahumu satu hal. Aku pribadi nggak takut menyinggungmu.""Kalau mengesampingkan latar belakang dan status, kamu sendiri nggak ada apa-apanya di mataku. Jangan bertingkah seperti gadis kecil di sini. Berhentilah marah-marah nggak jelas," sindir Afkar.Mendengar ucapan itu, tubuh Arisa bergetar hebat saking marahnya. Wajah cantiknya juga memerah. Emosinya yang meluap hampir saja membuat luka di dalam tubuhnya kambuh. Bahkan, dia juga nyaris memuntahkan darah.Arisa menggertakkan gigi. Suaranya penuh amarah dan kebencian ketika memaki, "Dasar bajingan! Aku nggak peduli. Pokoknya aku akan bertarung mati-matian denganmu!""Arisa, cukup! Jangan nggak bisa lihat situasi! Cepat ambil Pisau Naga Es dan tukarkan dengan Pedang Es Jiwa! Cepat pergi!" Nada suara Zinia tiba-tiba terdengar lebih tegas dan dingin saat memberi perintah pada Ari