"Kak ... Kak Afkar, aku ... aku adik iparmu! Kamu nggak boleh membunuh kami!" seru Viola sambil mundur ketakutan. Di saat seperti ini, dia malah memanggil Afkar dengan sebutan kakak.Afkar menatap mereka dengan tatapan tenang. Saat berikutnya, tatapannya dipenuhi ejekan. "Kalian seharusnya bersyukur karena kalian kerabat Felicia. Kalian juga harus bersyukur karena Fadly masih baik-baik saja. Kalau nggak, kalian pasti sudah mati sekarang! Pergi sana!"Setelah mendengar bentakan Afkar, Renhad sekeluarga pun bergidik ketakutan. Mereka merasa sangat lega karena selamat dari kematian. Kemudian, mereka bergegas melarikan diri. Bahkan, mereka tidak sempat menghiraukan para ahli Keluarga Safira yang terluka parah. Bawahan mereka yang berjumlah 400 hingga 500 orang itu pun hanya bisa bertatapan dengan ketakutan."Pergi sana! Bawa saudara-saudara kalian yang bodoh itu pergi juga!" perintah Afkar sambil melambaikan tangan kepada para bawahan Renhad. Mereka pun merasa lega. Beberapa yang berbaik h
Di vila Keluarga Subroto.Farel dan Barra kembali. Wajah mereka masih dipenuhi keterkejutan sekaligus kelegaan. Untung saja, mereka tidak benar-benar menyinggung Afkar!Bayu, Tara, Heru, dan Karen sedang duduk di ruang tamu. Mereka menikmati teh sambil menunggu kabar. Semua orang penasaran dengan hasil malam ini."Karen, kamu menang," ujar Farel sambil tersenyum getir. Suaranya terdengar agak lesu."Menang?" Karen mengangkat alisnya, lalu tersenyum. "Sudah kuduga! Aku sudah bilang, 'kan?"Karen bertanya dengan penasaran dan antusias, "Afkar benaran mengalahkan semua ahli Keluarga Safira sendirian? Pertempurannya pasti sangat sengit dan mengagumkan, 'kan?"Bayu dan Tara juga menatap Farel dengan tatapan penasaran. Apa benar Afkar berhasil melakukannya sendirian? Mereka juga ingin mengetahui kejadian spesifiknya.Namun, Farel hanya tersenyum getir dan menggeleng. "Memang mengagumkan, tapi nggak terlalu sengit."Farel menjulurkan satu jarinya. "Satu tendangan! Cuma dengan satu tendangan,
Musaf si berengsek ini tidak menceritakan kejadian yang sebenarnya sebelumnya!"Barra, bawa dia pergi! Jangan sampai aku melihatnya lagi!" pekik Farel sambil menunjuk Musaf dengan penuh amarah.....Keesokan pagi.Mungkin sebagai hadiah atas kontribusi Afkar semalam, Felicia akhirnya melepaskan Afkar hari ini. Dia tidak menyiksa Afkar di perusahaan.Setelah mengantar Felicia ke perusahaan, Afkar pergi ke daerah pegunungan di pinggiran kota dan mendaki ke puncak gunung, tempat dia membuat terobosan malam itu.Energi spiritual di kota dan di pegunungan berbeda. Meskipun sama-sama tipis, perbedaan tetap ada.Setelah menembus tingkat pembangunan fondasi, Afkar yang tidak mengalami hambatan pun melanjutkan latihan dengan penuh semangat.Peristiwa semalam membuat Afkar semakin sadar betapa pentingnya kekuatan. Meskipun sekarang adalah masyarakat peradaban, hukum alam yang berlaku tidak pernah berubah, yaitu yang kuat yang bertahan dan yang lemah yang punah.Sayangnya, di dunia modern ini, en
Wajah Namish seketika menunjukkan kepanikan, lalu tersenyum dan berdalih, "Sebentar lagi musim gugur, dua kolam itu menarik nyamuk, bukan? Jadi, aku suruh orang untuk menutupnya.""Oh, begitu ya ...." Mateo mengangguk, menatap Namish dalam-dalam, lalu tidak berkata apa-apa lagi.Detik berikutnya, dia mengeluarkan sebuah desain dan meletakkannya di depan Namish. "Pak Namish, halamanmu ini luas sekali, harus diatur dengan baik! Ini adalah desain baru yang kubuat untukmu. Coba lihat, apakah tata letaknya memuaskan? Maksudku, di kedua sisi pintu masuk utama manor ini, pasanglah dua patung hewan pembawa rezeki, lalu ...."Mateo mulai menjelaskan idenya kepada Namish.Namun, pikiran Namish benar-benar kacau. Dia sama sekali tidak mengerti tentang hal ini. Yang ada di pikirannya hanyalah kekhawatiran dan kecurigaan. Dia merasa Mateo pasti ingin memasang fengsui buruk untuk mencelakai keluarganya."Pak Namish, gimana menurutmu?""Pak Namish? Lagi mikir apa?" tanya Mateo setelah selesai menje
Afkar mengusap kepala Shafa dan menenangkannya dengan lembut."Bu Laura, orang tua Shafa sudah datang," kata Nia sambil melirik Afkar dan memberi tahu ibu muda berambut ikal itu.Kepala sekolah paruh baya menatap Afkar dengan ekspresi datar, lalu segera menggantinya dengan senyum lebar dan berkata kepada wanita itu, "Bu Laura, pihak kami memang ada kekurangan dalam pengawasan. Saya meminta maaf atas hal itu. Namun, tanggung jawab lebih besar ada di pihak sana. Bukankah begitu?"Laura, wanita muda berambut ikal itu, melangkah mendekat, lalu menunjuk Afkar dan bertanya dengan nada ketus, "Gimana sih kamu mendidik anakm? Masih kecil sudah belajar mukul orang! Mau jadi apa dia nanti? Lihat, anakku sampai babak belur begini!"Sambil berbicara, dia menarik anak lelakinya, Conan, ke depan untuk menunjukkan kondisinya kepada Afkar. Anak lelaki bernama Conan itu memang terlihat lebam di hidung dan wajahnya."Papa, dia yang narik rokku duluan," kata Shafa dengan wajah sedih sambil melambaikan ta
Laura menatap Afkar dengan penuh amarah dan berkata dengan tajam, "Dengar nggak? Minta maaf sekarang, atau tampar dirimu sendiri beberapa kali! Atau mau aku sendiri yang turun tangan?"Sambil berbicara, Laura menunjuk hidung Afkar dengan sikap mengancam, seolah siap untuk menampar kapan saja."Papa! Shafa bikin masalah, ya? Kalau begitu, Shafa minta maaf saja ke Conan ...." Shafa yang memeluk kaki Afkar dengan panik, berkata dengan suara pelan. Meskipun merasa tertekan, dia lebih tidak ingin ayahnya dipermalukan di depan umum.Mendengar ucapannya, Laura tertawa sinis. "Dengar nggak? Anak kecil saja lebih tahu diri daripada kamu!"Conan semakin sombong. Dia menunjuk-nunjuk ke arah Shafa sambil berkata, "Hah! Berani lawan aku? Papa dan mamaku lebih hebat daripada papamu!"Kepala sekolah dan Nia memandang Afkar dan Shafa dengan wajah puas. Bagi mereka, ini semua terjadi karena Shafa yang membuat mereka harus meminta maaf setengah mati kepada Laura.Afkar menggenggam tangan kecil Shafa, la
Namun, di detik berikutnya ....Bahkan sebelum mereka sempat mendekati Afkar, satu per satu satpam itu langsung terlempar ke udara. Adegan ini membuat Laura dan Tarno terkejut. Mereka langsung berhenti bergerak. Conan langsung melompat ketakutan dan bersembunyi di belakang kedua orang tuanya.Kepala sekolah dan Nia juga menunjukkan ekspresi terkejut. Mereka tidak menyangka bahwa ayah Shafa ternyata begitu tangguh."Kamu ... kamu masih berani mukul orang? Apa kamu tahu ...." Dengan wajah muram, Tarno mencoba berbicara.Namun, sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya, Afkar sudah melayangkan tamparan keras. Tarno terlempar ke lantai dan berputar-putar sebelum akhirnya terjatuh. Bahkan beberapa giginya copot dan berdarah.Afkar sebenarnya sudah menahan tenaganya. Jika tidak, tamparan itu cukup untuk membuat Tarno pingsan atau bahkan lebih buruk lagi."Kamu cari mati! Aku ...." teriak Laura penuh kebencian begitu melihat suaminya dipukul.Plak!Namun, Laura juga menerima tamparan keras
Mengingat Shafa akan merasa sedih mendengar dirinya dikeluarkan, Afkar merasa marah. Afkar tidak keberatan jika kepala sekolah itu tidak berpihak padanya saat dia berkonflik dengan Tarno tadi. Namun kini, kepala sekolah itu malah mau mengeluarkan Shafa untuk menyenangkan hati Tarno dan istrinya."Shafa tenang saja, Ayah nggak akan biarkan kamu dikeluarkan! Percaya sama Papa ...," hibur Afkar dengan suara lembut."Ya! Papa, Shafa nggak mau dikeluarkan. Aku mau sekolah ...," ucap Shafa dengan mata berkaca-kaca dan wajah memelas."Haha ... nggak akan dikeluarkan? Kamu lagi bohong anakmu ya? Asal tahu saja, kalau kamu berani mukul kami, anakmu pasti akan dikeluarkan dari sekolah ini!" ejek Laura sambil tertawa setelah mendengar ucapan Afkar."Sialan, sudah nyinggung aku, masih berani mau sekolah di sini? Jangan mimpi!" maki Tarno."Pak Afkar, nanti datang ke kantor kepala sekolah, aku akan kembalikan semua uang sekolahnya padamu. Mulai besok, anakmu nggak usah datang lagi!""Sekolah ini ng
"Oke. Aku juga ingin tahu apa yang ingin kamu bicarakan," sahut Afkar.Freya memandang Afkar dengan tatapan agak rumit. Kemudian, dia berjalan di depan.Afkar mendengus, lalu membawa Shafa dengannya. Dia ingin tahu apa yang ingin dilakukan wanita ini.Beberapa saat kemudian, mereka tiba di sekitar TK Asri, di sebuah kompleks perumahan tua berlantai enam.Entah Freya sengaja menjauh agar tidak menjadi bahan gosip atau karena ada alasan lain."Mau bilang apa? Langsung saja ke intinya," ucap Afkar dengan ekspresi datar. Dia menggenggam tangan Shafa dan berdiri bersama Freya di depan gedung."Afkar, tolong beri aku satu kesempatan lagi ya? Beberapa hari lalu, aku baru sadar aku nggak bisa hidup tanpamu dan Shafa. Aku selalu memikirkan kalian di siang hari dan memimpikan kalian di malam hari."Freya terisak-isak. Matanya berkaca-kaca. Kemudian, dia berjongkok dan hendak meraih tangan Shafa. "Shafa, apa kamu rindu Mama?"Afkar langsung menarik Shafa ke belakangnya dan menegur dengan dingin,
Sore hari saat Afkar pergi menjemput Shafa, dia melihat wali kelas Shafa sudah digantikan oleh seorang guru wanita yang masih muda. Nia yang matre itu seharusnya sudah dipecat.Ketika Afkar membawa Shafa keluar, dia melihat seseorang yang sangat tidak ingin ditemuinya di gerbang."Afkar ...." Sebuah suara yang terdengar penuh dengan perasaan campur aduk mencapai telinga Afkar. "Cucuku, sini peluk Kakek!"Itu adalah Freya, Anita, dan Gordon. Gordon berjongkok sambil menepuk tangannya kepada Shafa untuk menunjukkan kasih sayangnya.Namun, Shafa malah menggenggam tangan Afkar dan mundur sedikit saat melihat mereka. Terutama saat melihat Freya, dia merasa agak takut.Shafa tidak akan melupakan kejadian terakhir saat Freya membawanya ke tempat sepi dan berniat menyerahkannya kepada orang tak dikenal."Shafa, ada apa? Kamu sudah lupa pada kami?" tanya Anita dengan penuh kasih sayang.Afkar menatap pemandangan di depan dengan ekspresi jijik. Dia mendengus, lalu bertanya, "Freya, kamu mau apa
"Hubungi saja aku kalau punya waktu. Kapan-kapan aku perkenalkan istriku kepadamu. Kalian berdua pasti bisa jadi teman baik!" ucap Afkar dengan ramah. Namun, ada sedikit makna tersirat dari ucapannya.Begitu mendengarnya, Wulan termangu sejenak. "Istri? Bukannya ... kamu sudah cerai?""Aku nikah lagi," jawab Afkar sambil tersenyum."Oh." Tatapan Wulan terlihat suram untuk sesaat. Ternyata Afkar sudah menikah lagi. Dia sudah berpikir terlalu jauh. Lagi pula, Afkar sudah sukses. Bagaimana mungkin dia kekurangan wanita?"Ya sudah, nanti aku hubungi," ujar Wulan yang memaksakan senyuman.Afkar memandang Wulan, gadis yang dicintainya dulu. Dia bisa melihat mata Wulan yang agak merah, bahkan merasakan kelelahan pada dirinya."Oke. Kalau ada masalah, kamu boleh hubungi aku kapan saja. Mungkin, aku bisa membantumu," ucap Afkar.Wulan mengangguk dan mengiakan, lalu berpamitan dengan Afkar. Entah dia benar-benar mendengar ucapan Afkar atau tidak.Dua jam kemudian, Bilqis, Verica, dan Jerry akhir
Ketika ketiga orang itu berharap mereka bisa lolos, mereka malah dipanggil Afkar. Bilqis, Verica, dan Jerry pun memucat dan gemetaran."Afkar ... tadi aku cuma bercanda. Kita 'kan teman sekelas. Kamu nggak mungkin menganggap serius perkataanku, 'kan?" ucap Verica dengan terbata-bata."Afkar, sejak awal aku sudah tahu kamu yang akan paling sukses. Sekarang terbukti, 'kan? Bagaimanapun ... aku pernah jadi gurumu ...." Bilqis memaksakan senyuman sambil membujuk Afkar.Orang-orang yang suka menjilat dan membedakan orang berdasarkan status sosial, paling cepat berubah di situasi seperti ini. Bagaimanapun, mereka ketakutan setengah mati dipanggil Afkar."Kalian ... cepat bantu aku bicara!" ujar Bilqis dengan panik. Air matanya hampir berlinang.Sayangnya, tidak ada yang berani berbicara. Bagaimanapun, mereka tidak ingin terlibat. Semuanya fokus melarikan diri.Wajah Bilqis menjadi pucat melihatnya. Tatapannya saat tertuju kepada Afkar pun dipenuhi rasa takut dan cemas."Afkar, aku gurumu. Ka
Jerry tercengang! Bilqis tampak tidak percaya! Verica ternganga ....Ternyata yang dikatakan Afkar memang benar? Hotel ini memang benar miliknya? Selain itu, kakak sepupu Jatmiko yang katanya sangat terkenal di dunia hitam adalah bawahan Afkar? Ini sungguh mengejutkan!Saat ini, Kenil tersenyum minta maaf kepada Afkar. "Apa yang sebenarnya dilakukan adik sepupuku? Beri tahu saja aku. Aku akan memberinya pelajaran.""Hehe, adik sepupumu terlalu ramah. Dia ingin aku mencicipi rasa minuman di sepatunya," sahut Afkar dengan dingin sambil melepaskan rambut Jatmiko."Minuman di sepatunya?" Kenil termangu sejenak sebelum akhirnya memahami apa yang terjadi. Seketika, sudut matanya berkedut.Saat berikutnya, Kenil langsung menyerbu ke arah Jatmiko. Dia mengambil botol anggur di atas meja, lalu menghantam kepala Jatmiko dengan keras."Kamu ini cari mati! Akan kuhabisi kamu! Jatmiko, kamu rasa kamu bisa mengendalikan seluruh Kota Nubes cuma karena punya sedikit uang?""Ayahmu cuma punya beberapa
"Sialan! Afkar, kamu benaran sudah gila! Kamu kira kamu sudah bisa menentang siapa saja karena punya sedikit uang? Riwayatmu akan tamat! Beraninya kamu menyerang Jatmiko!" pekik Jerry sambil memegang wajahnya.Orang lain juga merasa Afkar akan mendapat masalah besar kali ini. Siapa suruh dia bertindak gegabah seperti ini?"Dasar pecundang! Kamu nggak punya otak ya? Kamu nggak pikirin konsekuensinya dulu?" bentak Bilqis."Sekarang kamu merasa puas karena menampar Jatmiko. Tapi, nanti kamu bakal dihabisi oleh keluarganya!" ujar Verica dengan dingin."Sebentar lagi kakak sepupu Jatmiko juga akan sampai. Ajal si miskin ini sudah dekat!" ejek seorang wanita.Meskipun begitu, tidak ada satu pun yang berani menghentikan saat Afkar terus menampar Jatmiko. Bagaimanapun, Afkar terlihat sangat mengerikan!Hanya Wulan yang meraih lengan Afkar dan membujuk, "Sudahlah, jangan sampai dia kenapa-napa. Kamu nggak bisa mengusik keluarganya. Cepat pergi dari sini sebelum terlambat.""Nggak apa-apa," sahu
Setelah mendengarnya, Jatmiko tertegun sejenak. Kemudian, dia membanting gelasnya hingga anggurnya terjatuh ke lantai."Sialan! Berani sekali kamu sok hebat di sini! Kalau kamu masih nggak mau pergi, jilat sepatuku sampai bersih! Setelah itu, aku bakal traktir kamu makan sebagai teman sekelasmu!""Ayo! Dulu waktu sekolah, kamu 'kan paling jago cuci kaos kaki dan sepatu! Itu 'kan keahlianmu! Hahaha!""Kalau performamu bagus, aku juga bisa kasih kamu pekerjaan lho!"Ucapan ini sontak membuat semua orang tertawa terbahak-bahak. Wulan tidak tahan lagi. Dia lantas membentak Jatmiko, "Jatmiko, jangan keterlaluan ya!"Kemudian, Wulan meraih tangan Afkar. "Afkar, kita pergi dari sini! Nggak ada gunanya ikut reuni seperti ini!"Ketika melihat situasi ini, tatapan Jatmiko menjadi sangat suram dan dipenuhi kecemburuan. Sepertinya yang dikatakan Verica benar. Wulan punya perasaan kepada Afkar si miskin ini."Mau ke mana? Cepat, tahan bocah miskin ini! Aku mau pakai wajahnya buat lap sepatu!" Hari
Afkar menatap Jerry dengan dingin. Kini, dia akhirnya tahu seperti apa wajah asli dari orang yang dulunya disebutnya sebagai sahabat!Ketika mendengar ejekan di sekelilingnya, Afkar tetap tidak menunjukkan ekspresi, seolah-olah dia sama sekali tidak terlibat dalam hal ini."Kenapa kalian jahat sekali? Masa mengolok-olok penderitaan orang lain?" Hanya Wulan yang benar-benar membela Afkar.Afkar menariknya sedikit, lalu menggeleng untuk memberi isyarat bahwa tidak perlu berbicara terlalu banyak dengan orang-orang ini.Kini, sudut pandang Afkar berbeda dari orang-orang yang ada di ruangan ini. Seekor naga yang terbang tinggi di langit, tidak akan peduli dengan semut-semut di tanah yang menyebutnya diri sendiri sebagai serangga besar."Sudah cukup tertawanya? Kalau sudah, silakan pergi!" ucap Afkar dengan dingin. Suara Afkar tidak keras, tetapi bisa didengar jelas oleh setiap orang di ruangan itu.Setelah dia mengatakan itu, tawa ejekan kembali terdengar."Pergi? Aku nggak salah dengar? Pe
Setelah masuk dan melihat pemandangan ini, Wulan tidak bisa menahan diri untuk mengerutkan dahinya. Dia merasa reuni ini sudah berubah menjadi ajang pamer kekayaan, perbandingan, dan mencari koneksi."Eh, primadona kita sudah datang?" Saat ini, seseorang melihat Wulan dan langsung berteriak.Mata Jatmiko langsung berbinar-binar. Dia menarik tangannya dari tubuh Bilqis dan menghampiri Wulan. "Wulan, akhirnya kamu datang juga! Aku rindu sekali sama kamu!"Ketika mendengar kalimat ambigu itu, Wulan tersenyum tanpa merespons.Saat ini, seseorang melihat Afkar. "Eh? Bukannya itu Afkar? Sekarang dia kerja apa?"Begitu mendengarnya, semua orang langsung memandang ke arah Afkar yang berdiri di belakang Wulan. Ekspresi semua orang tampak berbeda-beda. Dulu, Afkar dikenal sebagai anak miskin di kelasnya sehingga semua orang ingat padanya."Nggak kerja," jawab Afkar dengan wajah datar."Nggak kerja? Berarti pengangguran dong?""Aku punya kaus kaki. Kamu bantu cuci saja. Aku kasih 200 ribu, gimana