"Apa, Raya meninggal?" Ajeng yang baru saja bangun tidur itu terkejut mendengar kabar buruk tentang mantan menantunya."Iya, aku lihat status WhatsApp Dian." Radit menimpali."Ya sudah, ayo kita siap-siap melayat," balas Ajeng. Meski tidak suka dengan Raya, tetapi wanita itu pernah menjadi bagian dalam keluarganya. Sementara Radit masih terpaku, ia tak mengerti mengapa kematian Mawar dan Raya terjadi di waktu yang bersamaan.***"Sayang, ternyata Raya meninggal." Haris memberi kabar pada Mega yang baru saja bangun."Syukurlah, akhirnya doaku terkabul. Nanti siang kita takjiyah yuk, kan pagi ini aku sudah boleh pulang," ajak Mega dengan senyum semringah.Tak perlu mendapatkan obat, mendengar kabar kematian Raya pun sudah memacu dirinya agar kembali sehat. Karena selama ini, Mega memang sangat menginginkan mantan kekasih anaknya itu mati.***Semua warga berkumpul di kediaman Indira. Tikar sudah dipersiapkan untuk menyambut kedatangan jenazah Raya. Sementara Maira terlelap di kamarnya.
Ibu-ibu yang dirahmati Allah, setiap yang bernyawa pasti akan mati. Malaikat maut akan datang tanpa meminta persetujuan kita. Setelah kematian terpampang jelas di hadapan kita, saat itu juga sebanyak apapun harta kita tidak akan bisa menyogok malaikat. Maka dari itu, yuk kita gunakan sisa-sisa kehidupan di dunia ini dengan ibadah. Sebanyak apapun dosa kita di masa lalu, Allah yang maha pengampun pasti akan mengampuni semua dosa yang kita lakukan langsung pada-Nya. Tapi, dosa kita akan berat jika menyangkut dengan orang lain. Maka dari itu ibu-ibu, yuk kita saling memaafkan. Karena kita tidak pernah tahu, kapan malaikat maut akan menjemput kita.Perkataan ustazah Masitoh satu Minggu yang lalu terus terngiang-ngiang di telinga Ajeng. Wanita yang terpaksa pergi ke pengajian hanya karena tidak enak pada tetangganya itu merasa tertampar dengan tema yang dibahas.Ajeng pun tak mengerti. Biasanya ia selalu enggan diajak ke acara yang berbau agama. Namun, entah mengapa Minggu lalu itu dirinya
Indira tengah duduk di sebuah kursi yang disediakan khusus untuknya. Melihat tubuh Raya yang dipindahkan ke dalam tanah membuat hatinya tergores nyeri. Wanita itu terisak, ia tak kuasa melihat pemandangan di depannya, tetapi ia pun bersikeras ingin tetap melihat pemakaman anaknya.Hasna terus mengelus pundak adiknya dengan mata basah. Begitupun Dian dan Nengsih, kedua wanita itu tak mampu menghentikan laju air mata yang terus berdesakan keluar dari netra.Hati Nengsih kian nyeri, rasa bersalah begitu menghantui pikirannya. Hanya saja, untuk saat ini ia tak mampu berbuat apapun selain menyesal. Dian yang mengerti dengan perasaan wanita di sampingnya, lantas menggenggam tangan Nengsih agar ia tak terlalu merasa bersalah."Gak apa-apa Neng, semua sudah jalannya. Kita smua terpukul, tapi ini sudah takdir." Dian berusaha tegar. Padahal, dalam hatinya ia pun merasa rapuh.Radit memperhatikan Citra yang tengah digendong oleh Rian. Lelaki itu ingin sekali memeluk anaknya, tetapi ia sadar dir
. "Itu Mama."Ajeng menuntun Citra ke arah Dian yang tengah mengobrol dengan anaknya. Melihat itu, hati Ajeng terasa linu, terbersit sesal dalam hati yang hanya bisa ditelan. Andai dirinya tak ikut campur dengan urusan rumah tangga anaknya di masa lalu, pastilah Radit bahagia bersama Dian."Dari mana, sayang?" tanya Dian yang menyadari kedatangan mantan mertua bersama Citra, ia meraih sang putri lalu memeluknya."Dadan." Citra menunjukkan sebuah biskuit ke wajah ibunya."Oh, jajan." Dian mengulangi kalimat gadis kecil berusia satu tahun setengah itu."Dian, terima kasih ya sudah membolehkan Citra bermain dengan ibu."Ajeng menatap lekat mata mantan menantunya yang teduh itu. Sorot bahagia terpancar di wajahnya. Meski Ajeng yakin, Dian dan Hasna membolehkan dirinya bermain dengan Citra hanya karena kondisi yang sedang ruwet jika ada anak kecil. Kendatipun demikian, Ajeng tetap senang."Sama-sama, Bu," balas Dian, bibir merahnya menyimpulkan senyum manis. Wanita itu merasakan perubahan
Seseorang datang menemui Haris di kediaman Indira. Laki-laki berpakaian rapi itu memberikan berkas padanya. Seketika saja wajah Haris memancarkan kekesalan setelah orang suruhannya membisikan suatu kalimat di telinganya."Saya gak mau tahu, saya cuma ingin semuanya segera beres." Haris berkata penuh penegasan pada lelaki itu dengan tatapan kesal.Niatnya ia akan membuat Indira semakin lemah dengan surat yang diajukannya pada pengadilan. Sayang, rencananya itu harus tertunda."Sudah ada, kan suratnya?" tanya Mega, ia berbisik pada Haris sambil menyimpulkan senyum. Wanita itu tak sabar ingin segera mengambil Maira."Katanya belum beres karena akta kelahiran Maira atas nama Radit," balas Haris sambil megembuskan napas kasar."Kalau begitu, mungkin kita bisa bicara baik-baik pada Radit. Lagi pula, aku yakin kalau Radit tidak begitu sayang dengan Maira karena dia bukan anak kandungnya." Mega meyakinkan sang suami."Kalau misalkan nanti Radit gak mau gimana?" tanya Haris tak yakin."Kita gu
"Setelah ini kamu mau melakukan apa?"Beni melirik wanita di sampingnya. Nengsih yang berumur seperempat abad itu nampak memesona dengan penampilan sederhana. Gadis berwajah oriental itu semakin menarik dengan rambut diikat ke belakang."Gak tahu, pengennya sih kerja, tapi mana ada perusahaan yang mau menerima karyawan sepertiku, sudah hanya lulusan SMA, mantan narapidana pula."Nengsih menatap nanar riak gemericik air danau nan kehijauan di depannya. Setelah ini tak mudah baginya mengarungi kehidupan. Melihat wajah sendu Nengsih, Beni merasa kasihan."Sebenarnya saya ada pekerjaan untuk kamu, tapi gajinya gak begitu besar.""Serius, kerja apa?" Nengsih memandang manik kecokelatan itu lekat, sinar harapan terpancar dari netra lentiknya."Sebenarnya saya butuh pengasuh buat anak saya," balas Beni, tetapi sedetik kemudian wajah itu nampak bimbang, "Tapi sayangnya selama ini gak ada yang betah, karena dia orangnya terlalu aktif dan nakal." Beni menempelkan bokongnya pada kursi yang letak
Mata Mega melotot menatap Radit. Gigi wanita yang sudah tak lagi muda itu gemelutuk menahan kekesalan dalam dadanya. Ia sama sekali tak menyangka kalau Radit akan melindungi Maira. Padahal, ia tahu betul lelaki itu dan ibunya sangat membenci Raya karena telah berlaku curang."Saya akan tetap mengambil Maira dengan atau tanpa izin dari kamu. Ingat Radit, kamu bukan siapa-siapanya. Bahkan setetes darah pun tak ada hubungannya antara kamu dengan Maira."Mega bangkit sambil menatap nyalang Radit. Ia menarik lengan suaminya agar ikut pulang."Silakan, pintunya ada di belakang Anda." Dengan suara tenang Radit menunjukkan pintu dengan tangannya. Melihat keangkuhan anak muda di depannya, Haris semakin naik pitam. Namun, meski begitu ia cenderung lebih tenang dibandingkan Mega.Setelah Mega keluar, Radit gegas menelpon seseorang. Tatapan yang sebelumnya penuh keyakinan kini berubah menjadi gelisah. Walau bagaimanapun Radit tahu, Mega dan Haris bukanlah orang biasa."Mas, kita harus gunakan car
"Makan dulu sayang," pinta Sarah pada Stella yang kondisinya mulai membaik."Gak aku gak mau, aku maunya disuapi Rian," tolak Stella."Nanti Rian ke sini, sekarang kamu makan dulu ya," bujuk Sarah lagi."Mama bohong, sejak Mama telpon dia, dia gak datang-datang. Kalau begitu, buat apa aku hidup? Kenapa gak sekalian aja aku mati sama Mawar," kata Stella putus asa."Jangan ngomong gitu sayang, Tuhan memberikan kita kesempatan untuk memperbaiki semuanya." Sarah berusaha mengingatkan anaknya."Apa yang harus diperbaiki, Ma? Lagi pula kalau aku sehat, aku akan dipenjara, kan?" tanya Stella dengan wajah marah dan kesal.Sarah menunduk, wanita itu tak bisa lagi berbicara dengan anaknya yang keras kepala. Memang, meski dalam perawatan medis, tetapi status Stella adalah tersangka kasus pembunuhan berencana."Papa kamu pasti akan bantu sayang, tentang itu kamu tenang saja," kata Sarah berusaha menenangkan anaknya.Meski Stella pun yakin ayahnya akan pasang badan untuk melindunginya, tetap saja