Indira tengah duduk di sebuah kursi yang disediakan khusus untuknya. Melihat tubuh Raya yang dipindahkan ke dalam tanah membuat hatinya tergores nyeri. Wanita itu terisak, ia tak kuasa melihat pemandangan di depannya, tetapi ia pun bersikeras ingin tetap melihat pemakaman anaknya.Hasna terus mengelus pundak adiknya dengan mata basah. Begitupun Dian dan Nengsih, kedua wanita itu tak mampu menghentikan laju air mata yang terus berdesakan keluar dari netra.Hati Nengsih kian nyeri, rasa bersalah begitu menghantui pikirannya. Hanya saja, untuk saat ini ia tak mampu berbuat apapun selain menyesal. Dian yang mengerti dengan perasaan wanita di sampingnya, lantas menggenggam tangan Nengsih agar ia tak terlalu merasa bersalah."Gak apa-apa Neng, semua sudah jalannya. Kita smua terpukul, tapi ini sudah takdir." Dian berusaha tegar. Padahal, dalam hatinya ia pun merasa rapuh.Radit memperhatikan Citra yang tengah digendong oleh Rian. Lelaki itu ingin sekali memeluk anaknya, tetapi ia sadar dir
. "Itu Mama."Ajeng menuntun Citra ke arah Dian yang tengah mengobrol dengan anaknya. Melihat itu, hati Ajeng terasa linu, terbersit sesal dalam hati yang hanya bisa ditelan. Andai dirinya tak ikut campur dengan urusan rumah tangga anaknya di masa lalu, pastilah Radit bahagia bersama Dian."Dari mana, sayang?" tanya Dian yang menyadari kedatangan mantan mertua bersama Citra, ia meraih sang putri lalu memeluknya."Dadan." Citra menunjukkan sebuah biskuit ke wajah ibunya."Oh, jajan." Dian mengulangi kalimat gadis kecil berusia satu tahun setengah itu."Dian, terima kasih ya sudah membolehkan Citra bermain dengan ibu."Ajeng menatap lekat mata mantan menantunya yang teduh itu. Sorot bahagia terpancar di wajahnya. Meski Ajeng yakin, Dian dan Hasna membolehkan dirinya bermain dengan Citra hanya karena kondisi yang sedang ruwet jika ada anak kecil. Kendatipun demikian, Ajeng tetap senang."Sama-sama, Bu," balas Dian, bibir merahnya menyimpulkan senyum manis. Wanita itu merasakan perubahan
Seseorang datang menemui Haris di kediaman Indira. Laki-laki berpakaian rapi itu memberikan berkas padanya. Seketika saja wajah Haris memancarkan kekesalan setelah orang suruhannya membisikan suatu kalimat di telinganya."Saya gak mau tahu, saya cuma ingin semuanya segera beres." Haris berkata penuh penegasan pada lelaki itu dengan tatapan kesal.Niatnya ia akan membuat Indira semakin lemah dengan surat yang diajukannya pada pengadilan. Sayang, rencananya itu harus tertunda."Sudah ada, kan suratnya?" tanya Mega, ia berbisik pada Haris sambil menyimpulkan senyum. Wanita itu tak sabar ingin segera mengambil Maira."Katanya belum beres karena akta kelahiran Maira atas nama Radit," balas Haris sambil megembuskan napas kasar."Kalau begitu, mungkin kita bisa bicara baik-baik pada Radit. Lagi pula, aku yakin kalau Radit tidak begitu sayang dengan Maira karena dia bukan anak kandungnya." Mega meyakinkan sang suami."Kalau misalkan nanti Radit gak mau gimana?" tanya Haris tak yakin."Kita gu
"Setelah ini kamu mau melakukan apa?"Beni melirik wanita di sampingnya. Nengsih yang berumur seperempat abad itu nampak memesona dengan penampilan sederhana. Gadis berwajah oriental itu semakin menarik dengan rambut diikat ke belakang."Gak tahu, pengennya sih kerja, tapi mana ada perusahaan yang mau menerima karyawan sepertiku, sudah hanya lulusan SMA, mantan narapidana pula."Nengsih menatap nanar riak gemericik air danau nan kehijauan di depannya. Setelah ini tak mudah baginya mengarungi kehidupan. Melihat wajah sendu Nengsih, Beni merasa kasihan."Sebenarnya saya ada pekerjaan untuk kamu, tapi gajinya gak begitu besar.""Serius, kerja apa?" Nengsih memandang manik kecokelatan itu lekat, sinar harapan terpancar dari netra lentiknya."Sebenarnya saya butuh pengasuh buat anak saya," balas Beni, tetapi sedetik kemudian wajah itu nampak bimbang, "Tapi sayangnya selama ini gak ada yang betah, karena dia orangnya terlalu aktif dan nakal." Beni menempelkan bokongnya pada kursi yang letak
Mata Mega melotot menatap Radit. Gigi wanita yang sudah tak lagi muda itu gemelutuk menahan kekesalan dalam dadanya. Ia sama sekali tak menyangka kalau Radit akan melindungi Maira. Padahal, ia tahu betul lelaki itu dan ibunya sangat membenci Raya karena telah berlaku curang."Saya akan tetap mengambil Maira dengan atau tanpa izin dari kamu. Ingat Radit, kamu bukan siapa-siapanya. Bahkan setetes darah pun tak ada hubungannya antara kamu dengan Maira."Mega bangkit sambil menatap nyalang Radit. Ia menarik lengan suaminya agar ikut pulang."Silakan, pintunya ada di belakang Anda." Dengan suara tenang Radit menunjukkan pintu dengan tangannya. Melihat keangkuhan anak muda di depannya, Haris semakin naik pitam. Namun, meski begitu ia cenderung lebih tenang dibandingkan Mega.Setelah Mega keluar, Radit gegas menelpon seseorang. Tatapan yang sebelumnya penuh keyakinan kini berubah menjadi gelisah. Walau bagaimanapun Radit tahu, Mega dan Haris bukanlah orang biasa."Mas, kita harus gunakan car
"Makan dulu sayang," pinta Sarah pada Stella yang kondisinya mulai membaik."Gak aku gak mau, aku maunya disuapi Rian," tolak Stella."Nanti Rian ke sini, sekarang kamu makan dulu ya," bujuk Sarah lagi."Mama bohong, sejak Mama telpon dia, dia gak datang-datang. Kalau begitu, buat apa aku hidup? Kenapa gak sekalian aja aku mati sama Mawar," kata Stella putus asa."Jangan ngomong gitu sayang, Tuhan memberikan kita kesempatan untuk memperbaiki semuanya." Sarah berusaha mengingatkan anaknya."Apa yang harus diperbaiki, Ma? Lagi pula kalau aku sehat, aku akan dipenjara, kan?" tanya Stella dengan wajah marah dan kesal.Sarah menunduk, wanita itu tak bisa lagi berbicara dengan anaknya yang keras kepala. Memang, meski dalam perawatan medis, tetapi status Stella adalah tersangka kasus pembunuhan berencana."Papa kamu pasti akan bantu sayang, tentang itu kamu tenang saja," kata Sarah berusaha menenangkan anaknya.Meski Stella pun yakin ayahnya akan pasang badan untuk melindunginya, tetap saja
Mendengar pernyataan menohok dari mantan kekasihnya, lantas Haris menajamkan pandang pada wanita di hadapannya. Setitik nyeri menyirami rongga dadanya. Alih-alih menyesal dan meminta maaf, lelaki itu justru tak mau terlihat lemah di mata Hasna."Kamu masih marah padaku, Hasna?" tanya Haris tak tahu malu."Saya sudah kenyang marah sama kamu. Saya harap, kamu jangan pernah ganggu saya dan Dian lagi. Anggap kami tak ada seperti saat kamu meninggalkan kami begitu saja. Saya dan Dian sudah bahagia. Jangan hanya kehidupanmu yang tak bahagia, kamu mengusik kami." Hasna menarik napas berat untuk menetralkan kekesalannya."Aku tahu Dian dan suaminya lagi pergi. Izinkan aku bertemu Citra," pinta Haris lagi."Tidak, lebih baik kamu pergi sekarang." Dengan sorot mata tajam Hasna mengusir ayah dari anaknya itu. Melihat Haris tak bergeming, ia kembali membentak lelaki di hadapannya."Pergi!""Baik, maaf sudah mengganggu."Setelah berpikir sejenak, Haris akhirnya mengalah. Lelaki itu melangkahkan ka
Dian yang baru saja turun dari mobil lantas memicingkan mata saat melihat ada mobil mantan suami terparkir di rumahnya. Pun dengan Rian, lelaki itu menampakkan wajah sinis tak suka. Sebelumnya Radit parkir di luar karena takut diusir, tetapi saat sudah diizinkan oleh Hasna, ia memarkirkan mobilnya di dalam."Ini mobil Mas Radit, berarti dia ada di dalam, lagi apa dia di sana?" bisik Dian pelan.Rian dan istrinya masuk ke rumah, di dalam mereka melihat Citra tengah tertawa riang di punggung Radit, mereka sedang bermain kuda-kudaan. Sementara Hasna dengan santainya duduk di sofa sambil membaca novel."Mamaaaa, Pappaaa."Citra yang menyadari kedatangan kedua orang tuanya itu turun dari punggung Radit lalu berlari dan memeluk Dian. Sedangkan Radit yang sebelumnya menungging, segera membenarkan posisinya dan duduk di lantai sambil menatap mantan istrinya."Citra lagi apa, sayang?"Dian membungkukkan tubuhnya agar sejajar dengan sang buah hati, wanita itu melirik Radit sekilas kemudian kemb