Farel gegas menarik lengannya dari pundak Maira yang sengaja ditempelkan. Lelaki itu salah tingkah dibuatnya. Ia pun tak menyangka kalau wanita kaku seperti Maira bisa menggodanya."Kenapa?"Maira menangkap tangan Farel sebelum lelaki itu berhasil menjauhkannya. Ia menggenggam jemari Farel erat sembari terus menatap suaminya dalam.Jauh dalam hatinya, Maira deg-degan tak karuan. Namun, ia ingat pesan ustazah Maryam kalau seorang istri harus meninggalkan rasa malu demi meraih keridhaan suaminya."Mai, kamu kesambet, ya?"Farel meletakan tangan satunya lagi di kening Maira, ia merasa aneh dengan apa yang dilakukan istrinya. Namun, tak dipungkiri ia merasa sangat senang dengan perlakuan istimewa ini."Enggak, emang gak boleh godain suami sendiri?" tanya Maira dengan menunjukkan wajah yang kian menggemaskan..Mendengar pertanyaan istrinya dengan ekspresi seperti itu, membuat hati Farel berbunga. Lelaki itu lantas membalas tatapan istrinya dengan mencondongkan wajah ke arahnya."Jadi aku s
Setelah menuntaskan kewajibannya, Farel bersandar pada dipan kasur. Sementara Maira merebahkan kepala di dada bidang suaminya."Terima kasih sudah mau menjalani hidup bersamaku, ya." Farel mengelus-elus kepala istrinya dengan penuh perasaan."Aku benar-benar gak nyangka bisa sedekat ini sama siluman yang tiba-tiba masuk ke kamar lewat jendela," jawab Maira dengan tatapan menerawang. Sesekali ia tersenyum membayangkan malam itu."Saat itu mungkin aku marah, akupun kecewa, terlebih saat Opa dan Papa langsung memutuskan untuk menikahkan kita. Tapi, sekarang aku mengerti, inilah yang disebut keajaiban," kata Farel sembari memerhatikan wajah cantik Maira yang seakan-akan telah menghipnotisnya."Ya, keajaiban. Jodoh memang tak mampu disangka arah kedatangannya. Aku berharap, setelah ini kita berusaha saling mencintai karena Allah. Saling bergandengan tangan seperti ini apapun yang terjadi, ya," kata Maira. Ia mengeratkan tautan jemarinya dengan sang suami kemudian menciumnya.Air mata wanit
"Lu gila ya ngomong begitu sama Kak Maira?"Abizar menarik lengan Syadea setelah jaraknya dengan gadis itu berdekatan."Lo pegang-pegang tangan gue, tau!"Syadea melirik ke arah jemari yang digenggam dan ditarik oleh lelaki yang merupakan sahabatnya. Sejenak Abizar pun melirik ke arah jemarinya yang refleks. Ia tahu, meskipun berteman tetapi Syadea tak ingin bermudah-mudah untuk bersentuhan. Walaubagaimanapun keduannya adalah dua insan berlawanan jenis."Iya, sorry."Abizar lantas melepaskan genggaman tangannya pada Syadea, tetapi kali ini Ia menatap wajah cantik nan imut di hadapannya."Gue cuma kesel aja, kenapa sih Kak Maira beruntung banget. Dia bisa dicintai sama Kak Boy, dia juga mendapatkan Pak Farel," ujarnya dengan mata berkaca-kaca.Abizar terdiam sejenak, ditatapnya netra gadis nan cantik itu dalam. Jauh dalam hatinya Ia mengerti dengan perasaan juga kekhawatiran Syadea. Hanya saja, menurutnya gadis itu berlebihan."Dea, meskipun Kak Boy mencintai Kak Maira, tapi gue yakin
Citra membirai senyum nan lebar kala kaki jenjang itu melangkah menuju kehidupan baru, kehidupan yang selama ini hanya hadir di dalam mimpi.Begitupun Boy, matanya tak berkedip menatap Citra. Kecantikan istrinya seakan-akan membuat hatinya bergetar dahsyat. Ia bahagia, tetapi sekaligus tersiksa sebab melihat Maira yang berada di samping sang istri tengah melangkah ke arahnya. Tatapan Maira laksana busur panah yang menancap langsung di jantungnya.Namun, Boy segera beristighfar, diam-diam ia menghela napas untuk menetralkan perasaannya. Tak mudah menghilangkan seseorang yang sudah masuk ke dalam hati, tetapi ia tak ingin mengagumi bidadari orang lain kendatipun begitu indah. Boy sadar semua tak lagi sama setelah akad terucap. Kini, ia ingin fokus pada miliknya saja."Di sini Citra, duduk, Nak."Radit dan Rian ikut membantu memapah Citra yang kecantikannya bak seorang putri. Dengan wajah sendu kedua lelaki itu menuntunnya duduk di samping Boy. Ada bahagia, sedih juga haru tercampur di d
"Terima kasih, Mai."Citra tersenyum sembari memeluk erat sepupunya. Pun Maira, air matanya merangsek membanjiri netra lentiknya."Sama-sama," jawab Maira."Semoga kita sama-sama bahagia dengan pasangan kita, ya." Citra berbisik lagi."Aamiin."Setelah puas berpelukan dengan sepupu yang juga sekaligus sahabatnya, Maira lantas menggenggam tangan sang suami di depan pengantin.Dada Boy sempat berdetak kencang saat melihatnya, tetapi ia berusaha menetralkan lagi dengan menatap istrinya."Ayo foto," ajak Citra."Ayo, siap."Maira menanggaapi dengan antusias, ia tak ingin ada yang peka sedikitpun dengan perasaannya. Maira lantas memposisikan diri di sebelah kanan Citra, sementara para suami memeluk istrinya masing-masing."Satu ... dua ... tigaa!"Foto dibidik tepat saat Citra dan Maira tersenyum pada pasangannya masing-masing."Oke," kata fotografer sembari mengangkat jempolnya.Namun, baru saja Maira dan Farel hendak turun, Syadea yang berwajah ceria berlari ke arah mereka dan mengajakny
Citra membirai senyum dari bibir manisnya, tubuh tanpa gamis dan hijab membuatnya nampak seksi. Kulit nan mulus dan terawat membuat Citra kian indah. Sehingga membuat Boy terpana pada kecantikan Citra yang belum pernah dilihatnya."Kamu mau mandi? Kalau mau mandi silakan, nanti aku beresin kamarnya," kata Citra dengan suara lembut, ia masih sangat malu. Namun, ia memberanikan diri dan melawan semua rasa malunya demi menyenangkan suami.Boy bangkit, lelah karena hampir seharian menerima tamu seakan-akan hilang begitu saja. Ia pun mengangguk dan berjalan menghampiri istrinya."Aku mandi dulu, ya."Boy nampak gugup, ia melangkah ke kamar mandi tetapi tak membawa handuk yang dipersiapkan oleh Citra. Sehingga, kening wanita itu mengerut melihat wajah gugup suaminya.Di dalam kamar mandi, Boy tersadar kalau handuk dan baju gantinya tertinggal. Meski sudah halal, ia masih cukup malu untuk keluar tanpa berbusana di depan Citra. Namun, untuk balik lagi pun ia sungkan karena merasa gugup bertem
Boy yang tengah menyuap sesendok nasi ke dalam mulut itu menghentikan aksinya sejenak. Ia hampir saja tersedak mendengar ocehan adik iparnya. Lelaki itu semakin salah tingkah saat semua mata tertuju padanya, juga menatapnya dengan senyuman menggoda.Begitupun Citra, ia salah tingkah mendengar adiknya mengusili Boy. Sebab, ia merasa Syadea pun mengisenginya."Enggak, aku memang cuma lapar kok," kata Boy dengan wajah polos, sehingga membuat keluarga besar Dian semakin gemas dengan ekspresinya."Iya, ya sudah lanjutkan makan, Boy. Nanti setelah ini kita ngobrol sebentar, ya."Rian yang tengah hendak menyuap nasi itupun menimpali, tatapannya sangat teduh pada keluarga barunya.Sepersekian detik Boy dan Citra berpandangan, jauh dalam hati keduanya memang sudah ingin ke kamar dan kembali melanjutkan apa yang sempat gagal. Namun, Boy tak mungkin menolak ajakan Rian."Oh iya, Pak." Boy mengangguk setengah ragu."Mau apa sih Om, gak melihat mukanya cemas gitu?"Salah satu kerabat Rian yang tin
"Udaranya enak, ya."Citra bersandar di bahu Boy, sementara jemarinya digenggam erat oleh lelaki yang telah menghalalkannya."Iya, cerah lagi," bisik Boy di telinga sang istri. Matanya menatap langit yang kian indah di malam hari."Boy, boleh aku bertanya?""Boleh, tanya apa?"Boy yang tengah menatap langit yang dihiasi gemintang itu menoleh ke arah sang istri."Apa yang kamu rasakan waktu tahu aku meminang kamu lebih dulu?"Citra yang tengah menatap lautan itupun menoleh ke arah suaminya. Kini, kedua manik hitam mereka bertatapan.Boy terdiam sejenak. Masih terekam jelas di ingatan bahwa penyebab ia mempertimbangkan Citra adalah penolakan Maira.Saat ini Boy bingung, selama taaruf ia tak mengatakan pernah melamar Maira. Sebab, ia sudah tahu bagaimana perasaan Citra terhadapnya. Boy takut, dengan kejujurannya membuat keceriaan Citra berubah."Kaget," jawab Boy singkat."Kamu ilfeel enggak?" tanya Citra lagi."Kalau ilfeel mungkin kita gak akan bisa seperti ini."Boy mencolek hidung ma
"Sayang."Beni menghampiri Nengsih yang masih tersedu-sedu. Air mata wanita itu sulit terhenti. Hatinya masih saja nyeri membayangkan masalah yang menimpa keluarganya."Hmmm."Nengsih hanya berdehem, setelah jarak suaminya dekat, ia pun justru mengalihkan pandangan. Kondisi mood sedang buruk lantaran tengah premenstrual syndrom. Sehingga, hormonnya sangat berpengaruh terhadap masalah yang tengah dihadapi.Biasanya, Nengsih akan berpikir rasional. Namun, entah mengapa kali ini seakan-akan ia membenarkan ucapan Abizar bahwa semua yang terjadi antara keluarganya dengan keluarga Tiara disebabkan oleh pengkhianatan suaminya.Beni yang lelah, lantas mencoba diam, lelaki itu mencerna sikap istrinya kemudian instrospeksi diri. Namun, setelah diperhatikan sekian lama ia baru peka bahwa istrinya tengah mengalami mood swing. Sehingga, ia memeluk istrinya dari belakang, tak peduli Nengsih mengamuk, ia hanya ingin menunjukkan bahwa dirinya sangat mencintai sang istri dibandingkan orang lain."Apaa
"Ya udah, sambil nunggu Kak Citra masuk aja dulu, yuk."Kedua insan itu lantas masuk ke rumah Dian. Di dalam, Abizar langsung disambut hangat oleh Dian."Abizar, apa kabar?" tanya Dian begitu pandangannya bersitatap dengan putra kedua Beni."Alhamdulillah, aku sehat Tante, Tante Dian apa kabar?"Abizar meraih tangan Dian lalu menciumnya takzim. Lelaki itu kemudian duduk di sofa, sementara Syadea pergi ke dapur untuk mengambilkan jamuan untuk sahabatnya."Katanya mau berangkat siang, ini masih pagi, lho," ujar Dian, ia menoleh ke arah jam dinding yang baru menunjukkan pukul sembilan.Belum sempat Abizar menjawab, Syadea yang baru kembali dari dapur sembari membawa air dan kudapan itu menyahut."Biasa Ma, dia gak sabar," ujar Syadea dengan menaikkan sebelah alisnya.Dian tersenyum, wanita itu kemudian menganggukkan kepala dan pergi ke halaman rumah untuk mengurus semua tanaman hias kesayangannya.Setelah Dian berlalu, wajah Abizar kembali pias kala mengingat sang ayah. Rasa kecewa kemba
Beni mengejar istrinya yang tengah dikuasai emosi. Lelaki itu tahu betul bukan seperti ini karakter Nengsih. Namun, ia pun memaklumi apa yang dirasakan sang istri."Sayang, tunggu!"Beni menyeru istrinya yang baru saja membuka pintu kamar. Sedangkan Nengsih yang baru saja memutar kenop pintu itu menghentikan langkahnya sejenak. Wanita itu terisak, kemudian menyeka air mata yang berkejaran di pipinya.Melihat butiran kristal yang terus meluruh dari manik belahan jiwanya, Beni lantas memeluk sang istri erat. Ia tak mengatakan apapun meski ada yang ingin dikatakan.Beni memilih untuk membiarkan Nengsih mengekspresikan perasaannya. Sedih, marah, kecewa adalah rasa yang sangat manusiawi. Sebaik apapun sang istri, lelaki itu sadar wanitanya bukanlah malaikat. Sama seperti dirinya, kendatipun sudah berusaha menjadi orang baik, tetap saja ia selalu melakukan kesalahan."Mungkin benar kata Abizar, aku yang membuat semua jadi begini, andai aku gak menikahi Tiara untuk membantunya, andai aku jug
Mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Asih, Beni dan istrinya lantas saling pandang. kedua insan itu mengerutkan dahi sebab rasa penasaran."Maksud Bu Asih?" tanya Nengsih tak mengerti.Begitupun dengan Beni, ia menatap mata mantan mertuanya penuh selidik. Entah, lelaki itu merasa ada makna tersirat dari kalimat yang diucapkan oleh Asih.Tak langsung menjawab, Asih justru menangis semakin kencang hingga membuat Abizar yang sebelumnya tak peduli dengan tamu kedua orang tuanya pun ikut menghampiri."Ma, Pa, ada apa?" tanya Abizar setengah berlari, ia takut ada orang kesurupan di rumahnya mengingat sang ibu pernah diganggu makhluk halus."Ssst, gak ada apa-apa," jawab Beni dengan meletakkan jari telunjuk di bibirnya.Namun, bukannya pergi, Abizar justru tertarik ingin mendengar obrolan mereka. Sehingga, lelaki kelas tiga sekolah menengah atas itu duduk di kursi lainnya yang kosong.Asih yang tengah menangis tak memedulikan kehadiran putra Beni, ia tak lagi malu untuk mengemis maaf."Be
Alarm berbunyi di pukul empat pagi. Sehingga, membuat Citra dan suaminya terperanjat. Boy yang masih merasa lelah itupun meraih ponsel di atas meja, kemudian ia mematikan alarmnya. Namun, bukannya bangkit, lelaki itu justru merebahkan lagi kepalanya ke atas bantal."Kok tidur lagi?"Citra yang juga terbangun karena mendengar alarm lantas menoleh ke arah suaminya. Tubuh keduanya masih polos dan hanya ditutupi oleh selimut saja."Masih ngantuk," jawab Boy dengan suara parau. Matanya seakan-akan sulit terbuka karena rasa lelahnya."Ish, bangun yuk, sebentar lagi kan subuh," ajak Citra.Wanita yang baru saja melepas kegadisannya itu bangkit kemudian duduk di samping Boy, ia menutup dadanya dengan selimut yang dikenakan."Hufft, ayo."Meskipun masih terasa lelah karena pertarungan semalam, tetapi Boy masih selalu ingat dengan kewajibannya. Kendatipun mengantuk dan kerap dihantui rasa malas, tetapi ia selalu bangun untuk bersih-bersih sebelum subuh.Lelaki itu lantas ikut bangkit lalu menci
"Kamu siap, gak?" tanya Boy.Lelaki itu berbisik di daun telinga sang istri dengan suara lembut dan berat. Sementara Citra hanya mengangguk dengan wajah tersipu."Tapi kita harus berdoa dulu," ujar Citra.Ia hampir tak berani melihat mata suaminya sebab malu, takut dan gelisah terus menghantuinya. Namun, tak dipungkiri ia pun sangat menginginkan malam ini."Iya, aku tahu, yuk kita berdoa dulu," jawab Boy.Keduanya saling melempar senyum, kemudian melafalkan doa sebelum berhubungan. Keduanya berharap semoga setelah malam ini akan lahir keturunan yang sholeh dan sholehah.Namun, setelah berdoa keduanya justru merasa kaku dan malu. Citra bingung begitupun Boy, sehingga lelaki dengan janggut tipis itu menggaruk-garuk kepala sebab salah tingkah yang membuat keduanya tertawa.Tak ingin gagal, Boy yang sangat senang dengan bibir istrinya lantas kembali melabuhkannya di sana. Pun Citra, ia sudah merasa terbiasa sehingga tak lagi malu seperti saat pertama menikah.Lama Boy memainkan bibirnya d
"Aku sakit karena membaca surat kamu sama Maira," jawab Citra, bukannya sedih, gadis itu justru tertawa mengingat kekonyolannya. Namun, tidak bagi Boy, ia justru semakin merasa bersalah dan menyadari betapa besar cinta sang istri padanya."Iya kah?" tanya Boy."Iya, kamu tahu gak, kamu adalah orang pertama yang aku cintai."Citra melanjutkan perjalanan, sementara Boy terus menatapnya dengan perasaan kagum juga bahagia."Aku berasa terbang karena dicintai begitu dalam," jawab Boy sembari tertawa. Lelaki itupun meraih kembali jemari Citra dan menuntunnya keluar dari area makam.Setelah sampai di parkiran, Boy meraih helm dan membantu Citra mengenakannya."Aku juga bisa pakai sendiri," tolak Citra, tetapi tak dipungkiri hatinya meleleh dengan perlakuan Boy yang begitu manis."Gak apa-apa, kamu cantik kalau pakai helm," puji Boy sembari menepuk-nepuk benda penutup kepala itu lembut."Ya sudah, sekarang kita cari masjid dulu yuk, habis itu kita makan, aku laper," ajak Citra."Ayok," balas
"Kak Farel, ada Oma sama Opa."Maira berbisik di telinga suaminya. Ia malu sebab ketahuan bermesraan di dapur. Sehingga, keduanya yang tengah berhadapan dengan jarak yang sangat dekat itu lantas menjauh."Gak usah malu, justru kita senang ya, Mas," ujar Indira pada suaminya.kedua pasangan berusia lanjut itu saling melempar senyum. Indira tanpa ragu menggandeng lengan suaminya di hadapan pengantin baru itu."Iya, gak apa-apa, jangan kalah sama kita yang udah tua," sahut Adi sembari tertawa kemudian berlalu meninggalkan Maira dan suaminya di sana.Saat langkah Adi menjauh, Farel masih tersenyum lebar. Ia sangat bahagia karena melihat keromantisan nenek dan kakek Maira meski sudah berusia lanjut."Oma sama Opa romantis banget, ya. Pasti dulu mereka saling mencintai," puji Farel saat kedua orang yang merawat istrinya pergi."Enggak, justru di masa lalu mereka pernah bercerai. Bahkan, kehadiran Mama pun belum bisa membuat Oma mencintai suaminya," balas Maira."Yang benar?"Farel terkejut,
Di rumah Indira, Maira tengah memasak untuk sarapan. Sementara nenek dan kakeknya tengah berjalan-jalan pagi. Mereka sadar sudah tak muda lagi dan harus memerhatikan kesehatan agar tak menjadi pesakitan."Masak apa?"Farel yang baru saja keluar kamar itu menghampiri sang istri, ia memeluk Maira dari belakang sehingga membuat istrinya sedikit terkejut."Eh, aku masak nasi goreng buat sarapan," jawab Maira.Wanita itu membiarkan tangan suaminya melingkar di pinggang. Sehingga, Maira bisa merasakan kehangatan di punggungnya yang menempel dengan dada Farel."Baunya enak," puji Farel.Melihat rambut Maira yang diikat ke belakang dan menampilkan leher jenjang membuat kecantikan wanita itu kian paripurna. Sehingga, membuat Farel semakin senang bermanja-manja dengannya."Oh ya, hari ini mau temani aku ke kantor, enggak?" tanya Maira.Saat libur kuliah, ia memang sering menghabiskan waktu untuk mengurus perusahaan Mega. Maira yang memang mengambil jurusan manajemen dan administrasi bisnis itu