"Mas, Mas...."Dian berteriak ke arah suaminya, sontak Rian yang tengah mengecek kerusakan mesin itu mendongak. Lelaki itu melangkah dan mengintip dari jendela."Kenapa?""Raya katanya ditangkap, aku takut terjadi sesuatu pada Raya."Dian semakin gelisah, sementara Citra tetap mengoceh dalam gendongannya."Kata siapa?" Rian memastikan."Tadi Pak Beni menelpon," balas Dian.Rian lantas mengambil ponselnya kemudian menelpon seseorang.***Si kepala pelontos baru saja menutup panggilan saat tiba-tiba tubuhnya dihajar dari arah belakang hingga ia tersungkur."Dasar pengkhianat."Temannya yang bertubuh tegap ternyata mendengar pembicaraan si pelontos dengan Rian melalui panggilan telepon.Si kepala pelontos itu membocorkan lokasi keberadaan Raya yang dirinya pun baru saja tahu. Sebelumnya ia hanya disuruh untuk menangkap Dian dan keluarganya. Hanya lelaki bertubuh tegap saja yang tahu ke mana mereka akan dibawa. Namun, diam-diam si kepala pelontos itu mencuri informasi dan ia bocorkan pada
"Aku khawatir dengan Raya."Indira mondar-mandir dengan wajah gelisah, sementara Dian menemani Citra dan Maira bermain sembari menonton tayangan televisi."Aku juga khawatir, lebih baik kita shalat Ashar dulu yuk Indira." Hasna mengelus pundak adiknya yang gelisah."Tapi Mbak, aku lupa bacaan shalat." Indira menunduk, sudah bertahun-tahun ia tak pernah beribadah pada Sang Pencipta."Gak apa-apa, seingatnya saja, yang penting niatnya."Tangan Hasna turun ke jemari Indira, wanita itu menggenggam erat adiknya."Tapi apa Allah akan dengar do'aku? Apa Allah akan ampuni aku, Mbak?"Indira mendongak, terbesit keraguan dalam dadanya, ia menyadari sudah banyak sekali dosa yang diperbuat, ia takut Tuhan tidak mengampuninya."Meski kita datang berlumur dosa setinggi gunung, jika hati tulus bertaubat, Allah pasti akan mengampuninya." Hasna menatap manik hitam Indira lembut."Ajari aku shalat, Mbak," pinta Indira, ia membalas tatapan Hasna dengan mata berkaca-kaca.Dian yang melihat pemandangan ha
"Bagaimana keadaan kamu sekarang?" Pak Beni menghampiri Nengsih yang sudah terbangun dari tidurnya dan sedang memainkan ponsel. "Sudah membaik, hanya saja luka bekas goresan masih sedikit perih." "Syukurlah." Pak Beni mengembuskan napas lega. "Bagaimana kabar Bu Raya, apakah beliau baik-baik saja?" Nengsih menatap mata lelaki itu dalam, ia ingin tahu tentang kabar wanita yang telah menyelamatkan hidupnya dari kematian. "Raya sedang berjuang di ruang operasi. Proyektil peluru menembus punggungnya begitu dalam. Raya juga kehilangan banyak darah." Pak Beni menunduk, lelaki itu nampak gelisah memikirkan kondisi wanita spesialnya. Setelah melihat kondisi Raya yang kian mengkhawatirkan, rasa ketakutannya semakin besar. Ia baru menyadari kalau dalam dadanya telah tumbuh benih-benih cinta untuk Raya sejak pertama melihatnya. "Semoga Bu Raya kuat. Maafkan aku, seharusnya aku yang di sana. Bukan Bu Raya." Nengsih menunduk, air matanya menetes dari pelupuk netra. Rasa bersalah kian mengh
Dokter dan semua tenaga medis berjibaku dengan tugasnya di ruang ICU. Di luar ruangan, Dian dan Indira terus berdoa untuk kesehatan Raya. Wajah mereka dipenuhi kekhawatiran. Sementara Adi pulang dulu untuk mengambil keperluan, sedangkan Pak Beni menemani Nengsih di ruangan lainnya."Ya Allah, lindungi anakku. Jaga dia ya Allah." Indira tak henti-hentinya memohon sambil menangis. Wanita itu takut terjadi sesuatu pada Raya."Ya Rabb, lindungi Raya. Kuatkan dia untuk melewati masa-masa ini." Dian pun berdoa dengan penuh pengharapan pada Sang Pencipta.Dalam tangis Indira melirik jam di ponselnya. Waktu isya sudah berlalu beberapa jam yang lalu, tetapi ia belum shalat."Dian, Tante shalat dulu ya." Indira menepuk pundak keponakannya."Iya Tante," balas Dian, ia menganggukkan kepalanya sembari menyeka bulir bening yang terus berkejaran di pelupuk netra."Kalau ada informasi tentang Raya, kamu kabari Tante, ya." Indira melangkah dengan gontai menuju mushola rumah sakit.Indira melaksanakan
Sekitar dua tahun yang lalu, saya difitnah membunuh seseorang dan dipenjara. Awalnya saya kira orang yang memfitnah adalah mantan atasan saya ditempat kerja karena saat itu saya memang sedang terlibat suatu perjanjian dengannya.Kemarahan saya semakin besar saat rumah orang tua saya dibakar, terlebih keluarga saya meninggal karena musibah itu. Beruntung saya bisa keluar dari penjara berkat bantuan seseorang yang saya anggap malaikat.Sejak saat itu saya berniat membalas dendam padanya. Namun, ternyata, semua rangkaian peristiwa mengerikan dalam hidup saya itu adalah perbuatan orang yang saya anggap malaikat. Justru, orang yang sangat saya benci adalah orang yang paling baik pada saya.Sekarang saya senang mendengar kabar bahwa iblis yang menyerupai malaikat itu telah tewas dalam kejaran polisi. Saya bahagia karena rencana pembunuhannya telah gagal. Meski dia berasal dari keluarga berada dan cukup berpengaruh, tetapi Allah tidak pernah tidur. Kekuatannya tidak sebanding dengan kekuatan
"Apa, Raya meninggal?" Ajeng yang baru saja bangun tidur itu terkejut mendengar kabar buruk tentang mantan menantunya."Iya, aku lihat status WhatsApp Dian." Radit menimpali."Ya sudah, ayo kita siap-siap melayat," balas Ajeng. Meski tidak suka dengan Raya, tetapi wanita itu pernah menjadi bagian dalam keluarganya. Sementara Radit masih terpaku, ia tak mengerti mengapa kematian Mawar dan Raya terjadi di waktu yang bersamaan.***"Sayang, ternyata Raya meninggal." Haris memberi kabar pada Mega yang baru saja bangun."Syukurlah, akhirnya doaku terkabul. Nanti siang kita takjiyah yuk, kan pagi ini aku sudah boleh pulang," ajak Mega dengan senyum semringah.Tak perlu mendapatkan obat, mendengar kabar kematian Raya pun sudah memacu dirinya agar kembali sehat. Karena selama ini, Mega memang sangat menginginkan mantan kekasih anaknya itu mati.***Semua warga berkumpul di kediaman Indira. Tikar sudah dipersiapkan untuk menyambut kedatangan jenazah Raya. Sementara Maira terlelap di kamarnya.
Ibu-ibu yang dirahmati Allah, setiap yang bernyawa pasti akan mati. Malaikat maut akan datang tanpa meminta persetujuan kita. Setelah kematian terpampang jelas di hadapan kita, saat itu juga sebanyak apapun harta kita tidak akan bisa menyogok malaikat. Maka dari itu, yuk kita gunakan sisa-sisa kehidupan di dunia ini dengan ibadah. Sebanyak apapun dosa kita di masa lalu, Allah yang maha pengampun pasti akan mengampuni semua dosa yang kita lakukan langsung pada-Nya. Tapi, dosa kita akan berat jika menyangkut dengan orang lain. Maka dari itu ibu-ibu, yuk kita saling memaafkan. Karena kita tidak pernah tahu, kapan malaikat maut akan menjemput kita.Perkataan ustazah Masitoh satu Minggu yang lalu terus terngiang-ngiang di telinga Ajeng. Wanita yang terpaksa pergi ke pengajian hanya karena tidak enak pada tetangganya itu merasa tertampar dengan tema yang dibahas.Ajeng pun tak mengerti. Biasanya ia selalu enggan diajak ke acara yang berbau agama. Namun, entah mengapa Minggu lalu itu dirinya
Indira tengah duduk di sebuah kursi yang disediakan khusus untuknya. Melihat tubuh Raya yang dipindahkan ke dalam tanah membuat hatinya tergores nyeri. Wanita itu terisak, ia tak kuasa melihat pemandangan di depannya, tetapi ia pun bersikeras ingin tetap melihat pemakaman anaknya.Hasna terus mengelus pundak adiknya dengan mata basah. Begitupun Dian dan Nengsih, kedua wanita itu tak mampu menghentikan laju air mata yang terus berdesakan keluar dari netra.Hati Nengsih kian nyeri, rasa bersalah begitu menghantui pikirannya. Hanya saja, untuk saat ini ia tak mampu berbuat apapun selain menyesal. Dian yang mengerti dengan perasaan wanita di sampingnya, lantas menggenggam tangan Nengsih agar ia tak terlalu merasa bersalah."Gak apa-apa Neng, semua sudah jalannya. Kita smua terpukul, tapi ini sudah takdir." Dian berusaha tegar. Padahal, dalam hatinya ia pun merasa rapuh.Radit memperhatikan Citra yang tengah digendong oleh Rian. Lelaki itu ingin sekali memeluk anaknya, tetapi ia sadar dir