"Aku khawatir dengan Raya."Indira mondar-mandir dengan wajah gelisah, sementara Dian menemani Citra dan Maira bermain sembari menonton tayangan televisi."Aku juga khawatir, lebih baik kita shalat Ashar dulu yuk Indira." Hasna mengelus pundak adiknya yang gelisah."Tapi Mbak, aku lupa bacaan shalat." Indira menunduk, sudah bertahun-tahun ia tak pernah beribadah pada Sang Pencipta."Gak apa-apa, seingatnya saja, yang penting niatnya."Tangan Hasna turun ke jemari Indira, wanita itu menggenggam erat adiknya."Tapi apa Allah akan dengar do'aku? Apa Allah akan ampuni aku, Mbak?"Indira mendongak, terbesit keraguan dalam dadanya, ia menyadari sudah banyak sekali dosa yang diperbuat, ia takut Tuhan tidak mengampuninya."Meski kita datang berlumur dosa setinggi gunung, jika hati tulus bertaubat, Allah pasti akan mengampuninya." Hasna menatap manik hitam Indira lembut."Ajari aku shalat, Mbak," pinta Indira, ia membalas tatapan Hasna dengan mata berkaca-kaca.Dian yang melihat pemandangan ha
"Bagaimana keadaan kamu sekarang?" Pak Beni menghampiri Nengsih yang sudah terbangun dari tidurnya dan sedang memainkan ponsel. "Sudah membaik, hanya saja luka bekas goresan masih sedikit perih." "Syukurlah." Pak Beni mengembuskan napas lega. "Bagaimana kabar Bu Raya, apakah beliau baik-baik saja?" Nengsih menatap mata lelaki itu dalam, ia ingin tahu tentang kabar wanita yang telah menyelamatkan hidupnya dari kematian. "Raya sedang berjuang di ruang operasi. Proyektil peluru menembus punggungnya begitu dalam. Raya juga kehilangan banyak darah." Pak Beni menunduk, lelaki itu nampak gelisah memikirkan kondisi wanita spesialnya. Setelah melihat kondisi Raya yang kian mengkhawatirkan, rasa ketakutannya semakin besar. Ia baru menyadari kalau dalam dadanya telah tumbuh benih-benih cinta untuk Raya sejak pertama melihatnya. "Semoga Bu Raya kuat. Maafkan aku, seharusnya aku yang di sana. Bukan Bu Raya." Nengsih menunduk, air matanya menetes dari pelupuk netra. Rasa bersalah kian mengh
Dokter dan semua tenaga medis berjibaku dengan tugasnya di ruang ICU. Di luar ruangan, Dian dan Indira terus berdoa untuk kesehatan Raya. Wajah mereka dipenuhi kekhawatiran. Sementara Adi pulang dulu untuk mengambil keperluan, sedangkan Pak Beni menemani Nengsih di ruangan lainnya."Ya Allah, lindungi anakku. Jaga dia ya Allah." Indira tak henti-hentinya memohon sambil menangis. Wanita itu takut terjadi sesuatu pada Raya."Ya Rabb, lindungi Raya. Kuatkan dia untuk melewati masa-masa ini." Dian pun berdoa dengan penuh pengharapan pada Sang Pencipta.Dalam tangis Indira melirik jam di ponselnya. Waktu isya sudah berlalu beberapa jam yang lalu, tetapi ia belum shalat."Dian, Tante shalat dulu ya." Indira menepuk pundak keponakannya."Iya Tante," balas Dian, ia menganggukkan kepalanya sembari menyeka bulir bening yang terus berkejaran di pelupuk netra."Kalau ada informasi tentang Raya, kamu kabari Tante, ya." Indira melangkah dengan gontai menuju mushola rumah sakit.Indira melaksanakan
Sekitar dua tahun yang lalu, saya difitnah membunuh seseorang dan dipenjara. Awalnya saya kira orang yang memfitnah adalah mantan atasan saya ditempat kerja karena saat itu saya memang sedang terlibat suatu perjanjian dengannya.Kemarahan saya semakin besar saat rumah orang tua saya dibakar, terlebih keluarga saya meninggal karena musibah itu. Beruntung saya bisa keluar dari penjara berkat bantuan seseorang yang saya anggap malaikat.Sejak saat itu saya berniat membalas dendam padanya. Namun, ternyata, semua rangkaian peristiwa mengerikan dalam hidup saya itu adalah perbuatan orang yang saya anggap malaikat. Justru, orang yang sangat saya benci adalah orang yang paling baik pada saya.Sekarang saya senang mendengar kabar bahwa iblis yang menyerupai malaikat itu telah tewas dalam kejaran polisi. Saya bahagia karena rencana pembunuhannya telah gagal. Meski dia berasal dari keluarga berada dan cukup berpengaruh, tetapi Allah tidak pernah tidur. Kekuatannya tidak sebanding dengan kekuatan
"Apa, Raya meninggal?" Ajeng yang baru saja bangun tidur itu terkejut mendengar kabar buruk tentang mantan menantunya."Iya, aku lihat status WhatsApp Dian." Radit menimpali."Ya sudah, ayo kita siap-siap melayat," balas Ajeng. Meski tidak suka dengan Raya, tetapi wanita itu pernah menjadi bagian dalam keluarganya. Sementara Radit masih terpaku, ia tak mengerti mengapa kematian Mawar dan Raya terjadi di waktu yang bersamaan.***"Sayang, ternyata Raya meninggal." Haris memberi kabar pada Mega yang baru saja bangun."Syukurlah, akhirnya doaku terkabul. Nanti siang kita takjiyah yuk, kan pagi ini aku sudah boleh pulang," ajak Mega dengan senyum semringah.Tak perlu mendapatkan obat, mendengar kabar kematian Raya pun sudah memacu dirinya agar kembali sehat. Karena selama ini, Mega memang sangat menginginkan mantan kekasih anaknya itu mati.***Semua warga berkumpul di kediaman Indira. Tikar sudah dipersiapkan untuk menyambut kedatangan jenazah Raya. Sementara Maira terlelap di kamarnya.
Ibu-ibu yang dirahmati Allah, setiap yang bernyawa pasti akan mati. Malaikat maut akan datang tanpa meminta persetujuan kita. Setelah kematian terpampang jelas di hadapan kita, saat itu juga sebanyak apapun harta kita tidak akan bisa menyogok malaikat. Maka dari itu, yuk kita gunakan sisa-sisa kehidupan di dunia ini dengan ibadah. Sebanyak apapun dosa kita di masa lalu, Allah yang maha pengampun pasti akan mengampuni semua dosa yang kita lakukan langsung pada-Nya. Tapi, dosa kita akan berat jika menyangkut dengan orang lain. Maka dari itu ibu-ibu, yuk kita saling memaafkan. Karena kita tidak pernah tahu, kapan malaikat maut akan menjemput kita.Perkataan ustazah Masitoh satu Minggu yang lalu terus terngiang-ngiang di telinga Ajeng. Wanita yang terpaksa pergi ke pengajian hanya karena tidak enak pada tetangganya itu merasa tertampar dengan tema yang dibahas.Ajeng pun tak mengerti. Biasanya ia selalu enggan diajak ke acara yang berbau agama. Namun, entah mengapa Minggu lalu itu dirinya
Indira tengah duduk di sebuah kursi yang disediakan khusus untuknya. Melihat tubuh Raya yang dipindahkan ke dalam tanah membuat hatinya tergores nyeri. Wanita itu terisak, ia tak kuasa melihat pemandangan di depannya, tetapi ia pun bersikeras ingin tetap melihat pemakaman anaknya.Hasna terus mengelus pundak adiknya dengan mata basah. Begitupun Dian dan Nengsih, kedua wanita itu tak mampu menghentikan laju air mata yang terus berdesakan keluar dari netra.Hati Nengsih kian nyeri, rasa bersalah begitu menghantui pikirannya. Hanya saja, untuk saat ini ia tak mampu berbuat apapun selain menyesal. Dian yang mengerti dengan perasaan wanita di sampingnya, lantas menggenggam tangan Nengsih agar ia tak terlalu merasa bersalah."Gak apa-apa Neng, semua sudah jalannya. Kita smua terpukul, tapi ini sudah takdir." Dian berusaha tegar. Padahal, dalam hatinya ia pun merasa rapuh.Radit memperhatikan Citra yang tengah digendong oleh Rian. Lelaki itu ingin sekali memeluk anaknya, tetapi ia sadar dir
. "Itu Mama."Ajeng menuntun Citra ke arah Dian yang tengah mengobrol dengan anaknya. Melihat itu, hati Ajeng terasa linu, terbersit sesal dalam hati yang hanya bisa ditelan. Andai dirinya tak ikut campur dengan urusan rumah tangga anaknya di masa lalu, pastilah Radit bahagia bersama Dian."Dari mana, sayang?" tanya Dian yang menyadari kedatangan mantan mertua bersama Citra, ia meraih sang putri lalu memeluknya."Dadan." Citra menunjukkan sebuah biskuit ke wajah ibunya."Oh, jajan." Dian mengulangi kalimat gadis kecil berusia satu tahun setengah itu."Dian, terima kasih ya sudah membolehkan Citra bermain dengan ibu."Ajeng menatap lekat mata mantan menantunya yang teduh itu. Sorot bahagia terpancar di wajahnya. Meski Ajeng yakin, Dian dan Hasna membolehkan dirinya bermain dengan Citra hanya karena kondisi yang sedang ruwet jika ada anak kecil. Kendatipun demikian, Ajeng tetap senang."Sama-sama, Bu," balas Dian, bibir merahnya menyimpulkan senyum manis. Wanita itu merasakan perubahan
"Sayang."Beni menghampiri Nengsih yang masih tersedu-sedu. Air mata wanita itu sulit terhenti. Hatinya masih saja nyeri membayangkan masalah yang menimpa keluarganya."Hmmm."Nengsih hanya berdehem, setelah jarak suaminya dekat, ia pun justru mengalihkan pandangan. Kondisi mood sedang buruk lantaran tengah premenstrual syndrom. Sehingga, hormonnya sangat berpengaruh terhadap masalah yang tengah dihadapi.Biasanya, Nengsih akan berpikir rasional. Namun, entah mengapa kali ini seakan-akan ia membenarkan ucapan Abizar bahwa semua yang terjadi antara keluarganya dengan keluarga Tiara disebabkan oleh pengkhianatan suaminya.Beni yang lelah, lantas mencoba diam, lelaki itu mencerna sikap istrinya kemudian instrospeksi diri. Namun, setelah diperhatikan sekian lama ia baru peka bahwa istrinya tengah mengalami mood swing. Sehingga, ia memeluk istrinya dari belakang, tak peduli Nengsih mengamuk, ia hanya ingin menunjukkan bahwa dirinya sangat mencintai sang istri dibandingkan orang lain."Apaa
"Ya udah, sambil nunggu Kak Citra masuk aja dulu, yuk."Kedua insan itu lantas masuk ke rumah Dian. Di dalam, Abizar langsung disambut hangat oleh Dian."Abizar, apa kabar?" tanya Dian begitu pandangannya bersitatap dengan putra kedua Beni."Alhamdulillah, aku sehat Tante, Tante Dian apa kabar?"Abizar meraih tangan Dian lalu menciumnya takzim. Lelaki itu kemudian duduk di sofa, sementara Syadea pergi ke dapur untuk mengambilkan jamuan untuk sahabatnya."Katanya mau berangkat siang, ini masih pagi, lho," ujar Dian, ia menoleh ke arah jam dinding yang baru menunjukkan pukul sembilan.Belum sempat Abizar menjawab, Syadea yang baru kembali dari dapur sembari membawa air dan kudapan itu menyahut."Biasa Ma, dia gak sabar," ujar Syadea dengan menaikkan sebelah alisnya.Dian tersenyum, wanita itu kemudian menganggukkan kepala dan pergi ke halaman rumah untuk mengurus semua tanaman hias kesayangannya.Setelah Dian berlalu, wajah Abizar kembali pias kala mengingat sang ayah. Rasa kecewa kemba
Beni mengejar istrinya yang tengah dikuasai emosi. Lelaki itu tahu betul bukan seperti ini karakter Nengsih. Namun, ia pun memaklumi apa yang dirasakan sang istri."Sayang, tunggu!"Beni menyeru istrinya yang baru saja membuka pintu kamar. Sedangkan Nengsih yang baru saja memutar kenop pintu itu menghentikan langkahnya sejenak. Wanita itu terisak, kemudian menyeka air mata yang berkejaran di pipinya.Melihat butiran kristal yang terus meluruh dari manik belahan jiwanya, Beni lantas memeluk sang istri erat. Ia tak mengatakan apapun meski ada yang ingin dikatakan.Beni memilih untuk membiarkan Nengsih mengekspresikan perasaannya. Sedih, marah, kecewa adalah rasa yang sangat manusiawi. Sebaik apapun sang istri, lelaki itu sadar wanitanya bukanlah malaikat. Sama seperti dirinya, kendatipun sudah berusaha menjadi orang baik, tetap saja ia selalu melakukan kesalahan."Mungkin benar kata Abizar, aku yang membuat semua jadi begini, andai aku gak menikahi Tiara untuk membantunya, andai aku jug
Mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Asih, Beni dan istrinya lantas saling pandang. kedua insan itu mengerutkan dahi sebab rasa penasaran."Maksud Bu Asih?" tanya Nengsih tak mengerti.Begitupun dengan Beni, ia menatap mata mantan mertuanya penuh selidik. Entah, lelaki itu merasa ada makna tersirat dari kalimat yang diucapkan oleh Asih.Tak langsung menjawab, Asih justru menangis semakin kencang hingga membuat Abizar yang sebelumnya tak peduli dengan tamu kedua orang tuanya pun ikut menghampiri."Ma, Pa, ada apa?" tanya Abizar setengah berlari, ia takut ada orang kesurupan di rumahnya mengingat sang ibu pernah diganggu makhluk halus."Ssst, gak ada apa-apa," jawab Beni dengan meletakkan jari telunjuk di bibirnya.Namun, bukannya pergi, Abizar justru tertarik ingin mendengar obrolan mereka. Sehingga, lelaki kelas tiga sekolah menengah atas itu duduk di kursi lainnya yang kosong.Asih yang tengah menangis tak memedulikan kehadiran putra Beni, ia tak lagi malu untuk mengemis maaf."Be
Alarm berbunyi di pukul empat pagi. Sehingga, membuat Citra dan suaminya terperanjat. Boy yang masih merasa lelah itupun meraih ponsel di atas meja, kemudian ia mematikan alarmnya. Namun, bukannya bangkit, lelaki itu justru merebahkan lagi kepalanya ke atas bantal."Kok tidur lagi?"Citra yang juga terbangun karena mendengar alarm lantas menoleh ke arah suaminya. Tubuh keduanya masih polos dan hanya ditutupi oleh selimut saja."Masih ngantuk," jawab Boy dengan suara parau. Matanya seakan-akan sulit terbuka karena rasa lelahnya."Ish, bangun yuk, sebentar lagi kan subuh," ajak Citra.Wanita yang baru saja melepas kegadisannya itu bangkit kemudian duduk di samping Boy, ia menutup dadanya dengan selimut yang dikenakan."Hufft, ayo."Meskipun masih terasa lelah karena pertarungan semalam, tetapi Boy masih selalu ingat dengan kewajibannya. Kendatipun mengantuk dan kerap dihantui rasa malas, tetapi ia selalu bangun untuk bersih-bersih sebelum subuh.Lelaki itu lantas ikut bangkit lalu menci
"Kamu siap, gak?" tanya Boy.Lelaki itu berbisik di daun telinga sang istri dengan suara lembut dan berat. Sementara Citra hanya mengangguk dengan wajah tersipu."Tapi kita harus berdoa dulu," ujar Citra.Ia hampir tak berani melihat mata suaminya sebab malu, takut dan gelisah terus menghantuinya. Namun, tak dipungkiri ia pun sangat menginginkan malam ini."Iya, aku tahu, yuk kita berdoa dulu," jawab Boy.Keduanya saling melempar senyum, kemudian melafalkan doa sebelum berhubungan. Keduanya berharap semoga setelah malam ini akan lahir keturunan yang sholeh dan sholehah.Namun, setelah berdoa keduanya justru merasa kaku dan malu. Citra bingung begitupun Boy, sehingga lelaki dengan janggut tipis itu menggaruk-garuk kepala sebab salah tingkah yang membuat keduanya tertawa.Tak ingin gagal, Boy yang sangat senang dengan bibir istrinya lantas kembali melabuhkannya di sana. Pun Citra, ia sudah merasa terbiasa sehingga tak lagi malu seperti saat pertama menikah.Lama Boy memainkan bibirnya d
"Aku sakit karena membaca surat kamu sama Maira," jawab Citra, bukannya sedih, gadis itu justru tertawa mengingat kekonyolannya. Namun, tidak bagi Boy, ia justru semakin merasa bersalah dan menyadari betapa besar cinta sang istri padanya."Iya kah?" tanya Boy."Iya, kamu tahu gak, kamu adalah orang pertama yang aku cintai."Citra melanjutkan perjalanan, sementara Boy terus menatapnya dengan perasaan kagum juga bahagia."Aku berasa terbang karena dicintai begitu dalam," jawab Boy sembari tertawa. Lelaki itupun meraih kembali jemari Citra dan menuntunnya keluar dari area makam.Setelah sampai di parkiran, Boy meraih helm dan membantu Citra mengenakannya."Aku juga bisa pakai sendiri," tolak Citra, tetapi tak dipungkiri hatinya meleleh dengan perlakuan Boy yang begitu manis."Gak apa-apa, kamu cantik kalau pakai helm," puji Boy sembari menepuk-nepuk benda penutup kepala itu lembut."Ya sudah, sekarang kita cari masjid dulu yuk, habis itu kita makan, aku laper," ajak Citra."Ayok," balas
"Kak Farel, ada Oma sama Opa."Maira berbisik di telinga suaminya. Ia malu sebab ketahuan bermesraan di dapur. Sehingga, keduanya yang tengah berhadapan dengan jarak yang sangat dekat itu lantas menjauh."Gak usah malu, justru kita senang ya, Mas," ujar Indira pada suaminya.kedua pasangan berusia lanjut itu saling melempar senyum. Indira tanpa ragu menggandeng lengan suaminya di hadapan pengantin baru itu."Iya, gak apa-apa, jangan kalah sama kita yang udah tua," sahut Adi sembari tertawa kemudian berlalu meninggalkan Maira dan suaminya di sana.Saat langkah Adi menjauh, Farel masih tersenyum lebar. Ia sangat bahagia karena melihat keromantisan nenek dan kakek Maira meski sudah berusia lanjut."Oma sama Opa romantis banget, ya. Pasti dulu mereka saling mencintai," puji Farel saat kedua orang yang merawat istrinya pergi."Enggak, justru di masa lalu mereka pernah bercerai. Bahkan, kehadiran Mama pun belum bisa membuat Oma mencintai suaminya," balas Maira."Yang benar?"Farel terkejut,
Di rumah Indira, Maira tengah memasak untuk sarapan. Sementara nenek dan kakeknya tengah berjalan-jalan pagi. Mereka sadar sudah tak muda lagi dan harus memerhatikan kesehatan agar tak menjadi pesakitan."Masak apa?"Farel yang baru saja keluar kamar itu menghampiri sang istri, ia memeluk Maira dari belakang sehingga membuat istrinya sedikit terkejut."Eh, aku masak nasi goreng buat sarapan," jawab Maira.Wanita itu membiarkan tangan suaminya melingkar di pinggang. Sehingga, Maira bisa merasakan kehangatan di punggungnya yang menempel dengan dada Farel."Baunya enak," puji Farel.Melihat rambut Maira yang diikat ke belakang dan menampilkan leher jenjang membuat kecantikan wanita itu kian paripurna. Sehingga, membuat Farel semakin senang bermanja-manja dengannya."Oh ya, hari ini mau temani aku ke kantor, enggak?" tanya Maira.Saat libur kuliah, ia memang sering menghabiskan waktu untuk mengurus perusahaan Mega. Maira yang memang mengambil jurusan manajemen dan administrasi bisnis itu