Hasna semakin frustasi karena sepanjang penglihatannya tak ada tanda-tanda keberadaan Citra.Sementara Mbok Siti gegas berlari ke arahnya setelah melihat majikannya kebingungan, wanita itu membawa balon dan minuman yang telah dibelinya."Kenapa Bu, Citra mana?" tanya Mbok Siti dengan wajah tak kalah panik karena tak ada anak Dian di sana."Mbok, Citra gak ada, tadi dia di sini, di depan saya, terus saya meleng sedikit tahu-tahu Citra hilang," balas Hasna seraya menangis. Wanita itu kian panik."Ya Allah Citra ... ya sudah Bu, kita berpencar saja, siapa tahu Citra masih ada di sini," ajak Mbok Siti kemudian ia berlari ke arah kanan sementara Hasna berlari ke arah kiri.Setiap bertemu dengan orang yang lewat atau kerumunan, Hasna selalu bertanya apakah di antara mereka melihat anak kecil dengan ciri-ciri pakaian yang dikenakan Citra, bahkan ia juga memperlihatkan foto cucunya dari ponsel. Namun, tak ada yang melihat.Hasna yang semakin frustrasi lantas menjatuhkan diri ke tanah, tubuhny
Radit sedang di perjalanan hendak pulang saat Ajeng menelponnya, wanita itu menceritakan kalau Citra dibawa oleh orang asing. Hal itu diketahui Ajeng saat ia hendak mengikuti senam sore di taman dekat rumah temannya.Radit yang sedang mengemudi, lantas melajukan kecepatan mobilnya. Di sepanjang perjalanan ia merutuki kelalaian Dian dan dr. Rian pada darah dagingnya.Sesampainya di rumah, Radit melihat sang ibu tengah menggendong Citra yang tak hentinya menangis, lantas Radit langsung menelpon mantan istrinya untuk mengungkapkan kekesalan."Ibu bikinin susu dulu ya," kata Ajeng sembari melangkah ke dapur, wanita itu memberikan Citra pada Radit kemudian pergi."Iya, Ibu sudah belikan Citra susu?" tanya Radit dengan sedikit mengerutkan dahinya, dalam hati lelaki itu bertanya-tanya, mengapa ada susu sedangkan insiden penculikan Citra baru saja dan terjadi begitu cepat."Iya," balas Ajeng tanpa melihat ke arah anaknya.Melihat dot, pampers dan perlengkapan bayi membuat hati Radit semakin d
"Cucu, kamu masih bisa sebut Citra cucu?" tanya Ajeng sambil tersenyum sinis."Hey Hasna, saya bahkan lebih berhak pada Citra dibandingkan kamu, perempuan asing yang baru datang di kehidupan kami," ketus Ajeng dengan senyuman menyeringai.Mendengar perkataan menohok dari mantan besannya, lantas membuat Hasna menelan ludah.Wanita itu sadar kalau memang ia bagaikan orang asing untuk Dian meski anak itu terlahir dari rahimnya. Bahkan, hingga detik inipun masih ada kecanggungan antara dirinya dan anak kandungnya itu.Dokter Rian menyadari ekspresi wajah Hasna yang seketika berubah sendu lantaran perkataan pedas Ajeng, lelaki itu lantas mengelus pundak ibunya untuk memenangkan."Bu Ajeng, bahkan orang yang menurutmu asing itu jauh lebih baik dari pada mantan mertua yang ikut andil dalam pengkhianatan," balas dr. Rian sembari menatap nyalang mata Ajeng.Mendengar keributan di depannya, Citra terbangun dan menangis semakin kencang, suaranya terdengar melengking. Dian lantas berlari ke arah
"Oh ya sudah, Mbok Siti tolong jaga Citra dulu ya," pinta Dian sembari menyerahkan anaknya ke gendongan Mbok Siti.Dian perlahan menuruni anak tangga, nampak di lantai bawah Raya tengah duduk sembari mengajak anaknya bercengkrama.Meski malas meladeni sepupunya, tetapi ia harus turun, karena Raya adalah tamu dan dirinya berprinsip bahwa tamu harus dihormati.Dian menarik napas dalam kemudian mengembuskan pelan, ia berusaha menetralkan perasaannya agar tak marah saat berhadapan dengan Raya, tetapi kebencian dalam hatinya sulit untuk ditutupi."Ada perlu apa kamu di sini?" tanya Dian setelah menginjak anak tangga terakhir.Raya yang tengah mengobrol dengan Maira lantas melirik ke arah sumber suara, seketika matanya berkaca-kaca melihat sepupunya.Bayangan saat-saat Dian terusir dari rumahnya, bayangan air mata Dian saat ia menghancurkan rumah tangga sepupunya itu berkelebat dalam kepala Raya, membuat hatinya semakin diliputi rasa bersalah, tetapi ia juga senang karena kini Dian sudah ba
"Mau apa kamu ke sini, belum puas kamu merusak hidup saya?"Nengsih menatap nyalang wajah Raya yang tengah duduk berhadapan dengannya, matanya memerah, kemurkaan terlihat jelas di sana."Neng, saya ke sini mau meminta maaf sama kamu, saya sudah banyak sekali salah sama kamu," jelas Raya dengan penuh penyesalan, sementara Maira tertidur pulas dalam gendongannya."Memaafkan ataupun tidak sekarang sudah tidak ada artinya, karena saya sudah kehilangan semuanya," balas Nengsih dengan suara bergetar."Saya tahu, tidak mudah bagi kamu memaafkan saya, saya sadar itu," lirih Raya dengan mata berkaca-kaca."Saya pastikan kamu akan mendapatkan balasan yang jauh lebih menyakitkan dari semua yang rasa rasakan," kutuk Nengsih."Apapun akan saya terima karena sudah menjadi konsekuensinya," jawab Raya pasrah."Baguslah, kalau begitu akui kalau semua memang perbuatan kamu, harusnya kamu yang mendekam di sini, bukan saya!" kecam Nengsih sambil terisak, dadanya terasa nyeri mengingat bertahun-tahun diri
Maira menangis saat keluar dari rutan. Raya berusaha menenangkan, tetapi gadis kecil itu masih terus saja merengek, membuat Raya tak nyaman dan malu."Astaga, ternyata punya anak itu memang berat ya," gumam Raya, ia menarik napas dalam kemudian membuangnya pelan. Sebagai seorang ibu muda ia bingung harus melakukan apa agar anaknya tak rewel, terlebih di tempat umum.Raya gegas memesan taksi agar putrinya bisa kembali tenang, beruntung gadis kecil itu diam setelah memasuki mobil."Ternyata tadi kamu kepanasan ya," kata Raya sembari mencium pucuk kepala anaknya.Di sepanjang perjalanan ia melihat ibu-ibu yang baru saja menjemput anak-anak mereka dari sekolah, seketika ia melirik Maira.Ada kegundahan dalam dadanya, perlahan tapi pasti Maira akan tumbuh besar. Raya takut jika dirinya tak bisa memenuhi semua kebutuhan putrinya. Terlebih dengan menjadi orang tua tunggal.Sejak kecil ia tak dididik bagaimana caranya berjuang oleh Indira, sehingga saat kekhawatiran itu timbul, ia bingung har
"Setelah diskusi dengan Pak Beni, katanya video CCTV itu juga sudah ada di ponsel Adam. Selangkah lagi kita akan tahu siapa yang membunuh ayah. Hanya saja ponsel Adam mati total, sekarang lagi coba di servis," kata Rian dengan menatap manik hitam istrinya."Syukurlah, Mas. Semoga secepatnya ada keadilan untuk Ayah dan Nengsih," balas Dian."Iya, siapapun yang membunuh ayah harus dihukum dengan hukuman yang setimpal," kecam Rian dengan tangan mengepal, dalam dadanya ia sudah tak sabar mengetahui siapa orang jahat yang tega menghabisi nyawa lelaki yang sangat disayanginya."Pakai baju dulu lah Mas, Citra juga sudah tidur kok," pinta Dian karena melihat suaminya masih mengenakan handuk, lalu ia melirik ke arah putrinya yang terlelap, gadis itu kelelahan setelah banyak menangis."Gak usah lah, aku kangen," balas Rian dengan kedipan nakal. Melihat wajah suaminya, seketika Dian tersipu malu."Sebentar lagi Magrib, Mas. Nanti malam saja ya," kekeh Dian sambil tersenyum kecil."Iya, siap tuan
"Apa yang kamu pikirkan?" tanya Antoni saat melihat adiknya termenung di dalam kamar. Mendengar suara sang kakak, seketika bayangan tentang Adrian menghilang dari lamunan Mawar."Eh kakak," balas Mawar sembari menutup foto-foto keluarga di sebuah album usang.Sebelum memikirkan tentang Adrian, wanita itu terlebih dahulu memikirkan tentang orang tua serta kakek dan neneknya."Kamu pasti kangen kakek dan nenek ya?" tanya Antoni, ia mengelus rambut adiknya lembut."Iya kak, andai waktu bisa diputar kembali. Aku mau hidup lebih lama dengan mereka," jawab Mawar, ia menyeka bulir bening yang menetes di pipinya."Sudah jangan menangis lagi sayang. Kini sudah waktunya kita tersenyum dan keluarga Sholeh menangis," tekan Antoni dengan tangan mengepal."Maaf karena kecerobohan aku tentang Adrian, membuat rencana kita tertunda sementara," sesal Mawar sembari menatap mata kakaknya."Gak apa-apa. Justru dengan adanya kasus Adrian, akan menambah kekuatan untuk bisa menghancurkan mereka. Bahkan tanpa
"Sayang."Beni menghampiri Nengsih yang masih tersedu-sedu. Air mata wanita itu sulit terhenti. Hatinya masih saja nyeri membayangkan masalah yang menimpa keluarganya."Hmmm."Nengsih hanya berdehem, setelah jarak suaminya dekat, ia pun justru mengalihkan pandangan. Kondisi mood sedang buruk lantaran tengah premenstrual syndrom. Sehingga, hormonnya sangat berpengaruh terhadap masalah yang tengah dihadapi.Biasanya, Nengsih akan berpikir rasional. Namun, entah mengapa kali ini seakan-akan ia membenarkan ucapan Abizar bahwa semua yang terjadi antara keluarganya dengan keluarga Tiara disebabkan oleh pengkhianatan suaminya.Beni yang lelah, lantas mencoba diam, lelaki itu mencerna sikap istrinya kemudian instrospeksi diri. Namun, setelah diperhatikan sekian lama ia baru peka bahwa istrinya tengah mengalami mood swing. Sehingga, ia memeluk istrinya dari belakang, tak peduli Nengsih mengamuk, ia hanya ingin menunjukkan bahwa dirinya sangat mencintai sang istri dibandingkan orang lain."Apaa
"Ya udah, sambil nunggu Kak Citra masuk aja dulu, yuk."Kedua insan itu lantas masuk ke rumah Dian. Di dalam, Abizar langsung disambut hangat oleh Dian."Abizar, apa kabar?" tanya Dian begitu pandangannya bersitatap dengan putra kedua Beni."Alhamdulillah, aku sehat Tante, Tante Dian apa kabar?"Abizar meraih tangan Dian lalu menciumnya takzim. Lelaki itu kemudian duduk di sofa, sementara Syadea pergi ke dapur untuk mengambilkan jamuan untuk sahabatnya."Katanya mau berangkat siang, ini masih pagi, lho," ujar Dian, ia menoleh ke arah jam dinding yang baru menunjukkan pukul sembilan.Belum sempat Abizar menjawab, Syadea yang baru kembali dari dapur sembari membawa air dan kudapan itu menyahut."Biasa Ma, dia gak sabar," ujar Syadea dengan menaikkan sebelah alisnya.Dian tersenyum, wanita itu kemudian menganggukkan kepala dan pergi ke halaman rumah untuk mengurus semua tanaman hias kesayangannya.Setelah Dian berlalu, wajah Abizar kembali pias kala mengingat sang ayah. Rasa kecewa kemba
Beni mengejar istrinya yang tengah dikuasai emosi. Lelaki itu tahu betul bukan seperti ini karakter Nengsih. Namun, ia pun memaklumi apa yang dirasakan sang istri."Sayang, tunggu!"Beni menyeru istrinya yang baru saja membuka pintu kamar. Sedangkan Nengsih yang baru saja memutar kenop pintu itu menghentikan langkahnya sejenak. Wanita itu terisak, kemudian menyeka air mata yang berkejaran di pipinya.Melihat butiran kristal yang terus meluruh dari manik belahan jiwanya, Beni lantas memeluk sang istri erat. Ia tak mengatakan apapun meski ada yang ingin dikatakan.Beni memilih untuk membiarkan Nengsih mengekspresikan perasaannya. Sedih, marah, kecewa adalah rasa yang sangat manusiawi. Sebaik apapun sang istri, lelaki itu sadar wanitanya bukanlah malaikat. Sama seperti dirinya, kendatipun sudah berusaha menjadi orang baik, tetap saja ia selalu melakukan kesalahan."Mungkin benar kata Abizar, aku yang membuat semua jadi begini, andai aku gak menikahi Tiara untuk membantunya, andai aku jug
Mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Asih, Beni dan istrinya lantas saling pandang. kedua insan itu mengerutkan dahi sebab rasa penasaran."Maksud Bu Asih?" tanya Nengsih tak mengerti.Begitupun dengan Beni, ia menatap mata mantan mertuanya penuh selidik. Entah, lelaki itu merasa ada makna tersirat dari kalimat yang diucapkan oleh Asih.Tak langsung menjawab, Asih justru menangis semakin kencang hingga membuat Abizar yang sebelumnya tak peduli dengan tamu kedua orang tuanya pun ikut menghampiri."Ma, Pa, ada apa?" tanya Abizar setengah berlari, ia takut ada orang kesurupan di rumahnya mengingat sang ibu pernah diganggu makhluk halus."Ssst, gak ada apa-apa," jawab Beni dengan meletakkan jari telunjuk di bibirnya.Namun, bukannya pergi, Abizar justru tertarik ingin mendengar obrolan mereka. Sehingga, lelaki kelas tiga sekolah menengah atas itu duduk di kursi lainnya yang kosong.Asih yang tengah menangis tak memedulikan kehadiran putra Beni, ia tak lagi malu untuk mengemis maaf."Be
Alarm berbunyi di pukul empat pagi. Sehingga, membuat Citra dan suaminya terperanjat. Boy yang masih merasa lelah itupun meraih ponsel di atas meja, kemudian ia mematikan alarmnya. Namun, bukannya bangkit, lelaki itu justru merebahkan lagi kepalanya ke atas bantal."Kok tidur lagi?"Citra yang juga terbangun karena mendengar alarm lantas menoleh ke arah suaminya. Tubuh keduanya masih polos dan hanya ditutupi oleh selimut saja."Masih ngantuk," jawab Boy dengan suara parau. Matanya seakan-akan sulit terbuka karena rasa lelahnya."Ish, bangun yuk, sebentar lagi kan subuh," ajak Citra.Wanita yang baru saja melepas kegadisannya itu bangkit kemudian duduk di samping Boy, ia menutup dadanya dengan selimut yang dikenakan."Hufft, ayo."Meskipun masih terasa lelah karena pertarungan semalam, tetapi Boy masih selalu ingat dengan kewajibannya. Kendatipun mengantuk dan kerap dihantui rasa malas, tetapi ia selalu bangun untuk bersih-bersih sebelum subuh.Lelaki itu lantas ikut bangkit lalu menci
"Kamu siap, gak?" tanya Boy.Lelaki itu berbisik di daun telinga sang istri dengan suara lembut dan berat. Sementara Citra hanya mengangguk dengan wajah tersipu."Tapi kita harus berdoa dulu," ujar Citra.Ia hampir tak berani melihat mata suaminya sebab malu, takut dan gelisah terus menghantuinya. Namun, tak dipungkiri ia pun sangat menginginkan malam ini."Iya, aku tahu, yuk kita berdoa dulu," jawab Boy.Keduanya saling melempar senyum, kemudian melafalkan doa sebelum berhubungan. Keduanya berharap semoga setelah malam ini akan lahir keturunan yang sholeh dan sholehah.Namun, setelah berdoa keduanya justru merasa kaku dan malu. Citra bingung begitupun Boy, sehingga lelaki dengan janggut tipis itu menggaruk-garuk kepala sebab salah tingkah yang membuat keduanya tertawa.Tak ingin gagal, Boy yang sangat senang dengan bibir istrinya lantas kembali melabuhkannya di sana. Pun Citra, ia sudah merasa terbiasa sehingga tak lagi malu seperti saat pertama menikah.Lama Boy memainkan bibirnya d
"Aku sakit karena membaca surat kamu sama Maira," jawab Citra, bukannya sedih, gadis itu justru tertawa mengingat kekonyolannya. Namun, tidak bagi Boy, ia justru semakin merasa bersalah dan menyadari betapa besar cinta sang istri padanya."Iya kah?" tanya Boy."Iya, kamu tahu gak, kamu adalah orang pertama yang aku cintai."Citra melanjutkan perjalanan, sementara Boy terus menatapnya dengan perasaan kagum juga bahagia."Aku berasa terbang karena dicintai begitu dalam," jawab Boy sembari tertawa. Lelaki itupun meraih kembali jemari Citra dan menuntunnya keluar dari area makam.Setelah sampai di parkiran, Boy meraih helm dan membantu Citra mengenakannya."Aku juga bisa pakai sendiri," tolak Citra, tetapi tak dipungkiri hatinya meleleh dengan perlakuan Boy yang begitu manis."Gak apa-apa, kamu cantik kalau pakai helm," puji Boy sembari menepuk-nepuk benda penutup kepala itu lembut."Ya sudah, sekarang kita cari masjid dulu yuk, habis itu kita makan, aku laper," ajak Citra."Ayok," balas
"Kak Farel, ada Oma sama Opa."Maira berbisik di telinga suaminya. Ia malu sebab ketahuan bermesraan di dapur. Sehingga, keduanya yang tengah berhadapan dengan jarak yang sangat dekat itu lantas menjauh."Gak usah malu, justru kita senang ya, Mas," ujar Indira pada suaminya.kedua pasangan berusia lanjut itu saling melempar senyum. Indira tanpa ragu menggandeng lengan suaminya di hadapan pengantin baru itu."Iya, gak apa-apa, jangan kalah sama kita yang udah tua," sahut Adi sembari tertawa kemudian berlalu meninggalkan Maira dan suaminya di sana.Saat langkah Adi menjauh, Farel masih tersenyum lebar. Ia sangat bahagia karena melihat keromantisan nenek dan kakek Maira meski sudah berusia lanjut."Oma sama Opa romantis banget, ya. Pasti dulu mereka saling mencintai," puji Farel saat kedua orang yang merawat istrinya pergi."Enggak, justru di masa lalu mereka pernah bercerai. Bahkan, kehadiran Mama pun belum bisa membuat Oma mencintai suaminya," balas Maira."Yang benar?"Farel terkejut,
Di rumah Indira, Maira tengah memasak untuk sarapan. Sementara nenek dan kakeknya tengah berjalan-jalan pagi. Mereka sadar sudah tak muda lagi dan harus memerhatikan kesehatan agar tak menjadi pesakitan."Masak apa?"Farel yang baru saja keluar kamar itu menghampiri sang istri, ia memeluk Maira dari belakang sehingga membuat istrinya sedikit terkejut."Eh, aku masak nasi goreng buat sarapan," jawab Maira.Wanita itu membiarkan tangan suaminya melingkar di pinggang. Sehingga, Maira bisa merasakan kehangatan di punggungnya yang menempel dengan dada Farel."Baunya enak," puji Farel.Melihat rambut Maira yang diikat ke belakang dan menampilkan leher jenjang membuat kecantikan wanita itu kian paripurna. Sehingga, membuat Farel semakin senang bermanja-manja dengannya."Oh ya, hari ini mau temani aku ke kantor, enggak?" tanya Maira.Saat libur kuliah, ia memang sering menghabiskan waktu untuk mengurus perusahaan Mega. Maira yang memang mengambil jurusan manajemen dan administrasi bisnis itu