Pertama kalinya Bening menginjakkan kakinya di Bandara Juanda, perasaan Bening entah kenapa merasa nyaman dan dia begitu bersemangat. Kepalanya sejak tadi menoleh ke sana-kemari untuk melihat situasi di sekelilingnya. Terlebih lagi ketika dia berada di perjalanan pulang ke apartemen milik Arga, tak sekalipun dia mengalihkan tatapannya pada jalanan kota Surabaya. Sore itu, jalanan begitu padat. Tak ubahnya dengan jalanan kota Jakarta. Tapi, suasana baru itu membuat Bening bahagia. “Mas dulu sering jalan-jalan ke mana kalau di Surabaya? Punya teman di sini ‘kan pasti?” Kemacetan yang begitu padat itu membuat Bening mengalihkan perhatiannya dari kendaraan-kendaraan yang berjejal di jalanan, ke arah sang suami. “Ada beberapa teman juga. Sesama pengusaha.” “Ke diskotik?” “Pernah. Tapi nggak mabuk.” Arga bukan orang suci. Meskipun kalau di Jakarta dia jarang atau bahkan tidak pernah menginjakkan kakinya ke dunia hiburan malam, tapi saat di Surabaya, dia pernah sesekali mengunjungi temp
“Mama complain, Yang. Katanya kok kita betah banget di Surabaya.” Tinggal selama satu minggu di Surabaya, membuat Bening ingin memperpanjang waktunya untuk tinggal di sana lebih lama lagi. Tadinya sang ibu mertua memang berpesan agar setelah menyelesaikan pekerjaan di Surabaya, mereka bisa segera pulang. Tapi hanya jawaban ‘iya’ yang diberikan, kenyataannya tak sejalan. Arga memilih untuk menuruti permintaan sang istri untuk tetap tinggal di sana untuk sementara waktu. Seperti janji yang sudah pernah dikatakan kepada Bening saat mereka pergi honeymoon kala itu, Arga akan menuruti keinginan Bening untuk pergi ke mana pun. Dan dia tengah membuktikannya sekarang. “Mas sebenarnya pekerjaannya mendesak nggak sih yang di Jakarta?” Meskipun keinginannya untuk tetap tinggal di Surabaya begitu besar, tapi dia juga tidak ingin egois. Kalau memang pekerjaan Arga mendesak di Jakarta, dia bersedia untuk kembali secepatnya. “Ya enggak, Yang. Aku kerja di sana atau di sini, sama aja. Papa jug
“Kalau kamu belum siap untuk bertemu dengan Pak Jaya, kita bisa datang lain kali.” Kalimat itu membuat Bening menoleh pada Arga yang tengah menatapnya tampak khawatir dengan sang istri. Mereka sudah berada di rumah sakit tempat di mana Jaya dirawat. Kamar rawat inapnya juga sudah diketahui, tapi Bening tampak ragu untuk menemui sang ayah. Terlihat dari ekspresi wajahnya. Meskipun dia tak mengatakannya, Arga paham betul dengan isi pikiran Bening. Bahkan ketika semalam dalam perjalanan pulang ke Jakarta, Bening tampak murung dan tidak banyak bicara. Seolah kepulangannya ke Jakarta ini sangat berat untuk dilakukan tapi dia harus. “Lebih cepat bertemu lebih baik, Mas.” Akhirnya itulah yang dikatakan oleh Bening setelah itu. Langkah yang tadinya berat itu kini dipaksa untuk bisa cepat melangkah. Sampai di depan pintu kamar VIP di mana Jaya dirawat, Bening mengetuk pintunya. Tidak terdengar ada orang yang mempersilakan masuk, jadi dia kembali mengetuk. Dan Ambar membuka pintu ruang rawat
“Kehamilan Ibu sudah satu bulan. Kandungannya juga sangat baik dan kuat.” Satu bulan. Kehamilan Bening ternyata tanpa disadari sudah satu bulan. Ucapan dokter tadi membuat Bening merasakan kebahagiaan yang begitu luar biasa. Bukan hanya Bening, Arga bahkan tidak bisa membendung kebahagiaan yang dirasakan. Akhirnya, sebentar lagi dia akan menjadi seorang ayah. Dia akan menjadi orang tua seperti yang diinginkan. Sebentar lagi, Anyelir juga akan melahirkan anak pertamanya. Sekarang, Bening juga sudah dipercaya Tuhan untuk hamil dan sebentar memiliki anak. Tidak ada kebahagiaan yang dirasakan melebih perasaan ini. “Akhirnya ya, Yang.” Arga menggenggam tangan Bening dengan senyum merekah lebar. “Akhirnya sebentar lagi kita akan punya anak. Sayangnya, rumah kita belum juga selesai.” Masih butuh waktu panjang untuk menyelesaikan rumah Arga dan Bening. Keinginan Arga dulu adalah bisa menempati rumah barunya ketika sudah punya anak. Sayangnya semuanya tidak sesuai dengan rencana. “Nggak m
Bening menatap perlengkapan bayi yang ada di depannya itu dengan tatapan penuh puja. Keinginannya untuk membeli barang-barang itu begitu besar, tapi apalah daya ketika waktu mengatakan belum waktunya. Fatma sudah mewanti-wanti dirinya agar tidak membeli barang-barang bayi sebelum tujuh bulan. Kini kandungannya bahkan masih jalan dua bulan. Tatapan matanya tidak bisa berbohong jika dia tertarik untuk memiliki semua itu. “Nanti kita akan membeli kalau sudah waktunya.” Arga mengelus punggung sang istri lembut untuk menyadarkan Bening dari lamunan. Hari ini mereka akan membelikan kado untuk putra pertama Anyelir yang sudah lahir ke dunia semalam. Akhirnya, keluarga mereka kedatangan anggota baru lagi. Seorang bayi laki-laki yang akan meneruskan garis keluarga Sambara. Ancala yang sudah menunggu adiknya keluar pun akhirnya sudah bisa melihatnya juga. Setelah mendapatkan satu buah stroller, dan meminta toko tersebut mengirimkan ke rumah Ramon, mereka pergi ke rumah sakit untuk mengunjung
Hanya karena ingin makan makanan keinginannya, Bening menolak penawaran Arga yang mengajaknya sarapan. Alasannya adalah kalau nanti sudah kenyang, maka sudah tidak enak lagi. Arga pun akhirnya juga hanya sarapan roti dan kopi yang dibeli di sebuah minimarket. Bening ini benar-benar luar biasa kalau sudah mengakalinya. Ketika mereka akhirnya pergi ke tempat tujuan di mana makanan yang diinginkan oleh Bening itu dijual, mata Bening tampak berbinar saat melihatnya. Dia sedikit berlari ketika keluar dari mobil mendekati penjual. Mengambil dengan semangat lumpia yang diinginkan tersebut dengan wadah kertas minyak, lalu mencari tempat yang nyaman untuk duduk. “Istri saya lagi ngidam, Pak,” adu Arga kepada pedagangnya. “Kami harus terbang dari Jakarta jam setengah empat tadi.” “Waduh. Jauh juga, Pak.” Si penjual itu tampak terharu mendengarnya. “Semoga bisa mengobati keinginannya, Pak.” Arga tersenyum. “Terima kasih, Pak.” Arga lalu bergabung dengan Bening dan duduk di samping istrinya t
“Dahlia udah keluar dari penjara. Dia hari ini sudah kembali pada keluarganya.” Akhirnya, perempuan itu bisa melewati hukuman yang dijatuhkan kepadanya. Meskipun berat, tapi Dahlia mampu menjalaninya. Bening tidak segera bereaksi dengan kabar dari suaminya tersebut. Pikirannya tiba-tiba berisik dan bahkan tidak tahu apa yang sedang dipikirkan. Bening ingin berdamai dengan masa lalu yang menyakitkan gara-gara Dahlia, dan dia tengah mengupayakannya. Tarikan napas panjangnya keluar. Bening tidak akan berurusan lagi dengan perempuan itu. Jadi dia tak perlu memikirkan apa pun tentang Dahlia. Yang diperlukan sekarang adalah kembali berhati-hati karena saudaranya itu sudah bebas. Meskipun Jaya sudah mengatakan jika Dahlia berjanji kepadanya tidak akan pernah mengusik Bening lagi, tapi siapa yang tahu pikiran orang lain. “Kamu nggak perlu khawatir akan apa pun.” Arga melanjutkan. “Ramon sudah mengurus masalah ini dengan benar. Dahlia sudah menyetujui untuk tidak lagi berurusan dengan kamu.
Pertemuan tempo hari di rumah sakit, tidak berpengaruh apa pun dengan kehidupan Bening dan Arga. Tidak ada pembahasan yang terjadi di antara mereka hanya untuk membicarakan tentang Dahlia dan Januar. Atau bahkan membicarakan tentang kesehatan Jaya dan sikap Ambar yang terlihat berbeda. Hari-hari berlalu begitu cepat. Pergantian minggu menjadi bulan terasa seperti hitungan detik. Kehamilan Bening lambat laun semakin membesar. Tak lama lagi, dia akan segera melahirkan dan anak pertamanya akan hadir di tengah-tengah keluarga kecilnya. Melengkapi kebahagiaan yang sudah ada. “Capek?” Arga memijat kaki Bening yang terlihat bengkak. Mengoles minyak di sana agar mudah untuk memijatnya. “Seharian cuma duduk, jalan sebentar, rebahan, tapi rasanya badanku nggak karuan, Mas.” Bening menyandarkan tubuhnya pada headboard ranjang sambil memeluk guling. Usia kehamilan yang sudah tua, membuat badan Bening semakin berat. “Yang kamu bawa ke mana-mana itu bayi, Yang. Itu lebih berat dari aku duduk di
“Istriku.” Ancala baru saja sampai rumah ketika melihat penampilan Gemi yang sudah cantik. Meskipun hanya mengenakan daster rumahan kebanggaannya, kecantikan perempuan itu selalu terpancar. Dan inilah yang selalu disukai oleh Ancala, Gemi akan selalu menunggu kepulangannya di teras rumah sambil membaca buku. Tidak di rumah Kala, atau bahkan di rumah mereka sendiri, Gemi memiliki perpustakaan sendiri dengan koleksi buku-bukunya. Gemi tersenyum melihat Ancala yang berjalan ke arahnya. Perempuan itu beranjak untuk menerima tas kerja lelaki itu. “Suamiku capek banget kayaknya.” Ancala memeluk Gemi sambil mencium pipi perempuan itu. Bagi Ancala, energinya akan kembali ketika sudah bertemu dengan sang istri setelah seharian bekerja. Rasa lelah itu seolah menguap begitu saja. Pelukan mereka terurai. Masih dengan memeluk pinggang sang istri, Ancala sedikit menjauhkan tubuhnya untuk menatap wajah Gemi yang halus. “Makan apa malam ini?” tanyanya, “lama nggak ke angkringan. Kangen nasi
“Kalian udah datang?” Ancala mendekati istri dan kedua adiknya dengan senyum kecil. Meskipun pagi tadi dia sempat kesal, tetapi setelah Gemi sekarang datang ke kantor, perasaannya menjadi sedikit membaik. Tatapannya mengarah pada ‘tiga tamunya’ yang tidak membawa apa pun. “Jadi belanjanya?” tanyanya. Perempuan yang dimaksud oleh Laksa tadi tidak mengikuti Ancala dan kembali lebih dulu. Gemi tidak bertanya siapa perempuan tersebut karena dia tahu kalau itu adalah sekretaris Ancala. Laksa pun sebenarnya juga tahu, tetapi dia hanya pura-pura untuk mengerjai Gemi. “Bang, aku laper banget, lho.” Laksa mengadu. “Aku laper, Bang.” Ulangnya lagi. “Kalian nggak makan dulu tadi?” Ancala mengernyit aneh menatap satu per satu saudaranya. “Istri Abang ngambek karena diajak desak-desakan. Jadi, nggak memedulikan aku yang kelaparan. Tapi, aku nggak mau makan di kantin ini. Abang tolong pesankan aku makanan yang enak, ya.” Laksa memang benar-benar membuat kakak-kakaknya kesal kalau sudah me
“Gem, bangun!” Ancala menepuk paha sang istri pelan ketika sudah sampai di rumah. Mereka baru saja sampai rumah ketika Gemi tidak sadarkan diri, tidur. Sepanjang jalan, Ancala memegangi tangan Gemi takut-takut kalau istrinya itu terjatuh. Bukannya apa-apa, Gemi tidur sepanjang jalan sedangkan mereka menggunakan motor. Kebanyakan makan kepala ayam membuat Gemi lemas sepertinya. “Bang, aku nggak sanggup jalan. Gendong.” Dengan suara lemas, perempuan itu masih memeluk pinggang Ancala dengan erat takut jatuh. Matanya masih tertutup erat enggan untuk terjaga. Napas panjang Ancala terbuang kasar. Menikahi Gemi adalah impiannya, tetapi kalau sifat manja perempuan keluar, maka habislah dia. “Iya, tapi tunggu dulu deh. Aku turun dulu.” Ancala melepaskan tangan Gemi dari pinggangnya sebelum dia turun dengan pelan dari motor. Baru setelahnya menarik tangan Gemi agar istrinya itu naik ke gendongannya. Diam-diam Ancala tersenyum kecil. Terkadang istrinya itu memang menyebalkan, tetapi juga me
Perdebatan yang terjadi malam itu dianggap bukan apa-apa. Pernikahan antara Gemi dan Ancala bahkan akan segera dilakukan dalam waktu dua hari lagi. Pernikahan mewah itu akan dilakukan di outdoor di pinggir pantai. Tidak banyak yang diundang karena Gemi dan Ancala benar-benar memilih orang-orang terdekat mereka saja yang datang. Kabar pernikahan yang sudah merebak itu membuat banyak orang terkejut. Tidak pernah menyangka kalau Gemi dan Ancala akan menikah. Semua orang tahu jika Abimanyu dan Sambara group adalah saudara. Tentu saja hal itu menjadi perbincangan banyak orang. “Gimana rasanya mau menikah?” Denta datang ke rumah Ancala untuk sekedar menemani sahabatnya itu mengobrol. “Dan menikah dengan perempuan yang lo cintai?” “Setelah semua yang terjadi, tentu saja gue bahagia, Den.” Ancala memainkan kakinya yang ada di kolam renang, menimbulkan bunyi kecipak air. “Gue kira akan sulit mendapatkan restu dari para tetua.” Denial mengatakan itu merujuk pada nenek dan kakek Ancala, lela
“Kamu sudah benar-benar yakin akan menikah dengan Gemi, Bang?” Ramon meyakinkan sekali lagi kepada sang putra atas keputusan untuk meminang sang pencuri hati. Para tetua, nenek kakeknya sudah memberikan izin untuk mempersatukan dua keluarga yang seharusnya tetap menjadi keluarga yang sesungguhnya. Namun, mereka memilih untuk memberikan restu dan menyingkirkan segala ego yang ada. Dua anak manusia itu sudah tidak bisa dipisahkan, untuk apa lagi mereka menahannya dan akan berakhir buruk. “Aku udah yakin, Yah. Aku sudah berbicara dengan Gemi dan dia menerima lamaranku.” Senyum lebar tersemat di bibir Ancala dan wajah sumringah itu tidak bisa berbohong jika dia sangat bahagia. “Kalau begitu, Ayah dan Bunda akan berbicara kepada Papa Kala kalau kami akan segera melamar Gemi. Pikirkan juga kamu ingin menikah di mana? Outdoor atau indoor, masalah biaya jangan khawatir, semua biaya Ayah yang urus.” Rasa sayang Ramon yang diberikan kepada Ancala tidak surut sedikitpun sejak dulu. Lelaki it
Setelah obrolan semalam, Gemi bangun tidur dengan perasaan yang terasa ringan. Hubungannya dengan sang ayah sudah membaik dan dia sudah memaafkan apa pun yang pernah sang ayah lakukan. Semua yang dilakukan oleh sang ayah semata untuk melindungi keluarganya. Suasana hati Gemi pun terlihat sangat baik seharian ini. Meskipun Ancala sejak tadi tak kunjung menghubunginya seperti yang sudah dijanjikan semalam, dia masih baik-baik saja. Seperti yang sudah Ancala bilang semalam, lelaki itu akan membicarakan masalah kerjaan dengan sang ayah. “Jadi, kamu mau balik kerja lagi?” Gemi yang baru saja duduk di sofa di samping sang bunda, segera mendapatkan pertanyaan tersebut. “Aku akan pikirkan lagi, Ma.” Sudah kebiasaan berada di rumah selama beberapa bulan, menjadikan Gemi enggan untuk kembali beraktivitas. “Tapi, Ma, Papa ngeluarin aku dari kantor dengan alasan apa, ya?” Benar, Binar pun tampaknya belum tahu tentang masalah tersebut karena dia tak pernah bertanya dengan Kala. “Mama juga
Binar dan Kala mendengar dengan jelas ucapan putri mereka meskipun kata-kata yang diucapkan terbata-bata. Mereka mendengarkan di balik dinding hanya untuk mengetahui reaksi Gemi ketika bertemu dengan Ancala. Nyatanya, Gemi mengatakan sesuatu yang membuat orang tuanya menahan kesedihannya. “Jangan bicara yang tidak-tidak. Sekarang fokuslah pada kesembuhanmu dulu. Papa bilang, kamu masih perlu bertemu dengan psikiater. Kapan jadwalnya? Aku temani ya?” “Aku nggak butuh psikiater lagi, Bang. Obatku udah ada di sini.” Kala mendesah pasrah mendengar jawaban Ancala atas ucapan sang putri. Sudah pasti perasaan Kala sekarang dipenuhi oleh rasa penyesalan yang amat besar. Di ruang tamu, Gemi dan Ancala melepaskan pelukan mereka. Ancala mengusap air mata Gemi yang mengalir menganak sungai di wajahnya. “Aku nggak akan ke mana-mana lagi, Gemi. Aku udah pulang sekarang. Jadi, kamu nggak perlu takut aku pergi lagi.” “Memangnya, Abang dari mana kemarin?” Ancala menyodorkan minuman yang disiapka
Kala pasti tidak pernah menyangka jika Ramon akan menurunkan egonya untuk meminta putranya pulang. Dia tahu betul bagaimana Ramon menolak permintaannya saat itu. Namun, sekarang tiba-tiba Ancala sudah ada di rumahnya dan menanyakan kabar Gemi. Hal itu tentu saja membuat Kala sedikit bingung. Apa pun itu, Kala tentulah merasa senang dengan kedatangan Ancala ke rumahnya. “Keadaan Gemi sudah lebih baik. Dia sekarang sedang istirahat.” Tepat setelah itu, Binar datang dan segera duduk di samping Ancala. Perempuan paruh baya itu mengelus punggung Ancala tanpa berbicara. Kelegaan terpancar dari matanya. “Kamu dari mana saja, Bang?” tanyanya setelah itu, “Mama cariin kamu.” “Aku jalan-jalan, Ma,” jawab Ancala dengan lembut, “Mama baik-baik aja ‘kan?” “Mama baik. Anca, kamu masih mau nemuin Gemi ‘kan? Setelah waktu itu, dia murung dan tidak ingin berurusan dengan siapa pun.” “Tentu saja aku mau, Ma. Gemi adalah adikku. Kalau memang perlu, aku akan menemaninya sampai dia sembuh.” “Apa mak
“Aku harus pulang, Den. Sorry, ya.” Gemi memilih menghindar daripada harus menjawab ucapan Denta. Gadis itu berdiri, lalu buru-buru pergi meninggalkan Denta yang tampak kebingungan. “Gem!” Denta berteriak memanggil gadis itu, tetapi seolah tuli, Gemi tetap berjalan dan sesekali berlari untuk menghindari sahabat Ancala tersebut. Setelah memasuki komplek perumahannya, barulah dia berjalan dengan tenang. Gemi berpikir, kalau Denta saja tidak tahu keberadaan Ancala, itu artinya, kepergian lelaki itu dirahasiakan. Sepertinya, masalah ini benar-benar serius. Gemi berhenti di pinggir jalan, terpaku di tempatnya, lalu berpikir sejenak. Apa dia harus menghubungi Ancala? Apa lelaki itu akan menerima panggilannya kalau dia melakukannya? Kebingungan itu melanda dirinya. Gara-gara kedatangan Denta, menjadikannya berpikir lebih keras tentang Ancala. Gadis berdaster coklat itu kembali melangkah untuk kembali ke rumah. Meskipun dia banyak memikirkan banyak hal, tapi beruntung kini halusinasinya ti