“Mau nggak pergi jalan-jalan?” tanya Arga kepada Bening. Mereka tengah berada di salah satu kafe dan sedang menikmati waktu berdua. Berkencan seperti anak muda. Bening menyandarkan tubuhnya pada pundak Arga, sedangkan Arga dengan lembut mengelus rambut sang istri. Suasana di kafe penuh dengan obrolan para pengunjung yang sama sekali tidak mengganggu Bening dan Arga bermesraan. “Ke mana?” Bening ingin tahu. “Surabaya.” Bening yang tadinya tengah bersandar manja di pundak Arga sambil mendapatkan usapan lembut di rambutnya itu sedikit menjauhkan tubuhnya dari Arga. Menatap sang suami dengan serius. “Surabaya?” ulangnya. “Iya. Aku dapat tugas dari Papa sama Bang Kala buat meninjau perusahaan di sana. Aku ‘kan dulu yang mengurus perusahaan di Surabaya. Jadi sesekali harus dipantau.” “Kapan?” Ketertarikan itu terlihat di mata Bening. Sudah waktunya dia menikmati hidupnya dengan bepergian bersama dengan sang suami. Keliling Pulau Jawa misalnya. Sebelum mereka memiliki anak, maka ada
Pertama kalinya Bening menginjakkan kakinya di Bandara Juanda, perasaan Bening entah kenapa merasa nyaman dan dia begitu bersemangat. Kepalanya sejak tadi menoleh ke sana-kemari untuk melihat situasi di sekelilingnya. Terlebih lagi ketika dia berada di perjalanan pulang ke apartemen milik Arga, tak sekalipun dia mengalihkan tatapannya pada jalanan kota Surabaya. Sore itu, jalanan begitu padat. Tak ubahnya dengan jalanan kota Jakarta. Tapi, suasana baru itu membuat Bening bahagia. “Mas dulu sering jalan-jalan ke mana kalau di Surabaya? Punya teman di sini ‘kan pasti?” Kemacetan yang begitu padat itu membuat Bening mengalihkan perhatiannya dari kendaraan-kendaraan yang berjejal di jalanan, ke arah sang suami. “Ada beberapa teman juga. Sesama pengusaha.” “Ke diskotik?” “Pernah. Tapi nggak mabuk.” Arga bukan orang suci. Meskipun kalau di Jakarta dia jarang atau bahkan tidak pernah menginjakkan kakinya ke dunia hiburan malam, tapi saat di Surabaya, dia pernah sesekali mengunjungi temp
“Mama complain, Yang. Katanya kok kita betah banget di Surabaya.” Tinggal selama satu minggu di Surabaya, membuat Bening ingin memperpanjang waktunya untuk tinggal di sana lebih lama lagi. Tadinya sang ibu mertua memang berpesan agar setelah menyelesaikan pekerjaan di Surabaya, mereka bisa segera pulang. Tapi hanya jawaban ‘iya’ yang diberikan, kenyataannya tak sejalan. Arga memilih untuk menuruti permintaan sang istri untuk tetap tinggal di sana untuk sementara waktu. Seperti janji yang sudah pernah dikatakan kepada Bening saat mereka pergi honeymoon kala itu, Arga akan menuruti keinginan Bening untuk pergi ke mana pun. Dan dia tengah membuktikannya sekarang. “Mas sebenarnya pekerjaannya mendesak nggak sih yang di Jakarta?” Meskipun keinginannya untuk tetap tinggal di Surabaya begitu besar, tapi dia juga tidak ingin egois. Kalau memang pekerjaan Arga mendesak di Jakarta, dia bersedia untuk kembali secepatnya. “Ya enggak, Yang. Aku kerja di sana atau di sini, sama aja. Papa jug
“Kalau kamu belum siap untuk bertemu dengan Pak Jaya, kita bisa datang lain kali.” Kalimat itu membuat Bening menoleh pada Arga yang tengah menatapnya tampak khawatir dengan sang istri. Mereka sudah berada di rumah sakit tempat di mana Jaya dirawat. Kamar rawat inapnya juga sudah diketahui, tapi Bening tampak ragu untuk menemui sang ayah. Terlihat dari ekspresi wajahnya. Meskipun dia tak mengatakannya, Arga paham betul dengan isi pikiran Bening. Bahkan ketika semalam dalam perjalanan pulang ke Jakarta, Bening tampak murung dan tidak banyak bicara. Seolah kepulangannya ke Jakarta ini sangat berat untuk dilakukan tapi dia harus. “Lebih cepat bertemu lebih baik, Mas.” Akhirnya itulah yang dikatakan oleh Bening setelah itu. Langkah yang tadinya berat itu kini dipaksa untuk bisa cepat melangkah. Sampai di depan pintu kamar VIP di mana Jaya dirawat, Bening mengetuk pintunya. Tidak terdengar ada orang yang mempersilakan masuk, jadi dia kembali mengetuk. Dan Ambar membuka pintu ruang rawat
“Kehamilan Ibu sudah satu bulan. Kandungannya juga sangat baik dan kuat.” Satu bulan. Kehamilan Bening ternyata tanpa disadari sudah satu bulan. Ucapan dokter tadi membuat Bening merasakan kebahagiaan yang begitu luar biasa. Bukan hanya Bening, Arga bahkan tidak bisa membendung kebahagiaan yang dirasakan. Akhirnya, sebentar lagi dia akan menjadi seorang ayah. Dia akan menjadi orang tua seperti yang diinginkan. Sebentar lagi, Anyelir juga akan melahirkan anak pertamanya. Sekarang, Bening juga sudah dipercaya Tuhan untuk hamil dan sebentar memiliki anak. Tidak ada kebahagiaan yang dirasakan melebih perasaan ini. “Akhirnya ya, Yang.” Arga menggenggam tangan Bening dengan senyum merekah lebar. “Akhirnya sebentar lagi kita akan punya anak. Sayangnya, rumah kita belum juga selesai.” Masih butuh waktu panjang untuk menyelesaikan rumah Arga dan Bening. Keinginan Arga dulu adalah bisa menempati rumah barunya ketika sudah punya anak. Sayangnya semuanya tidak sesuai dengan rencana. “Nggak m
Bening menatap perlengkapan bayi yang ada di depannya itu dengan tatapan penuh puja. Keinginannya untuk membeli barang-barang itu begitu besar, tapi apalah daya ketika waktu mengatakan belum waktunya. Fatma sudah mewanti-wanti dirinya agar tidak membeli barang-barang bayi sebelum tujuh bulan. Kini kandungannya bahkan masih jalan dua bulan. Tatapan matanya tidak bisa berbohong jika dia tertarik untuk memiliki semua itu. “Nanti kita akan membeli kalau sudah waktunya.” Arga mengelus punggung sang istri lembut untuk menyadarkan Bening dari lamunan. Hari ini mereka akan membelikan kado untuk putra pertama Anyelir yang sudah lahir ke dunia semalam. Akhirnya, keluarga mereka kedatangan anggota baru lagi. Seorang bayi laki-laki yang akan meneruskan garis keluarga Sambara. Ancala yang sudah menunggu adiknya keluar pun akhirnya sudah bisa melihatnya juga. Setelah mendapatkan satu buah stroller, dan meminta toko tersebut mengirimkan ke rumah Ramon, mereka pergi ke rumah sakit untuk mengunjung
Hanya karena ingin makan makanan keinginannya, Bening menolak penawaran Arga yang mengajaknya sarapan. Alasannya adalah kalau nanti sudah kenyang, maka sudah tidak enak lagi. Arga pun akhirnya juga hanya sarapan roti dan kopi yang dibeli di sebuah minimarket. Bening ini benar-benar luar biasa kalau sudah mengakalinya. Ketika mereka akhirnya pergi ke tempat tujuan di mana makanan yang diinginkan oleh Bening itu dijual, mata Bening tampak berbinar saat melihatnya. Dia sedikit berlari ketika keluar dari mobil mendekati penjual. Mengambil dengan semangat lumpia yang diinginkan tersebut dengan wadah kertas minyak, lalu mencari tempat yang nyaman untuk duduk. “Istri saya lagi ngidam, Pak,” adu Arga kepada pedagangnya. “Kami harus terbang dari Jakarta jam setengah empat tadi.” “Waduh. Jauh juga, Pak.” Si penjual itu tampak terharu mendengarnya. “Semoga bisa mengobati keinginannya, Pak.” Arga tersenyum. “Terima kasih, Pak.” Arga lalu bergabung dengan Bening dan duduk di samping istrinya t
“Dahlia udah keluar dari penjara. Dia hari ini sudah kembali pada keluarganya.” Akhirnya, perempuan itu bisa melewati hukuman yang dijatuhkan kepadanya. Meskipun berat, tapi Dahlia mampu menjalaninya. Bening tidak segera bereaksi dengan kabar dari suaminya tersebut. Pikirannya tiba-tiba berisik dan bahkan tidak tahu apa yang sedang dipikirkan. Bening ingin berdamai dengan masa lalu yang menyakitkan gara-gara Dahlia, dan dia tengah mengupayakannya. Tarikan napas panjangnya keluar. Bening tidak akan berurusan lagi dengan perempuan itu. Jadi dia tak perlu memikirkan apa pun tentang Dahlia. Yang diperlukan sekarang adalah kembali berhati-hati karena saudaranya itu sudah bebas. Meskipun Jaya sudah mengatakan jika Dahlia berjanji kepadanya tidak akan pernah mengusik Bening lagi, tapi siapa yang tahu pikiran orang lain. “Kamu nggak perlu khawatir akan apa pun.” Arga melanjutkan. “Ramon sudah mengurus masalah ini dengan benar. Dahlia sudah menyetujui untuk tidak lagi berurusan dengan kamu.