“Jadi, ini adalah calon istri keduamu, Rasya?” Ucapan itu keluar dari mulut ibu mertua Binar seolah tanpa beban.
“Iya, Ma. Namanya Nindi. Kami sudah menjalin hubungan selama satu tahun, dan …” ada jeda yang diambil oleh Rasya sebelum melanjutkan. “Nindi sekarang sedang mengandung.”
“Benarkah?” Suara ibu mertua Binar terdengar penuh keterkejutan dan juga antusias. Tapi tak lama Perempuan itu melanjutkan, “Bagi Ibu, ini adalah kabar baik meskipun kalian melakukan hal yang salah. Jadi, berapa bulan kandungan Nindi?”
“Baru jalan satu bulan, Bu.” Begitu Nindi menjawab. Suaranya terdengar mendayu-dayu bak gadis lemah lembut dan keibuan.
“Bu, aku membutuhkan waktu untuk membicarakan ini kepada Binar. Ibu bantulah aku untuk bicara dengannya nanti.”
“Tentu saja Ibu akan melakukannya. Lagi pula, sudah dua tahun kalian menikah tapi tidak ada tanda-tanda dia hamil. Ibu bahkan nggak tahu apa yang salah dengannya. Dia mengaku baik-baik saja saat dicek ke dokter, tapi nyatanya dia mandul. Tentu saja kalau sudah begini, dia harus merelakan diduakan.”
Seperti bom meledak tepat di atas kepala Binar, perempuan itu tercengang di tempatnya berdiri ketika mendengar obrolan sang suami dan sang ibu mertua. Tak disangka, mereka yang selama dua tahun ini memperlakukannya penuh dengan cinta, kini menusuknya dari belakang dan menghancurkan perasaanya.
Mereka bahkan tampak tak berdosa saat membicarakan masalah perselingkuhan itu di belakang Binar. Seolah mereka sudah merencanakannya dengan matang kejahatan tersebut. Perhatian Binar kini beralih pada sosok perempuan asing yang duduk di samping sang suami. Perempuan itu tampak lebih muda darinya. Wajahnya manis dan tampak baik. Tapi, mana ada orang baik yang bersedia menjadi wanita kedua.
Binar bisa merasakan hatinya hancur dan berhamburan di bawah kakinya. Genggaman tangannya pada tali tasnya menguat seolah ingin menghancurkan benda itu. Binar tak pernah menyangka hari ini akan dihadapkan kenyataan yang menyakiti hatinya.
“Binar, kamu dari mana saja jam segini baru pulang?”
Setelah sampai di rumah dengan susah payah membawa kepingan patah hatinya, pertanyaan itu segera didapatkannya dari ibu mertuanya.
Bukan hanya itu, Rasya juga mendekat ke arahnya dengan wajah tampak khawatir. “Bi, aku menghubungimu dan nggak ada satu teleponku yang kamu jawab. Kamu baik-baik saja kan?”
Jika Binar tidak mendengar sendiri pembicaraan Rasya dan ibunya siang tadi, mungkin sampai saat ini dia akan mempercayai jika lelaki itu masih mencintainya. Lelaki itu tampaknya mahir dalam berlakon. Lihat saja wajahnya, tidak tampak bersalah sama sekali sudah berkhianat di belakang istrinya.
Binar tentu bukan orang bodoh. Meskipun dia sudah mengetahui semuanya, dia akan tetap pura-pura tidak mengetahui bejatnya sang suami.
“Mas, aku minta maaf. Sebenarnya aku tadi dari mal dan berbelanja. Tapi, aku ketemu teman SMA dan kami mengobrol banyak hal sampai lupa waktu.” Binar menjawab sambil memaksakan senyum di bibirnya.
“Seharusnya kamu mengabari orang rumah biar kami tidak khawatir.” Begitu kata ibu mertuanya.
Cih, pendusta!
“Iya, Bu. Maaf.” Binar menatap wajah ibunya dan menunjukkan penyesalannya.
Tapi dia juga mencari-cari ekspresi perempuan itu yang barangkali akan menunjukkan rasa muaknya kepada menantu yang dianggap gagal memberinya cucu tersebut. Namun perempuan itu justru tampak biasa saja. Dia masih berakting seolah Binar adalah menantu kesayangannya.
“Oh ya, Bu, aku tadi lihat baju yang sedang trend saat ini. Aku rasa itu cocok buat Ibu.” Binar menyerahkan satu paper bag untuk ibu mertuanya. “Bukalah.” Seolah tidak terjadi apa-apa, Binar masih memperlakukan perempuan itu seperti biasa.
Ibu Rasya kemudian tersenyum lebar karena mendapatkan hadiah dari menantunya, lagi. Ya, lagi. Karena selama ini, Binar sangat perhatian dengan keluarga Rasya dan tidak pernah berhenti memberinya barang-barang mahal.
“Wah, Binar, ini adalah baju yang Ibu mau. Beberapa hari yang lalu, Ibu melihat ini dan ngeri lihat harganya. Kamu serius memberikan ini kepada Ibu?”
Dasar munafik. Di belakang Binar dia berkhianat, tapi ketika Binar membelikannya sesuatu, dia menerima dengan kedua tangan terbuka dan senyum lebar.
“Untuk Ibu, tentu saja akan aku belikan. Ibu nggak boleh kalah sama teman-teman Ibu.”
“Kamu benar-benar membuat Ibu terharu. Terima kasih, ya.”
Binar hanya memberikan jawaban dengan sebuah senyuman kecil. Dia lantas pamit untuk naik ke lantai atas untuk beristirahat di kamarnya. Ada banyak hal bercokol di dalam kepalanya dan dia ingin memecahkan satu per satu. Terutama tentang Rasya yang sudah berani mengkhianati kepercayaannya.
Setengah jam berlalu. Binar selesai membersihkan tubuhnya dan naik ke atas kasur. Rasya sudah ada di sana dan tengah sibuk dengan ponselnya. Menoleh pada Binar, lalu sebuah senyum muncul di bibirnya.
“Bi, lain kali kalau kamu mau pergi setelah bekerja, kamu bilang ke aku ya. Biar kami nggak khawatir.”
Namun Binar tampak tidak seperti biasanya saat berbicara kepada Rasya. “Lain kali aku tidak akan melakukannya lagi,” jawaban Binar tak acuh. Membuat Rasya sedikit mengernyit dengan perubahan yang terjadi pada sikap sang istri.
“Kamu kenapa? Nggak seperti biasanya. Capek ya?”
Binar menggeleng. Lantas dia kembali bersuara. “Aku baik-baik saja. Hanya saja, ada sesuatu yang ingin aku tanyakan kepadamu.” Binar menatap suaminya dengan tatapan tegas yang selama ini tidak pernah ditunjukkan kepada Rasya. Membuat lelaki itu cukup terkejut. “Kita sudah menikah selama dua tahun. Sedangkan aku belum bisa memberikan anak kepada Mas. Apa Mas yakin baik-baik saja dengan itu?”
Binar bisa melihat suaminya salah tingkah. Sorot matanya mendadak sayu dan seketika menghindari tatapan Binar. “Kenapa kamu berbicara seperti itu, Bi? Aku sudah menikahimu dan sudah siap dengan kemungkinan apa pun yang terjadi. Dengan atau tanpa anak, aku rasa itu bukan masalah selama kita bisa bersama-sama untuk selamanya.”
“Mas sungguh nggak punya keinginan untuk menduakanku dan mendapatkan anak dari perempuan lain?”
“Bi, mana mungkin aku mengkhianatimu? Kamu adalah istri terbaik.”
Bedebah! Binar mengencangkan rahangnya untuk menahan kemarahan di dalam hatinya. Keinginannya untuk menghajar lelaki itu sampai mati berkobar kuat di dalam dirinya. Rasya terlalu mahir dalam berkelit. Binar mati-matian meredam kemarahannya agar tidak meledak. Sebisa mungkin dia mengikuti permainan suaminya.
“Begitukah? Aku akan menyimpan ucapan Mas kalau masalah anak tidak akan memengaruhi hubungan kita.”
“Kamu tidak perlu khawatir.”
Namun seolah semesta ingin Binar menguak kebohongan suaminya, pukul satu pagi, getaran ponsel Rasya terdengar dan Binar bisa melihat pop up chat bernama Tono.
Tono : Mas, sepertinya aku sudah mulai mual-mual terus. Bisa kamu datang? Aku juga mau ditemani.
Binar mengeratkan rahangnya. 'Kamu pikir aku sebodoh itu Mas? Kita lihat saja apa yang bisa aku lakukan.'
***
Dengan berpura-pura membangunkan Rasya karena getaran ponselnya yang mengganggu, Binar ingin tahu reaksi yang diberikan oleh suaminya. Dan diluar dugaan, lelaki itu menanggapi pesan itu dengan melakukan panggilan untuk ‘Tono’ sambil turun dari ranjang. Binar bisa melihat suaminya dari belakang dan tampak serius berbicara dengan si Tono. “Binar!” Rasya menyelesaikan panggilannya dan mendekat ke arah ranjang. Binar hanya menjawab dengan gumaman. “Bi, aku ada urusan sebentar. Aku keluar, ya.” “Malam-malam begini mau ke mana, Mas?” Kini Binar membuka matanya dan menatap sang suami. “Sepenting itu?”“Temen kantor mabuk dan teman-teman yang lain nggak bisa jemput. Aku akan menjemputnya sebentar. Nggak papa, kan?” “Oh. Oke. Hati-hati ya. Udah malam.” Rasya tersenyum sebelum mengambil kunci mobilnya dan keluar dari kamar. Saat pintu kamar sudah tertutup, Binar menyeringai. Dia juga mengambil kunci mobil dan ponselnya untuk mengikuti Rasya. Hanya dengan mengenakan piyama dan sandal, Bin
“Itu adalah tanggung jawabmu kalau perempuan ini yang akan menjadi sasarannya.” Kata-kata itu sudah cukup membuat Rasya mengerti apa yang harus dilakukan. Binar tidak hanya akan menggertak. Dia akan melakukan apa pun yang dia katakan. Rasya ketakutan saat meminta Nindi masuk ke dalam mobilnya. Sedangkan Binar yang sudah pergi meninggalkan rumah Nindi, mengeluarkan segala sesak di hatinya dengan tangisnya yang pecah. Tidak peduli dengan mata yang kabur karena air mata, Binar menyetir dengan kecepatan yang luar biasa tinggi untuk melampiaskan emosinya. Kalaupun dia akan mati sekarang, maka itu akan lebih baik. Sakit yang dirasakannya benar-benar luar biasa. Namun seolah Tuhan ingin mengabulkan doanya, sebuah mobil tiba-tiba muncul dari arah kiri, membuat Binar terkejut luar biasa. Dengan cepat, dia menginjak rem berharap tidak menabrak mobil yang ada di depanya. Kalau dia harus mati, jangan melibatkan orang yang tidak berdosa. Begitulah yang dipikirkan. Naas, injakan rem mobilnya ta
Binar sudah bukan Binar yang biasanya. Rasa sakit dan pengkhianatan yang diberikan oleh sang suami, memunculkan sosok iblis di dalam hatinya. Dia tidak bisa lagi dibujuk meskipun orang-orang itu merangkak di bawah kakinya meminta maaf. Mengalihkan tatapannya dari Rasya, dia melanjutkan ucapannya yang kini ditujukan kepada Nindi. “Katakan, berapa lama kamu berhubungan dengan Rasya.” Pertanyaan Binar membuat Nindi menatap ke arah Rasya seolah meminta petunjuk apakah dia akan mengatakan dengan jujur atau memilih berbohong. Saat Rasya menggeleng, maka Nindi berbicara dengan sebuah kebohongan. “Kami hanya bersama selama dua bulan.” “Katakan yang sebenarnya.” Binar menekan Nindi dengan ucapannya. “Aku hanya perlu kejujuranmu.” “Binar! Kendalikan emosimu.” Dalam keadaan bersitegang, ibu Rasya justru mendekat ke arah Binar dan berusaha membujuk. “Nak, ini sudah sangat larut. Mari kita bicarakan ini lagi nanti. Kamu istirahatlah dulu dan tenangkan pikiranmu.”“Ibu berpikir aku bisa melakuk
Sikap keras kepala ibu Rasya itu membuat rahang Binar mengetat. Tapi, dia tak menjawab lagi dan memilih pergi meninggalkan ruangan itu. Tanpa menoleh lagi ke belakang. Rumahnya menjadi seperti sebuah kutukan baginya. Rumah yang dia beli dan diharapkan menjadi surga untuknya dan keluarganya, nyatanya menjadi sebuah tempat yang terasa bak neraka. Menatap mobilnya yang tampak mengenaskan, Binar pergi dengan mobil yang dibelikan untuk ibu mertuanya. Beruntung, dia membawa kunci cadangan mobil tersebut. Binar beruntung karena sejak awal dia tidak menjadi perempuan bodoh. Dia memberikan, tapi tidak menyerahkan sepenuhnya. Sebuah chat masuk ke dalam ponsel Binar saat dia berhenti karena lampu lalu lintas menyala merah. Mendesah kasar, Binar melupakan satu kewajibannya. Dia harus bertanggung jawab kepada mobil yang sudah ditabraknya. “Maaf, sudah menunggu lama.” Binar sampai di sebuah bengkel. Menghadap pada seorang lelaki yang sudah dirugikan olehnya. Lelaki itu hanya diam dengan ekspres
“Bi, tolong buka pintunya. Ayo kita bicara baik-baik.” Hampir setengah jam suara itu terdengar menyakitkan di telinga Binar. Rasya tidak berhenti mengetuk pintu kamarnya dan memanggil dirinya. Berbicara baik-baik, diskusi, atau apa pun itu sebutannya, selalu dikatakan hanya untuk membuat Binar luluh. Di dunia ini, tidak ada yang lebih menyakitkan dibandingkan dikhianati oleh orang yang kita cintai. Binar mendapatkan itu dan sudah bisa dibayangkan perasaan hancur yang dirasakan oleh Binar saat ini. Untungnya dia bukan perempuan yang terus meratapi kesedihannya berlarut-larut sehingga membuatnya lemah di hadapan para musuhnya. “Bi, please, jangan diam begini. Aku tahu aku salah. Aku tahu aku brengsek. Tapi aku bersumpah, di dalam hatiku aku hanya mencintai kamu. Cintaku sama sekali tidak berubah.” Binar mengemasi beberapa pakaian dan barang-barang berharga miliknya ke dalam sebuah koper besar. Mengabaikan suara Rasya yang baginya hanya kata-kata sampah yang hanya perlu diabaikan. Di
Binar tidak tahu nasib buruk seperti apa lagi yang akan dia dapatkan kali ini. Pemilik mobil yang dia tabrak, ada di depannya. Dan yang menjadi kesialan lainnya adalah lelaki itu sahabat dari sahabatnya. Semesta sepertinya tengah bermain-main dengannya. Ada banyak hal buruk yang datang ke dalam hidupnya secara bertubi-tubi. “Bi, lo oke?” Ramon sedikit mengguncang tubuh Binar yang tampak menegang. Tatapannya nyalang ke arah Ramon, lalu berganti ke arah Kala. “Gue … oke.” Bahkan suaranya sedikit terbata. Ramon tersenyum sebelum mengulangi. “Sorry gue bawa temen gue. Kami tadi baru meeting jadi sekalian. Kenalin dong.” Binar bimbang saat ingin mengulurkan tangannya kepada Kala mengingat dinginnya ekspresi lelaki itu. Dia bahkan tidak benar-benar bisa menatap matanya. Maka akhirnya dia hanya mengangguk sambil menyebut namanya. “Saya Binar.” Hanya itu yang bisa Binar katakan. Kalandara bahkan tidak menjawab. Ramon sudah tidak kaget lagi melihat sikap Kala yang dingin. Tapi tentu
“Hanya beberapa hal yang perlu lo persiapkan. Buku nikah dan juga KK.” Jawaban Ramon itu membuat Binar beranjak dari sofa. Mengambilkan buku nikah yang tidak lupa dibawanya beserta foto copyan KK. Menyerahkannya kepada Ramon dan langsung diterima oleh lelaki itu. Binar tampaknya ingin bertindak cepat. Dia tidak sudi lagi memiliki sangkut paut dengan Rasya dan keluarga lelaki itu. Manusia-manusia parasite yang tidak punya hati itu perlu dijauhi atau akan menempel dan membuatnya menderita. “Gue serahkan semuanya ke lo, Ram. Gue nggak ingin datang dipersidangan dan bertemu dengan lelaki itu. Sebisa mungkin, gue akan menghilang dari hadapan lelaki itu.” “Lo nggak perlu khawatir. Gue akan bereskan semua buat lo. Lo fokus aja sama kerjaan dan ….” Ramon menjeda ucapannya sebelum kembali berbicara. “Lo perlu sembuhin dulu hati lo.” Meskipun senyum itu kaku, Binar mencoba untuk memberikan senyuman itu untuk Ramon. Binar tidak menjawab. Menyembuhkan hatinya, rasa-rasanya itu akan sulit. Ras
“Maaf, maksud Bapak saya mendapatkan potongan harga?” Jika Binar tidak salah mengingat, semua perbaikan itu sudah tercatat dengan jelas di nota dan dia melihat sendiri biaya itu begitu besar. Dan tiba-tiba saja, lelaki itu bilang ada pengurangan. Tentu saja Binar sangat terkejut mendengarnya. Kini tatapannya seolah menuntut jawaban. “Karena Pak Kala adalah customer VVIP kami, kami tentu saja memberikan diskon, Bu. Dan perhitungan yang kemarin, itu masih belum ada hitungan diskonnya.” Penjelasan itu terdengar kurang masuk akal di telinga Binar. Tapi, senyumnya kemudian terbit. “Jadi, berapa yang perlu saya bayar, Pak?” Lelaki di depannya itu mendorong nota untuk sampai tepat di depan Binar. “Ibu bisa melihatnya.” Tanpa banyak berpikir, Binar langsung bisa melihat nominal yang tertulis di barisan paling akhir, dan itu tidak sampai seratus juga. Hal itu membuat bibir Binar mengurva semakin lebar. Binar menatap nota dan kepala bengkel bergantian. “Benar hanya perlu membayar sebesar
“Istriku.” Ancala baru saja sampai rumah ketika melihat penampilan Gemi yang sudah cantik. Meskipun hanya mengenakan daster rumahan kebanggaannya, kecantikan perempuan itu selalu terpancar. Dan inilah yang selalu disukai oleh Ancala, Gemi akan selalu menunggu kepulangannya di teras rumah sambil membaca buku. Tidak di rumah Kala, atau bahkan di rumah mereka sendiri, Gemi memiliki perpustakaan sendiri dengan koleksi buku-bukunya. Gemi tersenyum melihat Ancala yang berjalan ke arahnya. Perempuan itu beranjak untuk menerima tas kerja lelaki itu. “Suamiku capek banget kayaknya.” Ancala memeluk Gemi sambil mencium pipi perempuan itu. Bagi Ancala, energinya akan kembali ketika sudah bertemu dengan sang istri setelah seharian bekerja. Rasa lelah itu seolah menguap begitu saja. Pelukan mereka terurai. Masih dengan memeluk pinggang sang istri, Ancala sedikit menjauhkan tubuhnya untuk menatap wajah Gemi yang halus. “Makan apa malam ini?” tanyanya, “lama nggak ke angkringan. Kangen nasi
“Kalian udah datang?” Ancala mendekati istri dan kedua adiknya dengan senyum kecil. Meskipun pagi tadi dia sempat kesal, tetapi setelah Gemi sekarang datang ke kantor, perasaannya menjadi sedikit membaik. Tatapannya mengarah pada ‘tiga tamunya’ yang tidak membawa apa pun. “Jadi belanjanya?” tanyanya. Perempuan yang dimaksud oleh Laksa tadi tidak mengikuti Ancala dan kembali lebih dulu. Gemi tidak bertanya siapa perempuan tersebut karena dia tahu kalau itu adalah sekretaris Ancala. Laksa pun sebenarnya juga tahu, tetapi dia hanya pura-pura untuk mengerjai Gemi. “Bang, aku laper banget, lho.” Laksa mengadu. “Aku laper, Bang.” Ulangnya lagi. “Kalian nggak makan dulu tadi?” Ancala mengernyit aneh menatap satu per satu saudaranya. “Istri Abang ngambek karena diajak desak-desakan. Jadi, nggak memedulikan aku yang kelaparan. Tapi, aku nggak mau makan di kantin ini. Abang tolong pesankan aku makanan yang enak, ya.” Laksa memang benar-benar membuat kakak-kakaknya kesal kalau sudah me
“Gem, bangun!” Ancala menepuk paha sang istri pelan ketika sudah sampai di rumah. Mereka baru saja sampai rumah ketika Gemi tidak sadarkan diri, tidur. Sepanjang jalan, Ancala memegangi tangan Gemi takut-takut kalau istrinya itu terjatuh. Bukannya apa-apa, Gemi tidur sepanjang jalan sedangkan mereka menggunakan motor. Kebanyakan makan kepala ayam membuat Gemi lemas sepertinya. “Bang, aku nggak sanggup jalan. Gendong.” Dengan suara lemas, perempuan itu masih memeluk pinggang Ancala dengan erat takut jatuh. Matanya masih tertutup erat enggan untuk terjaga. Napas panjang Ancala terbuang kasar. Menikahi Gemi adalah impiannya, tetapi kalau sifat manja perempuan keluar, maka habislah dia. “Iya, tapi tunggu dulu deh. Aku turun dulu.” Ancala melepaskan tangan Gemi dari pinggangnya sebelum dia turun dengan pelan dari motor. Baru setelahnya menarik tangan Gemi agar istrinya itu naik ke gendongannya. Diam-diam Ancala tersenyum kecil. Terkadang istrinya itu memang menyebalkan, tetapi juga me
Perdebatan yang terjadi malam itu dianggap bukan apa-apa. Pernikahan antara Gemi dan Ancala bahkan akan segera dilakukan dalam waktu dua hari lagi. Pernikahan mewah itu akan dilakukan di outdoor di pinggir pantai. Tidak banyak yang diundang karena Gemi dan Ancala benar-benar memilih orang-orang terdekat mereka saja yang datang. Kabar pernikahan yang sudah merebak itu membuat banyak orang terkejut. Tidak pernah menyangka kalau Gemi dan Ancala akan menikah. Semua orang tahu jika Abimanyu dan Sambara group adalah saudara. Tentu saja hal itu menjadi perbincangan banyak orang. “Gimana rasanya mau menikah?” Denta datang ke rumah Ancala untuk sekedar menemani sahabatnya itu mengobrol. “Dan menikah dengan perempuan yang lo cintai?” “Setelah semua yang terjadi, tentu saja gue bahagia, Den.” Ancala memainkan kakinya yang ada di kolam renang, menimbulkan bunyi kecipak air. “Gue kira akan sulit mendapatkan restu dari para tetua.” Denial mengatakan itu merujuk pada nenek dan kakek Ancala, lela
“Kamu sudah benar-benar yakin akan menikah dengan Gemi, Bang?” Ramon meyakinkan sekali lagi kepada sang putra atas keputusan untuk meminang sang pencuri hati. Para tetua, nenek kakeknya sudah memberikan izin untuk mempersatukan dua keluarga yang seharusnya tetap menjadi keluarga yang sesungguhnya. Namun, mereka memilih untuk memberikan restu dan menyingkirkan segala ego yang ada. Dua anak manusia itu sudah tidak bisa dipisahkan, untuk apa lagi mereka menahannya dan akan berakhir buruk. “Aku udah yakin, Yah. Aku sudah berbicara dengan Gemi dan dia menerima lamaranku.” Senyum lebar tersemat di bibir Ancala dan wajah sumringah itu tidak bisa berbohong jika dia sangat bahagia. “Kalau begitu, Ayah dan Bunda akan berbicara kepada Papa Kala kalau kami akan segera melamar Gemi. Pikirkan juga kamu ingin menikah di mana? Outdoor atau indoor, masalah biaya jangan khawatir, semua biaya Ayah yang urus.” Rasa sayang Ramon yang diberikan kepada Ancala tidak surut sedikitpun sejak dulu. Lelaki it
Setelah obrolan semalam, Gemi bangun tidur dengan perasaan yang terasa ringan. Hubungannya dengan sang ayah sudah membaik dan dia sudah memaafkan apa pun yang pernah sang ayah lakukan. Semua yang dilakukan oleh sang ayah semata untuk melindungi keluarganya. Suasana hati Gemi pun terlihat sangat baik seharian ini. Meskipun Ancala sejak tadi tak kunjung menghubunginya seperti yang sudah dijanjikan semalam, dia masih baik-baik saja. Seperti yang sudah Ancala bilang semalam, lelaki itu akan membicarakan masalah kerjaan dengan sang ayah. “Jadi, kamu mau balik kerja lagi?” Gemi yang baru saja duduk di sofa di samping sang bunda, segera mendapatkan pertanyaan tersebut. “Aku akan pikirkan lagi, Ma.” Sudah kebiasaan berada di rumah selama beberapa bulan, menjadikan Gemi enggan untuk kembali beraktivitas. “Tapi, Ma, Papa ngeluarin aku dari kantor dengan alasan apa, ya?” Benar, Binar pun tampaknya belum tahu tentang masalah tersebut karena dia tak pernah bertanya dengan Kala. “Mama juga
Binar dan Kala mendengar dengan jelas ucapan putri mereka meskipun kata-kata yang diucapkan terbata-bata. Mereka mendengarkan di balik dinding hanya untuk mengetahui reaksi Gemi ketika bertemu dengan Ancala. Nyatanya, Gemi mengatakan sesuatu yang membuat orang tuanya menahan kesedihannya. “Jangan bicara yang tidak-tidak. Sekarang fokuslah pada kesembuhanmu dulu. Papa bilang, kamu masih perlu bertemu dengan psikiater. Kapan jadwalnya? Aku temani ya?” “Aku nggak butuh psikiater lagi, Bang. Obatku udah ada di sini.” Kala mendesah pasrah mendengar jawaban Ancala atas ucapan sang putri. Sudah pasti perasaan Kala sekarang dipenuhi oleh rasa penyesalan yang amat besar. Di ruang tamu, Gemi dan Ancala melepaskan pelukan mereka. Ancala mengusap air mata Gemi yang mengalir menganak sungai di wajahnya. “Aku nggak akan ke mana-mana lagi, Gemi. Aku udah pulang sekarang. Jadi, kamu nggak perlu takut aku pergi lagi.” “Memangnya, Abang dari mana kemarin?” Ancala menyodorkan minuman yang disiapka
Kala pasti tidak pernah menyangka jika Ramon akan menurunkan egonya untuk meminta putranya pulang. Dia tahu betul bagaimana Ramon menolak permintaannya saat itu. Namun, sekarang tiba-tiba Ancala sudah ada di rumahnya dan menanyakan kabar Gemi. Hal itu tentu saja membuat Kala sedikit bingung. Apa pun itu, Kala tentulah merasa senang dengan kedatangan Ancala ke rumahnya. “Keadaan Gemi sudah lebih baik. Dia sekarang sedang istirahat.” Tepat setelah itu, Binar datang dan segera duduk di samping Ancala. Perempuan paruh baya itu mengelus punggung Ancala tanpa berbicara. Kelegaan terpancar dari matanya. “Kamu dari mana saja, Bang?” tanyanya setelah itu, “Mama cariin kamu.” “Aku jalan-jalan, Ma,” jawab Ancala dengan lembut, “Mama baik-baik aja ‘kan?” “Mama baik. Anca, kamu masih mau nemuin Gemi ‘kan? Setelah waktu itu, dia murung dan tidak ingin berurusan dengan siapa pun.” “Tentu saja aku mau, Ma. Gemi adalah adikku. Kalau memang perlu, aku akan menemaninya sampai dia sembuh.” “Apa mak
“Aku harus pulang, Den. Sorry, ya.” Gemi memilih menghindar daripada harus menjawab ucapan Denta. Gadis itu berdiri, lalu buru-buru pergi meninggalkan Denta yang tampak kebingungan. “Gem!” Denta berteriak memanggil gadis itu, tetapi seolah tuli, Gemi tetap berjalan dan sesekali berlari untuk menghindari sahabat Ancala tersebut. Setelah memasuki komplek perumahannya, barulah dia berjalan dengan tenang. Gemi berpikir, kalau Denta saja tidak tahu keberadaan Ancala, itu artinya, kepergian lelaki itu dirahasiakan. Sepertinya, masalah ini benar-benar serius. Gemi berhenti di pinggir jalan, terpaku di tempatnya, lalu berpikir sejenak. Apa dia harus menghubungi Ancala? Apa lelaki itu akan menerima panggilannya kalau dia melakukannya? Kebingungan itu melanda dirinya. Gara-gara kedatangan Denta, menjadikannya berpikir lebih keras tentang Ancala. Gadis berdaster coklat itu kembali melangkah untuk kembali ke rumah. Meskipun dia banyak memikirkan banyak hal, tapi beruntung kini halusinasinya ti