“Maaf, maksud Bapak saya mendapatkan potongan harga?”
Jika Binar tidak salah mengingat, semua perbaikan itu sudah tercatat dengan jelas di nota dan dia melihat sendiri biaya itu begitu besar. Dan tiba-tiba saja, lelaki itu bilang ada pengurangan. Tentu saja Binar sangat terkejut mendengarnya. Kini tatapannya seolah menuntut jawaban.
“Karena Pak Kala adalah customer VVIP kami, kami tentu saja memberikan diskon, Bu. Dan perhitungan yang kemarin, itu masih belum ada hitungan diskonnya.”
Penjelasan itu terdengar kurang masuk akal di telinga Binar. Tapi, senyumnya kemudian terbit. “Jadi, berapa yang perlu saya bayar, Pak?”
Lelaki di depannya itu mendorong nota untuk sampai tepat di depan Binar. “Ibu bisa melihatnya.”
Tanpa banyak berpikir, Binar langsung bisa melihat nominal yang tertulis di barisan paling akhir, dan itu tidak sampai seratus juga. Hal itu membuat bibir Binar mengurva semakin lebar. Binar menatap nota dan kepala bengkel bergantian.
“Benar hanya perlu membayar sebesar ini, Pak?” Binar kembali meyakinkan. “Maaf, bukannya bermaksud apa-apa. Tapi dibandingkan kemarin, ini jauh lebih ringan.” Binar segera melanjutkan. Takut kalau-kalau kepala bengkel itu menarik kembali potongan harga yang sudah diberikan.
“Benar, Bu. Itu sudah final. Kalaupun nanti ada tambahan, saya perkirakan tidak sampai besar.”
Mendengar jawaban lelaki itu, Binar sungguh lega. “Terima kasih, Pak. Saya benar-benar berterima kasih.” Setidaknya dengan potongan harga yang sebanyak itu dia masih bisa memiliki sedikit tabungan untuk kehidupannya.
Ada beberapa planning bisnis yang ingin dia buat yang sempat dia urungkan. Tapi sekarang, rencana itu sepertinya akan dia susun kembali. Ya, semoga saja dia bisa melakukannya.
Keluar dari kantor bengkel, sudah tentu langit sudah gelap. Bengkel itu sebenarnya juga sudah tutup sejak pukul lima sore tadi. Tapi karena Kalandara yang datang, maka tidak mungkin tidak dilayani. Benar, Kalandara. Binar mengingat lelaki itu. Lantas dia segera menoleh dan mendapati lelaki itu berdiri di sampingnya dengan raut wajah dingin seperti biasanya.
Ragu, Binar bersuara. “Terima kasih, Pak.” Tatapannya menatap ke depan dengan tanpa berani menatap ke arah Kala lama-lama. “Hanya itu yang bisa saya katakan untuk saat ini.”
Kala sama sekali tak menjawab. Dia hanya terus menatap ke depan seolah tanpa memiliki keinginan untuk beramah tamah dengan Binar. Namun Binar pun tidak mengharapkan apa-apa. Dia paham jika Kala pastilah masih sangat kesal kepadanya karena insiden ini.
“Kalau begitu, saya permisi dulu.” Tanpa menunggu jawaban Kala, Binar berlalu begitu saja. Memanggil taksi yang lewat di depannya, kemudian pergi meninggalkan Kala yang masih berdiri di tempatnya.
Binar tidak ingin membuat masalah lebih besar lagi dengan lelaki itu. Jika memang mobil lelaki itu sudah selesai diperbaiki nanti, dia hanya perlu menjauh dan tidak akan pernah berurusan lagi dengannya meskipun mungkin saja, Ramon akan mempertemukan mereka tanpa disangka-sangka seperti saat itu.
Di dalam taksi, Binar mendesah lega. Matanya tertutup kemudian kembali terbuka. Dia mensyukuri apa yang terjadi. Setidaknya hari ini setelah bertemu dengan Rasya, ada hal baik juga yang dia dapatkan.
***
“Kamu nggak bisa ngebujuk Binar, Sya?” tanya ibu mertua Binar kepada putranya. Orang tua Rasya itu masih tinggal dengan tenang di rumah Binar seolah tak terusik dengan peringatan sang menantu kepada mereka.
Ramon pun juga belum bertindak karena dia membutuhkan banyak ‘senjata’ untuk menyerang Rasya dan keluarganya.
“Aku udah datang ke kantornya pagi tadi, Ma. Tapi dia semakin berani ke aku.”
Ada nada getir yang Rasya keluarkan. Dia mengaku masih mencintai Binar kepada Nindi saat itu dan memang itulah kebenarannya. Tentu saja dia akan mempertahankan hubungannya dengan Binar bagaimanapun caranya. Itu adalah tekad Rasya.
“Kamu jangan diam aja dong, Sya. Cari tahu di mana tempat tinggalnya. Ikuti dia dari belakang kalau perlu.”
“Ma, aku juga bekerja. Mana mungkin aku bisa mengikuti dia.” Lelaki itu mengusap wajahnya kasar sebelum menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa. “Aku juga sebenarnya nggak mau ninggalin dia, Ma. Aku masih cinta sama dia.” Keluhan itu keluar begitu saja tanpa filter.
“Kenapa kamu harus mencintai perempuan mandul itu, Sya.” Suara sang ayah terdengar. “Belajarlah mencintai Nindi yang sudah mengandung anakmu. Fokus sama dia karena dia yang akan memberikanmu keturunan.”
“Mama dan Papa lupa ancaman Binar? Kita akan diusir dari rumah ini. Kalau aku bisa meyakinkan dia, kita nggak akan perlu repot-repot pergi dari sini. Aku bisa tetap sama Binar dan juga Nindi di waktu yang bersamaan.”
“Kenapa kita yang harus pergi? Rumah ini sudah menjadi milik kamu juga!” Ibu Rasya yang tidak tahu malu itu tampak melotot marah. Tidak terima kalau dia harus-harus benar-benar pergi dari rumah yang sudah ditempati sejak beberapa bulan yang lalu. “Mama nggak mau pindah dari rumah ini. Mama akan tetap di sini. Kalau dia nggak kembali, biarkan saja, Mama nggak peduli lagi.”
Wajahnya tampak ditumpuki amarah sampai terlihat kelam luar biasa. Kedua tangannya bersedekap di depan dada dan rahangnya tampak mengetat erat. Rasya yang melihat itu, mendesah lelah. Memijat pelipisnya berusaha menghilangkan denyutan di kepalanya.
“Ini rumah Binar, Ma. Dia yang membeli, dia yang merenovasi. Dan tentu saja aku nggak punya hak di sini.”
“Kenapa selama kamu menikah kamu nggak berusaha bujuk dia agar dia menyerahkan rumah ini kepadamu? Saat kamu memutuskan untuk mencari perempuan lain, seharusnya kamu juga berjaga-jaga agar pada akhirnya bukan kita yang akan menjadi korban.” Pelototan perempuan paruh baya itu kini lebar maksimal. Suaranya bahkan meninggi. Hembusan napasnya menjadi memburu seperti dia baru saja berlari puluhan kilometer.
Rasya terdiam mendengarkan rentetan ucapan ibunya. Lantas dia beranjak dari sofa dan pergi meninggalkan rumah itu menuju ke rumah Nindi. Dia membutuhkan ketenangan. Dan dia yakin Nindi bisa menenangkannya.
“Mas kenapa?” Baru pintu rumah perempuan itu dibuka, wajah masam Rasya sudah mendominasi pandangannya. Rasya masuk ke dalam rumah tanpa menjawab, lalu merebahkan tubuhnya di sofa. Memejamkan matanya erat enggan terbuka.
Nindi buru-buru mengikuti Rasya dari belakang dan duduk tepat di samping lelaki itu. Kembali mengeluarkan pertanyaan yang sama. “Mas kenapa, sih?”
Hembusan napas kasar Rasya terdengar. Matanya terbuka dan pandangannya tepat di wajah Nindi. “Sebentar lagi, mungkin aku dan orang tuaku akan tinggal di sini sementara waktu.” Begitu kata Rasya.
Sontak saja, Nindi mengernyit bingung. “Kenapa pindah? Kalau Mas yang tinggal di sini nggak masalah, tapi Ibu dan Bapak kenapa harus?”
“Rumah yang kami tempati sekarang itu adalah rumah Binar. Kamu pikir setelah ini dia akan membiarkan kami tinggal di sana? Kamu juga tahu kalau dia mengusir kami waktu itu, kan?”
Binar tidak menjawab. Tapi dia tentu tidak mengelak kalau dia menyaksikan pengusiran yang Binar lakukan kepada Rasya dan kedua orang tuanya. Namun sebuah gagasan muncul di dalam kepalanya sebagai sebelum dia kembali bersuara.
“Bagaimana mungkin kalian semua akan tinggal di sini? Aku dan kamu bahkan belum menikah, Mas.”
***
“Aku akan menikahimu kalau urusanku dengan Binar selesai.” Rasya menjawabnya dengan santai. “Tunggulah dan bersabar.” Nindi tampaknya tidak terima dengan jawaban Rasya yang terdengar sangat menyepelekan. Dalam pikiran Nindi bersuara, dia mengandung janin di perutnya dan dia butuh segera menikah untuk menutupi ‘aib’ yang semakin lama akan semakin membesar. Tentu saja dia tak boleh mengulur terlalu lama atau dia akan dipermalukan. “Kalau begitu, aku juga nggak bisa membawa Mas dan orang tua Mas untuk tinggal di sini. Aku nggak mau tetanggaku mengghibah karena masalah ini dan menimbulkan masalah baru.” “Kenapa kamu perhitungan banget sih?” Rasya bereaksi keras. Raut wajahnya tampak kesal luar biasa karena penolakan Nindi. “Bagaimanapun kita juga nanti akan menikah. Tapi tunggulah sampai semua selesai.” Rasya kini yang memuntahkan amarahnya. Rambutnya yang mencuat berantakan, seperti hatinya yang tengah gundah gulana. “Sampai selesai itu kapan? Mas bahkan bilang nggak mau bercerai den
Binar memejamkan matanya erat sebelum memberanikan diri untuk mengetuk pintu ruangan Kalandara. Mencoba tenang, tapi jantungnya tetap saja bertalu-talu tak karuan. Di dalam benaknya muncul banyak spekulasi tentang ‘kenapa’ dan ‘ada apa’ dirinya dipanggil ke ruangan bosnya. Tapi, dia ‘kan memang kepala department ini, rasa-rasanya itu wajar. “Masuk!” Suara Kala terdengar dari dalam ruangan ketika Binar mengetuk pintunya. Kaki Binar terasa berat saat akan melangkah. Namun dia harus tetap maju. Berjalan dengan pasti untuk menghadap Kala, kini dia berdiri tepat di depan meja lelaki itu. Binar bisa melihat, Kala sama sekali tidak mendongakkan kepalanya meskipun tahu Binar ada di ruangan yang sama dengannya. “Ada yang harus saya kerjakan, Pak?” Barulah ketika Binar bersuara, Kala mengangkat kepalanya dan tatapan mereka bertemu. Tatapan lelaki itu masih begitu dingin dan penuh peringatan. Yang mau tak mau membuat Binar harus mengeratkan kepalan tangannya. Tentu bukan untuk melayangkan
“Binar, kamu ini bicara apa? Pindah apa? Kenapa kami harus pindah?” Menghadapi orang-orang yang tidak punya hati nurani memanglah sulit. Binar lelah, tapi jika dia tidak mendorong dan melawan mereka, dia hanya akan diinjak-injak. Itulah kenapa dia memilih untuk menghadapinya lagi. “Duduk, Ram.” Binar berjalan menuju sofa, kemudian Ramon menyusul setelahnya. Rasya masih berdiri dengan wajah pias. Namun tak lama dia bergabung juga. Kedua orang tua Rasya tampak tidak nyaman tapi Binar tidak peduli. Ditatapnya tiga orang itu dengan tidak bersahabat sebelum berbicara. “Saya tidak ingin banyak menjelaskan tentang alasan kenapa kalian harus pindah, karena kalian tahu pasti apa yang terjadi. Sebelumnya, saya juga sudah pernah mengatakan kalau urusan perceraian dan semua harta milik saya akan diurus oleh pengacara saya. Dan pengacara saya sudah datang hari ini. Artinya, sudah tidak ada waktu lagi untuk menunda apa pun.” Binar mengangguk pada Ramon untuk menggantikannya berbicara. Dengan s
Binar keluar dari rumah itu membawa kepingan hatinya yang telah hancur. Dia bersumpah di dalam hati, dia akan menemukan pengganti Rasya yang jauh lebih baik dari lelaki itu. Dia akan menikah lagi dan memiliki anak. Bukankah dokter sudah bilang kalau kandungannya baik-baik saja? Semua ini hanyalah perkara waktu. Tapi keyakinannya begitu tinggi jika dia tidak mandul. “Bi!” Ramon menyusulnya dari belakang kemudian mendekatinya. “Gue nggak tahu harus bilang apa. Tapi satu hal, lo harus kuat. Gue akan bantu lo dan lo akan mendapatkan keadilan.” Binar menatap Ramon dan memaksakan senyumnya. “Hanya lo yang bisa ngebantu gue, Ram. Gue percaya lo bisa menyelesaikan semua ini.” Ramon mengangguk dengan yakin. “Gue akan segera memprosesnya. Besok, gue akan minta temen gue yang anggota kepolisian untuk ngebantu mengusir mereka. Gue yakin lusa lo bisa menempati rumah ini lagi.” “Kalau gue tetep di unit lo untuk satu bulan ini gimana, Ram?” Binar menarik napas panjang. “Jujur saja, gue masih sed
“Bi, lo yakin akan ikut pergi ke rumah dan menyaksikan mereka keluar dari rumah lo?” Ramon meyakinkan sekali lagi kepada Binar sebelum mereka pergi untuk mengusir Rasya dan keluarganya. “Gue yakin, Ram. Gue harus lihat mereka keluar dari rumah gue dengan kepala mata gue sendiri.” Bukankah dia sudah meminta kepada Ramon untuk mengurus permasalahannya? Lalu kenapa dia sekarang harus ikut sibuk menyaksikan kepergian Rasya dengan mata kepalanya sendiri? Tentu saja untuk memuaskan harga dirinya. Dengan melihat Rasya dan keluarganya keluar dari rumahnya, dia akan merasakan jika itu sebanding dengan rasa sakit yang dia rasakan. Binar sampai di depan rumahnya dengan Ramon di sampingnya. Dia tak membawa mobilnya karena sengaja tidak ingin langsung muncul di depan mantan keluarganya tersebut. “Lo akan tetap di sini?” Ramon sekali lagi bertanya ketika dia akan keluar dari mobil. “Iya, gue akan tetap di sini.” Mobil milik Ramon terparkir di luar pagar rumah dengan dua mobil lainnya. Satu mo
“Dasar perempuan tidak tahu diri. Hei, kembali kamu. Kemari, aku akan mengacak-acak wajahmu. Nindi bukan perempuan seperti itu.” Jeritan dari ibu mertuanya tidak dihiraukan Binar sama sekali, memilih menutup telinganya rapat-rapat seolah tidak mendengar apa pun. Jadi dia memilih terus berjalan masuk ke dalam rumah dan meninggalkan kerumunan. Binar bisa mendengar jeritan ibu Rasya yang tidak mau didorong oleh orang-orang Ramon. Apa pun yang terjadi kepada mereka, masa bodoh dengan itu. “Ibu.” Bibi mendekati Binar yang baru saja duduk di sofa. Perempuan paruh baya itu tampak sedikit lega dan juga penuh kebingungan. “Ibu sudah kembali?” tanya Bibi untuk memastikan. Binar yang tadinya memejamkan matanya itu kini membuka matanya. Dia menoleh menatap asisten rumah tangganya. Menatap raut wajah perempuan yang tampak kusut. “Apa yang terjadi setelah saya tidak ada di sini, Bik?” Hampir satu minggu Binar meninggalkan rumah. Tidak tahu apa yang terjadi di rumah ini. Atau barangkali pembicar
Sepertinya itu memang kesengajaan yang dilakukan oleh Rasya untuk memasang fotonya di social media. Karena dia tahu ada banyak teman Binar yang mengikutinya di sana. Binar bisa melihat dengan jelas, foto itu tampak depan. Rasya dan Nindi menengadahkan kedua tangannya; berdoa. Kepalanya mereka menunduk dengan takzim. “Mbak Bi?” Uli menatap Binar tampak menyesal. “Sorry, aku ….”“Nggak papa, Li.” Binar menggeleng. “Itu memang dia.” “Mbak Bi.” Uli tidak lagi bisa melanjutkan ucapannya ketika Binar seolah menghindari percakapan lebih lanjut. Perempuan itu menatap kembali ke depan dengan bibir tertutup rapat. Dia tidak memiliki argument untuk diberikan. Tidak juga perlu menjelaskan apa pun kepada semua orang tentang masalah rumah tangganya. Biarkan, biarkan saja dia yang mengurus itu sendiri. Binar tahu, setelah hari ini, gosip tentang dirinya pasti akan menyebar di kantornya secepat kilat. Pandangan orang lain terhadap dirinya pasti juga akan berubah. Tapi, itu adalah konsekuensi yang
Untuk beberapa detik, Binar tidak menjawab. Namun selanjutnya, dia menggeleng dengan ekspresi mengejek. “Jangan mimpi di sore bolong begini, Ram.” Ramon mengangkat bahunya tak acuh. “Siapa tahu kalian cocok. Dia juga duda, lo tahu ‘kan?”Binar mengangguk. Dia sudah tahu status Kalandara. Uli sudah memberikan informasi itu secara cuma-cuma. Tapi tentu saja rencana bodoh yang diungkapkan oleh Ramon adalah hal yang tidak akan pernah terjadi. “Dia itu sebenarnya orangnya baik, Bi. Lo cuma belum belum kenal baik aja sama dia.” Binar tidak menanggapi ucapan Ramon dan memilih untuk menutup mulutnya rapat. Tidak ada yang perlu diperdebatkan tentang Kalandara. Di kantor pun dia juga tidak begitu banyak bersinggungan meskipun mereka ada dalam satu lingkup pekerjaan yang sama. Setelah pertemuan dengan Ramon, dia kembali ke rumah miliknya. Rumah ini akhirnya ditempatinya sendiri setelah para parasit itu pergi dari sana. Binar keluar dari mobilnya dan menatap dua mobil lainnya. Satu mobil mili
“Istriku.” Ancala baru saja sampai rumah ketika melihat penampilan Gemi yang sudah cantik. Meskipun hanya mengenakan daster rumahan kebanggaannya, kecantikan perempuan itu selalu terpancar. Dan inilah yang selalu disukai oleh Ancala, Gemi akan selalu menunggu kepulangannya di teras rumah sambil membaca buku. Tidak di rumah Kala, atau bahkan di rumah mereka sendiri, Gemi memiliki perpustakaan sendiri dengan koleksi buku-bukunya. Gemi tersenyum melihat Ancala yang berjalan ke arahnya. Perempuan itu beranjak untuk menerima tas kerja lelaki itu. “Suamiku capek banget kayaknya.” Ancala memeluk Gemi sambil mencium pipi perempuan itu. Bagi Ancala, energinya akan kembali ketika sudah bertemu dengan sang istri setelah seharian bekerja. Rasa lelah itu seolah menguap begitu saja. Pelukan mereka terurai. Masih dengan memeluk pinggang sang istri, Ancala sedikit menjauhkan tubuhnya untuk menatap wajah Gemi yang halus. “Makan apa malam ini?” tanyanya, “lama nggak ke angkringan. Kangen nasi
“Kalian udah datang?” Ancala mendekati istri dan kedua adiknya dengan senyum kecil. Meskipun pagi tadi dia sempat kesal, tetapi setelah Gemi sekarang datang ke kantor, perasaannya menjadi sedikit membaik. Tatapannya mengarah pada ‘tiga tamunya’ yang tidak membawa apa pun. “Jadi belanjanya?” tanyanya. Perempuan yang dimaksud oleh Laksa tadi tidak mengikuti Ancala dan kembali lebih dulu. Gemi tidak bertanya siapa perempuan tersebut karena dia tahu kalau itu adalah sekretaris Ancala. Laksa pun sebenarnya juga tahu, tetapi dia hanya pura-pura untuk mengerjai Gemi. “Bang, aku laper banget, lho.” Laksa mengadu. “Aku laper, Bang.” Ulangnya lagi. “Kalian nggak makan dulu tadi?” Ancala mengernyit aneh menatap satu per satu saudaranya. “Istri Abang ngambek karena diajak desak-desakan. Jadi, nggak memedulikan aku yang kelaparan. Tapi, aku nggak mau makan di kantin ini. Abang tolong pesankan aku makanan yang enak, ya.” Laksa memang benar-benar membuat kakak-kakaknya kesal kalau sudah me
“Gem, bangun!” Ancala menepuk paha sang istri pelan ketika sudah sampai di rumah. Mereka baru saja sampai rumah ketika Gemi tidak sadarkan diri, tidur. Sepanjang jalan, Ancala memegangi tangan Gemi takut-takut kalau istrinya itu terjatuh. Bukannya apa-apa, Gemi tidur sepanjang jalan sedangkan mereka menggunakan motor. Kebanyakan makan kepala ayam membuat Gemi lemas sepertinya. “Bang, aku nggak sanggup jalan. Gendong.” Dengan suara lemas, perempuan itu masih memeluk pinggang Ancala dengan erat takut jatuh. Matanya masih tertutup erat enggan untuk terjaga. Napas panjang Ancala terbuang kasar. Menikahi Gemi adalah impiannya, tetapi kalau sifat manja perempuan keluar, maka habislah dia. “Iya, tapi tunggu dulu deh. Aku turun dulu.” Ancala melepaskan tangan Gemi dari pinggangnya sebelum dia turun dengan pelan dari motor. Baru setelahnya menarik tangan Gemi agar istrinya itu naik ke gendongannya. Diam-diam Ancala tersenyum kecil. Terkadang istrinya itu memang menyebalkan, tetapi juga me
Perdebatan yang terjadi malam itu dianggap bukan apa-apa. Pernikahan antara Gemi dan Ancala bahkan akan segera dilakukan dalam waktu dua hari lagi. Pernikahan mewah itu akan dilakukan di outdoor di pinggir pantai. Tidak banyak yang diundang karena Gemi dan Ancala benar-benar memilih orang-orang terdekat mereka saja yang datang. Kabar pernikahan yang sudah merebak itu membuat banyak orang terkejut. Tidak pernah menyangka kalau Gemi dan Ancala akan menikah. Semua orang tahu jika Abimanyu dan Sambara group adalah saudara. Tentu saja hal itu menjadi perbincangan banyak orang. “Gimana rasanya mau menikah?” Denta datang ke rumah Ancala untuk sekedar menemani sahabatnya itu mengobrol. “Dan menikah dengan perempuan yang lo cintai?” “Setelah semua yang terjadi, tentu saja gue bahagia, Den.” Ancala memainkan kakinya yang ada di kolam renang, menimbulkan bunyi kecipak air. “Gue kira akan sulit mendapatkan restu dari para tetua.” Denial mengatakan itu merujuk pada nenek dan kakek Ancala, lela
“Kamu sudah benar-benar yakin akan menikah dengan Gemi, Bang?” Ramon meyakinkan sekali lagi kepada sang putra atas keputusan untuk meminang sang pencuri hati. Para tetua, nenek kakeknya sudah memberikan izin untuk mempersatukan dua keluarga yang seharusnya tetap menjadi keluarga yang sesungguhnya. Namun, mereka memilih untuk memberikan restu dan menyingkirkan segala ego yang ada. Dua anak manusia itu sudah tidak bisa dipisahkan, untuk apa lagi mereka menahannya dan akan berakhir buruk. “Aku udah yakin, Yah. Aku sudah berbicara dengan Gemi dan dia menerima lamaranku.” Senyum lebar tersemat di bibir Ancala dan wajah sumringah itu tidak bisa berbohong jika dia sangat bahagia. “Kalau begitu, Ayah dan Bunda akan berbicara kepada Papa Kala kalau kami akan segera melamar Gemi. Pikirkan juga kamu ingin menikah di mana? Outdoor atau indoor, masalah biaya jangan khawatir, semua biaya Ayah yang urus.” Rasa sayang Ramon yang diberikan kepada Ancala tidak surut sedikitpun sejak dulu. Lelaki it
Setelah obrolan semalam, Gemi bangun tidur dengan perasaan yang terasa ringan. Hubungannya dengan sang ayah sudah membaik dan dia sudah memaafkan apa pun yang pernah sang ayah lakukan. Semua yang dilakukan oleh sang ayah semata untuk melindungi keluarganya. Suasana hati Gemi pun terlihat sangat baik seharian ini. Meskipun Ancala sejak tadi tak kunjung menghubunginya seperti yang sudah dijanjikan semalam, dia masih baik-baik saja. Seperti yang sudah Ancala bilang semalam, lelaki itu akan membicarakan masalah kerjaan dengan sang ayah. “Jadi, kamu mau balik kerja lagi?” Gemi yang baru saja duduk di sofa di samping sang bunda, segera mendapatkan pertanyaan tersebut. “Aku akan pikirkan lagi, Ma.” Sudah kebiasaan berada di rumah selama beberapa bulan, menjadikan Gemi enggan untuk kembali beraktivitas. “Tapi, Ma, Papa ngeluarin aku dari kantor dengan alasan apa, ya?” Benar, Binar pun tampaknya belum tahu tentang masalah tersebut karena dia tak pernah bertanya dengan Kala. “Mama juga
Binar dan Kala mendengar dengan jelas ucapan putri mereka meskipun kata-kata yang diucapkan terbata-bata. Mereka mendengarkan di balik dinding hanya untuk mengetahui reaksi Gemi ketika bertemu dengan Ancala. Nyatanya, Gemi mengatakan sesuatu yang membuat orang tuanya menahan kesedihannya. “Jangan bicara yang tidak-tidak. Sekarang fokuslah pada kesembuhanmu dulu. Papa bilang, kamu masih perlu bertemu dengan psikiater. Kapan jadwalnya? Aku temani ya?” “Aku nggak butuh psikiater lagi, Bang. Obatku udah ada di sini.” Kala mendesah pasrah mendengar jawaban Ancala atas ucapan sang putri. Sudah pasti perasaan Kala sekarang dipenuhi oleh rasa penyesalan yang amat besar. Di ruang tamu, Gemi dan Ancala melepaskan pelukan mereka. Ancala mengusap air mata Gemi yang mengalir menganak sungai di wajahnya. “Aku nggak akan ke mana-mana lagi, Gemi. Aku udah pulang sekarang. Jadi, kamu nggak perlu takut aku pergi lagi.” “Memangnya, Abang dari mana kemarin?” Ancala menyodorkan minuman yang disiapka
Kala pasti tidak pernah menyangka jika Ramon akan menurunkan egonya untuk meminta putranya pulang. Dia tahu betul bagaimana Ramon menolak permintaannya saat itu. Namun, sekarang tiba-tiba Ancala sudah ada di rumahnya dan menanyakan kabar Gemi. Hal itu tentu saja membuat Kala sedikit bingung. Apa pun itu, Kala tentulah merasa senang dengan kedatangan Ancala ke rumahnya. “Keadaan Gemi sudah lebih baik. Dia sekarang sedang istirahat.” Tepat setelah itu, Binar datang dan segera duduk di samping Ancala. Perempuan paruh baya itu mengelus punggung Ancala tanpa berbicara. Kelegaan terpancar dari matanya. “Kamu dari mana saja, Bang?” tanyanya setelah itu, “Mama cariin kamu.” “Aku jalan-jalan, Ma,” jawab Ancala dengan lembut, “Mama baik-baik aja ‘kan?” “Mama baik. Anca, kamu masih mau nemuin Gemi ‘kan? Setelah waktu itu, dia murung dan tidak ingin berurusan dengan siapa pun.” “Tentu saja aku mau, Ma. Gemi adalah adikku. Kalau memang perlu, aku akan menemaninya sampai dia sembuh.” “Apa mak
“Aku harus pulang, Den. Sorry, ya.” Gemi memilih menghindar daripada harus menjawab ucapan Denta. Gadis itu berdiri, lalu buru-buru pergi meninggalkan Denta yang tampak kebingungan. “Gem!” Denta berteriak memanggil gadis itu, tetapi seolah tuli, Gemi tetap berjalan dan sesekali berlari untuk menghindari sahabat Ancala tersebut. Setelah memasuki komplek perumahannya, barulah dia berjalan dengan tenang. Gemi berpikir, kalau Denta saja tidak tahu keberadaan Ancala, itu artinya, kepergian lelaki itu dirahasiakan. Sepertinya, masalah ini benar-benar serius. Gemi berhenti di pinggir jalan, terpaku di tempatnya, lalu berpikir sejenak. Apa dia harus menghubungi Ancala? Apa lelaki itu akan menerima panggilannya kalau dia melakukannya? Kebingungan itu melanda dirinya. Gara-gara kedatangan Denta, menjadikannya berpikir lebih keras tentang Ancala. Gadis berdaster coklat itu kembali melangkah untuk kembali ke rumah. Meskipun dia banyak memikirkan banyak hal, tapi beruntung kini halusinasinya ti