“Itu adalah tanggung jawabmu kalau perempuan ini yang akan menjadi sasarannya.”
Kata-kata itu sudah cukup membuat Rasya mengerti apa yang harus dilakukan. Binar tidak hanya akan menggertak. Dia akan melakukan apa pun yang dia katakan. Rasya ketakutan saat meminta Nindi masuk ke dalam mobilnya.
Sedangkan Binar yang sudah pergi meninggalkan rumah Nindi, mengeluarkan segala sesak di hatinya dengan tangisnya yang pecah. Tidak peduli dengan mata yang kabur karena air mata, Binar menyetir dengan kecepatan yang luar biasa tinggi untuk melampiaskan emosinya. Kalaupun dia akan mati sekarang, maka itu akan lebih baik. Sakit yang dirasakannya benar-benar luar biasa.
Namun seolah Tuhan ingin mengabulkan doanya, sebuah mobil tiba-tiba muncul dari arah kiri, membuat Binar terkejut luar biasa. Dengan cepat, dia menginjak rem berharap tidak menabrak mobil yang ada di depanya. Kalau dia harus mati, jangan melibatkan orang yang tidak berdosa. Begitulah yang dipikirkan.
Naas, injakan rem mobilnya tak sanggup menghindari tabrakan yang diciptakan. Suara decitan dari pergesekan ban mobil dan aspal membuat suara memekakkan. Jantung Binar hampir saja berhenti berdetak detik itu juga. Dengan kaki bergetar, dia segera keluar dari mobilnya dan terpaku di tempatnya saat mobil yang ditabraknya mengalami kerusakan parah.
“Kalau kamu tidak bisa menyetir, jangan menyetir dan berakhir merugikan orang lain.” Suara itu mengejutkan Binar. Matanya menatap sosok lelaki tinggi yang berdiri di depannya dengan kemarahan di wajahnya. Lelaki itu menatap mobilnya dan mendesah panjang.
Mengalihkan tatapannya pada Binar yang terdiam di tempatnya, lelaki itu mengetatkan rahangnya kuat. Sebelum mengumpat dingin. “Sial!”
“Maafkan saya, Pak. Saya benar-benar minta maaf.” Binar memohon. Tangisnya yang sejak tadi masih belum surut itu akhirnya kembali keluar. Amarah yang belum reda bercampur dengan ketakutan karena tabrakan yang terjadi. Tubuh Binar bergetar hebat sampai di harus mencari pegangan dengan mobilnya sendiri.
“Saya akan bertanggung jawab,” lanjutnya dengan suara menyicit rendah.
“Tentu saja kamu harus melakukannya!” Lelaki itu bersuara dingin.
Binar mengangguk. Menatap lelaki itu dengan berani. “Saya akan membiayai kerusakan mobil Bapak. Tapi …,” Binar mengusap air matanya yang sejak tadi seolah tak mau berhenti keluar. “Tapi, sekarang ada hal penting yang harus saya lakukan. Bisakah saya meninggalkan nomor telepon saya agar Bapak bisa menghubungi saya untuk biaya perbaikannya?” Air mata Binar menetes lagi. “Saya janji, saya akan menanggung semua biayanya.”
Lelaki itu menatap Binar tajam, rahangnya menguat, dan keinginan membentak perempuan itu begitu tinggi. Aura permusuhan begitu menguar hitam dari dalam tubuhnya. Namun, Binar tidak memiliki banyak waktu. Dia memiliki urusan yang lebih penting dari masalah mobil lelaki itu. Bahkan dia sama sekali tidak peduli kerusakan mobilnya sendiri yang juga mengalami kerusakan parah.
“Bi, ada apa?” Rasya datang setelah itu dan melihat kekacauan yang dibuat oleh sang istri. Ekspresi paniknya tampak jelas di wajah Rasya. “Kamu nggak papa?” Rasya mencoba mengecek tubuh Binar, tapi Binar terus menghindar sampai berdiri di belakang lelaki asing itu seolah mencari perlindungan.
Bersikap layaknya suami yang baik, Rasya segera bersuara. “Pak, dia istri saya. Saya benar-benar minta maaf atas kejadian ini. Saya yang akan bertanggung jawab.” Baru Rasya menutup mulutnya, Nindi datang.
“Mas!”
Hanya panggilan itu, tapi Binar merasa muak mendengarnya. Dengan gerakan cepat, Binar kembali ke mobilnya dan mengambil sebuah kartu nama.
“Pak, ini kartu nama saya.” Binar dengan lancang menarik tangan lelaki itu, kemudian meletakkan kartu nama di atas telapak tangannya. “Tolong Bapak hubungi saya untuk biaya perbaikan mobil Bapak. Sekali lagi, saya benar-benar minta maaf. Saya janji, setelah Bapak menghubungi saya, saya akan datang dan membayarnya.”
Setelah mengatakan itu, Binar tidak lagi peduli dengan keadaan di sana. Dia kembali masuk ke mobil, mengendarainya dengan kencan agar bisa segera sampai di rumah. Mobil Rasya tak lama menyusul dan meninggalkan korban Binar begitu saja.
Sampai di rumah, kekacauan semakin terasa di dalam hati Binar meskipun dia berusaha meredamnya.
“Bi.” Panggilan itu seolah mengaduk emosi Binar kembali membuat perempuan itu menatap Rasya dengan tajam. Terlebih lagi saat melihat Nindi yang berjalan di belakang Rasya, membuat perasaan Binar carut marut tak karuan.
“Ayo kita bercerai, Mas!” katanya dengan dingin. “Ayo kita akhiri semua hubungan yang terjalin di antara kita.”
Rasya panik. “Bi, apa yang kamu katakan?” katanya. Rasya dengan secepat kilat mendekati sang istri. “Kita bisa membicarakan ini baik-baik. Aku bisa menjelaskan apa pun yang ingin kamu dengar?”
“Menjelaskan seperti apa lagi?” Binar mengusap air matanya yang terus keluar dari netranya. “Seandainya aku tidak memergokimu, apa kamu juga akan terus menyembunyikan hubunganmu dengannya?”
“Ada apa ini?” Mendengar ada perdebatan, orang tua Rasya akhirnya keluar kamar dan terkejut melihat keberadaan Nindi di sana. Ibu Rasya melebarkan matanya dan wajahnya pucat pasi.
Binar melihat wajah suami dan kedua mertuanya secara bergantian dan menunggu reaksi mereka. Binar ingin tahu apa yang akan dikatakan oleh ibu mertuanya melihat situasi kacau seperti ini.
“Rasya, ada apa? Siapa perempuan ini?”
Binar sempat tidak percaya ibu mertuanya memilih berpura-pura tidak mengenal Nindi dihadapan Binar. Padahal siang tadi mereka tampak akrab saat mengobrol bersama. Mengerti alur cerita yang dibuat ibunya, Rasya segera menjawab.
“Ibu, aku minta maaf. Dia Nindi. Dia adalah …,” bahkan ada jeda yang dibuat oleh Rasya. “Dia adalah kekasihku.”
“Rasya! Bagaimana bisa kamu menyebut dia kekasihmu sedangkan kamu punya istri? Kamu selingkuh?”
“Ibu, aku sungguh minta maaf.”
Binar yang melihat akting mereka semakin marah. Dia lantas bersuara dengan rendah dan dingin.
“Hentikan!” Tatapannya masih mengarah pada suami dan ibu mertuanya. “Kalian tidak perlu berpura-pura di depanku. Aku sudah mengetahui semuanya.”
“Binar, apa maksudmu?” tanya ibu Rasya dengan cepat. Perempuan yang biasanya mengenakan riasan di wajahnya itu tampak pucat tanpa lipstik menempel di bibirnya.
Binar duduk di sofa, kemudian memijat pelipisnya berusaha meredakan kepalanya yang tiba-tiba berdenyut nyeri. Sungguh dia tak pernah menyangka berada di posisi ini. Binar merasa kehidupan rumah tangganya adalah yang terbaik. Dia memiliki suami yang setia dan mencintainya, kedua mertua yang juga memberikan kasih sayangnya bak anak sendiri.
Tapi sekarang semuanya benar-benar berakhir. Mereka adalah serigala berbulu domba. Pengkhianat.
“Binar, mari kita bicarakan baik-baik permasalahan ini. Aku berjanji akan menjelaskan semuanya. Tapi, jangan berbicara tentang perceraian.” Suara Rasya seperti kebisingan yang mengganggunya. Binar menutup telinganya dengan kedua tangannya.
Mengambil nafasnya panjang dan berusaha untuk tidak meledak dalam amarah. Berkali-kali dia mencoba untuk mensugesti dirinya sendiri jika dia kuat. Setelah dia merasa tenang, kepalanya kembali mendongak dan kini tatapannya mengarah pada Nindi yang sejak tadi hanya berdiri di tengah ruangan.
“Nindi. Itu namamu, kan?” Binar bangkit dari duduknya dan berjalan mendekat ke arah perempuan itu. Namun dia masih mengambil jarak aman.
Melihat pergerakan Binar, Rasya takut istrinya akan melukai sang kekasih. Maka dia berdiri di dekat Binar untuk berjaga-jaga apabila Binar murka dan menyerang Nindi. Hal itu membuat Binar tersenyum miris. Lantas dia menatap Rasya dengan tatapan kesakitan yang tidak repot dia sembunyikan sebelum dia kembali bersuara.
“Tenang saja, Mas, aku nggak akan menyakitinya. Kalau aku harus membunuh, aku pasti akan membunuhmu.”
***
Binar sudah bukan Binar yang biasanya. Rasa sakit dan pengkhianatan yang diberikan oleh sang suami, memunculkan sosok iblis di dalam hatinya. Dia tidak bisa lagi dibujuk meskipun orang-orang itu merangkak di bawah kakinya meminta maaf. Mengalihkan tatapannya dari Rasya, dia melanjutkan ucapannya yang kini ditujukan kepada Nindi. “Katakan, berapa lama kamu berhubungan dengan Rasya.” Pertanyaan Binar membuat Nindi menatap ke arah Rasya seolah meminta petunjuk apakah dia akan mengatakan dengan jujur atau memilih berbohong. Saat Rasya menggeleng, maka Nindi berbicara dengan sebuah kebohongan. “Kami hanya bersama selama dua bulan.” “Katakan yang sebenarnya.” Binar menekan Nindi dengan ucapannya. “Aku hanya perlu kejujuranmu.” “Binar! Kendalikan emosimu.” Dalam keadaan bersitegang, ibu Rasya justru mendekat ke arah Binar dan berusaha membujuk. “Nak, ini sudah sangat larut. Mari kita bicarakan ini lagi nanti. Kamu istirahatlah dulu dan tenangkan pikiranmu.”“Ibu berpikir aku bisa melakuk
Sikap keras kepala ibu Rasya itu membuat rahang Binar mengetat. Tapi, dia tak menjawab lagi dan memilih pergi meninggalkan ruangan itu. Tanpa menoleh lagi ke belakang. Rumahnya menjadi seperti sebuah kutukan baginya. Rumah yang dia beli dan diharapkan menjadi surga untuknya dan keluarganya, nyatanya menjadi sebuah tempat yang terasa bak neraka. Menatap mobilnya yang tampak mengenaskan, Binar pergi dengan mobil yang dibelikan untuk ibu mertuanya. Beruntung, dia membawa kunci cadangan mobil tersebut. Binar beruntung karena sejak awal dia tidak menjadi perempuan bodoh. Dia memberikan, tapi tidak menyerahkan sepenuhnya. Sebuah chat masuk ke dalam ponsel Binar saat dia berhenti karena lampu lalu lintas menyala merah. Mendesah kasar, Binar melupakan satu kewajibannya. Dia harus bertanggung jawab kepada mobil yang sudah ditabraknya. “Maaf, sudah menunggu lama.” Binar sampai di sebuah bengkel. Menghadap pada seorang lelaki yang sudah dirugikan olehnya. Lelaki itu hanya diam dengan ekspres
“Bi, tolong buka pintunya. Ayo kita bicara baik-baik.” Hampir setengah jam suara itu terdengar menyakitkan di telinga Binar. Rasya tidak berhenti mengetuk pintu kamarnya dan memanggil dirinya. Berbicara baik-baik, diskusi, atau apa pun itu sebutannya, selalu dikatakan hanya untuk membuat Binar luluh. Di dunia ini, tidak ada yang lebih menyakitkan dibandingkan dikhianati oleh orang yang kita cintai. Binar mendapatkan itu dan sudah bisa dibayangkan perasaan hancur yang dirasakan oleh Binar saat ini. Untungnya dia bukan perempuan yang terus meratapi kesedihannya berlarut-larut sehingga membuatnya lemah di hadapan para musuhnya. “Bi, please, jangan diam begini. Aku tahu aku salah. Aku tahu aku brengsek. Tapi aku bersumpah, di dalam hatiku aku hanya mencintai kamu. Cintaku sama sekali tidak berubah.” Binar mengemasi beberapa pakaian dan barang-barang berharga miliknya ke dalam sebuah koper besar. Mengabaikan suara Rasya yang baginya hanya kata-kata sampah yang hanya perlu diabaikan. Di
Binar tidak tahu nasib buruk seperti apa lagi yang akan dia dapatkan kali ini. Pemilik mobil yang dia tabrak, ada di depannya. Dan yang menjadi kesialan lainnya adalah lelaki itu sahabat dari sahabatnya. Semesta sepertinya tengah bermain-main dengannya. Ada banyak hal buruk yang datang ke dalam hidupnya secara bertubi-tubi. “Bi, lo oke?” Ramon sedikit mengguncang tubuh Binar yang tampak menegang. Tatapannya nyalang ke arah Ramon, lalu berganti ke arah Kala. “Gue … oke.” Bahkan suaranya sedikit terbata. Ramon tersenyum sebelum mengulangi. “Sorry gue bawa temen gue. Kami tadi baru meeting jadi sekalian. Kenalin dong.” Binar bimbang saat ingin mengulurkan tangannya kepada Kala mengingat dinginnya ekspresi lelaki itu. Dia bahkan tidak benar-benar bisa menatap matanya. Maka akhirnya dia hanya mengangguk sambil menyebut namanya. “Saya Binar.” Hanya itu yang bisa Binar katakan. Kalandara bahkan tidak menjawab. Ramon sudah tidak kaget lagi melihat sikap Kala yang dingin. Tapi tentu
“Hanya beberapa hal yang perlu lo persiapkan. Buku nikah dan juga KK.” Jawaban Ramon itu membuat Binar beranjak dari sofa. Mengambilkan buku nikah yang tidak lupa dibawanya beserta foto copyan KK. Menyerahkannya kepada Ramon dan langsung diterima oleh lelaki itu. Binar tampaknya ingin bertindak cepat. Dia tidak sudi lagi memiliki sangkut paut dengan Rasya dan keluarga lelaki itu. Manusia-manusia parasite yang tidak punya hati itu perlu dijauhi atau akan menempel dan membuatnya menderita. “Gue serahkan semuanya ke lo, Ram. Gue nggak ingin datang dipersidangan dan bertemu dengan lelaki itu. Sebisa mungkin, gue akan menghilang dari hadapan lelaki itu.” “Lo nggak perlu khawatir. Gue akan bereskan semua buat lo. Lo fokus aja sama kerjaan dan ….” Ramon menjeda ucapannya sebelum kembali berbicara. “Lo perlu sembuhin dulu hati lo.” Meskipun senyum itu kaku, Binar mencoba untuk memberikan senyuman itu untuk Ramon. Binar tidak menjawab. Menyembuhkan hatinya, rasa-rasanya itu akan sulit. Ras
“Maaf, maksud Bapak saya mendapatkan potongan harga?” Jika Binar tidak salah mengingat, semua perbaikan itu sudah tercatat dengan jelas di nota dan dia melihat sendiri biaya itu begitu besar. Dan tiba-tiba saja, lelaki itu bilang ada pengurangan. Tentu saja Binar sangat terkejut mendengarnya. Kini tatapannya seolah menuntut jawaban. “Karena Pak Kala adalah customer VVIP kami, kami tentu saja memberikan diskon, Bu. Dan perhitungan yang kemarin, itu masih belum ada hitungan diskonnya.” Penjelasan itu terdengar kurang masuk akal di telinga Binar. Tapi, senyumnya kemudian terbit. “Jadi, berapa yang perlu saya bayar, Pak?” Lelaki di depannya itu mendorong nota untuk sampai tepat di depan Binar. “Ibu bisa melihatnya.” Tanpa banyak berpikir, Binar langsung bisa melihat nominal yang tertulis di barisan paling akhir, dan itu tidak sampai seratus juga. Hal itu membuat bibir Binar mengurva semakin lebar. Binar menatap nota dan kepala bengkel bergantian. “Benar hanya perlu membayar sebesar
“Aku akan menikahimu kalau urusanku dengan Binar selesai.” Rasya menjawabnya dengan santai. “Tunggulah dan bersabar.” Nindi tampaknya tidak terima dengan jawaban Rasya yang terdengar sangat menyepelekan. Dalam pikiran Nindi bersuara, dia mengandung janin di perutnya dan dia butuh segera menikah untuk menutupi ‘aib’ yang semakin lama akan semakin membesar. Tentu saja dia tak boleh mengulur terlalu lama atau dia akan dipermalukan. “Kalau begitu, aku juga nggak bisa membawa Mas dan orang tua Mas untuk tinggal di sini. Aku nggak mau tetanggaku mengghibah karena masalah ini dan menimbulkan masalah baru.” “Kenapa kamu perhitungan banget sih?” Rasya bereaksi keras. Raut wajahnya tampak kesal luar biasa karena penolakan Nindi. “Bagaimanapun kita juga nanti akan menikah. Tapi tunggulah sampai semua selesai.” Rasya kini yang memuntahkan amarahnya. Rambutnya yang mencuat berantakan, seperti hatinya yang tengah gundah gulana. “Sampai selesai itu kapan? Mas bahkan bilang nggak mau bercerai den
Binar memejamkan matanya erat sebelum memberanikan diri untuk mengetuk pintu ruangan Kalandara. Mencoba tenang, tapi jantungnya tetap saja bertalu-talu tak karuan. Di dalam benaknya muncul banyak spekulasi tentang ‘kenapa’ dan ‘ada apa’ dirinya dipanggil ke ruangan bosnya. Tapi, dia ‘kan memang kepala department ini, rasa-rasanya itu wajar. “Masuk!” Suara Kala terdengar dari dalam ruangan ketika Binar mengetuk pintunya. Kaki Binar terasa berat saat akan melangkah. Namun dia harus tetap maju. Berjalan dengan pasti untuk menghadap Kala, kini dia berdiri tepat di depan meja lelaki itu. Binar bisa melihat, Kala sama sekali tidak mendongakkan kepalanya meskipun tahu Binar ada di ruangan yang sama dengannya. “Ada yang harus saya kerjakan, Pak?” Barulah ketika Binar bersuara, Kala mengangkat kepalanya dan tatapan mereka bertemu. Tatapan lelaki itu masih begitu dingin dan penuh peringatan. Yang mau tak mau membuat Binar harus mengeratkan kepalan tangannya. Tentu bukan untuk melayangkan
“Istriku.” Ancala baru saja sampai rumah ketika melihat penampilan Gemi yang sudah cantik. Meskipun hanya mengenakan daster rumahan kebanggaannya, kecantikan perempuan itu selalu terpancar. Dan inilah yang selalu disukai oleh Ancala, Gemi akan selalu menunggu kepulangannya di teras rumah sambil membaca buku. Tidak di rumah Kala, atau bahkan di rumah mereka sendiri, Gemi memiliki perpustakaan sendiri dengan koleksi buku-bukunya. Gemi tersenyum melihat Ancala yang berjalan ke arahnya. Perempuan itu beranjak untuk menerima tas kerja lelaki itu. “Suamiku capek banget kayaknya.” Ancala memeluk Gemi sambil mencium pipi perempuan itu. Bagi Ancala, energinya akan kembali ketika sudah bertemu dengan sang istri setelah seharian bekerja. Rasa lelah itu seolah menguap begitu saja. Pelukan mereka terurai. Masih dengan memeluk pinggang sang istri, Ancala sedikit menjauhkan tubuhnya untuk menatap wajah Gemi yang halus. “Makan apa malam ini?” tanyanya, “lama nggak ke angkringan. Kangen nasi
“Kalian udah datang?” Ancala mendekati istri dan kedua adiknya dengan senyum kecil. Meskipun pagi tadi dia sempat kesal, tetapi setelah Gemi sekarang datang ke kantor, perasaannya menjadi sedikit membaik. Tatapannya mengarah pada ‘tiga tamunya’ yang tidak membawa apa pun. “Jadi belanjanya?” tanyanya. Perempuan yang dimaksud oleh Laksa tadi tidak mengikuti Ancala dan kembali lebih dulu. Gemi tidak bertanya siapa perempuan tersebut karena dia tahu kalau itu adalah sekretaris Ancala. Laksa pun sebenarnya juga tahu, tetapi dia hanya pura-pura untuk mengerjai Gemi. “Bang, aku laper banget, lho.” Laksa mengadu. “Aku laper, Bang.” Ulangnya lagi. “Kalian nggak makan dulu tadi?” Ancala mengernyit aneh menatap satu per satu saudaranya. “Istri Abang ngambek karena diajak desak-desakan. Jadi, nggak memedulikan aku yang kelaparan. Tapi, aku nggak mau makan di kantin ini. Abang tolong pesankan aku makanan yang enak, ya.” Laksa memang benar-benar membuat kakak-kakaknya kesal kalau sudah me
“Gem, bangun!” Ancala menepuk paha sang istri pelan ketika sudah sampai di rumah. Mereka baru saja sampai rumah ketika Gemi tidak sadarkan diri, tidur. Sepanjang jalan, Ancala memegangi tangan Gemi takut-takut kalau istrinya itu terjatuh. Bukannya apa-apa, Gemi tidur sepanjang jalan sedangkan mereka menggunakan motor. Kebanyakan makan kepala ayam membuat Gemi lemas sepertinya. “Bang, aku nggak sanggup jalan. Gendong.” Dengan suara lemas, perempuan itu masih memeluk pinggang Ancala dengan erat takut jatuh. Matanya masih tertutup erat enggan untuk terjaga. Napas panjang Ancala terbuang kasar. Menikahi Gemi adalah impiannya, tetapi kalau sifat manja perempuan keluar, maka habislah dia. “Iya, tapi tunggu dulu deh. Aku turun dulu.” Ancala melepaskan tangan Gemi dari pinggangnya sebelum dia turun dengan pelan dari motor. Baru setelahnya menarik tangan Gemi agar istrinya itu naik ke gendongannya. Diam-diam Ancala tersenyum kecil. Terkadang istrinya itu memang menyebalkan, tetapi juga me
Perdebatan yang terjadi malam itu dianggap bukan apa-apa. Pernikahan antara Gemi dan Ancala bahkan akan segera dilakukan dalam waktu dua hari lagi. Pernikahan mewah itu akan dilakukan di outdoor di pinggir pantai. Tidak banyak yang diundang karena Gemi dan Ancala benar-benar memilih orang-orang terdekat mereka saja yang datang. Kabar pernikahan yang sudah merebak itu membuat banyak orang terkejut. Tidak pernah menyangka kalau Gemi dan Ancala akan menikah. Semua orang tahu jika Abimanyu dan Sambara group adalah saudara. Tentu saja hal itu menjadi perbincangan banyak orang. “Gimana rasanya mau menikah?” Denta datang ke rumah Ancala untuk sekedar menemani sahabatnya itu mengobrol. “Dan menikah dengan perempuan yang lo cintai?” “Setelah semua yang terjadi, tentu saja gue bahagia, Den.” Ancala memainkan kakinya yang ada di kolam renang, menimbulkan bunyi kecipak air. “Gue kira akan sulit mendapatkan restu dari para tetua.” Denial mengatakan itu merujuk pada nenek dan kakek Ancala, lela
“Kamu sudah benar-benar yakin akan menikah dengan Gemi, Bang?” Ramon meyakinkan sekali lagi kepada sang putra atas keputusan untuk meminang sang pencuri hati. Para tetua, nenek kakeknya sudah memberikan izin untuk mempersatukan dua keluarga yang seharusnya tetap menjadi keluarga yang sesungguhnya. Namun, mereka memilih untuk memberikan restu dan menyingkirkan segala ego yang ada. Dua anak manusia itu sudah tidak bisa dipisahkan, untuk apa lagi mereka menahannya dan akan berakhir buruk. “Aku udah yakin, Yah. Aku sudah berbicara dengan Gemi dan dia menerima lamaranku.” Senyum lebar tersemat di bibir Ancala dan wajah sumringah itu tidak bisa berbohong jika dia sangat bahagia. “Kalau begitu, Ayah dan Bunda akan berbicara kepada Papa Kala kalau kami akan segera melamar Gemi. Pikirkan juga kamu ingin menikah di mana? Outdoor atau indoor, masalah biaya jangan khawatir, semua biaya Ayah yang urus.” Rasa sayang Ramon yang diberikan kepada Ancala tidak surut sedikitpun sejak dulu. Lelaki it
Setelah obrolan semalam, Gemi bangun tidur dengan perasaan yang terasa ringan. Hubungannya dengan sang ayah sudah membaik dan dia sudah memaafkan apa pun yang pernah sang ayah lakukan. Semua yang dilakukan oleh sang ayah semata untuk melindungi keluarganya. Suasana hati Gemi pun terlihat sangat baik seharian ini. Meskipun Ancala sejak tadi tak kunjung menghubunginya seperti yang sudah dijanjikan semalam, dia masih baik-baik saja. Seperti yang sudah Ancala bilang semalam, lelaki itu akan membicarakan masalah kerjaan dengan sang ayah. “Jadi, kamu mau balik kerja lagi?” Gemi yang baru saja duduk di sofa di samping sang bunda, segera mendapatkan pertanyaan tersebut. “Aku akan pikirkan lagi, Ma.” Sudah kebiasaan berada di rumah selama beberapa bulan, menjadikan Gemi enggan untuk kembali beraktivitas. “Tapi, Ma, Papa ngeluarin aku dari kantor dengan alasan apa, ya?” Benar, Binar pun tampaknya belum tahu tentang masalah tersebut karena dia tak pernah bertanya dengan Kala. “Mama juga
Binar dan Kala mendengar dengan jelas ucapan putri mereka meskipun kata-kata yang diucapkan terbata-bata. Mereka mendengarkan di balik dinding hanya untuk mengetahui reaksi Gemi ketika bertemu dengan Ancala. Nyatanya, Gemi mengatakan sesuatu yang membuat orang tuanya menahan kesedihannya. “Jangan bicara yang tidak-tidak. Sekarang fokuslah pada kesembuhanmu dulu. Papa bilang, kamu masih perlu bertemu dengan psikiater. Kapan jadwalnya? Aku temani ya?” “Aku nggak butuh psikiater lagi, Bang. Obatku udah ada di sini.” Kala mendesah pasrah mendengar jawaban Ancala atas ucapan sang putri. Sudah pasti perasaan Kala sekarang dipenuhi oleh rasa penyesalan yang amat besar. Di ruang tamu, Gemi dan Ancala melepaskan pelukan mereka. Ancala mengusap air mata Gemi yang mengalir menganak sungai di wajahnya. “Aku nggak akan ke mana-mana lagi, Gemi. Aku udah pulang sekarang. Jadi, kamu nggak perlu takut aku pergi lagi.” “Memangnya, Abang dari mana kemarin?” Ancala menyodorkan minuman yang disiapka
Kala pasti tidak pernah menyangka jika Ramon akan menurunkan egonya untuk meminta putranya pulang. Dia tahu betul bagaimana Ramon menolak permintaannya saat itu. Namun, sekarang tiba-tiba Ancala sudah ada di rumahnya dan menanyakan kabar Gemi. Hal itu tentu saja membuat Kala sedikit bingung. Apa pun itu, Kala tentulah merasa senang dengan kedatangan Ancala ke rumahnya. “Keadaan Gemi sudah lebih baik. Dia sekarang sedang istirahat.” Tepat setelah itu, Binar datang dan segera duduk di samping Ancala. Perempuan paruh baya itu mengelus punggung Ancala tanpa berbicara. Kelegaan terpancar dari matanya. “Kamu dari mana saja, Bang?” tanyanya setelah itu, “Mama cariin kamu.” “Aku jalan-jalan, Ma,” jawab Ancala dengan lembut, “Mama baik-baik aja ‘kan?” “Mama baik. Anca, kamu masih mau nemuin Gemi ‘kan? Setelah waktu itu, dia murung dan tidak ingin berurusan dengan siapa pun.” “Tentu saja aku mau, Ma. Gemi adalah adikku. Kalau memang perlu, aku akan menemaninya sampai dia sembuh.” “Apa mak
“Aku harus pulang, Den. Sorry, ya.” Gemi memilih menghindar daripada harus menjawab ucapan Denta. Gadis itu berdiri, lalu buru-buru pergi meninggalkan Denta yang tampak kebingungan. “Gem!” Denta berteriak memanggil gadis itu, tetapi seolah tuli, Gemi tetap berjalan dan sesekali berlari untuk menghindari sahabat Ancala tersebut. Setelah memasuki komplek perumahannya, barulah dia berjalan dengan tenang. Gemi berpikir, kalau Denta saja tidak tahu keberadaan Ancala, itu artinya, kepergian lelaki itu dirahasiakan. Sepertinya, masalah ini benar-benar serius. Gemi berhenti di pinggir jalan, terpaku di tempatnya, lalu berpikir sejenak. Apa dia harus menghubungi Ancala? Apa lelaki itu akan menerima panggilannya kalau dia melakukannya? Kebingungan itu melanda dirinya. Gara-gara kedatangan Denta, menjadikannya berpikir lebih keras tentang Ancala. Gadis berdaster coklat itu kembali melangkah untuk kembali ke rumah. Meskipun dia banyak memikirkan banyak hal, tapi beruntung kini halusinasinya ti