Share

Part 4. Peringatan Binar

Penulis: Loyce
last update Terakhir Diperbarui: 2023-07-18 20:24:15

Binar sudah bukan Binar yang biasanya. Rasa sakit dan pengkhianatan yang diberikan oleh sang suami, memunculkan sosok iblis di dalam hatinya. Dia tidak bisa lagi dibujuk meskipun orang-orang itu merangkak di bawah kakinya meminta maaf. Mengalihkan tatapannya dari Rasya, dia melanjutkan ucapannya yang kini ditujukan kepada Nindi. 

“Katakan, berapa lama kamu berhubungan dengan Rasya.” Pertanyaan Binar membuat Nindi menatap ke arah Rasya seolah meminta petunjuk apakah dia akan mengatakan dengan jujur atau memilih berbohong. 

Saat Rasya menggeleng, maka Nindi berbicara dengan sebuah kebohongan. “Kami hanya bersama selama dua bulan.” 

“Katakan yang sebenarnya.” Binar menekan Nindi dengan ucapannya. “Aku hanya perlu kejujuranmu.” 

“Binar! Kendalikan emosimu.” Dalam keadaan bersitegang, ibu Rasya justru mendekat ke arah Binar dan berusaha membujuk. “Nak, ini sudah sangat larut. Mari kita bicarakan ini lagi nanti. Kamu istirahatlah dulu dan tenangkan pikiranmu.”

“Ibu berpikir aku bisa melakukannya?” Binar kembali melotot marah. “Ibu berpikir aku bisa tidur dengan tenang sedangkan kalian semua membohongiku!” Suara Binar kini meledak keras dan kemarahan menguasainya. “Ibu, dalam keluarga ini aku sudah memberikan banyak hal untuk kalian. Apa yang Ibu minta aku selalu memberikannya. Tapi apakah ini balasannya? Kalian bersatu untuk mengkhianatiku dan menusukku dari belakang?” 

Binar menangis. Lagi.  Air matanya terus turun seperti air terjun yang tak bisa dihentikan. Usapan demi usapan di wajahnya tak sanggup mengeringkan air mata yang terus tumpah. Ibu mertua Binar terlihat terkejut dengan ucapan Binar. Tapi, Binar tak ingin berhenti berbicara.

“Apa yang akan kalian katakan kalau aku sudah tahu tentang perbincangan kalian siang tadi? Ibu dan Ayah berada di restoran mal dan bertemu dengan Nindi di sana bersama dengan Rasya?” 

Tadinya Binar ingin membuat masalah ini mudah diselesaikan jika seandainya baik Rasya atau mertuanya berterus terang kepadanya. Sayang sekali, mereka semua berkelit.

Saat Binar mengatakan kenyataan yang diketahui, atmosfer di sekitar mereka menjadi beku. Tidak ada dari mereka yang bersuara atau menjawab ucapan Binar. Entah itu karena mereka malu atau memang ingin terus menyembunyikannya.

“Berumah tangga akan lebih bahagia jika ada anak di dalamnya. Binar, selama dua tahun pernikahanmu dengan Rasya, kamu tidak bisa memiliki anak. Meskipun dokter mengatakan kamu tidak mandul, lantas apa sebutannya jika seorang perempuan tidak bisa dibuahi?” 

Suara ayah mertua Binar keluar dengan kata-kata yang begitu menusuk di telinga. Lelaki itu dikenal bijaksana oleh keluarganya, tapi sekali dia berbicara, maka kalimatnya sangat menyakitkan. 

Binar menatap lelaki paruh baya itu dengan tatapan tak percaya. Lelaki yang selama ini dihormatinya justru mematuknya begitu keras. 

“Kami sebagai orang tua Rasya tentu saja menginginkan cucu dari putra kami. Kami sudah menunggu cukup lama tapi bahkan tanda-tanda kamu hamil pun tidak terlihat. Apa yang bisa kami lakukan kecuali membiarkan Rasya mencari orang lain dan mendapatkan keturunan. Bukankah itu bagus, kamu tidak perlu lagi merasa terburu-buru untuk memberikan kami seorang cucu?” 

“Binar. Ayah benar. Usia kami semakin hari semakin bertambah. Kami akan semakin tua dan keinginan kami adalah melihat dan bisa bermain dengan cucu kami sebelum kami meninggal. Itu adalah keinginan yang wajar bukan?” 

“Dengan cara mengkhianatiku, Bu?” Suara Binar bergetar. “Setidaknya kalau kalian ingin Rasya memiliki anak dengan perempuan lain, kalian bisa mengatakan dan membicarakannya denganku terlebih dahulu. Aku akan mundur dan menceraikannya dibandingkan kalian mengkhianatiku!” Binar tergugu di tempatnya. 

Satu lawan tiga seharusnya tidak sepadan. Tapi itulah yang terjadi sekarang. Binar dipaksa untuk melindungi harga dirinya agar tidak terinjak-injak oleh Rasya dan keluarganya. 

“Bi, aku minta maaf.” 

Sesaat setelah Rasya mengatakan itu, tangan Binar melayang di wajah Rasya dengan membabi buta. Bahkan dia menendang dan menarik rambut Rasya dengan kuat sehingga teriakan kesakitan Rasya menggema di seluruh ruangan. Orang tua Rasya yang mencoba memisahkan Binar dengan Rasya bahkan tidak sanggup. Emosi Binar tampaknya memberikan kekuatan lebih untuk perempuan itu. 

Binar mendorong Rasya sampai lelaki itu jatuh dan menabrak dinding. Ibu Rasya segera mendekati putranya dan melihat kondisinya yang sudah acak-acakan.

“Binar! Kenapa kamu melakukan ini!” Jeritan itu terdengar nyaring di telinga Binar namun dia sama sekali tak peduli. 

“Aku memberikan waktu kalian sampai besok jam sepuluh pagi. Tinggalkan rumah ini dan surat perceraian akan segera aku urus. Dan jangan berani-beraninya mengambil barang dari rumah ini meskipun itu hanya butiran debu.” 

Binar tidak tahan di ruangan yang sama dengan para pengkhianat itu. Dia segera naik ke lantai atas dan masuk ke dalam kamarnya, lalu menguncinya. Tubuhnya luruh ke lantai saat dia menangis sambil memukul dadanya seolah dengan cara itu, perasaannya akan menjadi lebih baik. 

Tentu saja, aksinya itu hanya menambah rasa sakit pada fisiknya. Tertatih, dia naik ke atas ranjang, Binar membaringkan tubuhnya dengan lemah. Tatapannya kosong mengarah pada dinding yang ada di depannya. Meringkuk seperti janin dengan air mata yang terus keluar. Sampai pagi menjelang, dia hanya bisa tidur selama satu jam. 

“Kamu sudah bangun? Ayo duduk, Mama sudah siapkan sarapan buat kamu. Ini ada ayam kecap kesukaan kamu.” 

Pagi harinya, seolah tidak pernah terjadi apa-apa, ibu mertua Binar tersenyum seperti biasa kepada Binar. Sejak kapan perempuan itu mau repot-repot menyiapkan makanan untuk keluarganya? Biasanya juga bibi yang melakukannya. 

Binar menatap perempuan itu dingin dan beralih pada dua lelaki yang sudah duduk di kursi meja makan. 

Binar tidak menjawab dan memilih menuangkan air minum ke dalam gelas lalu menenggaknya sampai tandas. Kembali menatap kedua mertuanya sebelum bersuara. 

“Kalian sudah bersiap untuk pergi? Atau ini adalah sarapan tanda perpisahan?” 

Ibu mertua Binar segera menyurutkan senyumnya dan ekspresinya berubah gugup. “Binar, kita bisa berbicara baik-baik, Nak. Kita kan keluarga, Mama dan Papa adalah orang tuamu. Mana mungkin kami pergi dari rumah ini?” 

Tidak tahu malu. Binar menatap Rasya yang sejak tadi hanya bungkam seribu bahasa, pun dengan sang ayah mertua. Mereka hanya menatap Binar dengan tatapan melas seolah ingin membuat Binar memaafkannya dengan melakukan itu. Apa mereka kira Binar memiliki hati selapang itu? 

“Kalian bukan lagi keluargaku setelah kalian mengkhianatiku. Pilihan kalian hanya satu, pergi dari rumah ini sebelum aku pulang kerja nanti.” 

“Binar, kamu nggak bisa begini dong, Bi.” Akhirnya Rasya bersuara. “Aku sudah meminta maaf kepadamu dan aku mengaku salah. Apalagi yang kamu mau?” 

“Bercerai. Keinginan terbesarku saat ini adalah bercerai dan menjauh darimu dan keluargamu.” 

“Binar. Kenapa kamu masih ngotot? Dengan Rasya memiliki anak dengan Nindi, kamu nggak perlu lagi berpikir untuk memiliki anak. Kamu bisa santai.” Sang ayah mertua bersuara. 

“Bukan itu alasannya, Pa.” Binar bersuara tegas. “Karena setelah aku lepas dari Rasya, aku akan menikah lagi dan aku akan memiliki anakku sendiri.” 

Mendengar ucapan Binar, tiga orang di sana melotot terkejut. Tidak menyangka Binar akan sanggup mengatakan itu. “Kalian sudah mendengar alasanku, bukan? Jadi, silakan bersiap-siap untuk pergi dan meninggalkan rumah ini.” 

Binar berbalik untuk pergi. Tapi suara ibu mertuanya menghentikan langkahnya. “Binar, rumah ini adalah hasil dari kerja Rasya juga. Bagaimana bisa kamu mengusir kami begitu saja?”

Kembali membalikkan tubuhnya dan menatap tiga ‘musuh’ yang ada di depannya. “Hasil kerja Rasya? Mama yakin mengatakan itu? Rumah ini aku beli sebelum aku menikah dengan anak Mama. Mobil yang Rasya pakai, juga hasil dari kerjaku. Mobil yang Mama pakai pun sama. Rasya tidak memiliki asset apa pun di rumah ini kecuali sikap pecundangnya.” 

“Binar!”

Tak tahan dengan ejekan menantunya, perempuan paruh baya itu meninggikan suaranya di depan sang menantu. Ekspresinya keruh luar biasa. Napasnya bahkan tampak memburu. 

“Bagaimanapun, Rasya adalah suamimu. Nggak pantas kamu mengejeknya begitu.” 

“Kalau dia tidak bermain api di belakangku, aku tidak akan bersikap hitung-hitungan seperti ini. Saat dia dulu kena PHK, dia hanya menjadi pengangguran dan aku bekerja keras sendirian. Aku nggak pernah mengeluh karena aku tahu aku sanggup memenuhi biaya rumah tangga. Tapi, dia benar-benar lelaki tidak tahu diri.”

Ibu Rasya menjawab berapi-api dengan tak tahu malu. “Mama nggak peduli, kami tidak akan pernah meninggalkan rumah ini.” 

*** 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
si binar terlalu banyak bacot tapi minim tindakan.
goodnovel comment avatar
Wi Win
buat emosi aja tuh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Bangkitnya Istri yang Dikhianati   Part 5. Kesialan Binar

    Sikap keras kepala ibu Rasya itu membuat rahang Binar mengetat. Tapi, dia tak menjawab lagi dan memilih pergi meninggalkan ruangan itu. Tanpa menoleh lagi ke belakang. Rumahnya menjadi seperti sebuah kutukan baginya. Rumah yang dia beli dan diharapkan menjadi surga untuknya dan keluarganya, nyatanya menjadi sebuah tempat yang terasa bak neraka. Menatap mobilnya yang tampak mengenaskan, Binar pergi dengan mobil yang dibelikan untuk ibu mertuanya. Beruntung, dia membawa kunci cadangan mobil tersebut. Binar beruntung karena sejak awal dia tidak menjadi perempuan bodoh. Dia memberikan, tapi tidak menyerahkan sepenuhnya. Sebuah chat masuk ke dalam ponsel Binar saat dia berhenti karena lampu lalu lintas menyala merah. Mendesah kasar, Binar melupakan satu kewajibannya. Dia harus bertanggung jawab kepada mobil yang sudah ditabraknya. “Maaf, sudah menunggu lama.” Binar sampai di sebuah bengkel. Menghadap pada seorang lelaki yang sudah dirugikan olehnya. Lelaki itu hanya diam dengan ekspres

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-18
  • Bangkitnya Istri yang Dikhianati   Part 6. Kalandara adalah Kala

    “Bi, tolong buka pintunya. Ayo kita bicara baik-baik.” Hampir setengah jam suara itu terdengar menyakitkan di telinga Binar. Rasya tidak berhenti mengetuk pintu kamarnya dan memanggil dirinya. Berbicara baik-baik, diskusi, atau apa pun itu sebutannya, selalu dikatakan hanya untuk membuat Binar luluh. Di dunia ini, tidak ada yang lebih menyakitkan dibandingkan dikhianati oleh orang yang kita cintai. Binar mendapatkan itu dan sudah bisa dibayangkan perasaan hancur yang dirasakan oleh Binar saat ini. Untungnya dia bukan perempuan yang terus meratapi kesedihannya berlarut-larut sehingga membuatnya lemah di hadapan para musuhnya. “Bi, please, jangan diam begini. Aku tahu aku salah. Aku tahu aku brengsek. Tapi aku bersumpah, di dalam hatiku aku hanya mencintai kamu. Cintaku sama sekali tidak berubah.” Binar mengemasi beberapa pakaian dan barang-barang berharga miliknya ke dalam sebuah koper besar. Mengabaikan suara Rasya yang baginya hanya kata-kata sampah yang hanya perlu diabaikan. Di

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-10
  • Bangkitnya Istri yang Dikhianati   Part 7. Ingin Segera Bercerai

    Binar tidak tahu nasib buruk seperti apa lagi yang akan dia dapatkan kali ini. Pemilik mobil yang dia tabrak, ada di depannya. Dan yang menjadi kesialan lainnya adalah lelaki itu sahabat dari sahabatnya. Semesta sepertinya tengah bermain-main dengannya. Ada banyak hal buruk yang datang ke dalam hidupnya secara bertubi-tubi. “Bi, lo oke?” Ramon sedikit mengguncang tubuh Binar yang tampak menegang. Tatapannya nyalang ke arah Ramon, lalu berganti ke arah Kala. “Gue … oke.” Bahkan suaranya sedikit terbata. Ramon tersenyum sebelum mengulangi. “Sorry gue bawa temen gue. Kami tadi baru meeting jadi sekalian. Kenalin dong.” Binar bimbang saat ingin mengulurkan tangannya kepada Kala mengingat dinginnya ekspresi lelaki itu. Dia bahkan tidak benar-benar bisa menatap matanya. Maka akhirnya dia hanya mengangguk sambil menyebut namanya. “Saya Binar.” Hanya itu yang bisa Binar katakan. Kalandara bahkan tidak menjawab. Ramon sudah tidak kaget lagi melihat sikap Kala yang dingin. Tapi tentu

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-10
  • Bangkitnya Istri yang Dikhianati   Part 8. Mulai Berurusan 

    “Hanya beberapa hal yang perlu lo persiapkan. Buku nikah dan juga KK.” Jawaban Ramon itu membuat Binar beranjak dari sofa. Mengambilkan buku nikah yang tidak lupa dibawanya beserta foto copyan KK. Menyerahkannya kepada Ramon dan langsung diterima oleh lelaki itu. Binar tampaknya ingin bertindak cepat. Dia tidak sudi lagi memiliki sangkut paut dengan Rasya dan keluarga lelaki itu. Manusia-manusia parasite yang tidak punya hati itu perlu dijauhi atau akan menempel dan membuatnya menderita. “Gue serahkan semuanya ke lo, Ram. Gue nggak ingin datang dipersidangan dan bertemu dengan lelaki itu. Sebisa mungkin, gue akan menghilang dari hadapan lelaki itu.” “Lo nggak perlu khawatir. Gue akan bereskan semua buat lo. Lo fokus aja sama kerjaan dan ….” Ramon menjeda ucapannya sebelum kembali berbicara. “Lo perlu sembuhin dulu hati lo.” Meskipun senyum itu kaku, Binar mencoba untuk memberikan senyuman itu untuk Ramon. Binar tidak menjawab. Menyembuhkan hatinya, rasa-rasanya itu akan sulit. Ras

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-11
  • Bangkitnya Istri yang Dikhianati   Part 9. Potongan Harga

    “Maaf, maksud Bapak saya mendapatkan potongan harga?” Jika Binar tidak salah mengingat, semua perbaikan itu sudah tercatat dengan jelas di nota dan dia melihat sendiri biaya itu begitu besar. Dan tiba-tiba saja, lelaki itu bilang ada pengurangan. Tentu saja Binar sangat terkejut mendengarnya. Kini tatapannya seolah menuntut jawaban. “Karena Pak Kala adalah customer VVIP kami, kami tentu saja memberikan diskon, Bu. Dan perhitungan yang kemarin, itu masih belum ada hitungan diskonnya.” Penjelasan itu terdengar kurang masuk akal di telinga Binar. Tapi, senyumnya kemudian terbit. “Jadi, berapa yang perlu saya bayar, Pak?” Lelaki di depannya itu mendorong nota untuk sampai tepat di depan Binar. “Ibu bisa melihatnya.” Tanpa banyak berpikir, Binar langsung bisa melihat nominal yang tertulis di barisan paling akhir, dan itu tidak sampai seratus juga. Hal itu membuat bibir Binar mengurva semakin lebar. Binar menatap nota dan kepala bengkel bergantian. “Benar hanya perlu membayar sebesar

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-13
  • Bangkitnya Istri yang Dikhianati   Part 10. Dia Manajer Baru

    “Aku akan menikahimu kalau urusanku dengan Binar selesai.” Rasya menjawabnya dengan santai. “Tunggulah dan bersabar.” Nindi tampaknya tidak terima dengan jawaban Rasya yang terdengar sangat menyepelekan. Dalam pikiran Nindi bersuara, dia mengandung janin di perutnya dan dia butuh segera menikah untuk menutupi ‘aib’ yang semakin lama akan semakin membesar. Tentu saja dia tak boleh mengulur terlalu lama atau dia akan dipermalukan. “Kalau begitu, aku juga nggak bisa membawa Mas dan orang tua Mas untuk tinggal di sini. Aku nggak mau tetanggaku mengghibah karena masalah ini dan menimbulkan masalah baru.” “Kenapa kamu perhitungan banget sih?” Rasya bereaksi keras. Raut wajahnya tampak kesal luar biasa karena penolakan Nindi. “Bagaimanapun kita juga nanti akan menikah. Tapi tunggulah sampai semua selesai.” Rasya kini yang memuntahkan amarahnya. Rambutnya yang mencuat berantakan, seperti hatinya yang tengah gundah gulana. “Sampai selesai itu kapan? Mas bahkan bilang nggak mau bercerai den

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-13
  • Bangkitnya Istri yang Dikhianati   Part 11. Menghadapi Para Bedebah

    Binar memejamkan matanya erat sebelum memberanikan diri untuk mengetuk pintu ruangan Kalandara. Mencoba tenang, tapi jantungnya tetap saja bertalu-talu tak karuan. Di dalam benaknya muncul banyak spekulasi tentang ‘kenapa’ dan ‘ada apa’ dirinya dipanggil ke ruangan bosnya. Tapi, dia ‘kan memang kepala department ini, rasa-rasanya itu wajar. “Masuk!” Suara Kala terdengar dari dalam ruangan ketika Binar mengetuk pintunya. Kaki Binar terasa berat saat akan melangkah. Namun dia harus tetap maju. Berjalan dengan pasti untuk menghadap Kala, kini dia berdiri tepat di depan meja lelaki itu. Binar bisa melihat, Kala sama sekali tidak mendongakkan kepalanya meskipun tahu Binar ada di ruangan yang sama dengannya. “Ada yang harus saya kerjakan, Pak?” Barulah ketika Binar bersuara, Kala mengangkat kepalanya dan tatapan mereka bertemu. Tatapan lelaki itu masih begitu dingin dan penuh peringatan. Yang mau tak mau membuat Binar harus mengeratkan kepalan tangannya. Tentu bukan untuk melayangkan

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-14
  • Bangkitnya Istri yang Dikhianati   Part 12. Melibatkan Hukum

    “Binar, kamu ini bicara apa? Pindah apa? Kenapa kami harus pindah?” Menghadapi orang-orang yang tidak punya hati nurani memanglah sulit. Binar lelah, tapi jika dia tidak mendorong dan melawan mereka, dia hanya akan diinjak-injak. Itulah kenapa dia memilih untuk menghadapinya lagi. “Duduk, Ram.” Binar berjalan menuju sofa, kemudian Ramon menyusul setelahnya. Rasya masih berdiri dengan wajah pias. Namun tak lama dia bergabung juga. Kedua orang tua Rasya tampak tidak nyaman tapi Binar tidak peduli. Ditatapnya tiga orang itu dengan tidak bersahabat sebelum berbicara. “Saya tidak ingin banyak menjelaskan tentang alasan kenapa kalian harus pindah, karena kalian tahu pasti apa yang terjadi. Sebelumnya, saya juga sudah pernah mengatakan kalau urusan perceraian dan semua harta milik saya akan diurus oleh pengacara saya. Dan pengacara saya sudah datang hari ini. Artinya, sudah tidak ada waktu lagi untuk menunda apa pun.” Binar mengangguk pada Ramon untuk menggantikannya berbicara. Dengan s

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-14

Bab terbaru

  • Bangkitnya Istri yang Dikhianati   Part 45. Hidup Bahagia (Tamat)

    “Istriku.” Ancala baru saja sampai rumah ketika melihat penampilan Gemi yang sudah cantik. Meskipun hanya mengenakan daster rumahan kebanggaannya, kecantikan perempuan itu selalu terpancar. Dan inilah yang selalu disukai oleh Ancala, Gemi akan selalu menunggu kepulangannya di teras rumah sambil membaca buku. Tidak di rumah Kala, atau bahkan di rumah mereka sendiri, Gemi memiliki perpustakaan sendiri dengan koleksi buku-bukunya. Gemi tersenyum melihat Ancala yang berjalan ke arahnya. Perempuan itu beranjak untuk menerima tas kerja lelaki itu. “Suamiku capek banget kayaknya.” Ancala memeluk Gemi sambil mencium pipi perempuan itu. Bagi Ancala, energinya akan kembali ketika sudah bertemu dengan sang istri setelah seharian bekerja. Rasa lelah itu seolah menguap begitu saja. Pelukan mereka terurai. Masih dengan memeluk pinggang sang istri, Ancala sedikit menjauhkan tubuhnya untuk menatap wajah Gemi yang halus. “Makan apa malam ini?” tanyanya, “lama nggak ke angkringan. Kangen nasi

  • Bangkitnya Istri yang Dikhianati   Part 44. Cinta Sejati

    “Kalian udah datang?” Ancala mendekati istri dan kedua adiknya dengan senyum kecil. Meskipun pagi tadi dia sempat kesal, tetapi setelah Gemi sekarang datang ke kantor, perasaannya menjadi sedikit membaik. Tatapannya mengarah pada ‘tiga tamunya’ yang tidak membawa apa pun. “Jadi belanjanya?” tanyanya. Perempuan yang dimaksud oleh Laksa tadi tidak mengikuti Ancala dan kembali lebih dulu. Gemi tidak bertanya siapa perempuan tersebut karena dia tahu kalau itu adalah sekretaris Ancala. Laksa pun sebenarnya juga tahu, tetapi dia hanya pura-pura untuk mengerjai Gemi. “Bang, aku laper banget, lho.” Laksa mengadu. “Aku laper, Bang.” Ulangnya lagi. “Kalian nggak makan dulu tadi?” Ancala mengernyit aneh menatap satu per satu saudaranya. “Istri Abang ngambek karena diajak desak-desakan. Jadi, nggak memedulikan aku yang kelaparan. Tapi, aku nggak mau makan di kantin ini. Abang tolong pesankan aku makanan yang enak, ya.” Laksa memang benar-benar membuat kakak-kakaknya kesal kalau sudah me

  • Bangkitnya Istri yang Dikhianati   Part 43. Perkara Sepatu

    “Gem, bangun!” Ancala menepuk paha sang istri pelan ketika sudah sampai di rumah. Mereka baru saja sampai rumah ketika Gemi tidak sadarkan diri, tidur. Sepanjang jalan, Ancala memegangi tangan Gemi takut-takut kalau istrinya itu terjatuh. Bukannya apa-apa, Gemi tidur sepanjang jalan sedangkan mereka menggunakan motor. Kebanyakan makan kepala ayam membuat Gemi lemas sepertinya. “Bang, aku nggak sanggup jalan. Gendong.” Dengan suara lemas, perempuan itu masih memeluk pinggang Ancala dengan erat takut jatuh. Matanya masih tertutup erat enggan untuk terjaga. Napas panjang Ancala terbuang kasar. Menikahi Gemi adalah impiannya, tetapi kalau sifat manja perempuan keluar, maka habislah dia. “Iya, tapi tunggu dulu deh. Aku turun dulu.” Ancala melepaskan tangan Gemi dari pinggangnya sebelum dia turun dengan pelan dari motor. Baru setelahnya menarik tangan Gemi agar istrinya itu naik ke gendongannya. Diam-diam Ancala tersenyum kecil. Terkadang istrinya itu memang menyebalkan, tetapi juga me

  • Bangkitnya Istri yang Dikhianati   Part 42. Pernikahan

    Perdebatan yang terjadi malam itu dianggap bukan apa-apa. Pernikahan antara Gemi dan Ancala bahkan akan segera dilakukan dalam waktu dua hari lagi. Pernikahan mewah itu akan dilakukan di outdoor di pinggir pantai. Tidak banyak yang diundang karena Gemi dan Ancala benar-benar memilih orang-orang terdekat mereka saja yang datang. Kabar pernikahan yang sudah merebak itu membuat banyak orang terkejut. Tidak pernah menyangka kalau Gemi dan Ancala akan menikah. Semua orang tahu jika Abimanyu dan Sambara group adalah saudara. Tentu saja hal itu menjadi perbincangan banyak orang. “Gimana rasanya mau menikah?” Denta datang ke rumah Ancala untuk sekedar menemani sahabatnya itu mengobrol. “Dan menikah dengan perempuan yang lo cintai?” “Setelah semua yang terjadi, tentu saja gue bahagia, Den.” Ancala memainkan kakinya yang ada di kolam renang, menimbulkan bunyi kecipak air. “Gue kira akan sulit mendapatkan restu dari para tetua.” Denial mengatakan itu merujuk pada nenek dan kakek Ancala, lela

  • Bangkitnya Istri yang Dikhianati   Part 41. Berbeda Pandangan

    “Kamu sudah benar-benar yakin akan menikah dengan Gemi, Bang?” Ramon meyakinkan sekali lagi kepada sang putra atas keputusan untuk meminang sang pencuri hati. Para tetua, nenek kakeknya sudah memberikan izin untuk mempersatukan dua keluarga yang seharusnya tetap menjadi keluarga yang sesungguhnya. Namun, mereka memilih untuk memberikan restu dan menyingkirkan segala ego yang ada. Dua anak manusia itu sudah tidak bisa dipisahkan, untuk apa lagi mereka menahannya dan akan berakhir buruk. “Aku udah yakin, Yah. Aku sudah berbicara dengan Gemi dan dia menerima lamaranku.” Senyum lebar tersemat di bibir Ancala dan wajah sumringah itu tidak bisa berbohong jika dia sangat bahagia. “Kalau begitu, Ayah dan Bunda akan berbicara kepada Papa Kala kalau kami akan segera melamar Gemi. Pikirkan juga kamu ingin menikah di mana? Outdoor atau indoor, masalah biaya jangan khawatir, semua biaya Ayah yang urus.” Rasa sayang Ramon yang diberikan kepada Ancala tidak surut sedikitpun sejak dulu. Lelaki it

  • Bangkitnya Istri yang Dikhianati   Part 40. Tidak Menepati Janji

    Setelah obrolan semalam, Gemi bangun tidur dengan perasaan yang terasa ringan. Hubungannya dengan sang ayah sudah membaik dan dia sudah memaafkan apa pun yang pernah sang ayah lakukan. Semua yang dilakukan oleh sang ayah semata untuk melindungi keluarganya. Suasana hati Gemi pun terlihat sangat baik seharian ini. Meskipun Ancala sejak tadi tak kunjung menghubunginya seperti yang sudah dijanjikan semalam, dia masih baik-baik saja. Seperti yang sudah Ancala bilang semalam, lelaki itu akan membicarakan masalah kerjaan dengan sang ayah. “Jadi, kamu mau balik kerja lagi?” Gemi yang baru saja duduk di sofa di samping sang bunda, segera mendapatkan pertanyaan tersebut. “Aku akan pikirkan lagi, Ma.” Sudah kebiasaan berada di rumah selama beberapa bulan, menjadikan Gemi enggan untuk kembali beraktivitas. “Tapi, Ma, Papa ngeluarin aku dari kantor dengan alasan apa, ya?” Benar, Binar pun tampaknya belum tahu tentang masalah tersebut karena dia tak pernah bertanya dengan Kala. “Mama juga

  • Bangkitnya Istri yang Dikhianati   Part 39. Restu

    Binar dan Kala mendengar dengan jelas ucapan putri mereka meskipun kata-kata yang diucapkan terbata-bata. Mereka mendengarkan di balik dinding hanya untuk mengetahui reaksi Gemi ketika bertemu dengan Ancala. Nyatanya, Gemi mengatakan sesuatu yang membuat orang tuanya menahan kesedihannya. “Jangan bicara yang tidak-tidak. Sekarang fokuslah pada kesembuhanmu dulu. Papa bilang, kamu masih perlu bertemu dengan psikiater. Kapan jadwalnya? Aku temani ya?” “Aku nggak butuh psikiater lagi, Bang. Obatku udah ada di sini.” Kala mendesah pasrah mendengar jawaban Ancala atas ucapan sang putri. Sudah pasti perasaan Kala sekarang dipenuhi oleh rasa penyesalan yang amat besar. Di ruang tamu, Gemi dan Ancala melepaskan pelukan mereka. Ancala mengusap air mata Gemi yang mengalir menganak sungai di wajahnya. “Aku nggak akan ke mana-mana lagi, Gemi. Aku udah pulang sekarang. Jadi, kamu nggak perlu takut aku pergi lagi.” “Memangnya, Abang dari mana kemarin?” Ancala menyodorkan minuman yang disiapka

  • Bangkitnya Istri yang Dikhianati   Part 38. Pertemuan 

    Kala pasti tidak pernah menyangka jika Ramon akan menurunkan egonya untuk meminta putranya pulang. Dia tahu betul bagaimana Ramon menolak permintaannya saat itu. Namun, sekarang tiba-tiba Ancala sudah ada di rumahnya dan menanyakan kabar Gemi. Hal itu tentu saja membuat Kala sedikit bingung. Apa pun itu, Kala tentulah merasa senang dengan kedatangan Ancala ke rumahnya. “Keadaan Gemi sudah lebih baik. Dia sekarang sedang istirahat.” Tepat setelah itu, Binar datang dan segera duduk di samping Ancala. Perempuan paruh baya itu mengelus punggung Ancala tanpa berbicara. Kelegaan terpancar dari matanya. “Kamu dari mana saja, Bang?” tanyanya setelah itu, “Mama cariin kamu.” “Aku jalan-jalan, Ma,” jawab Ancala dengan lembut, “Mama baik-baik aja ‘kan?” “Mama baik. Anca, kamu masih mau nemuin Gemi ‘kan? Setelah waktu itu, dia murung dan tidak ingin berurusan dengan siapa pun.” “Tentu saja aku mau, Ma. Gemi adalah adikku. Kalau memang perlu, aku akan menemaninya sampai dia sembuh.” “Apa mak

  • Bangkitnya Istri yang Dikhianati   Part 37. Kedatangan Ancala

    “Aku harus pulang, Den. Sorry, ya.” Gemi memilih menghindar daripada harus menjawab ucapan Denta. Gadis itu berdiri, lalu buru-buru pergi meninggalkan Denta yang tampak kebingungan. “Gem!” Denta berteriak memanggil gadis itu, tetapi seolah tuli, Gemi tetap berjalan dan sesekali berlari untuk menghindari sahabat Ancala tersebut. Setelah memasuki komplek perumahannya, barulah dia berjalan dengan tenang. Gemi berpikir, kalau Denta saja tidak tahu keberadaan Ancala, itu artinya, kepergian lelaki itu dirahasiakan. Sepertinya, masalah ini benar-benar serius. Gemi berhenti di pinggir jalan, terpaku di tempatnya, lalu berpikir sejenak. Apa dia harus menghubungi Ancala? Apa lelaki itu akan menerima panggilannya kalau dia melakukannya? Kebingungan itu melanda dirinya. Gara-gara kedatangan Denta, menjadikannya berpikir lebih keras tentang Ancala. Gadis berdaster coklat itu kembali melangkah untuk kembali ke rumah. Meskipun dia banyak memikirkan banyak hal, tapi beruntung kini halusinasinya ti

DMCA.com Protection Status