Aku dan Mama berpandangan, sementara Megan segera keluar dari dalam kamar. "Mas Arga sudah tidur, Gan?" "Sudah, Mbak. Sepertinya, itu suara Ibu, ya?" Aku mengangguk. Kenapa Ibu berteriak begitu? Segera kubuka pintu yang memang sengaja kukunci. "Rain! Di mana Arga? Mana anakku?" "Bu, tenang. Kita bicarakan di dalam." Ibu masuk dengan wajah merah padam. Ada apa sebenarnya? "Mana Arga?" "Bu, Mas Arga baru pulang dari rumah sakit. Jika Ibu datang hanya membawa masalah, sebaiknya Ibu simpan dulu," ucapku. "Heh, perempuan mandul! Arga itu anakku. Kenapa dia tak mengirimkan uang begitu kupinta? Biasanya dia akan langsung mengirimkannya. Kamu pastii menghasutnya, kan?" Deg! Perempuan mandul? "Astaghfirullah, Bu! Anak saya tidak mandul, ya!" Papa datang dari kamarnya. Lalu berdiri, berhadapan dengan Ibu mertuaku."Alah, kalau tidak mandul, kenapa tak hamil juga? Sedangkan Shelina saja sudah hamil, kok!" Apa? "Shelina hamil?" tanyaku."Ya, dia sudah hamil empat minggu. Sedangkan
Dahi Ibu mengernyit, menandakan ia tengah dilanda kebingungan. "Maksud Besan, apa?" "Tidak. Saran saya, jaga anak anda. Apalagi dia adalah perempuan. Jangan sampai tersesat di tengah jalan. Dulu, waktu Raina masih muda, saya menjaganya dengan ketat. Supaya dia tetap aman dan tak mempermalukan keluarga. Silakan, bawa anak anda pulang!" Bapak berbicara. "Mbak, aku gak mau," bisik Megan. "Kenapa?" "Aku takut, Ibu akan menghajarku, Mbak.""Bukankah itu konsekuensimu?" "Mbak," pintanya memelas. "Nanti, Rain antarkan Megan pulang. Sekarang, Ibu pulang saja. Takut menantu kesayangan Ibu itu kenapa-napa. Apalagi, dia sedang hamil, bukan?" ucapku. Padahal, aku ingat betul apa yang terakhir Mas Arga ucapkan padaku waktu itu. "Mas belum pernah menyentuh Shelina, Dek. Percayalah, semakin ke sini, perasaanku padamu semakin tumbuh. Entah kenapa, posisi Shelina geser begitu saja." Aku tersenyum saat teringat ucapannya. Entah mana yang benar? Jika apa yang Ibu katakan itu benar, maka Mas Ar
Nur memalingkan mukanya, seakan ia enggan untuk menjawab panggilan Megan. Aku mengerti keadaannya sekarang. "Kakak tinggal dulu. Kalian bicaralah. Selesaikan yang memang harus kalian selesaikan. Ingat, Allah membenci hambanya yang saling bermusuhan." Setelahnya, aku masuk. Membawa tas berisi pakaian milik Nur. "Mana Nur?" "Di luar. Jangan diganggu dulu, Ma. Sepertinya, Nur dan Megan ada sedikit kesalah pahaman," ucapku. Mama menghembuskan napasnya. "Kemarin mertua, terus suamimu, sekarang adiknya. Kenapa, sih, keluarga suamimy itu selalu bikin masalah?" Aku tersentak dengan penuturan Mama. Aku baru sadar, mungkin di antara kami, Mama lah yang paling sakit hatinya. Aku dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Mama bahkan tak pernah membentakku, tak pernah membiarkan aku mengerjakan pekerjaan rumah. Dari dulu, yang harus kukerjakan hanyalah membereskan kamar dan kasur setelah bangun tidur. "Entahlah, Mama bingung bagaimana cara mereka hidup. Rasanya mama capek. Kami yang sudah pu
Keluarga Kak Raina begitu baik. Kecuali papanya. Beliau menolak kehadiranku. Beruntung, Kak Raina dan mamanya bersedia membelaku. Kejadian Mas Arga kecelakaan hingga membuatnya amnesia, membuatku sedikit lega. Pasalnya, jika ia sampai tahu aku pura-pura amnesia, bukan tidak mungkin ia akan membuatku menjadi perkedel. Setelah Mas Arga pulang, aku menyadari satu hal. Bahwa Mas Arga, sebenarnya tidak lah amnesia. Dia, hanya berpura-pura. "Tolong, jangan beritahu Rania dan keluarganya kalau Mas hanyalah pura-pura. Oke?" Aku mengangguk saja. Toh itu tak penting untukku. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana cara agar kehamilan ini tak kelihatan? Apa, aku gugurkan saja?Habis isya, aku dan Kak Rania tengah mengobrol. Aku akan meminta sarannya tentang menggugurkan kandungan ini. Karena rasanya, nasihatnya saat ini adalah yang terbaik. Daripada bertanya pada Ibu. Bisa-bisa beliau ngamuk. "Nur?" panggilku pada seorang perempuan yang baru memasuki halaman ketika aku baru datang dari da
"Eh, Shelina? Kapan datang?" Aku bertanya sembari tersenyum sinis ke arahnya. Ibu yang masih menangis, kini bangkit dan menghampiri wanita yang telah membohongi mantan mertuaku itu. Ada untungnya juga, setidaknya aku tak perlu lagi mencari cara untuk membalas mertua dan suami pelit itu. "Dasar penipu!" teriak Ibu di hadapan Shelina. Mas Arga hanya bergeming, sedangkan aku? Tentu saja menikmati hiburan di depanku ini. "B-bu, aku bisa jelasin," ucap Shelina. "Apa yang perlu dijelasin? Sudah jelas kamu telah menipu kami!" Shelina bersimpuh di hadapan Ibu yang kini memandangnya angkuh. Aku mencebik, bahkan kemarin mereka adalah sepasang menantu dan mertua yang sangat mesra. Lihat saja sekarang! Mereka tak lebih dari musuh. "Maafkan Lina, Bu!" "Tak ada lagi maaf bagimu, Shelina. Kamu tega membohongi Ibu. Padahal, apa kurangnya Ibu? Sehingga kamu tega? Kamu harusnya merasa beruntung, diperistri Arga yang mapan. Bukannya malah menipu kami!" Shelina tampak menatap Ibu tajam. Ia seper
Esok pagi. Aku bangun lebih awal, lalu menyiapkan sarapan kami. Niatnya, hari ini aku akan mengecek toko cabangku yang lain. Setelah beberapa hari sibuk dengan urusan sendiri dan mempercayakannya pada Indah, akhirnya hari ini mulai berkeliling. "Masak apa, Kak?" tanya Nur. "Nasi goreng spesial, dong. Kesukaan Mama." Mama tersenyum seraya menggulung rambutnya. Semalam kami begadang, membahas tentang pesan yang masuk ke ponselku. "Mama baru bangun?" tanya Nur. Mama tersipu malu, karena tak biasanya beliau bangun siang seperti ini. "Iya. Semalam kakakmu ngajak Mama begadang. Jadi deh bangun sesiang ini," ucap Mama sambil terkekeh. "Wah, sudah pada bangun." Megan datang sambil memegangi perutnya. Aku hanya diam. Biarkan saja jika ia berpikir aku tak dewasa, hanya saja, amarah dalam dada soal dia yang mau menggugurkan kandungannya masih ada. "Papa jadi pergi?" tanyaku pada apa yang baru saja keluar dari kamar mandi. Papa mengangguk sambil meminum teh manis. "Mungkin selama tig
"Kamu siapa?" "Saya adalah adik Kak Shelina, Bu."Aku terperanjat. Dia, adiknya Shelina? "Kamu serius?" Arum mengangguk."Kenapa kamu baru bilang sekarang?" "Saya baru tahu minggu kemarin, Bu. Itupun karena saya selama ini kabur dari rumah.""Kabur?" Arum mengangguk. "Mama terlalu pilih kasih pada Kak Lina. Aku selalu merasa diasingkan. Lelah, pasti. Apalagi, Kak Shelina selalu dapat yang terbaik, sedangkan saya mendapat yang buruk." "Kamu tahu dari siapa, kalau saya ada masalah degan Shelina?" "Kemarin saya pulang dan mendengar semuanya. Kak Shelina menangis di rumah Mama dan menyebut nama Ibu. Saya juga melihat foto yang ditunjukkan oleh Kak Lina. Mereka berencana untuk mengirim santet ke Ibu." "Apa?!" Sungguh aku tak habis pikir dengan Shelina. Kenapa ia bisa berbuat demikian? Apakah karena ketahuan tentang kehamilannya itu? "Lalu, kenapa kamu ingin keluar?" tanyaku. "Saya nggak enak, Bu. Kakak saya menjadi benalu di rumah tangga Ibu. Saya malu." Aku berdiri, lalu meme
Kulangkahkan kaki menuju ke dalam. Terlihat mobil pengacara Arfan dan juga Bapak Husadi sudah terparkir di garasi rumah Mas Arga. "Assalamu'alaikum," ucapku. "Ini dia! Dasar wanita sableng! Gila kamu, ya! Sinting!" teriak Ibu begitu aku masuk ke dalam. Jambakan yang Ibu berikan, sangat menyakitkan. Namun entah mengapa, melihat beliau begini, aku malah suka. Terbayang lagi sikap mereka padaku dulu. Ini belum seberapa, Bu. "Diana! Cepat ke sini bawa air. Kita siram wanita miskin dan mandul ini, biar sekalian mampus!" Kulihat Kak Diana keluar dari belakang disusul oleh Shelina. Secepat kilat, aku menghindar dan menarik tangan Ibu yang tengah memegangiku. Byur! Air mengguyur badan tua Ibu mertuaku. "Aaaaa!" "Ma-maaf, Bu," ucap Shelina, karena ia yang paling banyak mengguyur air. "Sudah! Tenang semua! Hormati kami!" tegas Pak Husadi. Kami terdiam, lalu aku mulai melangkah menuju sofa. Tempat yang bahkan dulu tak boleh kududuki. "Jangan duduk di sana, nanti kuman orang miskin