"Halo. Assalamu-""Mbak ... Tolong aku, hiks." Dahiku berkerut mendengar suara Megan di seberang sana. Kenapa dengannya?"Ada apa?" "Mbak, sepertinya, aku hamil." Deg! Dia hamil? "Lalu?""Bantu aku, Mbak.""Bagaimana caranya?" "Aku mau menggugurkannya." "Astaghfirullah. Sadar, Megan!" "Aku bingung, Mbak. Hiks." Aku pun semakin bingung. Sebenarnya, apa yang terjadi dengan adik iparku itu? "Kamu di mana sekarang?" Setelah mendengar nama tempat yang diucapkan oleh Megan, aku segera meluncur ke sana. "Ke mana?" tanya Mama saat aku menyambar kunci mobil yang tepat berada di sampingnya. "Rain ada perlu, Ma. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikum salam." Kupacu mobil dengan kecepatan penuh. Tak kupedulikan umpatan bahkan cacian pengguna lain. Yang ada di pikiranku sekarang adalah, bagaimana untuk cepat sampai di sana. Kuparkirkan mobil di depan sebuah hotel bintang tiga tersebut. "Mau cari siapa?" tanya satpam. "Mau cari adik saya." "Kamar nomor?" Duh, aku lupa menanyakannya. Lagi
Sampai di rumah sakit, segera kucari suster dan menanyakan ruang Mas Arga dirawat. "Keluarganya?" Aku mengangguk. Lalu beranjak pergi setelah menemukan nomor kamarnya. "Pasien mengalami pendarahan hebat. Untungnya, dokter yang berjaga sangat siaga. Pendarahan dapat diberhentikan, sekarang pasien sudah di ruang rawat inap," kata suster tadi. Sampai di ruangannya, sepi. Tak kutemukan Ibu di sana. Apakah pihak rumah sakit hanya menghubungiku saja? "Sepertinya, dia belum sadar," ucap Mama sambil meletakan tasnya di sofa. Aku duduk di sebelahnya, tanpa sadar, hatiku sakit melihatnya seperti ini. "Aku telpon Ibu dulu, Mbak." Aku mengangguk mendengar penuturan Megan. Tapi, bukankah ia sedang tak ingin bertemu dengan Ibu? Ah, sudahlah. Tak berapa lama, seorang dokter datang bersama suster. "Keluarga pasien Arga?" Aku mengangguk, lalu berdiri menghampiri dokter muda itu. "Bisa ikut ke ruangan saya?" "Kenapa nggak dijelaskan di sini saja, Dok?" "Ini penting, Bu," kata Dokter itu d
Aku dan Mama berpandangan, sementara Megan segera keluar dari dalam kamar. "Mas Arga sudah tidur, Gan?" "Sudah, Mbak. Sepertinya, itu suara Ibu, ya?" Aku mengangguk. Kenapa Ibu berteriak begitu? Segera kubuka pintu yang memang sengaja kukunci. "Rain! Di mana Arga? Mana anakku?" "Bu, tenang. Kita bicarakan di dalam." Ibu masuk dengan wajah merah padam. Ada apa sebenarnya? "Mana Arga?" "Bu, Mas Arga baru pulang dari rumah sakit. Jika Ibu datang hanya membawa masalah, sebaiknya Ibu simpan dulu," ucapku. "Heh, perempuan mandul! Arga itu anakku. Kenapa dia tak mengirimkan uang begitu kupinta? Biasanya dia akan langsung mengirimkannya. Kamu pastii menghasutnya, kan?" Deg! Perempuan mandul? "Astaghfirullah, Bu! Anak saya tidak mandul, ya!" Papa datang dari kamarnya. Lalu berdiri, berhadapan dengan Ibu mertuaku."Alah, kalau tidak mandul, kenapa tak hamil juga? Sedangkan Shelina saja sudah hamil, kok!" Apa? "Shelina hamil?" tanyaku."Ya, dia sudah hamil empat minggu. Sedangkan
Dahi Ibu mengernyit, menandakan ia tengah dilanda kebingungan. "Maksud Besan, apa?" "Tidak. Saran saya, jaga anak anda. Apalagi dia adalah perempuan. Jangan sampai tersesat di tengah jalan. Dulu, waktu Raina masih muda, saya menjaganya dengan ketat. Supaya dia tetap aman dan tak mempermalukan keluarga. Silakan, bawa anak anda pulang!" Bapak berbicara. "Mbak, aku gak mau," bisik Megan. "Kenapa?" "Aku takut, Ibu akan menghajarku, Mbak.""Bukankah itu konsekuensimu?" "Mbak," pintanya memelas. "Nanti, Rain antarkan Megan pulang. Sekarang, Ibu pulang saja. Takut menantu kesayangan Ibu itu kenapa-napa. Apalagi, dia sedang hamil, bukan?" ucapku. Padahal, aku ingat betul apa yang terakhir Mas Arga ucapkan padaku waktu itu. "Mas belum pernah menyentuh Shelina, Dek. Percayalah, semakin ke sini, perasaanku padamu semakin tumbuh. Entah kenapa, posisi Shelina geser begitu saja." Aku tersenyum saat teringat ucapannya. Entah mana yang benar? Jika apa yang Ibu katakan itu benar, maka Mas Ar
Nur memalingkan mukanya, seakan ia enggan untuk menjawab panggilan Megan. Aku mengerti keadaannya sekarang. "Kakak tinggal dulu. Kalian bicaralah. Selesaikan yang memang harus kalian selesaikan. Ingat, Allah membenci hambanya yang saling bermusuhan." Setelahnya, aku masuk. Membawa tas berisi pakaian milik Nur. "Mana Nur?" "Di luar. Jangan diganggu dulu, Ma. Sepertinya, Nur dan Megan ada sedikit kesalah pahaman," ucapku. Mama menghembuskan napasnya. "Kemarin mertua, terus suamimu, sekarang adiknya. Kenapa, sih, keluarga suamimy itu selalu bikin masalah?" Aku tersentak dengan penuturan Mama. Aku baru sadar, mungkin di antara kami, Mama lah yang paling sakit hatinya. Aku dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Mama bahkan tak pernah membentakku, tak pernah membiarkan aku mengerjakan pekerjaan rumah. Dari dulu, yang harus kukerjakan hanyalah membereskan kamar dan kasur setelah bangun tidur. "Entahlah, Mama bingung bagaimana cara mereka hidup. Rasanya mama capek. Kami yang sudah pu
Keluarga Kak Raina begitu baik. Kecuali papanya. Beliau menolak kehadiranku. Beruntung, Kak Raina dan mamanya bersedia membelaku. Kejadian Mas Arga kecelakaan hingga membuatnya amnesia, membuatku sedikit lega. Pasalnya, jika ia sampai tahu aku pura-pura amnesia, bukan tidak mungkin ia akan membuatku menjadi perkedel. Setelah Mas Arga pulang, aku menyadari satu hal. Bahwa Mas Arga, sebenarnya tidak lah amnesia. Dia, hanya berpura-pura. "Tolong, jangan beritahu Rania dan keluarganya kalau Mas hanyalah pura-pura. Oke?" Aku mengangguk saja. Toh itu tak penting untukku. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana cara agar kehamilan ini tak kelihatan? Apa, aku gugurkan saja?Habis isya, aku dan Kak Rania tengah mengobrol. Aku akan meminta sarannya tentang menggugurkan kandungan ini. Karena rasanya, nasihatnya saat ini adalah yang terbaik. Daripada bertanya pada Ibu. Bisa-bisa beliau ngamuk. "Nur?" panggilku pada seorang perempuan yang baru memasuki halaman ketika aku baru datang dari da
"Eh, Shelina? Kapan datang?" Aku bertanya sembari tersenyum sinis ke arahnya. Ibu yang masih menangis, kini bangkit dan menghampiri wanita yang telah membohongi mantan mertuaku itu. Ada untungnya juga, setidaknya aku tak perlu lagi mencari cara untuk membalas mertua dan suami pelit itu. "Dasar penipu!" teriak Ibu di hadapan Shelina. Mas Arga hanya bergeming, sedangkan aku? Tentu saja menikmati hiburan di depanku ini. "B-bu, aku bisa jelasin," ucap Shelina. "Apa yang perlu dijelasin? Sudah jelas kamu telah menipu kami!" Shelina bersimpuh di hadapan Ibu yang kini memandangnya angkuh. Aku mencebik, bahkan kemarin mereka adalah sepasang menantu dan mertua yang sangat mesra. Lihat saja sekarang! Mereka tak lebih dari musuh. "Maafkan Lina, Bu!" "Tak ada lagi maaf bagimu, Shelina. Kamu tega membohongi Ibu. Padahal, apa kurangnya Ibu? Sehingga kamu tega? Kamu harusnya merasa beruntung, diperistri Arga yang mapan. Bukannya malah menipu kami!" Shelina tampak menatap Ibu tajam. Ia seper
Esok pagi. Aku bangun lebih awal, lalu menyiapkan sarapan kami. Niatnya, hari ini aku akan mengecek toko cabangku yang lain. Setelah beberapa hari sibuk dengan urusan sendiri dan mempercayakannya pada Indah, akhirnya hari ini mulai berkeliling. "Masak apa, Kak?" tanya Nur. "Nasi goreng spesial, dong. Kesukaan Mama." Mama tersenyum seraya menggulung rambutnya. Semalam kami begadang, membahas tentang pesan yang masuk ke ponselku. "Mama baru bangun?" tanya Nur. Mama tersipu malu, karena tak biasanya beliau bangun siang seperti ini. "Iya. Semalam kakakmu ngajak Mama begadang. Jadi deh bangun sesiang ini," ucap Mama sambil terkekeh. "Wah, sudah pada bangun." Megan datang sambil memegangi perutnya. Aku hanya diam. Biarkan saja jika ia berpikir aku tak dewasa, hanya saja, amarah dalam dada soal dia yang mau menggugurkan kandungannya masih ada. "Papa jadi pergi?" tanyaku pada apa yang baru saja keluar dari kamar mandi. Papa mengangguk sambil meminum teh manis. "Mungkin selama tig
BAB 58 Aku tak bisa tinggal diam saja ketika melihat suamiku diharapkan oleh perempuan lain. Terlebih ini adalah oleh wanita di masa lalu Mas Uji. "Ayo, Na, kita teruskan jalan-jalan. Misi ya, Nak Riris." Seperti ada kekecewaan di kedua manik hitam perempuan manis itu. Seolah-olah mengharapkan sesuatu yang memang sangat ia inginkan. "Umi duluan, Nana mau ngobrol dulu sama Mbak Riris." Riris membeliakkan matanua seakan bingung dengan keinginanku. Aku meminta Umi untuk menunggu di warung dekat lapangan. "Ada apa, Mbak?" tanya Riris. "Begini ya, Mbak Riris. Aku tak ingin menggunakan cara kasar. Singkatnya saja, tolong jauhi suami saya. Mbak Riris sudah tahu Mas Uji memiliki seodang istri, kenapa masih mengharapkannya?" tanyaku pada Riris yang langsung menunduk. Kupikir, wanita itu mengerti, namun ternyata tidak. Ia justru terkekeh mendengar ucapanku. "Lantas, kalau dia sudah menikah memang kenapa? Banyak kok, pernikahan yang hancur karena orang ketiga." Dadaku berdebar kencang
"Eh, Nak Raina. Nggak papa, tadi Bibi salah ngomong. Kalau begitu, aku pulang dulu ya mbak, soalnya bentar lagi mau ada tamu. Maaf gak bisa ngebantu dulu," ucap Bi Waroh. Umi menggelengkan kepalanya, Aku hanya bisa beristighfar dan mencoba sabar untuk menghadapi bibinya Suamiku itu. Aku sadar, jumlah manusia itu banyak dan tak mungkin semuanya itu menyukai kita. Ada saja permasalahan yang terjadi, meski kita hanya diam saja. "Mau masak apa, Mi? Biar Nana bantu." "Nggak usah, Na. Umi bisa melakukannya sendiri, lagi pula kamu di rumah Mama kan nggak pernah ngapa-ngapain, Masa Iya Umi mau menyuruh-nyuruh kamu." Aku terkekeh, memang banyak orang yang mengira jika Mama terlalu memanjakan aku. Padahal sebenarnya tidak, karena aku pun mengerjakan pekerjaan rumah selayaknya anak pada umumnya ketika di rumah. "Nggak, Mi, Nana juga sering masak di rumah. Enak masakannya, Mi," ucap Mas Uji sambil keluar dari kamar. "Iyakah? Wah Umi nggak tahu, Ayo kalau gitu sini, Na, bantu kupaskan kentan
BAB 56 "Maafkan Riris, ya, dia memang terkenal pendiam. Jadinya begitu," ucap Bu Ina. Pendiam? Dari mananya? Terlihat sekali jika anaknya itu memendam perasaan pada suamiku. "Iya, Bu, nggak papa," jawabku. Mas Uji mengajakku keliling kampung lagi. Kampung suamiku memang sangat asri lingkungannya. Banyak pepohonan yang masih rindang. "Mas, Riris beneran pendiam?" tanyaku. "Iya, memang begitu. Kenapa?" "Nggak papa." Kami melanjutkan perjalanan hingga akhirnya sampai di rumah. Rupanya, Umi sudah membuatkan kudapan. Aku jadi tak enak, karena tak membantunya. "Maaf ya, Umi, Raina nggak bantuin." "Nggak papa, Nak Rain. Ayo, dimakan." Aku mengangguk, kami lalu lanjut mengobrol tentang masa-masa Mas Uji setelah pindah dulu. Ternyata, Umi tak jauh berbeda. "Sudah, Mi. Uji malu, ah." Umi terkekeh, lalu mengajakku untuk ikut pengajian nanti malam. Sementara Mas Uji berlalu untuk mandi sore. "Di mana, Mi?" tanyaku. "Ada di mushola, tadi Uji ngajak ke sana, nggak? Ke guru ngajinya U
BAB 55Aku kembali ke kamar. Perasaan senang yang tercipta dari rumah tadi mendadak menguap begitu saja. Hatiku sakit saat lagi-lagi mendapat hinaan semacam itu. Meski tak diucapkan secara langsung, tapi itu bisa membuatnya lebih sakit hati. "Kenapa balik lagi?" tanya Mas Uji. "Oh, nggak papa. Ada Bik Waroh di belakang," jawabku. "Apa Bik Waroh ngomong yang nyakitin hati?" tanya Mas Uji sambil memegang pundakku. "Nggak, Mas. Cuma aku memang agak capek aja." "Oh, ya sudah, istirahat. Kamu kan akhir-akhir ini sering bolak-balik ke toko. Belum ke toko cabang. Jadi, selama di sini, kamu bisa istirahat." Aku mengangguk. Kantor Mas Uji dengan rumah Umi jauh lebih dekat daripada dari rumahku. Itu sebabnya, aku menyetujui ketika kami akan tinggal di sini selama seminggu. Aku keluar kamar, lalu melihat foto keluarga yang sepertinya sudah lama diambilnya. Di sana ada almarhum bapak mertua. "Sayang sekali, Raina nggak bisa bertemu dengan Bapak," ucapku sambil mengelus bingkai fotonya. "
Aku menghela napas, ragu akan menjelaskan semuanya. Bukan tidak mungkin, Mas Uji malah akan menuduhku melakukan alibi untuk menutupi semua kesalahanku. "Laki-laki emang begitu kalau sudah cemburu, Na. Dulu saja Papamu begitu." "Iyakah? Mama kan nggak punya mantan suami," ucapku sambil cemberut. "Kata siapa? Mama punya." "Hah? Serius? Lalu, apa Raina bukan anak Papa?" tanyaku dengan sendu. "Hust! Ngawur. Kamu ya anak Mama dan Papa. Dulu, Mama dijodohkan. Nggak lama pernikahan, cuma bertahan satu bulan aja. Mama kabur dan nggak mau kembali ke rumah itu. "Wah, Rain baru tahu soal ini, Ma." "Memang sengaja dirahasiakan. Buat apa? Mama jadi kepikiran sama kamu. Kenapa nasib kita sama? Apa ini karma dari perbuatan kami di masa lalu?" "Tidak, Ma. Ini sudah takdirnya. Dulu, pas Raina menikah dengan Mas Arga, itu sebuah kesalahan sehingga pernikahan pun gagal. Semoga dengan Mas Uji ini, kami bisa akur." "Aamiin. Ya sudah, Mama masuk dulu. Sudah adzan magrib." Aku mengangguk, lalu ik
"Mas?'" ulangku. Aneh, Mas Uji bahkan tak melirik sekalipun. Aku menghela napas, lalu segera mandi. Sebaiknya aku memang membersihkan diri terlebih dahulu, sebelum aku bertanya padanya. Usai mandi, masih kulihat Mas Uji di depan layar laptopnya. Ia bahkan tak bersuara sama sekali. "Mas, kamu kenapa sih?" tanyaku. "Kamu nanya aku kenapa? Harusnya aku yang nanya, kamu kenapa? Apa kamu mau kembali ke mantan suamimu?" Aku mengerutkan kening saat mendengar ucapan Mas Uji. Apa maksudnya? Kapan aku bilang akan kembali ke mantan suamiku? Jika pun iya, aku pasti sudah gila. Atau jangan-jangan.... "Mas apa kamu tadi-" "Ya, aku melihatmu masuk ke rumahnya Arga, mantan suamimu." Aku tersentak mendengar teriakan Mas Uji. Apakah ia cemburu? Seandainya iya, bukankah harusnya bicara pelan-pelan?"Dari mana kamu tahu, Mas?" "Jelas aku tahu, karena aku mengikutimu dari belakang," jawab Mas Uji. "Apa?" "Kenapa? Aku mau turun di toko, tapi ngeliat mobilmu pergi. Kupikir kamu mau pulang, terny
, “Lho, Raina. Ayo masuk dulu,” ajak mantan mertuaku.“Nggak usah, Bu. Raina ada janji dengan suami. Jadi langsung saja,” ucapku.“Apa karena kesalahan di masa lalu, makanya kamu nggak mau lagi silaturahmi dengan kami, Rain? Apa suami barumu itu melarangmu bergaul dengan orang lain, sehingga kamu begini?”“Bukan begitu…”“Kalau begitu, ayo masuk.”Megan menatapku dengan tidak enak, melihat itu aku jadi tak tega dengannya dan akhirnya masuk ke dalam rumah yang penuh dengan kenangan pahit itu. setelah mengembuskan napas, aku akhirnya duduk. Teringat beberapa bulan yang lalu aku bahkan sempat dijadikan babu gratisan di sini.“Kakak ambilkan minum dulu ya, Rain.”Aku hanya mengangguk saja. Bukan hanya Kak Diana, tapi Ibu pun ikut pergi ke belakang. Megan segera mendekatiku dan meminta maaf karena telah menuimbulkan rasa tak nyaman ini.“Iya, nggak papa. Tapi habis ini pulang, ya?” pintaku.“Iya, Kak. Megan juga sudah kangen sama Mama,” jawabnya dengan tersenyum lebar.
, BALASAN UNTUK SUAMI PELIT—Aku masih berpikir keras, haruskah kukirim pesan pada Arlan? Tapi, apa yang akan aku ucapkan? Ah, sudah lah. Yang terpenting sekarang, aku sudah memiliki nomor lelaki itu. Kulihat kembali nomor lelaki yang sanggup membuat jantungku berdebar itu. Ya Allah, sesungguhnya aku tak boleh begini, tapi hamba tak bisa mengendalikan perasaan ini.Pagi hari.Kak Raina melihatku dengan senyum merekah, membuatku menjadi salah tingkah. Apakah Mas Uji memberitau semuanya padanya? Jika iya, maka aku bisa-bisa abis diledeki olehnya.“Kenapa, Kak?” tanyaku, sambil bergeser karena terus dilihat dari tadi.“Nggak papa, kok. Megan nggak jadi nginap semalam.”“Iya, Kak, hujan lebat juga, kan?”Kak Raina mengangguk, kukira ia akasegera berlalu dan menyusul suamiya di depan karena sudah agak siang. Namun ternyata aku salah, ia malah semakin mendekatiku, dan sudah dipastikan hal apa yang akan ia lakukan.“Cie, nemu tambatan hati baru nih, ye!”Aku hanya mendeli
Ia tengah chattingan dengan Nur. Adikku itu ternyata curhat dan nanya-nanya soal lelaki yang kemarin datang ketika lamaran.Namun, kenapa Mas Uji sampe tersenyum seperti itu?"Rain, ngapain?"Aku panik, segera kubuka aplikasi facebook. Berpura-pura tengah melihat akun sosial media miliknya."Nggak papa. Pengen liat sosial media suamiku aja. Ga boleh emang?"Mas Uji tersenyum, lalu berjalan menuju lemari. Bukannya dia tadi mau mandi?"Mas nggak jadi mandi?" tanyaku."Handuknya ketinggalan, Adek Sayang," ucapnya sambil mencubit pipiku.Ish, lelaki ini! Mau sampai kapan gombalin dan bikin jantungku berdetak tak karuan?"Sudah ah, mandi sana!"Mas Uji tergelak melihat tingkahku yang menjauhkannya dariku. Kemudian ia pergi setelah sebelumnya mengacak rambutku.Aku merebahkan diri di atas kasur. Setelah bercerai dengan Mas Arga, aku lebih posesif pada Ma