"Dia pernah datang kemari , tapi kami mengancam nya dengan surat yang ditanda tangani Tuan." Kiran menatap bi Atun dengan tak percaya, ada sekitar lima orang yang bekerja di rumah besar ini, dan bi Atun dan pak Malih adalah yang paling senior di antara mereka. Kiran sampai ingin meneteskan air mata haru, mendengar kesetian para ART rumah ayahnya, andai saja dia tidak bertemu dan jatuh cinta pada Dafa. Kiran langsung menggeleng, dia tahu semua itu tak akan bisa terulang lagi meski sebanyak apapun kata andai yang dia langitkan. Sejenak mereka terdiam, lalu Kiran teringat pada satu hal penting. "Siapa yang mengurus pemakaman mama dan papa?" "Maaf?" tanya bi Atun sedikit terkejut, wanita paruh baya itu menatap Kiran dengan pandangan menyelidik, membuat KIran salah tingkah. "Maksud saya siapa yang mengurus pemakaman mama dan papa Kiran, kalau Dafa tidak penah kemari, sedangkan Kiran-""Pak hutabarat, beliau yang mengurus semuanya... dan beliau tidak bilang ada Den Dafa di sana, dia h
"Ini bukan arah rumah sakit notempat istri tuan Dafa di rawat," kata Kiran dengan bingung saat mobil melaju menuju arah yang berlawanan dengan rumah sakit tempat wanita yang menyamar menjadi dirinya dirawat. Ataukah Batara tahu di mana tubuhnya saat ini berada? Tapi laki-laki hanya diam, dan lebih fokus dengan tabletnya, mengabaikan Kiran sepenuhny, membuat wanita itu kesal. Nekad, dia mengguncang lengan Batara, tapi saat tatapan keduanya bertemu Kiran langsung menunduk tak berani membalas. Tatapannya bagai harimau yang siap menerkam mangsanya, membuat Kiran takut. "Aku hanya ingin memastikan sesuatu dulu, diamlah," kata Batara dan kembali larut dalam.. entah apa yang dia kerjakan dalam tablet itu. Ada perasaan takut saat mobil yang membawa mereka melewati persawahan, ingatannya tertuju pada hari di mana dia mengira Dafa akan mengajaknya bulan madu, tapi berakhir dengan bencana. Tanpa sadar tubuh Kiran bergetar, kengerian saat terjatuh dari jurang itu masih jelas dalam ingatann
“Dia bukan Kiran.” Posisinya yang ada di belakang kursi roda Batara membuat Kiran tak bisa menebak ekspresi wajah laki-laki itu. Akan tetapi tubuhnya yang tiba-tiba saja kaku dan membuat Kiran yakin kalau Batara juga terkejut dengan hal itu. “Kita bicara di tempat lain, di sini banyak orang.” Mereka memang baru saja menjenguk wanita yang diakui Dafa sebagai istrinya. Berbarengan dengan beberapa orang staff kantor yang juga ada di sana, termasuk Dafa sendiri yang juga mempertunjukkan perhatian dan kasih sayang yang terlihat tulus, tapi tentu saja Kiran yang tahu kebusukan laki-laki itu sama sekali tidak terkecoh. “Kamu yakin akan hal itu?” tanya Batara begitu mereka sudah masuk ke dalam mobil.” “Sangat yakin.” Batara menatap Kiran dengan menyipitkan mata mencari kebohongan di mata wanita itu, tapi tentu saja tidak akan pernah dia temukan karena Kiran memang tidak berbohong, dan sangat yakin, dia kenal tubuhnya sendiri dengan baik tentu saja. “Tidak heran, dia butuh Kiran untuk
Tubuh Ayu dengan jiwa Kiran di dalamnya menjadi dingin dan kaku. Mereka masih di sini selama ini. Dan kemungkinan kalau mereka menemukan tubuhnya yang tak berdaya membuat Kiran tak sanggup untuk membayangkan. Mereka dendam padanya, tapi juga menginginkan tubuhnya dengan penuh nafsu. Tidak mereka pasti tidak sebejat itu bukan? Kiran menggeleng tanpa sadar. Tubuhnya begitu lemas saat pemikiran itu merasuk ke dalam otaknya. “Kamu baik-baik saja?” tanya Batara. Kiran langsung menoleh kaget pada laki-laki yang duduk di kursi roda itu, saking kagetnya meihat mereka membuat Kiran tanpa sadar mencengkeram tangan Batara yang ada di atas pegangan kursi roda. “Sa-saya....” “Kamu mengenal mereka?” tanya Batara lagi, laki-laki itu bahkan mengabaikan wajah pucata pasi Kiran yang terlihat sangat syok. Di bawah tatapan tajam Batara, Kiran mengangguk otomatis, saking syoknya dia bahkan tidak bisa berpikir dengan benar. “Siapa? Apa ada hubungannya dengan Kiran?” Kiran mengangguk sekali lagi
Sudah satu minggu sejak penyelidkan itu dilakukan dan mereka tidak mendapatkan apa yang mereka cari. Batara mengatakan itu dengan geram pada Kiran suatu pagi ketika mereka baru saja menyelesaikan sarapan, atau tetapnya Batara baru saja memakan sarapannya dan Kiran menatapnya dengan wajah datar. “Aku seperti orang bodoh percaya saja pada kata-kata anak kecil sepertimu.” Kiran masih diam, meski dalam hati merasa sangat was-was. Dia tidak sedang bergurau atau menduga kalau itulah tempat terakhirnya sebekum semua berubah. Ini sudah lebih dari dua bulan dan kemungkinan kecil sekali jika tubuhnya masih hidup jika masih ada di tempat itu memang. Satu-satunya harapan Kiran adalah sada salah satu warga yang menemukan tubuhnya dan menolongnya. “Tapi saya sangat yakin itu tempatnya.” Batara menatap Kiran dengan mata hitamnya yang tajam, membuat wanita itu langsung menundukkan pandangan tak mampu menentang sorot mata yang ma
Kiran langgung melompat berdiri begitu seraut wajah tua dan keriput menatap dari atasnya. “Mbok Nah! Kenapa di sana!” Kepalanya pusing karena tiba-tiba bangun dari tidurnya, dadanya berdetak dengan kencang, tapi mbok Nah sama sekali tidak menarik tubuhnya, malah berjalan makin dekat pada Kiran. “Mbok Kenapa?” tanya Kiran bingung saat tangan wanita tua itu terulur ke arah wajahnya. “Kamu kenapa tho, Yu. Kok teriak-teriak panggil namamu sendiri?” Kiran teringat mimpinya tadi. Dengan kondisi bangun tidur dan perasaan yang luar biasa kacau hal yang bisa Kiran lakukan untuk mengalihkan perhatian mbok Nah adalah... lari. “Maaf mbok aku ke kamar mandi sebentar.” Dan begitu pintu kamar mandi tertutup rapat Kiran menyandar pada pintu dan mengatur napasnya yang memburu. Sangat tidak cerdas memang tapi efektif untuk menghindarkannya dari hal yang lebih parah lagi. “Yu, kamu baik-baik saja?” terdengar ketukan dan suara kekhawatiran mbok Nah dari luar sana. Kiran sadar sudah cukup lama
Liza sepertinya menganggap Dafa budeg atau terlalu percaya diri sampai semua yang akan dia lakukan akan mendapat dukungan dari Dafa. Nyatanya wanita itu salah, atau lebih tepatnya itu yang ditunjukkan Dafa saat ini. “Apa yang terjadi kenapa semua ini? apa kamu tidak bisa membawa sebuah nampan,” kata Dafa tajam pada Kiran. “Seseorang sengaja membuat nampan saya jatuh, padahal saya tadi membeli kue itu dengan uang terakhir saya.” Satu hal yang dipelajari dengan baik dari Dafa adalah berakting menyedihkan yang bisa mempengaruhi orang yang melihatnya. Dafa menatap kue-kue yang berserakan itu dan menghembuskan napas berat. “kenapa kamu melakukannya, Liza?” tanyanya pelan. “Makanan itu pasti dibeli di pinggir jalan dan tidak higienis, aku akan membelikan yang lebih-““Cukup, bereskan itu dan bawakan aku minuman yang lain,” dia lalu menarik napas panjang. “Dimana kamu membeli kue itu?” lanjutnya. Kiran masih men
Kiran pernah berpikir kalau dia memang sudah gila. Yah tentu saja, dengan menikahi Dafa dan terang-terangan melawan orang tuanya. Tapi hal itu sepertinya tidak lebih gila dengan apa yang dia lihatnya sekarang ini. “Mas Dafa, aku datang untuk mengantarkan makan siang untukmu tapi sekretarismu-“ “Saya sudah memesankan makan siang untuk anda seperti yang anda inginkan, Pak,” kata Liza penuh penekanan. “Mas Dafa tidak perlu pesan makanan di luar, makanan yang kubawa jelas lebih sehat.” “Saya sekretarisnya dan tahu apa yang beliau inginkan.” “Kamu hanya sekretaris bukan istri.” Kiran berdiri menatap semuanya sambil masih memeluk nampan di dada, kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri seolah dia sedang menonton pergerakan bola tenis dalam sebuah permainan. “Saya yang paling memahami pak Dafa.” “Sudahlah, aku akan membayar makan siang yang kamu pesan dan kamu bisa memakannya.” “Saya
"Non KIran tolong saya! non Kiran!" Kiran menatap sekeliling tempat itu, hanya ada deretan pohon yang rapat di kanan kirinya. "Ayu kamu dimana!" suaranya menggema di tempat itu, tapi tak ada lagi jawaban dari Ayu. "Ayu! Kamu dimana!" teriak Kiran. Sampai serak rasanya Kiran memanggil tapi tidak ada lagi jawaban dari Ayu. Kiran berlari tak tentu arah, berkali-kali dia jatuh terjerembab terhalang akar pohon yang menonjol di sana sini. Dimana ini? Kiran merasa belum pernah datang ke tempat ini, pepohonan yang rapat menghalangi sinar matahari, Kiran tak tahu ini siang atau malam. "Ayu!" panggilnya sekali lagi. Tak putus asa kakinya terus melangkah, meski dia tidak tahu ini arah yang benar atau salah, hanya naluri yang dia andalkan untuk menuntunnya mencari Ayu. Entah sudah berapa lama Kiran berjalan berputar-putar tapi dia sama sekali tidak melihat sosok Ayu, Kiran jatuh terduduk, kakinya sudah lelah. Napasnya ngos-ngosan dan dadanya terasa sangat panas dia butuh air, tapi sepan
Mereka akhirnya mendapat sebuah penginapan yang bagus. Sedikit jauh dengan rumah nene buyut Ayu sebenarnya, tapi Kiran merasa itu lebih baik. “Aku mau jalan-jalan sebentar, Mbok mau oleh-oleh apa?” tanya Kiran sambil nyengir saat dia ingat di depan penginapan ini hanya ada penjual jajanan anak karena dekat dengan sekolah, dan tentu saja mbok Nah yang memang orang... senior, sama sekali tidak tertarik dengan jajanan kekinian dengan berbagai toping yang menggoda. “Kamu yakin jalan-jalan sendiri? Ini tempat asing?” Kiran meringis saat lagi-lagi Mbok Nah memperlakukannya seperti anak usia lima tahun, mungkin dia akan mengalami serangan jantung kalau tahu apa yang dia lakukan di luar sana atas perintah Batara. “Aku akan baik-baik saja, ingat aku sudah kuliah,” kata Kiran. Dan Mbok Nah tidak bisa membantah lagi. Tujuan pertama Kiran tentu saja adalah rumah keluarga Ayu, atau seharusnya begitu sebelum mereka dianggap pengkhianat, meski dia juga tidak tahu pengkhianatan macam apa yang d
Dia pulang kampung ternyata. Tepatnya kampung halaman sang ayah. Kiran memang langsung pergi kesini begitu tahu kalau orang tua Ayu berasal dari kampung yang sama dengan ayahnya. Sejujurnya dia tidak banyak tahu tentang tempat ini, meski dulu beberapa kali ayahnya sering mengajaknya untuk mengunjungi rumah besar keluarga yang dihuni oleh kakeknya dan setelah sang kakek meninggal, sebenarnya sang ayah lah yang mewarisinya, tapi karena mereka sudah punya rumah mewah di tempat lain, jadi ayahnya meminta beberapa saudara untuk tinggal di sini. Sejenak Kiran menatap rumah besar yang seharusnya itu menjadi miliknya sekarang dalam diam. Dengan rupa Ayu dia tidak mungkin masuk ke sana, tepatnya dia tidak punya alasan untuk masuk, karena alamat rumah orang tua Ayu terletak berbeda gang dengan rumah ini. Perlahan Kaki Kiran melangkah meninggalkan rumah mewah itu dan melongok ke setiap rumah yang dia lewati untuk mengintip nomernya, memastikan untuk tidak keliru. “Kamu sepertinya sudah k
Kiran sudah mengira kalau kondisi pemakanam di desa ini pasti tidak sebagus dan semewah makam orang tuanya yang ada di kompleks pemakaman elit dengan harga jutaan tiap meternya, tapi dia sama sekali tak menyangka kalau kompleks pemakaman orang tua Ayu begitu menyedihkan. Rumput-rumput liar tampak tumbuh memanjang di semua tempat dan juga sampah dedaunan yang menumpuk tak terurus. “Apa tidak ada orang yang membersihkan ini semua?” tanya Kiran pada Atik yang menoleh dengan sedikit takut padanya. “Biasanya hanya disapu pada hari-hari tertentu saja, tapi penjaga makam sepertinya sudah lama tidak memotong rumput itu.” Kiran menghela napas, dia sedikit takut untuk terus melangkah. Bunyi berkriutan dari bambu yang ada di dekat pekuburan itu seperti melodi mengerikan di telinganya. “Apa kamu tahu dimana makam ... ehm orang tuaku... aku sedikit lupa,” kata Kiran buru-buru saat Atik menatapnya dengan terkejut. “Mbak Ayu pasti sudah lama tak mengunjungi makam paman dan bibi,” kata Atik pri
Kiran sudah berusaha dengan baik untuk membantu Dafa memenangkan tender itu. Dua minggu yang tersisa sebelum pengumuman pemenang Kiran manfaatkan untuk mencari tahu siapa Ayu. Seperti petunjuk yang diberikan kakek tua waktu itu. Dan di sinilah dia sekarang, kampung halaman Ayu bersama mbok Jum. “Kok kamu tiba-tiba ingin pulang kampung, nduk?” tanya mbok Jum heran. “Mereka pasti akan memusuhimu.” Kiran tahu hal itu, pengalamannya terakhir ada di tempat ini sangat tidak menyenangkan, dan dia tidak yakin warga desa sudah melupakan hal itu. “Ehm... aku ingin ke makam orang tuaku, mbok. Kangen mereka,” kata Kiran dengan gugup. Sejujurnya dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan di sini dan kemana dia harus bertanya, mbok Nah memang sudah menceritakan beberapa hal tentang Ayu, tapi menurut Kiran itu sama sekali bukan hal yang dia cari, karena mbok Nah hanya mengenal orang tua Ayu setelah mereka pindah ke desa ini. Pagi-pagi sekali Kiran sudah merapikan diri. “Sudah mau berangkat, n
"Kamu sudah Gila! untuk apa membantunya!" Kiran tak tahu bagaimana Dafa tahu tentang 'bantuan kecil' yang dia berikan pada Dafa. "Anda memata-matai saya," katanya tak senang. "Anda mungkin sudah berjasa dalam pencarian KIran dan pengobatannya sekarang tapi anda tidak berhak menghancurkan usaha keluarganya." "Aku sama sekali tidak menghancurkan usaha keluarganya," kata Batara lempeng. "Lalu apa maksud anda menjegal usahanya," katanya berani. "Perusahaan anda di bidang arsitektur dan interior sangat jauuhhh dari garmen." "Itu urusanku." "Dan menjadi urusan saya jika itu menyangkut Ardani group dan saya akan melakukan apa saja supaya perusahaan keluarga saya tidak hancur!" kata Kiran dan dia sangat menyesali omongannya itu karena Batara langsung menatapnya dengan curiga. "Keluarga ya? sudah lama aku ingin tahu apa kamu punya hubungan darah dengan KIran?" Kiran langsung mundur saat Batara berdiri dari kursi rodanya, tubuhnya yang tinggi menjulang membuatnya sedikit terintimidasi
Kegembiraan Kiran tak sampai di sana saja, begitu masuk ke dalam ruangan Dafa yang seperti kapal pecah dia melihat banyak kertas penting yang berhamburan di sana. “Jangan sentuh itu, kita makan saja di meja sana,” kata Dafa menghentikan gerakan Kiran yang ingin merapikan meja itu sekaligus mengintip apa saja yang dilakukan wanita itu. Tapi Kiran tahu tidak ada gunanya bersikeras saat dia belum mendapatkan kepercayaan penuh dari Dafa. Dia melangkah ke meja yang ditunjuk Dafa dan menyajikan makanan yang baru saja dia beli, wangi steak membuat perutnya keroncongan. “Makanlah kamu pasti lapar,” kata Dafa tenang. “Maaf soal yang tadi,” Kiran menatap Dafa sambil membuka bungkusan makanan untuknya. “Bukan masalah,” kata laki-laki Itu dengan senyum lebar. “Apa tidak sebaiknya bu Liza yang menemani anda, ehm maksud saya, dia akan makin benci...” “Jangan pikirkan apapun aku bisa makan dengan siapa saja.” Dan Kiran yang memang sejujurnya tidak peduli makan dengan lahap makanan untuknya.
“Jika itu bisa menghentikannya, itu yang harus aku lakukan.” Kiran tak pernah berpikir kalau dia akan menjadi salah satu orang yang menghancurkan perusahaan keluarga yang dibangun ayah dan ibunya dengan tetasan keringat dan air mata. Tanpa sadar Kiran melangkah mundur dengan pandangan ngeri, dan sepertinya Batara mengetahuinya tapi laki-laki itu tidak mencegahnya pergi dan membiarkan Kiran berlari terbirit-birit keluar dari kamarnya dan memasuki kamarnya sendiri di bagian belakang rumah dengan pikiran yang tak menentu. Kiran jatuh terduduk setelah menutup pintu kamarnya, pikirannya kosong, dia kira permasalahan yang kemarin menghampirinya sudah cukup buruk untuknya tapi sekarang dia baru tahu kalau selama ini dia tengah berjalan untuk menghancurkan kerja keras orang tuanya. Rasa kagum dan hormatnya pada Batara hilang sudah berganti rasa benci yang membuatnya ingin berteriak di telinga laki-laki itu. Kiran pikir Dafa adalah laki-laki yang licik dan penuh tipu muslihat, tapi sepert
“Dari mana saja kamu?” Kiran terlonjak saat mendengar bentakan itu, otaknya masih penuh memikirkan kira-kira siapa leluhurnya yang bisa ditanyai soal ini semua, dan tentu saja hasilnya nihil karena dia tahu leluhur dari ayahnya semuanya telah berpulang kecuali satu orang pamannya yang dia sangat yakin tak tahu apapun soal kalung ini karena dia anak bungsu dan sama sekali bukan pewaris keluarga. Mungkin aku harus belajar bicara pada roh, gerutunya kesal. Dan saat itulah kakinya berjalan menuju tempat tubuhnya di rawat dan tentu saja di sana masih ada Batara yang menatapnya seperti harimau yang siap memangsa korbannya. “Yu, kamu masih hidup bukan!” Kiran terlonjak lagi dan kali ini langsung memberi perhatian pada Batara. “Ah iya tentu saja,” jawabnya sambil tersenyum, maksudnya berusaha tersenyum dengan otak masih terus berputar cepat. Apa berpindah ke tubuh Ayu membuat otaknya pelan-pelan juga menyusut, kenapa dia sama sekali tidak bisa memikirkan satu pun solusi untuk masalah ya