Kiran tak pernah ragu kalau orang tuanya begitu mencintainya. Yah semua orang tua memang melakukan itu pada anaknya, tapi tidak semua orang tua menerima anak mereka yang sudah melakukan kesalahan fatal, kesalahan yang mengakibatkan merenggut nyawa mereka juga jerih payah mereka selama ini. Hampir setahun dia bahkan menghindari tempat ini, setelah orang tuanya dengan tegas melarang Dafa menginjakkan kaki di tempat ini, meski hal itu sama sekali tidak berlaku untuknya. Waktu itu dia mendukung Dafa yang sangat dia cintai dengan tidak datang ke rumah yang tida bisa didatangi laki-laki itu, rasa cinta membuatnya buta dan mengorbankan kasih sayang orang tuanya yang begitu besar. Orang tua Kiran memang akhirnya menikahkan mereka, dan beberapa kali mereka juga bertemu tapi tak pernah di rumah ini. Mengingat hal itu perut Kiran terasa melilit perih, ada sedikit kekecewaan dalam dirinya kenapa orang tuanya sama sekali tidak mengatakan alasan mereka membenci Dafa, andai saja... Kiran meng
"Dia pernah datang kemari , tapi kami mengancam nya dengan surat yang ditanda tangani Tuan." Kiran menatap bi Atun dengan tak percaya, ada sekitar lima orang yang bekerja di rumah besar ini, dan bi Atun dan pak Malih adalah yang paling senior di antara mereka. Kiran sampai ingin meneteskan air mata haru, mendengar kesetian para ART rumah ayahnya, andai saja dia tidak bertemu dan jatuh cinta pada Dafa. Kiran langsung menggeleng, dia tahu semua itu tak akan bisa terulang lagi meski sebanyak apapun kata andai yang dia langitkan. Sejenak mereka terdiam, lalu Kiran teringat pada satu hal penting. "Siapa yang mengurus pemakaman mama dan papa?" "Maaf?" tanya bi Atun sedikit terkejut, wanita paruh baya itu menatap Kiran dengan pandangan menyelidik, membuat KIran salah tingkah. "Maksud saya siapa yang mengurus pemakaman mama dan papa Kiran, kalau Dafa tidak penah kemari, sedangkan Kiran-""Pak hutabarat, beliau yang mengurus semuanya... dan beliau tidak bilang ada Den Dafa di sana, dia h
"Ini bukan arah rumah sakit notempat istri tuan Dafa di rawat," kata Kiran dengan bingung saat mobil melaju menuju arah yang berlawanan dengan rumah sakit tempat wanita yang menyamar menjadi dirinya dirawat. Ataukah Batara tahu di mana tubuhnya saat ini berada? Tapi laki-laki hanya diam, dan lebih fokus dengan tabletnya, mengabaikan Kiran sepenuhny, membuat wanita itu kesal. Nekad, dia mengguncang lengan Batara, tapi saat tatapan keduanya bertemu Kiran langsung menunduk tak berani membalas. Tatapannya bagai harimau yang siap menerkam mangsanya, membuat Kiran takut. "Aku hanya ingin memastikan sesuatu dulu, diamlah," kata Batara dan kembali larut dalam.. entah apa yang dia kerjakan dalam tablet itu. Ada perasaan takut saat mobil yang membawa mereka melewati persawahan, ingatannya tertuju pada hari di mana dia mengira Dafa akan mengajaknya bulan madu, tapi berakhir dengan bencana. Tanpa sadar tubuh Kiran bergetar, kengerian saat terjatuh dari jurang itu masih jelas dalam ingatann
“Dia bukan Kiran.” Posisinya yang ada di belakang kursi roda Batara membuat Kiran tak bisa menebak ekspresi wajah laki-laki itu. Akan tetapi tubuhnya yang tiba-tiba saja kaku dan membuat Kiran yakin kalau Batara juga terkejut dengan hal itu. “Kita bicara di tempat lain, di sini banyak orang.” Mereka memang baru saja menjenguk wanita yang diakui Dafa sebagai istrinya. Berbarengan dengan beberapa orang staff kantor yang juga ada di sana, termasuk Dafa sendiri yang juga mempertunjukkan perhatian dan kasih sayang yang terlihat tulus, tapi tentu saja Kiran yang tahu kebusukan laki-laki itu sama sekali tidak terkecoh. “Kamu yakin akan hal itu?” tanya Batara begitu mereka sudah masuk ke dalam mobil.” “Sangat yakin.” Batara menatap Kiran dengan menyipitkan mata mencari kebohongan di mata wanita itu, tapi tentu saja tidak akan pernah dia temukan karena Kiran memang tidak berbohong, dan sangat yakin, dia kenal tubuhnya sendiri dengan baik tentu saja. “Tidak heran, dia butuh Kiran untuk
Tubuh Ayu dengan jiwa Kiran di dalamnya menjadi dingin dan kaku. Mereka masih di sini selama ini. Dan kemungkinan kalau mereka menemukan tubuhnya yang tak berdaya membuat Kiran tak sanggup untuk membayangkan. Mereka dendam padanya, tapi juga menginginkan tubuhnya dengan penuh nafsu. Tidak mereka pasti tidak sebejat itu bukan? Kiran menggeleng tanpa sadar. Tubuhnya begitu lemas saat pemikiran itu merasuk ke dalam otaknya. “Kamu baik-baik saja?” tanya Batara. Kiran langsung menoleh kaget pada laki-laki yang duduk di kursi roda itu, saking kagetnya meihat mereka membuat Kiran tanpa sadar mencengkeram tangan Batara yang ada di atas pegangan kursi roda. “Sa-saya....” “Kamu mengenal mereka?” tanya Batara lagi, laki-laki itu bahkan mengabaikan wajah pucata pasi Kiran yang terlihat sangat syok. Di bawah tatapan tajam Batara, Kiran mengangguk otomatis, saking syoknya dia bahkan tidak bisa berpikir dengan benar. “Siapa? Apa ada hubungannya dengan Kiran?” Kiran mengangguk sekali lagi
Sudah satu minggu sejak penyelidkan itu dilakukan dan mereka tidak mendapatkan apa yang mereka cari. Batara mengatakan itu dengan geram pada Kiran suatu pagi ketika mereka baru saja menyelesaikan sarapan, atau tetapnya Batara baru saja memakan sarapannya dan Kiran menatapnya dengan wajah datar. “Aku seperti orang bodoh percaya saja pada kata-kata anak kecil sepertimu.” Kiran masih diam, meski dalam hati merasa sangat was-was. Dia tidak sedang bergurau atau menduga kalau itulah tempat terakhirnya sebekum semua berubah. Ini sudah lebih dari dua bulan dan kemungkinan kecil sekali jika tubuhnya masih hidup jika masih ada di tempat itu memang. Satu-satunya harapan Kiran adalah sada salah satu warga yang menemukan tubuhnya dan menolongnya. “Tapi saya sangat yakin itu tempatnya.” Batara menatap Kiran dengan mata hitamnya yang tajam, membuat wanita itu langsung menundukkan pandangan tak mampu menentang sorot mata yang ma
Kiran langgung melompat berdiri begitu seraut wajah tua dan keriput menatap dari atasnya. “Mbok Nah! Kenapa di sana!” Kepalanya pusing karena tiba-tiba bangun dari tidurnya, dadanya berdetak dengan kencang, tapi mbok Nah sama sekali tidak menarik tubuhnya, malah berjalan makin dekat pada Kiran. “Mbok Kenapa?” tanya Kiran bingung saat tangan wanita tua itu terulur ke arah wajahnya. “Kamu kenapa tho, Yu. Kok teriak-teriak panggil namamu sendiri?” Kiran teringat mimpinya tadi. Dengan kondisi bangun tidur dan perasaan yang luar biasa kacau hal yang bisa Kiran lakukan untuk mengalihkan perhatian mbok Nah adalah... lari. “Maaf mbok aku ke kamar mandi sebentar.” Dan begitu pintu kamar mandi tertutup rapat Kiran menyandar pada pintu dan mengatur napasnya yang memburu. Sangat tidak cerdas memang tapi efektif untuk menghindarkannya dari hal yang lebih parah lagi. “Yu, kamu baik-baik saja?” terdengar ketukan dan suara kekhawatiran mbok Nah dari luar sana. Kiran sadar sudah cukup lama
Liza sepertinya menganggap Dafa budeg atau terlalu percaya diri sampai semua yang akan dia lakukan akan mendapat dukungan dari Dafa. Nyatanya wanita itu salah, atau lebih tepatnya itu yang ditunjukkan Dafa saat ini. “Apa yang terjadi kenapa semua ini? apa kamu tidak bisa membawa sebuah nampan,” kata Dafa tajam pada Kiran. “Seseorang sengaja membuat nampan saya jatuh, padahal saya tadi membeli kue itu dengan uang terakhir saya.” Satu hal yang dipelajari dengan baik dari Dafa adalah berakting menyedihkan yang bisa mempengaruhi orang yang melihatnya. Dafa menatap kue-kue yang berserakan itu dan menghembuskan napas berat. “kenapa kamu melakukannya, Liza?” tanyanya pelan. “Makanan itu pasti dibeli di pinggir jalan dan tidak higienis, aku akan membelikan yang lebih-““Cukup, bereskan itu dan bawakan aku minuman yang lain,” dia lalu menarik napas panjang. “Dimana kamu membeli kue itu?” lanjutnya. Kiran masih men