"Apa tadi katamu, Dulcais? Tamu?" cecar Grand Duke Erbish dengan mata melotot. "Iya, Yang Mulia. Ada tamu bangsawan dari ibukota yang tengah menunggu Anda," sahut Sir Dulcais takut-takut. Grand Duke Erbish tersenyum sinis. Sir Dulcais semakin mengkerut. Dia berdoa sungguh-sungguh dalam hati agar amarah Grand Duke Erbish tidak meledak. Sir Dulcais tahu seberapa benci tuannya kepada sebagian besar bangsawan ibukota, terutama pendukung Ratu Olive. Namun, dia juga tahu bangsawan yang datang kali ini bukanlah manusia picik. Keluarga Blossom justru telah banyak memberikan bantuan kepada wilayah utara bersama Keluarga Esbuach, "Bangsawan ibukota mana yang tertarik pada daerah utara yang malang ini?" tanya Grand Duke Erbish sarkastik. Sir Dulcais mengepalkan tangan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa para bangsawan angkuh itu selalu memandang rendah wilayah utara. Mereka tentu enggan menjejakkan kaki ke wilayah Grand Duchy meskipun hal itu juga memberi keuntungan tersendiri. Wilayah utara
Count Calliant masih ternganga. Sementara itu, dua kesatrianya bersama dengan Sir Datte sampai terlonjak dari kursi. Mereka bertiga jatuh dari kursi dengan estetik secara kompak.Grand Duke Erbish mengerutkan kening. "Kenapa kalian kelihatan kaget sekali? Memangnya kenapa kalau aku menyembunyikan mereka?" ketusnya. "Kalau seperti itu, Anda akan benar-benar ditangkap, Yang Mulia. Bagaimana nasib wilayah utara kalau hal itu terjadi?" cecar Sir Datte."Bukan hanya wilayah utara. Seluruh kerajaan mungkin akan hancur jika kehilangan satu lagi pahlawan perang. Kerajaan Varyans akan menjadi sasaran empuk musuh yang sudah lama mengincar," timpal Count Calliant."Jadi, Anda bermaksud menyuruh saya menyerahkan Neenash dan Sallac begitu?" Grand Duke Erbish memukul meja hingga terbelah dua. "Hal itu tidak akan pernah terjadi! Neenash dan Sallac tidak bersalah! Gadis yang mengaku Saintess itu pasti sudah melakukan sesuatu!" geramnya.Dia langsung berdiri dan hampir menghunus pedang. Kesatria Coun
Hawa dingin terasa membekukan sekeliling. Lady Neenash berhasil membekukan panah api yang dilepaskan Pangeran Sallac sebelum menyentuh rambut Lady Lily dan Lady Rosie. Ya, kedua gadis itulah yang tadi tiba-tiba merangsek masuk dan langsung menubruk Lady Neenash. Mereka masih memeluk Lady Neenash sembari menangis hari mengungkapkan rasa rindu. Sementara itu, Lady Neenash menatap tajam Pangeran Sallac. "Kau ingin membakar kami beserta kastil ini, Sallac?" sindir Lady Neenash.Pangeran Sallac mendecakkan lidah. "Kau tahu apiku hanya akan menyerang target yang sudah dipilih oleh tuannya, Neenash," sahutnya ringan tanpa beban. Dia mendekat. Tanpa perasaan, lengan Lady Lily dan Rosie ditarik dengan kasar. Kedua gadis itu melotot, tetapi tak lama. Demi melihat wajah suram sang pangeran, mereka langsung gemetaran."Ja-jangan kutuk kami, Pangeran!" seru Lady Rosie gelagapan. Sementara Lady Lily bahkan tidak bisa bersuara. Gadis itu hanya terus menunduk sambil memegangi erat lengan Lady Rosi
Lady Hazel terus meronta dan mengerang. Lady Lily tampak tak mau melepas jambakannya. Sementara Lady Rosie sudah tak menjambak, tetapi malah menyemangati dengan berapi-api.Semua yang ada di ruang tamu selain ketiga lady tersebut melongo. Perlu waktu yang cukup lama hingga mereka tersadar. Sebagai orang pertama yang sadar, Pangeran Sallac bukannya menolong malah langsung tergelak. Keusilan Lady Hazel memang sudah lama memupuk rasa kesal dalam hatinya. Tawa lepas Pangeran Sallac sampai membuat Lady Lily terhenti. Tangannya seketika gemetar. Lady Rosie juga langsung menutup mulut dengan kedua tangan."Ah, kenapa kalian berhenti? Jambak saja lagi sampai puas," celetuk Pangeran Sallac seenaknya membuat Lady Hazel melotot."Sallac!" tegur Lady Neenash dan Grand Duke Erbish bersamaan.Lady Neenash tersentak. Dia menatap Grand Duke Erbish dengan kening berkerut. Sebelumnya, kakak angkatnya itu juga sering terlibat pertengkaran dengan Lady Hazel. Tentu dia heran melihat Grand Duke Erbish mem
Wajah pimpinan kesatria merah padam. Rasa malu menjalar di hatinya. Ada rasa gentar juga karena harus berhadapan dengan seorang pahlawan perang yang telah terkenal kehebatannya. Namun, amarah raja terasa lebih mengerikan baginya."Anda sudah menentang perintah Raja, Yang Mulia Grand Duke!" sergah si pimpinan dengan suara sedikit bergetar. Dia sudah susah payah mengumpulkan keberanian."Aku tidak peduli. Pergilah!" usir Grand Duke Erbish lagi.Pimpinan kesatria tampak menghela napas berat. "Kalau begitu, kami tak punya pilihan. Karena Anda tidak mau memenuhi perintah dengan baik-baik, maka kami akan menggeledah paksa!" tegasnya dengan raut wajah dibuat segalak mungkin.Grand Duke Erbish tersenyum sinis seperti menantang. Meskipun gentar, pimpinan kesatria tetap harus melaksanakan tugas. Dia mengangkat pedang, memberi isyarat kepada kesatria bawahannya. "Maju!" perintahnya. Pasukan istana merangsek maju. Pasukan utara dengan cepat menghadang. Pertarungan pun tak dapat dihindarkan. Bu
Lady Cherrie, Pangeran Seandock, dan Duke Thalennant keluar dari ruang kerja Raja Garrpou bersama-sama. Rasa puas tergambar di wajah mereka. Namun, suasana hati yang bahagia seketika berubah menjadi bencana bagi Duke Thalennant saat mereka memasuki bagian taman.Ya, rasa perih menggayuti hati saat melihat Lady Cherrie bermanja dengan Pangeran Seandock. Kemesraan mereka menerbitkan cemburu. Namun, kesetiaan akan menjerat Duke Thalennant agar selalu menyadari posisinya. "Duke Reinnerd, kita perlu bicara," cetus Pangeran Seandock tiba-tiba membuyarkan lamunan Duke Thalennant."Baik, Yang Mulia," sahut Duke Thalennant sembari membungkuk dengan takzim.Setelah itu, Pangeran Seandock memanggil Sir Markist dan seorang dayang. Dia meminta mereka untuk menemani Lady Cherrie kembali ke Istana Safir. Awalnya, Lady Cherrie merengek tak ingin kembali, tetapi tatapan tajam sang putra mahkota membuatnya menurut."Sean, aku tidak suka jika kamu membuat pertengkaran yang sia-sia," pesan Lady Cherrie.
Bocah berusia 10 tahun itu terus mengekori langkah sang ayah. Dadanya berdebar kencang. Ada rasa tak percaya bercampur dengan bahagia yang meluap-luap. Hari itu, dia akan resmi menjadi murid sang pahlawan perang, Marquess Arbeil Esbuach. Thalennant, sang penerus Keluarga Reinnerd memang sudah lama mendambakannya. Namun, saat berada di hadapan Marquess Arbeil, dia malah gelagapan dan terbata-bata."Mo-mo-hon bim-bingan guru!" serunya dengan. suara cempreng setelah sang ayah memperkenalkannya dengan penuh kebanggaan."Anak yang sangat bersemangat. Kau pasti akan menjadi pahlawan besar jika sudah besar nanti," puji Marquess Arbeil.Thalennant menunduk dengan pipi merona. Dia mencengkeram ujung bajunya. Marquess Arbeil terkekeh. Tangan kekarnya terulur ke depan, lalu mengelus kepala Thalennant. Si bocah hampir pingsan karena sangat senang."Selamat datang di Kediaman Esbuach, Bocah! Kau harus berlatih dengan benar dan niat kuat. Pelatihan di sini tidak akan mudah." Duke Ashtair Reinnerd
Wajah cantik Lady Cherrie tertangkap pandangan Duke Thalennant. Perlahan, bayangan kenangan bersama Lady Neenash dan Keluarga Esbuach tertutup kabut, lalu terkunci di sudut hati terdalam. Sihir hitam kembali menguasai Duke Thalennant."Tuan Duke, Anda baik-baik saja? Anda terlihat kebingungan?" celetuk Lady Cherrie menyentak kesadaran Duke Thalennant.Wanita itu diam-diam menyeringai karena telah berhasil mengendalikan lagi budaknya yang hampir terlepas. Dia menatap lembut dengan wajah yang membiaskan rasa khawatir. Duke Thalennant seketika merasa iba dan kembali menjadi budak cinta Lady Cherrie."Lady Cherrie? Kenapa Anda kembali ke sini? Anda sendirian? Ini berbahaya. Anda harus kembali ke Istana Safir," cecar Duke Thalennant.Lady Cherrie mendadak memasang wajah muram. Sorot matanya perlahan menjadi sendu. Duke Thalennant bisa melihat tangan gadis tampak gemetaran. Rasa ingin melindunginya semakin terbangkitkan."Ada apa, Lady? Ada seseorang yang menganggumu?"Lady Cherrie menggele