Perlahan, tubuh Louvi mulai terhisap. Dia berusaha meraih akar pohon di tepian rawa. Namun, lumpur hisap semakin kuat menariknya ke bawah. Kini, si pendeta muda sudah terbenam sampai pinggang. Sementara itu, Lady Neenash bergegas menuju rawa. Dia membongkar isi kantung serba guna. Wajahnya semringah setelah memperoleh apa yang dicari, tali khusus buatan Lady Hazel. "Tuan Pendeta, bertahanlah!" serunya seraya melemparkan tali ke arah Louvi. Tali khusus tersebut dengan cepat mengikat tubuh Louvi. Lady Neenash mengikatkan ujung tali yang ada di tangannya ke bebatuan kokoh. Setelah menekan tombol, tali menggulung sendiri, sehingga menarik Louvi dari lumpur hisap. "Terima kasih, Lady. Saya pikir saya akan mati muda," ungkap Louvi setelah berhasil keluar dari lumpur hisap. "Sebaiknya, kita cari tempat beristirahat dulu, Tuan Pendeta."Louvi mengangguk. "Iya, sekalian saya ingin membersihkan diri. Bau lumpur ini membuat saya mual."Mereka pun mencari tempat istirahat. Sungai yang tenang
"Neenash!" seru Pangeran Sallac panik.Dia mencoba membakar sulur yang menjerat tubuhnya. Namun, seperti sebelumnya, dia malah semakin tercekik. Louvi berusaha menenangkan, tetapi tak didengar sama sekali. Pangeran Sallac sangat frustrasi. Dia hampir saja nekat mempertaruhkan nyawanya. Beruntung, Lady Neenash membentuk perisai es tepat waktu. Belati es yang berbalik menyerangnya terpental, lalu raib. "Lihatlah, Lady Neenash bisa mengatasinya, Pangeran. Kita percayakan kepada Lady Neenash. Beliau adalah saintess dan juga berhasil melewati ujian-ujian sebelumnya," bisik Louvi dengan suara yang sangat pelan.Jika bersuara keras, sulur tanaman air akan bereaksi. Meskipun di awal sempat kaget dan panik, Louvi berhasil mempelajari cara kerja sulur tersebut. Mereka hanya perlu bersikap tenang hingga Lady Neenash berhasil menyelesaikan ujian.Kata-kata penjaga artefak bahwa mereka akan mati jika Lady Neenash terlambat menghancurkan lapisan perlindungan juga hanya ancaman kosong. Si penjaga
Semua yang ada di ruangan menatap lekat Lady Hazel. Dari sorot mata mereka jelas sudah tak sabar hendak mendengar tempat yang dimaksud. Namun, Lady Hazel malah tampak asyik dengan pikiran sendiri. "Jadi, di mana lokasinya, Hazel?" cecar Grand Duke Erbish yang tak kuat menahan rasa penasaran."Ah, maaf! Aku terlalu senang malah jadi lupa mengatakan tempatnya," tukas Lady Hazel. "Jika dugaanku benar, maka lokasi selanjutnya adalah Samudra Orkeana. Air dalam botol ini berasal dari sana," jelasnya.Namun, dia tiba-tiba terdiam. Ada keresahan terpancar dari sorot matanya. Lady Neenash yang pertama kali menyadarinya menepuk pelan bahu Lady Hazel, membuat gadis itu tergagap."Ya, Lady?""Ada apa denganmu, Lady Hazel? Kau tampak khawatir."Lady Hazel terdiam sejenak sebelum mulai berbicara, "Samudra Orkeana sangat penuh misteri. Sudah tak terhitung kapal para pedagang ataupun penjelajah lautan yang hilang di sana."Lady Neenash terkekeh. "Selama ini, setiap tempat penyimpanan artefak yang ka
Wajah Lady Neenash terbenam semakin dalam di dada siren penjaga. Namun, tepat sebelum kuku siren melukai lehernya, dia mendorong wanita itu. Tak ayal, siren penjaga terjungkal. Lady Neenash memasang kuda-kuda. Matanya menatap awas, menunggu langkah siren penjaga selanjutnya. Dia juga mencoba memastikan tak ada serangan dari arah yang lain. "Selamat, kau berhasil melalui ujian tahap pertama!" seru siren penjaga dengan senyuman aneh di sudut bibirnya.Lady Neenash termenung sejenak. Dia mencoba mencerna apa yang sedang terjadi. Sebelumnya, gadis itu merasa melihat sang ibu. Namun, dia tersadar ada yang berbeda saat mencium aroma tak biasa. Ibunya memiliki aroma seperti hutan yang menyegarkan. Sementara dari wanita yang dipeluknya tercium aroma asinnya laut. Oleh karena itu, Lady Neenash segera menyadari ada yang tak beres."Tunggu dulu! Apakah Anda penjaga artefak? Saya sudah lolos ujian?" cecar Lady Neenash ketika sudah mulai berhasil memahami keadaan. Terlebih, dia melihat Pangera
Grand Duke Erbish dan Pangeran Sallac menatap lekat. Sorot mata keduanya terasa menodong. Lady Neenash menghela napas. Kondisi tersebut sangat familiar seperti saat ayah dan kakaknya masih hidup. Louvi dan Lady Hazel tak banyak membantu. Si pendeta muda tampak berpura-pura sibuk sendiri. Sementara Lady Hazel malah menikmati kondisi itu seolah-olah tengah menonton pertunjukan yang menarik."Katakan, Neenash! Rencana apa yang kaumaksud?" cecar Pangeran Sallac."Ya, ya, cepat katakan! Aku tidak mau sampai kau merencanakan ide gila dan berbahaya!" timpal Grand Duke Erbish dengan napas mendengkus-dengkus.Lady Neenash menghela napas berat untuk yang ketiga kalinya, lalu mulai berbicara dengan hati-hati, "Dengan menyamar menjadi pekerja di kuil suci, aku akan lebih bebas bergerak di sana."Brak!Grand Duke Erbish menggebrak meja. Lady Hazel terlonjak dan refleks memeluk Lady Neenash. Tak ayal, Pangeran Sallac menjadi cemburu dan melepaskan pelukan itu dengan kasar. Mereka pun bertengkar.
"Kamu ... cukup tampan jika tidak botak," komentar kepala kuil dengan masih menatap wajah Louvi. "Dua yang perempuan ini juga cantik-cantik. Kita sangat beruntung," tambahnya lagi. Lady Neenash dan Lady Hazel diam-diam menghela napas lega. Tadinya, mereka pikir si kepala kuil berhasil mengenali Louvi. Namun, Louvi sendiri malah terlihat susah payah menahan emosi. Kepala kuil tiba-tiba menyeringai. "Pasti akan banyak bangsawan yang ingin meminta bantuan dari mereka nanti," gumamnya, lalu tersenyum. Lady Neenash bergidik tanpa sadar. Entah kenapa dia merasa senyuman kepala kuil mengandung makna tertentu. Terlebih, sorot mata Louvi jelas-jelas memancarkan kekecewaan mendalam. "Tunjukkan kamar mereka, lalu jelaskan tugas-tugas pendeta muda!" perintah kepala kuil membuyarkan lamunan Lady Neenash. "Baik, Bapak Kepala."Si pendeta senior mengangguk takzim. Dia mengajak para pendeta muda palsu itu keluar dari ruangan. Mereka menyusuri lorong panjang. Beberapa pendeta lain menyapa dan sal
Rasa hangat membuat Lady Neenash membuka mata. Dia terkesiap saat melihat sosok yang tengah duduk di singgasana. Kecantikan sosok tersebut tak bisa terlukiskan dengan kata-kata. Sorot mata lembutnya terasa membawa kedamaian.Lady Neenash seketika berlutut dan menunduk takzim. "Terimalah bakti hamba yang penuh dosa ini, Dewi," tuturnya penuh hormat.Tanpa dijelaskan pun, dia telah bisa menduga sosok di hadapannya adalah Dewi Asteriella. Keanggunan terpancar dari sosoknya. Rasa hangat juga terasa menjalari hati saat melihat senyuman sang dewi."Bangunlah, Anakku. Kemarilah," panggil Dewi Asteriella lembut.Lady Neenash bangkit dari posisi berlutut. Dia melangkah dengan penuh hormat menuju singgasana. Dewi Asteriella mengulurkan tangan yang bercahaya dan menyentuh lembut kening Lady Neenash.Rasa hangat menyelimutiku tubuh. Lady memejamkan mata dan menunduk dengan takzim. Dia baru mengangkat kepalanya setelah diminta oleh sang dewi.Dewi Asteriella menyentuh lembut wajah Lady Neenash. "A
Seminggu telah berlalu. Pernikahan Lady Neenash dan Pangeran Sallac pun digelar dengan megah. Aula kastil utara dihias dengan mawar merah nan menawan. Berbagai jenis permata tertata apik di dinding memberi kesan mewah dan anggun.Pangeran Sallac tampak semakin tampan dengan baju pengantin berwarna putih. Dia berdiri cemas di depan altar. Louvi susah payah menenangkannya. Akan tidak lucu jika mempelai pria mencekik pendeta."Kenapa lama sekali?" keluh Pangeran Sallac untuk yang kesepuluh kalinya."Sabarlah sebentar, Pangeran. Mempelai wanita perlu berdandan sehingga agak lama–""Neenash itu sudah cantik tanpa perlu berdandan!" sergah Pangeran Sallac. "Apa perlu aku yang–"Pintu aula yang dibuka menghentikan ucapan Pangeran Sallac. Lady Neenash memasuki aula sembari menggandeng lengan Grand Duke Erbish. Wajah gadis itu sempat terlihat sendu. Dia tentu sedih karena bukan sang ayah yang mengantarkan ke altar. Sementara itu, Pangeran Sallac terpaku. Pesona mempelai wanitanya telah mengamb