Setelah menerima telfon bang albi mengeluh semakin sakit dadanya bahkan untuk bernafas saja rasanya susah sekali.
“bang biar nantu selepas bang marwan ke sini fatimah akan minta antar abang ke rumah sakit lebih baik jangan menunda-nunda bang karena adek gakmau abang kenapa-napa” ucap fadia dengan wajah cemas melihat suaminya menahan sakit tersebut. Belum selesai Fatimah bercakap-cakap dengan suaminya datanglah segerombol orang yang tampa permisi langsung nyelonong masuk itu yang sialnya mereka keluarga dari sang suami. “astaga albi kenapa sudah siang kamu masih tiduran saja, pantesan saja hidupmu masih segini-gini ajah” ucap sang ibu yang begitu menyakiti hati anaknya serta menantunya. “astafirullah bu…! Bang albi bukannya malas-malasan tapi bang albi sakit bu sudah hampir seminggu berbaring saja di Kasur” jelas Fatimah kepada ibu mertuanya itu. “alah dek fa aku sakit saja masih bisa kerja di tahan pasti bisa kok lah ini albi manja banget” ucapan nyeletuk kakak pertama bang albi sungguh memojokkan dan membuat ku seketika tak terima. “sakit yang bagaimana bang? Abang juga kerjanya bagaimana ? sama apa gak dengan suamiku” tanya fatimah dengan penuh emosi karena memang keluarga suaminya ini takda henti-hentinya mengusik keluarga mereka meski sudah berjauhan. “sudah-sudah fa duduk saja, bua da apa kesini dan kok rombongan juga?” tanya albi dengan suara yang pelan karena kesehatannya sedang terganggu. “langsung saja ya bi ibu kesini mau nagih uang rewang untuk hajatan kakakmu ini mumpung sudah ada jodoh” tampa babibu bu zainab langsung saja menangih uang hajatan kepada anaknya tak perduli anaknya sedang sakit. “astafirullah, ya allah sabarkanlah hati hamba menghadapi mertua dan ipar yang selalu merecoki hidup anaknya” batin Fatimah sambil mengusap dadanya karena ulah sang mertua. “kenapa kamu fa sakit dadamu? Atau jangan-jangan kamu dah yang sakit?” tanya kakak iparnya yang Bernama juleha itu yang nanti akan menikah. “jangan sampai nanti uang anakku habis untuk mengobati penyakitmu” ucap pedas bu Zainab kepada Fatimah namun Fatimah tak menjawabnya karena percuma menjawab mereka yang ada hanya tak aka nada ujungnya. “sudah-sudah, alhamdulillah kalau kak juleha sudah ada tambatan hati, nanti albi akan kasih bantuan rewang mungkin gak banyak biar Fatimah yang kasihkan ke ibu, memang kak juleha nikahnya kapan?” tanya albi kepada juleha itu. “lah kok sumbangan sih bi kan aku saudaramu masak ngasih sumbangan gimana sih kamu” protes juleha kepada adeknya itu. “lantas kak juleha mau minta berapa ke aku?” tanya albi lagi karena percuma juga melawan yang ada akan tambah Panjang. “minimal seratus juta kek masak ke saudara begitu” bukan juleha yang mengomel tapi bu Zainab dengan tidak tau malunya meminta begitu banyak kepada anaknya yang lagi sakit. “astafirullah buk, albi mana ada uang segitu buat makan sehari-hari albi mengirit buk kalau Cuma sejuta dua juta albi ada buk” ucap albi sambil mengusap-ngusap dadanya. “apaan bi Cuma sejuta duajuta kalah dengan abang-abanmu ini dong masak iya kerja sudah sekian lama gakda Tabungan, buat apa saja sih uangnya kok habis, atau gak lumayan nih rumah kan cukup besar kenapa gak gadaikan saja ke bank” ucap enteng bu Zainab sambil melihat-lihat isi rumah anaknya yag rapi dan tertata itu. “jangan bang!! Fatimah gakmau nanti abang menanggung hutang yang banyak kalau abang menggadaikan rumah ini!!” jerit Fatimah kemudian setelah sekian lama diam. “tidak dek sampai kapanpun abang tidak akan menggadaikan rumah kita apalagi ini hart akita satu-satunya” ucap mantap albi karena sungguh kecewa dengan ibunya yang sudah lancang menyuruh anaknya untuk berhutang. “eh eh eh kamu ya Fatimah, gakda hak di rumah ini karena rumah ini adalah milik anak ibuk dan otomatis milik ibuk juga, tau diri dong” ucap bu Zainab dengan culasnya kepada Fatimah itu. “maaf bu gakda ceritanya harta yang dimiliki bang albi dengan hasil keringatnya sendiri menjadi harta ibuk, kecuali tanah beserta rumahnya bang albi di kasih ibu lain lagi ceritanya” bantah Fatimah kepada sang mertua. “mulai melawan kau ya dasar mantu durhaka, albi begini ternyata istri yang kau pelihara kelakuan tak ubahnya penguasa” sinis bu Zainab kepada Fatimah. “apa yang di bicarakan Fatimah itu benar bu, albi gak akan menggadaikan rumah ini karena rumah dan tanahnya atas nama Fatimah bukan albi bu” ucapan albi membuat sang ibu dan saudara-saudaranya memekik kaget. “apa!!! Sudah gila kau ya albi kenapa hartamu kau namakan pada Fatimah sedangkan disini ada ibuk yang jelas -jelas masih hidup” ucap kakak tertuanya itu. “gila!! Sungguh gila, heh kau Fatimah apakan saudaraku sampai rumah ini di atas namakan kamu” berang juleha karena impiannya menikah dengan mewah pasti akan kandas. “albi ibuk kecewa sama kamu kenapa kamu membuat Keputusan se bodoh ini padahal ibuk yang membesarkanmu dan ibu rawat kamu dengan kasih sayang” ucapan bu Zainab seakan dia yang paling terdzolimi. “sudah keputusan albi bu jadi maaf albi akan tetap menyumbang seiklas dan sepunya albi nantinya kalau sudah nyampek ke acara. “ucap albi lagi melihat ibunya dan saudara-saudara yang bermuka masam. “yasudah buk kita tinggalkan albi saja sia-sia kita kesini minta tolong kedia karena pada dasarnya albi yang memang susah di atur dan tak ingat orang tua” ucapan nyelekit dadang membuat albi murka. “jangan lupa bang uang sepuluh juta yang abang pinjam ke aku silahkan di kembalikan, atau gak biar di sumbangkan kepada ibuk saja” tampa terasa apa yang ditahan-tahan albi akhirnya meluncur juga dari mulutnya dan membuat Fatimah semula yang diam saja jadi melihat kea rah suaminya dan bertanya-tanya dalam benaknya ada apa sebenarnya ini. “hutang tak seberapa pun ditagih dasar pelit” ucap dadang yang memang dari awal taka da niatan untuk mengganti dan hanya akan mengambil keuntungan dari apa yang di punya albi. “baik bang jangan lupakan kalau aku punya perjanjian hitam di atas putih dengan abang silahkan gakdibayar, masih ingat kan dengan perjanjian itu?” tanya albi lagi dengan sorot mata yang tajam syarat akan permusuhan. “ada apa ini, ngapain kamu minjam uangnya albi pakai perjanjian segala” oceh kakak pertamanya yang sifat dia sebelas dua belas dengan dadang yang juga gila uang. Mereka sekeluarga meninggalkan rumah albi tampa permisi. “bagaimana dek sudah liat kan perangai ibu dan saudara abang kalau masalah uang, ini yang abang takutkan dek kalau sampai abang sudah tiada” ucap lemah albi kepada Fatimah namun takda jawabannya darinya.Fatimah sekarang faham kenapa seluruh asset dari suaminya itu di atasnamakan dia bukan albi sendiri karena di balik itu ada saudara yang sangat culas serta gila harta yang kapan saja akan mengambilnya. “dek kenapa diam hem? Abang salah ya dek?” ucapan albi membuat Fatimah tersadar dari lamunannya. “eh anu bang maaf ya Fatimah tidak denegrin ucapan abang” ucap Fatimah sambil memilin ujung bajunya pertanda dia lagi memikirkan sesuatu. “sudah dek jangan banyak fikiran, yang terpenting asset-aset abang sudah atas nama adek karena abang takut dek kalau sampai masih atas nama abang yang ada ibu dan saudara kandung abang mengambil paksa darimu” ucap sendu albi terhadap kekasih halalnya itu. “abang Fatimah tidak suka kalau omongannya seperti itu, hidup mati seseorang hanya Allah yang tau jadi jangan selalu ngomongin kematian karena adek gak suka” ketus Fatimah kepada albi pertanda kemarahannya kepada sang suami. “bukan begitu maksud abang dek,abang hanya….” Belum selesai albi berkata sud
Albi bukan menjawab tapi membalasnya dengan senyuman dan gelengan dengan bersamaan pertanda dia tidak mau lebih memilih menahan sakitnya. “abang tak kasian dengan aku dan anak-anak, lantas siapa yang akan menjaga kami bang” ucap sedih Fatimah terhadap sang suami. “nyakin dek semisal abang sudah tak ada masih banyak yang akan sayang adek dengan anak-anak” ucapan albi seakan-akan pertada bahwa umurnya sudah tak lama lagi. “berapa kali adek bilang jangan sekali-kali abang ngomong seperti itu, kasian anak-anak yang masih ingin Bersama abahnya” ucap sendu Fatimah melihat sang suami terbarik tak berdaya. “lebih baik aku telfon kakakmu ini agar anak-anak di bawah pulang, sekalian abang akan simpan kotak ini di dalam mobil ya dek” ucap Marwan segera menepi dari Fatimah dan albi dan segera menelfon adeknya. Tut tut tut tut “iya hallo bang, ada apa?” jawab seseorang di Seberang sana. “cepat dek kerumah Fatimah lekas bawa anak-anaknya fatimah pulang” KLIK ucapan terakhir Marwan menga
“Jangan mentang-mentang kamu istrinya albi lantas tak mau melimpahkan semua tanggung jawab albi kepadaku!!!” dengan suara nyaring Bambang membuat batas kesabaran fataimah tidak terkendali. “tanggung jawab yang mana hah!! Tanggung jawab apa yang abang bicara, Dimana abang dan keluarga bang albi saat beliau sakit hah!! Oh iya aku lupa kalian kan datang tadi pagi bukan sih bukan untuk menjenguk dan mengurusi bang albi, tetapi kalian semua datang untuk menagih uang rewang sebesar serratus juta apaitu yang di katakan tanggung jawab iya ha!!” Fatimah sangat marah terhadap kakak iparnya itu dan melampiaskan semuanya kepada Bambang biarlah semua tau. Bisik bisik petakziah sudah terdengar rata-rata mereka semua mencemooh sikap Bambang yang meminta uang begitu banyaknya padahal biaya pemakaman di kampung itu gratis. “gila bener ya keluarga albi dari dulu takda berubah-berubahnya, sama aja” bisik bisik itu terdengar di telinga Bambang membuatnya marah dan meradang. “jangan kurang ajar kau ya
“tunggu dulu dek jangan pas langsung ngegas, mending kamu panggil Fatimah ke sini dulu biar bak yang awasi mereka” usul laras agar tidak semkain banyak orang yang tau. “benar juga usulan kakak biar aku kedepan dulu” ucap asna kemudian pergi kedepan. “bisa untung banyak kitab u sembako gak usah beli, malah kotakan uang di depan pasti jadi milik kita secara albi kan keluarga kita” ucap enteng juleha yang tidak tau malu mengakui semua yang bukan haknya. Disamping mereka mengangkut semua sembako itu mereka tidak sadar bahwa sang empunya rumah sudah memperhatikan tingkah gila ibu dan anak itu. “letakkan semua sembako itu, kalau tidak akan aku buat malu kalian berdua!!!” ucapan menggelegar seseorang membuat juleha yang mau mengambil sekarung beras itu jadi terhenti. DEG “waduh seperti suara Fatimah bu” ucap lirih juleha kepada sang ibu membuat mereka berdua memberhentikan aktifitasnya. “apa hak mu melarang aku membawa sembako-sembako ini?” ucap bu Zainab setelah berbalik kebelakang.
Setelah semua sudah siap berangkat kepemakaman Fatimah masih memastikan anak-anaknya tidur dengan tenang dan mengunci semua tempat termasuk kamarnya khawatir kejadian tadi terulang Kembali. “dek ayok kita berangkat sekarang, karena suamimu harus secepatnya di kebumikan” ajakan halus asna kepada adeknya itu membuat Fatimah hanya mengangguk pertanda dia hanya ingin diam saja. Hembusan nafas asna pertanda dia juga sangat Lelah namun melihat sang adek yang sedang kesusahan membuat dia menguatkan dirinya sendiri dan tidak mementingkan dirinya. Iring iringan keranda jenazah melaju dengan pelan membuat Fatimah yang mengikutinya dari belakang hanya bisa bersedih karena di tinggalkan sang suami dengan tiga anaknya yang masih belia. “mari kita doakan semoga pa kalbi bisa di terima di sisinya dan keluarga yang di tinggalkan di lapangkan hatinya” ucap pak ustad yang sudah selesai menguburkan albi di dalam peristirahatannya. Setelah di lakukan doa Bersama yang di pimpin oleh pak ustad semua ya
“kalian semua biadab!!!” teriakan Fatimah membuat semua orang yang ada di ruangan tersebut menjadi terkejut dan ketar ketir berlaku untuk keluarga bu Zainab. “ummi maafkan kami huhuhuhu telah mengambil sebutir telur tante juleha” ucap si sulung sambil memeluk uminya saking takut di marahi oleh om dan tantenya. “bahkan kalian mengakui hasil pemberian orang-orang untuk almarhum bang albi, Dimana hati kalian semua hah!!” amuk Fatimah sambil memeluk semua anak-anaknya. “lah albi sudah mati jadi semua sembako itu hak yang hidup lantas Dimana salah kami?” jawab juleha dengan tak tau dirinya. “salahnya kalian tak tau diri” bukan Fatimah yang menjawab akan tetapi asna yang menjawab karena ikut marah keponakannya di siksa oleh keluarga bu Zainab. “jangan ikut campur heh orang luar saja ikut ikuta” bahkan sudah dikatai tak tau diri juleha masih saja mengannggap dirinya benar. “mending kalian semua sekeluarga keluar dari rumahku” usir Fatimah karena sudah merasa Lelah dengan apa yang selal
Mengapa keluarga almarhum suamiku selalu yang di perebutkan adalah uang dan uang ya allah apa tidak ada rasa empati yang mereka berikan kepadaku, selalu yang mereka fikirkan adalah uang dan uang, benar kata bang albi bahwa jangan sekali-kali merasa kasian dengan keluarganya. Semoga apa yang akan aku putuskan nanti bisa berjalan dengan semestinya semua ini demi anak-anakku dan juga masa depan mereka juga. “astaga terbuat dari apa pula hati mereka ini tak tau diri banget jadi manusia” asna berucap lumayan kencang agar rombongan bu Zainab bisa mendengar, namun bukannya mereka menyadari tetapi tetap saja melewati para tamu tersebut. “sudah-sudah dek biarlah mereka mau bagaimana, jangan buat situasi di rumah dek Fatimah semakin panas” ucap lastri sambil mengelus-ngelus punggung asna. Melihat situasi yang sepertinya kian memanas Fatimah hanya bisa menghembuskan nafasnya saja “hufttt, silahkan bapak-bapak dan ibuk-ibuk juga di minum sama di cicipi yang kami suguhkan maaf ya hanya itu
“ masak kamu tidak paham apa yang saya bicarakan sih as, mereka itu sekeluarga tidak ada yang benar, kecuali si albi menurutku” dengan lancar bu sulis membuka semua aib tetangganya itu. “astaga bu sulis….!!! Terkejut asna karena sebegitu buruknya bu zainab di mata para tetangganya itu. “kamu masih gak percaya juga ya as, biar kamu tau saja bu zainab itu hanya luarnya saja yang baik namun hatinya busuk, dia itu ibu yang kejam as mungkin berlaku hanya untuk almarhum saja” ucap bu sulis sambil matanya berkaca-kaca menceritakan pahitnya kehidupan albi dulu kesehariannya yang harus banting tulang demi menghidupi dirinya sendiri. “apakah bang albi dulu semasa hidupnya membiayai dirinya sendiri bu?” Tanya asna dengan hati-hati kepada tetangganya itu. “benar as bahkan dari dia menginjak bangku SMP harus merasakan pahitnya mencari uang” ucap bu sulis lagi tampa di tutup-tutupin. Sungguh hatiku mencelos mendengar penuturan bu sulis betapa menderitanya bang albi selama hidup “malang sekali
Semua orang yang ada di ruang tamu itu terdiam setelah melihat isi dari rekaman yang di berikan oleh asna kepada semua orang. “lantas bagaimana keputusanmu selanjutnya dek?” Tanya Marwan kepada Fatimah yang dari tadi hanya diam saja. “keputusan adek sudah bulat bang, semua harta benda yang di tinggalkan bang albi untukku dan anak-anak adek titipkan kea bang saja, aku sudah menduga hal seperti ini pasti akan terjadi” ucap Fatimah kemudian dengan sorot mata yang memancarkan kebencian tersebut. “kamu yakin dek dengan apa yang kamu ucapkan?” Tanya Marwan lagi dengan mimic wajah yang serius. “yakin sekali bang, bahkan adek sudah muak hidup disini rasa-rasanya adek akan jual saja rumah penuh kenangan ini dan pindah dimana gak aka nada ibu dan anak-anaknya” ucap Fatimah dengan sorot mata yang sudah mendung karena menyimpan banyaknya kesakitan selama ini. “sebenarnya abang kemaren sudah sempat mengutak atik handphone albi, maaf dek abang terpaksa melakukan itu karena penasaran dengan isi
Astafirullah terbuat dari apa hati mereka ini kenapa selalu memperlakukan aku buruk kenapa mereka selalu menilaiku salah di mata mereka, bahkan sampai saat ini bang albi sudah meninggal mereka tetap sama hatiku sakit teramat sakit, benar perkataan bang albi jangan selalu memberikan apa yang mereka mau buktinya perkara uang asuransi saja mereka sudah menunjukkan sifat tamak mereka ke orang lain semoga setelah ini takkan ada lagi drama-drama yang akan mereka mainkan. “gimana dek aman kah?” Tanya Marwan kepada asna. “aman bang, lagi pula buat apa semua berkas penting sama harta benda Fatimah abang minta?” Tanya asna sambil memicingkan matanya. Plukkk “kamu kira abang akan ambil harta benda ini, kurang kurangi nonton sinetron tak bermutu itu” ucap Marwan kepada sang adek. “habisnya abang aneh banget deh, nyuruh yang beginian” ucap asna sambil mnegelus-ngelus kepalanya. “kalau gak Fatimah yang nyuruh mana mungkin abang begini” ungkap Marwan lagi. “emangnya ada apa bang, sepertinya ad
“udah deh, dari tadi ibuk sama juleha tengkar saja gakda selesai-selesainya” lerai dadang yang dating setelah sang istri. “ini loh dang kakakmu dandanannya melebihi mau kekondangan saja, kan ibu malu dang” ucap bu zainab kepada sang anak. “biarin saja buk yang ada juleha sendiri yang akan malu nantinya bukan kita ini” uca[ santai dadang kepada sang ibu. “heh, dang kamu sama saja ya sama istrimu sama-sama tukang bully, pantas saja berjodoh” omel juleha karena tak terima dikatai malu-maluin. “alah sudah-sudah ayo berangkat saja yang ada kita telat lagi dapat nasi berkatnya” ucap bu zainab lagi. “astaga ya allah kenapa hamba di berikan mertua yang begini bentukannya sih” ucap sintia istri dari dadang. “dek ayok kita berangkat kok malah bengong sih” ajak dadang kemudian kepada sang istri. “ibumu sama juleha sama saja sama-sama bikin malu” ucap pelan sintia kepada dadang. “hus dek jangan ngomong begitu, nanti ibu dengar bias-bisa kita tak dapat bagiannya dua hari lagi
“ masak kamu tidak paham apa yang saya bicarakan sih as, mereka itu sekeluarga tidak ada yang benar, kecuali si albi menurutku” dengan lancar bu sulis membuka semua aib tetangganya itu. “astaga bu sulis….!!! Terkejut asna karena sebegitu buruknya bu zainab di mata para tetangganya itu. “kamu masih gak percaya juga ya as, biar kamu tau saja bu zainab itu hanya luarnya saja yang baik namun hatinya busuk, dia itu ibu yang kejam as mungkin berlaku hanya untuk almarhum saja” ucap bu sulis sambil matanya berkaca-kaca menceritakan pahitnya kehidupan albi dulu kesehariannya yang harus banting tulang demi menghidupi dirinya sendiri. “apakah bang albi dulu semasa hidupnya membiayai dirinya sendiri bu?” Tanya asna dengan hati-hati kepada tetangganya itu. “benar as bahkan dari dia menginjak bangku SMP harus merasakan pahitnya mencari uang” ucap bu sulis lagi tampa di tutup-tutupin. Sungguh hatiku mencelos mendengar penuturan bu sulis betapa menderitanya bang albi selama hidup “malang sekali
Mengapa keluarga almarhum suamiku selalu yang di perebutkan adalah uang dan uang ya allah apa tidak ada rasa empati yang mereka berikan kepadaku, selalu yang mereka fikirkan adalah uang dan uang, benar kata bang albi bahwa jangan sekali-kali merasa kasian dengan keluarganya. Semoga apa yang akan aku putuskan nanti bisa berjalan dengan semestinya semua ini demi anak-anakku dan juga masa depan mereka juga. “astaga terbuat dari apa pula hati mereka ini tak tau diri banget jadi manusia” asna berucap lumayan kencang agar rombongan bu Zainab bisa mendengar, namun bukannya mereka menyadari tetapi tetap saja melewati para tamu tersebut. “sudah-sudah dek biarlah mereka mau bagaimana, jangan buat situasi di rumah dek Fatimah semakin panas” ucap lastri sambil mengelus-ngelus punggung asna. Melihat situasi yang sepertinya kian memanas Fatimah hanya bisa menghembuskan nafasnya saja “hufttt, silahkan bapak-bapak dan ibuk-ibuk juga di minum sama di cicipi yang kami suguhkan maaf ya hanya itu
“kalian semua biadab!!!” teriakan Fatimah membuat semua orang yang ada di ruangan tersebut menjadi terkejut dan ketar ketir berlaku untuk keluarga bu Zainab. “ummi maafkan kami huhuhuhu telah mengambil sebutir telur tante juleha” ucap si sulung sambil memeluk uminya saking takut di marahi oleh om dan tantenya. “bahkan kalian mengakui hasil pemberian orang-orang untuk almarhum bang albi, Dimana hati kalian semua hah!!” amuk Fatimah sambil memeluk semua anak-anaknya. “lah albi sudah mati jadi semua sembako itu hak yang hidup lantas Dimana salah kami?” jawab juleha dengan tak tau dirinya. “salahnya kalian tak tau diri” bukan Fatimah yang menjawab akan tetapi asna yang menjawab karena ikut marah keponakannya di siksa oleh keluarga bu Zainab. “jangan ikut campur heh orang luar saja ikut ikuta” bahkan sudah dikatai tak tau diri juleha masih saja mengannggap dirinya benar. “mending kalian semua sekeluarga keluar dari rumahku” usir Fatimah karena sudah merasa Lelah dengan apa yang selal
Setelah semua sudah siap berangkat kepemakaman Fatimah masih memastikan anak-anaknya tidur dengan tenang dan mengunci semua tempat termasuk kamarnya khawatir kejadian tadi terulang Kembali. “dek ayok kita berangkat sekarang, karena suamimu harus secepatnya di kebumikan” ajakan halus asna kepada adeknya itu membuat Fatimah hanya mengangguk pertanda dia hanya ingin diam saja. Hembusan nafas asna pertanda dia juga sangat Lelah namun melihat sang adek yang sedang kesusahan membuat dia menguatkan dirinya sendiri dan tidak mementingkan dirinya. Iring iringan keranda jenazah melaju dengan pelan membuat Fatimah yang mengikutinya dari belakang hanya bisa bersedih karena di tinggalkan sang suami dengan tiga anaknya yang masih belia. “mari kita doakan semoga pa kalbi bisa di terima di sisinya dan keluarga yang di tinggalkan di lapangkan hatinya” ucap pak ustad yang sudah selesai menguburkan albi di dalam peristirahatannya. Setelah di lakukan doa Bersama yang di pimpin oleh pak ustad semua ya
“tunggu dulu dek jangan pas langsung ngegas, mending kamu panggil Fatimah ke sini dulu biar bak yang awasi mereka” usul laras agar tidak semkain banyak orang yang tau. “benar juga usulan kakak biar aku kedepan dulu” ucap asna kemudian pergi kedepan. “bisa untung banyak kitab u sembako gak usah beli, malah kotakan uang di depan pasti jadi milik kita secara albi kan keluarga kita” ucap enteng juleha yang tidak tau malu mengakui semua yang bukan haknya. Disamping mereka mengangkut semua sembako itu mereka tidak sadar bahwa sang empunya rumah sudah memperhatikan tingkah gila ibu dan anak itu. “letakkan semua sembako itu, kalau tidak akan aku buat malu kalian berdua!!!” ucapan menggelegar seseorang membuat juleha yang mau mengambil sekarung beras itu jadi terhenti. DEG “waduh seperti suara Fatimah bu” ucap lirih juleha kepada sang ibu membuat mereka berdua memberhentikan aktifitasnya. “apa hak mu melarang aku membawa sembako-sembako ini?” ucap bu Zainab setelah berbalik kebelakang.
“Jangan mentang-mentang kamu istrinya albi lantas tak mau melimpahkan semua tanggung jawab albi kepadaku!!!” dengan suara nyaring Bambang membuat batas kesabaran fataimah tidak terkendali. “tanggung jawab yang mana hah!! Tanggung jawab apa yang abang bicara, Dimana abang dan keluarga bang albi saat beliau sakit hah!! Oh iya aku lupa kalian kan datang tadi pagi bukan sih bukan untuk menjenguk dan mengurusi bang albi, tetapi kalian semua datang untuk menagih uang rewang sebesar serratus juta apaitu yang di katakan tanggung jawab iya ha!!” Fatimah sangat marah terhadap kakak iparnya itu dan melampiaskan semuanya kepada Bambang biarlah semua tau. Bisik bisik petakziah sudah terdengar rata-rata mereka semua mencemooh sikap Bambang yang meminta uang begitu banyaknya padahal biaya pemakaman di kampung itu gratis. “gila bener ya keluarga albi dari dulu takda berubah-berubahnya, sama aja” bisik bisik itu terdengar di telinga Bambang membuatnya marah dan meradang. “jangan kurang ajar kau ya