Share

BAB 2

Setelah menerima telfon bang albi mengeluh semakin sakit dadanya bahkan untuk bernafas saja rasanya susah sekali.

“bang biar nantu selepas bang marwan ke sini fatimah akan minta antar abang ke rumah sakit lebih baik jangan menunda-nunda bang karena adek gakmau abang kenapa-napa” ucap fadia dengan wajah cemas melihat suaminya menahan sakit tersebut.

Belum selesai Fatimah bercakap-cakap dengan suaminya datanglah segerombol orang yang tampa permisi langsung nyelonong masuk itu yang sialnya mereka keluarga dari sang suami.

“astaga albi kenapa sudah siang kamu masih tiduran saja, pantesan saja hidupmu masih segini-gini ajah” ucap sang ibu yang begitu menyakiti hati anaknya serta menantunya.

“astafirullah bu…! Bang albi bukannya malas-malasan tapi bang albi sakit bu sudah hampir seminggu berbaring saja di Kasur” jelas Fatimah kepada ibu mertuanya itu.

“alah dek fa aku sakit saja masih bisa kerja di tahan pasti bisa kok lah ini albi manja banget” ucapan nyeletuk kakak pertama bang albi sungguh memojokkan dan membuat ku seketika tak terima.

“sakit yang bagaimana bang? Abang juga kerjanya bagaimana ? sama apa gak dengan suamiku” tanya fatimah dengan penuh emosi karena memang keluarga suaminya ini takda henti-hentinya mengusik keluarga mereka meski sudah berjauhan.

“sudah-sudah fa duduk saja, bua da apa kesini dan kok rombongan juga?” tanya albi dengan suara yang pelan karena kesehatannya sedang terganggu.

“langsung saja ya bi ibu kesini mau nagih uang rewang untuk hajatan kakakmu ini mumpung sudah ada jodoh” tampa babibu bu zainab langsung saja menangih uang hajatan kepada anaknya tak perduli anaknya sedang sakit.

“astafirullah, ya allah sabarkanlah hati hamba menghadapi mertua dan ipar yang selalu merecoki hidup anaknya” batin Fatimah sambil mengusap dadanya karena ulah sang mertua.

“kenapa kamu fa sakit dadamu? Atau jangan-jangan kamu dah yang sakit?” tanya kakak iparnya yang Bernama juleha itu yang nanti akan menikah.

“jangan sampai nanti uang anakku habis untuk mengobati penyakitmu” ucap pedas bu Zainab kepada Fatimah namun Fatimah tak menjawabnya karena percuma menjawab mereka yang ada hanya tak aka nada ujungnya.

“sudah-sudah, alhamdulillah kalau kak juleha sudah ada tambatan hati, nanti albi akan kasih bantuan rewang mungkin gak banyak biar Fatimah yang kasihkan ke ibu, memang kak juleha nikahnya kapan?” tanya albi kepada juleha itu.

“lah kok sumbangan sih bi kan aku saudaramu masak ngasih sumbangan gimana sih kamu” protes juleha kepada adeknya itu.

“lantas kak juleha mau minta berapa ke aku?” tanya albi lagi karena percuma juga melawan yang ada akan tambah Panjang.

“minimal seratus juta kek masak ke saudara begitu” bukan juleha yang mengomel tapi bu Zainab dengan tidak tau malunya meminta begitu banyak kepada anaknya yang lagi sakit.

“astafirullah buk, albi mana ada uang segitu buat makan sehari-hari albi mengirit buk kalau Cuma sejuta dua juta albi ada buk” ucap albi sambil mengusap-ngusap dadanya.

“apaan bi Cuma sejuta duajuta kalah dengan abang-abanmu ini dong masak iya kerja sudah sekian lama gakda Tabungan, buat apa saja sih uangnya kok habis, atau gak lumayan nih rumah kan cukup besar kenapa gak gadaikan saja ke bank” ucap enteng bu Zainab sambil melihat-lihat isi rumah anaknya yag rapi dan tertata itu.

“jangan bang!! Fatimah gakmau nanti abang menanggung hutang yang banyak kalau abang menggadaikan rumah ini!!” jerit Fatimah kemudian setelah sekian lama diam.

“tidak dek sampai kapanpun abang tidak akan menggadaikan rumah kita apalagi ini hart akita satu-satunya” ucap mantap albi karena sungguh kecewa dengan ibunya yang sudah lancang menyuruh anaknya untuk berhutang.

“eh eh eh kamu ya Fatimah, gakda hak di rumah ini karena rumah ini adalah milik anak ibuk dan otomatis milik ibuk juga, tau diri dong” ucap bu Zainab dengan culasnya kepada Fatimah itu.

“maaf bu gakda ceritanya harta yang dimiliki bang albi dengan hasil keringatnya sendiri menjadi harta ibuk, kecuali tanah beserta rumahnya bang albi di kasih ibu lain lagi ceritanya” bantah Fatimah kepada sang mertua.

“mulai melawan kau ya dasar mantu durhaka, albi begini ternyata istri yang kau pelihara kelakuan tak ubahnya penguasa” sinis bu Zainab kepada Fatimah.

“apa yang di bicarakan Fatimah itu benar bu, albi gak akan menggadaikan rumah ini karena rumah dan tanahnya atas nama Fatimah bukan albi bu” ucapan albi membuat sang ibu dan saudara-saudaranya memekik kaget.

“apa!!! Sudah gila kau ya albi kenapa hartamu kau namakan pada Fatimah sedangkan disini ada ibuk yang jelas -jelas masih hidup” ucap kakak tertuanya itu.

“gila!! Sungguh gila, heh kau Fatimah apakan saudaraku sampai rumah ini di atas namakan kamu” berang juleha karena impiannya menikah dengan mewah pasti akan kandas.

“albi ibuk kecewa sama kamu kenapa kamu membuat Keputusan se bodoh ini padahal ibuk yang membesarkanmu dan ibu rawat kamu dengan kasih sayang” ucapan bu Zainab seakan dia yang paling terdzolimi.

“sudah keputusan albi bu jadi maaf albi akan tetap menyumbang seiklas dan sepunya albi nantinya kalau sudah nyampek ke acara.

“ucap albi lagi melihat ibunya dan saudara-saudara yang bermuka masam.

“yasudah buk kita tinggalkan albi saja sia-sia kita kesini minta tolong kedia karena pada dasarnya albi yang memang susah di atur dan tak ingat orang tua” ucapan nyelekit dadang membuat albi murka.

“jangan lupa bang uang sepuluh juta yang abang pinjam ke aku silahkan di kembalikan, atau gak biar di sumbangkan kepada ibuk saja” tampa terasa apa yang ditahan-tahan albi akhirnya meluncur juga dari mulutnya dan membuat Fatimah semula yang diam saja jadi melihat kea rah suaminya dan bertanya-tanya dalam benaknya ada apa sebenarnya ini.

“hutang tak seberapa pun ditagih dasar pelit” ucap dadang yang memang dari awal taka da niatan untuk mengganti dan hanya akan mengambil keuntungan dari apa yang di punya albi. “baik bang jangan lupakan kalau aku punya perjanjian hitam di atas putih dengan abang silahkan gakdibayar, masih ingat kan dengan perjanjian itu?” tanya albi lagi dengan sorot mata yang tajam syarat akan permusuhan.

“ada apa ini, ngapain kamu minjam uangnya albi pakai perjanjian segala” oceh kakak pertamanya yang sifat dia sebelas dua belas dengan dadang yang juga gila uang.

Mereka sekeluarga meninggalkan rumah albi tampa permisi.

“bagaimana dek sudah liat kan perangai ibu dan saudara abang kalau masalah uang, ini yang abang takutkan dek kalau sampai abang sudah tiada” ucap lemah albi kepada Fatimah namun takda jawabannya darinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status