“tunggu dulu dek jangan pas langsung ngegas, mending kamu panggil Fatimah ke sini dulu biar bak yang awasi mereka” usul laras agar tidak semkain banyak orang yang tau.
“benar juga usulan kakak biar aku kedepan dulu” ucap asna kemudian pergi kedepan. “bisa untung banyak kitab u sembako gak usah beli, malah kotakan uang di depan pasti jadi milik kita secara albi kan keluarga kita” ucap enteng juleha yang tidak tau malu mengakui semua yang bukan haknya. Disamping mereka mengangkut semua sembako itu mereka tidak sadar bahwa sang empunya rumah sudah memperhatikan tingkah gila ibu dan anak itu. “letakkan semua sembako itu, kalau tidak akan aku buat malu kalian berdua!!!” ucapan menggelegar seseorang membuat juleha yang mau mengambil sekarung beras itu jadi terhenti. DEG “waduh seperti suara Fatimah bu” ucap lirih juleha kepada sang ibu membuat mereka berdua memberhentikan aktifitasnya. “apa hak mu melarang aku membawa sembako-sembako ini?” ucap bu Zainab setelah berbalik kebelakang. “sungguh tak tau malu cihh” ucap laras sambil mendecih. “kurang ajar kau ya, orang luar jangan ikut ikutan deh” timpa juleha karena di katai oleh iparnya Fatimah itu. “nyatanya orang luar inilah yang tau aturan dan yang telah membiayai seluruh keuangan disini”ucap tenang Fatimah kepada juleha yang sudah memerah wajahnya. “sudah taruk semua ibuk-ibuk mari kita ambil semua sembako-sembako ini dan taruh di ruang samping biar gak ilang” ucap asna yang tiba-tiba datang membawa pasukan dan mengangkut semua sembako-sembako itu. “bu Zainab gak tau malu ya, masak sembako untuk kematian anaknya mau di ambil juga” bisik-bisik tetangga yang membantu memindahkan sembako-sembako itu. “eh eh eh eh mau dibawa kemana, haduh kembalikan itu hak saya karena saya yang melahirkan albi” ucap bu Zainab dengan tak tau malunya. “sudah tak ada hak ibu disini karena bang albi sudah meninggal ini hak kami istri dan anaknya” ucap Fatimah kemudian. “aku sumpahi kamu segera ikut albi biar rumah ini menjadi milik ibu” ucapan juleha membuat atensi darah Fatimah naik Kembali. Plak plak plak plak “aduh ibu sakit huhuhu” adu juleha yang sudah di tampar bolak balik oleh Fatimah. “kamu pantas mendapatkannya karena mulut kotormu itu membuat orang pasti akan menamparmu” ucap dingin Fatimah kepada juleha. “jangan kurang ajar kamu ya, bagaimanapun dia kakaknya albi dan otmatis dia juga kakakmu” ucap bu Zainab yang sudah marah kepada Fatimah. “dia hanya kakaknya bang albi bukan otomatis dia kakakku, karena sesentipun takda ikatan darahku di dia!!!” ucap lantang Fatimah sambil menunjuk-nunjuk juleha. Mereka menjadi tontonan ibuk-ibuk yang ada di sana membuat bu Zainab dan juleha menjadi merah padam menahan malu disana. “lebih baik kita pulang saja bu” ucap juleha kemudian pulang lewat pintu belakang meninggalkan ibunya disana. “dasar mantu kurang ajar kamuy a, aku sumpahi hidupmu akan jauh menderita dari kami” ucap bu Zainab kemudian berlalu pergi dari sana. “astafirullah hal adzim ya allah kuatkan hamba menghadapi keluarga dzolim itu” ucap Fatimah sambil mengusap-ngusap dadanya. “ayok dek kita kedepan biarlah mereka itu semua sudah aman sembako dan kotakan amal sudah aku amankan” ucap asna membuat Fatimah yang tidak tau apa-apa hanya menurut saja. “kasian ya neng Fatimah sudahlah suami meninggal nah ini punya mertua dan ipar-ipar pada sableng” rumpi ibu-ibu di belakang. “eh iya betul tak habis fikir padahal Fatimah dan albi itu baik tapi nyatanya bu Zainab saja yang sudah gak suka sama Fatimah dari dulu” timpal ibuk-ibuk lagi di dapur. Setelah di sucikan dan di sembahyangkan jenazah albi di hantarkan ke peristirahatan terakhirnya. “ayok dek kita antarkan albi ke peristirahatannya, kuatkanlah dirimu demi anak-anak dek” ucap asna yang setia menemani Fatimah di dalam kamarnya Bersama lastri tentunya. “benar yang di katakana oleh asna dek kalau bukan kamu siapa lagi yang akan menjadi penguat anak-anakmu” dengan tutur kata yang lembut lastri membelai kerudung sang adek dengan perasaan sedih dan iba.Setelah semua sudah siap berangkat kepemakaman Fatimah masih memastikan anak-anaknya tidur dengan tenang dan mengunci semua tempat termasuk kamarnya khawatir kejadian tadi terulang Kembali. “dek ayok kita berangkat sekarang, karena suamimu harus secepatnya di kebumikan” ajakan halus asna kepada adeknya itu membuat Fatimah hanya mengangguk pertanda dia hanya ingin diam saja. Hembusan nafas asna pertanda dia juga sangat Lelah namun melihat sang adek yang sedang kesusahan membuat dia menguatkan dirinya sendiri dan tidak mementingkan dirinya. Iring iringan keranda jenazah melaju dengan pelan membuat Fatimah yang mengikutinya dari belakang hanya bisa bersedih karena di tinggalkan sang suami dengan tiga anaknya yang masih belia. “mari kita doakan semoga pa kalbi bisa di terima di sisinya dan keluarga yang di tinggalkan di lapangkan hatinya” ucap pak ustad yang sudah selesai menguburkan albi di dalam peristirahatannya. Setelah di lakukan doa Bersama yang di pimpin oleh pak ustad semua ya
“kalian semua biadab!!!” teriakan Fatimah membuat semua orang yang ada di ruangan tersebut menjadi terkejut dan ketar ketir berlaku untuk keluarga bu Zainab. “ummi maafkan kami huhuhuhu telah mengambil sebutir telur tante juleha” ucap si sulung sambil memeluk uminya saking takut di marahi oleh om dan tantenya. “bahkan kalian mengakui hasil pemberian orang-orang untuk almarhum bang albi, Dimana hati kalian semua hah!!” amuk Fatimah sambil memeluk semua anak-anaknya. “lah albi sudah mati jadi semua sembako itu hak yang hidup lantas Dimana salah kami?” jawab juleha dengan tak tau dirinya. “salahnya kalian tak tau diri” bukan Fatimah yang menjawab akan tetapi asna yang menjawab karena ikut marah keponakannya di siksa oleh keluarga bu Zainab. “jangan ikut campur heh orang luar saja ikut ikuta” bahkan sudah dikatai tak tau diri juleha masih saja mengannggap dirinya benar. “mending kalian semua sekeluarga keluar dari rumahku” usir Fatimah karena sudah merasa Lelah dengan apa yang selal
Mengapa keluarga almarhum suamiku selalu yang di perebutkan adalah uang dan uang ya allah apa tidak ada rasa empati yang mereka berikan kepadaku, selalu yang mereka fikirkan adalah uang dan uang, benar kata bang albi bahwa jangan sekali-kali merasa kasian dengan keluarganya. Semoga apa yang akan aku putuskan nanti bisa berjalan dengan semestinya semua ini demi anak-anakku dan juga masa depan mereka juga. “astaga terbuat dari apa pula hati mereka ini tak tau diri banget jadi manusia” asna berucap lumayan kencang agar rombongan bu Zainab bisa mendengar, namun bukannya mereka menyadari tetapi tetap saja melewati para tamu tersebut. “sudah-sudah dek biarlah mereka mau bagaimana, jangan buat situasi di rumah dek Fatimah semakin panas” ucap lastri sambil mengelus-ngelus punggung asna. Melihat situasi yang sepertinya kian memanas Fatimah hanya bisa menghembuskan nafasnya saja “hufttt, silahkan bapak-bapak dan ibuk-ibuk juga di minum sama di cicipi yang kami suguhkan maaf ya hanya itu
“ masak kamu tidak paham apa yang saya bicarakan sih as, mereka itu sekeluarga tidak ada yang benar, kecuali si albi menurutku” dengan lancar bu sulis membuka semua aib tetangganya itu. “astaga bu sulis….!!! Terkejut asna karena sebegitu buruknya bu zainab di mata para tetangganya itu. “kamu masih gak percaya juga ya as, biar kamu tau saja bu zainab itu hanya luarnya saja yang baik namun hatinya busuk, dia itu ibu yang kejam as mungkin berlaku hanya untuk almarhum saja” ucap bu sulis sambil matanya berkaca-kaca menceritakan pahitnya kehidupan albi dulu kesehariannya yang harus banting tulang demi menghidupi dirinya sendiri. “apakah bang albi dulu semasa hidupnya membiayai dirinya sendiri bu?” Tanya asna dengan hati-hati kepada tetangganya itu. “benar as bahkan dari dia menginjak bangku SMP harus merasakan pahitnya mencari uang” ucap bu sulis lagi tampa di tutup-tutupin. Sungguh hatiku mencelos mendengar penuturan bu sulis betapa menderitanya bang albi selama hidup “malang sekali
“ya Allah tolong luaskan hati hamba, sabarkan hamba dalam menghadapi segala perkara yang ada dunia ini, sembuhkan penyakit suami hamba ya Allah janganlah engkau kasih penyakit yang begitu dasyatnya untuk suamiku, berkahilah segala jalan kami kedepannya amin Allah amin” munajat seorang istri yang memohon kesembuhan untuk suaminya itu Wanita itu tak berhenti dan bahkan terus melantunkan dzikir untuk suaminya yang sedang terbaring sakit tak berdaya di rumahnya yang sedang di temani oleh ketiga anak perempuannya juga. “fatimah…fatimah…” suara lirih seseorang memanggil istrinya, membuat sang empunya nama menolehkan kepalanya dan seketika berhenti berdzikir. “iya bang ada apa, apa abang butuh sesuatu” dengan suara pelan sang istri menghampiri suaminya. “tidak fa abang hanya ingin minum saja rasanya tenggorokan abang kering” pinta sang suami dengan suara lirih bahkan nyaris tak terdengar. “sebentar bang adek lepas mukenah dulu ya” ucap Fatimah buru-buru melepas mukenahnya itu dan men
Setelah menerima telfon bang albi mengeluh semakin sakit dadanya bahkan untuk bernafas saja rasanya susah sekali. “bang biar nantu selepas bang marwan ke sini fatimah akan minta antar abang ke rumah sakit lebih baik jangan menunda-nunda bang karena adek gakmau abang kenapa-napa” ucap fadia dengan wajah cemas melihat suaminya menahan sakit tersebut. Belum selesai Fatimah bercakap-cakap dengan suaminya datanglah segerombol orang yang tampa permisi langsung nyelonong masuk itu yang sialnya mereka keluarga dari sang suami. “astaga albi kenapa sudah siang kamu masih tiduran saja, pantesan saja hidupmu masih segini-gini ajah” ucap sang ibu yang begitu menyakiti hati anaknya serta menantunya. “astafirullah bu…! Bang albi bukannya malas-malasan tapi bang albi sakit bu sudah hampir seminggu berbaring saja di Kasur” jelas Fatimah kepada ibu mertuanya itu. “alah dek fa aku sakit saja masih bisa kerja di tahan pasti bisa kok lah ini albi manja banget” ucapan nyeletuk kakak pertama bang albi
Fatimah sekarang faham kenapa seluruh asset dari suaminya itu di atasnamakan dia bukan albi sendiri karena di balik itu ada saudara yang sangat culas serta gila harta yang kapan saja akan mengambilnya. “dek kenapa diam hem? Abang salah ya dek?” ucapan albi membuat Fatimah tersadar dari lamunannya. “eh anu bang maaf ya Fatimah tidak denegrin ucapan abang” ucap Fatimah sambil memilin ujung bajunya pertanda dia lagi memikirkan sesuatu. “sudah dek jangan banyak fikiran, yang terpenting asset-aset abang sudah atas nama adek karena abang takut dek kalau sampai masih atas nama abang yang ada ibu dan saudara kandung abang mengambil paksa darimu” ucap sendu albi terhadap kekasih halalnya itu. “abang Fatimah tidak suka kalau omongannya seperti itu, hidup mati seseorang hanya Allah yang tau jadi jangan selalu ngomongin kematian karena adek gak suka” ketus Fatimah kepada albi pertanda kemarahannya kepada sang suami. “bukan begitu maksud abang dek,abang hanya….” Belum selesai albi berkata sud
Albi bukan menjawab tapi membalasnya dengan senyuman dan gelengan dengan bersamaan pertanda dia tidak mau lebih memilih menahan sakitnya. “abang tak kasian dengan aku dan anak-anak, lantas siapa yang akan menjaga kami bang” ucap sedih Fatimah terhadap sang suami. “nyakin dek semisal abang sudah tak ada masih banyak yang akan sayang adek dengan anak-anak” ucapan albi seakan-akan pertada bahwa umurnya sudah tak lama lagi. “berapa kali adek bilang jangan sekali-kali abang ngomong seperti itu, kasian anak-anak yang masih ingin Bersama abahnya” ucap sendu Fatimah melihat sang suami terbarik tak berdaya. “lebih baik aku telfon kakakmu ini agar anak-anak di bawah pulang, sekalian abang akan simpan kotak ini di dalam mobil ya dek” ucap Marwan segera menepi dari Fatimah dan albi dan segera menelfon adeknya. Tut tut tut tut “iya hallo bang, ada apa?” jawab seseorang di Seberang sana. “cepat dek kerumah Fatimah lekas bawa anak-anaknya fatimah pulang” KLIK ucapan terakhir Marwan menga