Setelah semua sudah siap berangkat kepemakaman Fatimah masih memastikan anak-anaknya tidur dengan tenang dan mengunci semua tempat termasuk kamarnya khawatir kejadian tadi terulang Kembali.
“dek ayok kita berangkat sekarang, karena suamimu harus secepatnya di kebumikan” ajakan halus asna kepada adeknya itu membuat Fatimah hanya mengangguk pertanda dia hanya ingin diam saja. Hembusan nafas asna pertanda dia juga sangat Lelah namun melihat sang adek yang sedang kesusahan membuat dia menguatkan dirinya sendiri dan tidak mementingkan dirinya. Iring iringan keranda jenazah melaju dengan pelan membuat Fatimah yang mengikutinya dari belakang hanya bisa bersedih karena di tinggalkan sang suami dengan tiga anaknya yang masih belia. “mari kita doakan semoga pa kalbi bisa di terima di sisinya dan keluarga yang di tinggalkan di lapangkan hatinya” ucap pak ustad yang sudah selesai menguburkan albi di dalam peristirahatannya. Setelah di lakukan doa Bersama yang di pimpin oleh pak ustad semua yang mengikuti membubarkan dirinya masing-masing namun masih tinggal Fatimah dan saudara-saudaranya yang masih ada disini kecuali keluarga albi yang sudah pergi sejak tadi. “fa sudah ikhlaskan kepergian albi abang tau sulit untukmu membesarkan anak-anakmu sendirian, tapi percayalah ada abang sama bak asna yang akan menemanimu” ucap Marwan yang hanya di tanggapi diam seribu Bahasa oleh Fatimah. “fa bak sama abang mau pamit dulu ke rumahmu mau mengurusi keperluan yang ada disana” ucap asna sambil mengusap-ngusap bahu adeknya itu dan berdiri untuk bergegas ke rumah saudaranya karena merasa waswas akan kehadiran keluarga dari almarhum albi. “dek apa gakpapa kalau kita meninggalkan Fatimah disini sendirian” ucap laras sambil terus melihat kebelakang mengawasi Fatimah yang sudah mulai menangisi kepergian suaminya. “bak laras tenang saja Fatimah itu Wanita kuat dia gak akan rapuh meski di terpa musibah seberat apapun” ucap asna kepada laras istri dari abangnya itu. “baiklah kalau seperti itu mending kita langsung ajah bergegas kerumah Fatimah kok perasaan bak jadi gak tenang gini ya ninggalin anak-anak Fatimah di rumah” ucap waswas laras kepada iparnya itu. “bak laras sepemikiran dengan aku ayok mending kita percepat langkahnya” ucap asna kepada laras. Tak berapa lama asna melangkah dan laras sudah terdengar suara rebut-ribut di dalam rumah Fatimah. “heh anak sial cepat katakana Dimana umikmu menyimpan kunci setiap ruangan ini!!” bentak juleha tampa perasaan kepada para keponakannya itu yang hanya bisa diam dan menangis. ”ampun tante sakit huhuhu” ucap si sulung bilqis yang menjadi pelindung kedua adeknya menghalangi tantennya memukuli adek adeknya. “udah deh kecil-kecil sudah berani mencuri telur yang harusnya jadi milik kami” ucap juleha dengan di saksikan para saudara dan ibunya tentunya. “padahal kami hanya ambil satu butir untuk kami makan bertiga tante” ucap si bungsu menjawab ocehan juleha yang tak berprasaan itu. “berani menjawab ya!!” belum selesai juleha mengayunkan rotan tersebut di berhentikan oleh suara menggelegar asna dari luar. “jangan harap kau menyentuh keponakanku lagi juleha!!!” teriak asna sambil berlari memasuki ruang Tengah melihat keadaan sang keponakan yang sudah mengenaskan dengan wajah yang sudah banjir air mata. “jangan ikut campur urusan kami kamu asna” bukan juleha yang menjawabnya akan tetapi Bambang yang menjawab. “apa kau bilang, ini akan menjadi urusanku karena mereka juga keponakanku” ucapan asna sambil menahan geram dan marah kepada keluarga almarhum albi. “bibi aku sama adek-adek Cuma mau ambil sebutir telur saja buat makan bi” ucap sendu bilqis kepada asna. Asna yang mendengar ucapan si sulung mencelos hatinya karena Cuma perkara telur sebutir harus di peributkan. “kalian semua Dimana hati kalian anak sekecil ini harus kalian sakiti mentalnya bukan Cuma itu kalian juga main fisik” ucap tak terima asna kepada orang-orang tersebut. “bahkan kalau kami tega sudah terusir Fatimah dan anak-anaknya dari rumah ini karena ini adalah hak kami sekeluarga” ucapan angkuh Bambang kepada asna namun tak berselang lama di kagetkan dengan suara seseorang dari luar. “taka da siapapun yang berhak mengusir aku dan anak-anakku dari rumah ini karena ini milikku dan milik anak- anakku” ucap Fatimah kemudian netra matanya jatuh ke pada anak sulungnya yang meringis. “kakak kenapa, kok meringis begini ada apa kak?” ucap Fatimah menghampiri sang anak dan kangsung membekap mulutnya serta memusatkan netra matanya kea rah juleha yang sudah ketar ketir di buatnya.“kalian semua biadab!!!” teriakan Fatimah membuat semua orang yang ada di ruangan tersebut menjadi terkejut dan ketar ketir berlaku untuk keluarga bu Zainab. “ummi maafkan kami huhuhuhu telah mengambil sebutir telur tante juleha” ucap si sulung sambil memeluk uminya saking takut di marahi oleh om dan tantenya. “bahkan kalian mengakui hasil pemberian orang-orang untuk almarhum bang albi, Dimana hati kalian semua hah!!” amuk Fatimah sambil memeluk semua anak-anaknya. “lah albi sudah mati jadi semua sembako itu hak yang hidup lantas Dimana salah kami?” jawab juleha dengan tak tau dirinya. “salahnya kalian tak tau diri” bukan Fatimah yang menjawab akan tetapi asna yang menjawab karena ikut marah keponakannya di siksa oleh keluarga bu Zainab. “jangan ikut campur heh orang luar saja ikut ikuta” bahkan sudah dikatai tak tau diri juleha masih saja mengannggap dirinya benar. “mending kalian semua sekeluarga keluar dari rumahku” usir Fatimah karena sudah merasa Lelah dengan apa yang selal
Mengapa keluarga almarhum suamiku selalu yang di perebutkan adalah uang dan uang ya allah apa tidak ada rasa empati yang mereka berikan kepadaku, selalu yang mereka fikirkan adalah uang dan uang, benar kata bang albi bahwa jangan sekali-kali merasa kasian dengan keluarganya. Semoga apa yang akan aku putuskan nanti bisa berjalan dengan semestinya semua ini demi anak-anakku dan juga masa depan mereka juga. “astaga terbuat dari apa pula hati mereka ini tak tau diri banget jadi manusia” asna berucap lumayan kencang agar rombongan bu Zainab bisa mendengar, namun bukannya mereka menyadari tetapi tetap saja melewati para tamu tersebut. “sudah-sudah dek biarlah mereka mau bagaimana, jangan buat situasi di rumah dek Fatimah semakin panas” ucap lastri sambil mengelus-ngelus punggung asna. Melihat situasi yang sepertinya kian memanas Fatimah hanya bisa menghembuskan nafasnya saja “hufttt, silahkan bapak-bapak dan ibuk-ibuk juga di minum sama di cicipi yang kami suguhkan maaf ya hanya itu
“ masak kamu tidak paham apa yang saya bicarakan sih as, mereka itu sekeluarga tidak ada yang benar, kecuali si albi menurutku” dengan lancar bu sulis membuka semua aib tetangganya itu. “astaga bu sulis….!!! Terkejut asna karena sebegitu buruknya bu zainab di mata para tetangganya itu. “kamu masih gak percaya juga ya as, biar kamu tau saja bu zainab itu hanya luarnya saja yang baik namun hatinya busuk, dia itu ibu yang kejam as mungkin berlaku hanya untuk almarhum saja” ucap bu sulis sambil matanya berkaca-kaca menceritakan pahitnya kehidupan albi dulu kesehariannya yang harus banting tulang demi menghidupi dirinya sendiri. “apakah bang albi dulu semasa hidupnya membiayai dirinya sendiri bu?” Tanya asna dengan hati-hati kepada tetangganya itu. “benar as bahkan dari dia menginjak bangku SMP harus merasakan pahitnya mencari uang” ucap bu sulis lagi tampa di tutup-tutupin. Sungguh hatiku mencelos mendengar penuturan bu sulis betapa menderitanya bang albi selama hidup “malang sekali
“ya Allah tolong luaskan hati hamba, sabarkan hamba dalam menghadapi segala perkara yang ada dunia ini, sembuhkan penyakit suami hamba ya Allah janganlah engkau kasih penyakit yang begitu dasyatnya untuk suamiku, berkahilah segala jalan kami kedepannya amin Allah amin” munajat seorang istri yang memohon kesembuhan untuk suaminya itu Wanita itu tak berhenti dan bahkan terus melantunkan dzikir untuk suaminya yang sedang terbaring sakit tak berdaya di rumahnya yang sedang di temani oleh ketiga anak perempuannya juga. “fatimah…fatimah…” suara lirih seseorang memanggil istrinya, membuat sang empunya nama menolehkan kepalanya dan seketika berhenti berdzikir. “iya bang ada apa, apa abang butuh sesuatu” dengan suara pelan sang istri menghampiri suaminya. “tidak fa abang hanya ingin minum saja rasanya tenggorokan abang kering” pinta sang suami dengan suara lirih bahkan nyaris tak terdengar. “sebentar bang adek lepas mukenah dulu ya” ucap Fatimah buru-buru melepas mukenahnya itu dan men
Setelah menerima telfon bang albi mengeluh semakin sakit dadanya bahkan untuk bernafas saja rasanya susah sekali. “bang biar nantu selepas bang marwan ke sini fatimah akan minta antar abang ke rumah sakit lebih baik jangan menunda-nunda bang karena adek gakmau abang kenapa-napa” ucap fadia dengan wajah cemas melihat suaminya menahan sakit tersebut. Belum selesai Fatimah bercakap-cakap dengan suaminya datanglah segerombol orang yang tampa permisi langsung nyelonong masuk itu yang sialnya mereka keluarga dari sang suami. “astaga albi kenapa sudah siang kamu masih tiduran saja, pantesan saja hidupmu masih segini-gini ajah” ucap sang ibu yang begitu menyakiti hati anaknya serta menantunya. “astafirullah bu…! Bang albi bukannya malas-malasan tapi bang albi sakit bu sudah hampir seminggu berbaring saja di Kasur” jelas Fatimah kepada ibu mertuanya itu. “alah dek fa aku sakit saja masih bisa kerja di tahan pasti bisa kok lah ini albi manja banget” ucapan nyeletuk kakak pertama bang albi
Fatimah sekarang faham kenapa seluruh asset dari suaminya itu di atasnamakan dia bukan albi sendiri karena di balik itu ada saudara yang sangat culas serta gila harta yang kapan saja akan mengambilnya. “dek kenapa diam hem? Abang salah ya dek?” ucapan albi membuat Fatimah tersadar dari lamunannya. “eh anu bang maaf ya Fatimah tidak denegrin ucapan abang” ucap Fatimah sambil memilin ujung bajunya pertanda dia lagi memikirkan sesuatu. “sudah dek jangan banyak fikiran, yang terpenting asset-aset abang sudah atas nama adek karena abang takut dek kalau sampai masih atas nama abang yang ada ibu dan saudara kandung abang mengambil paksa darimu” ucap sendu albi terhadap kekasih halalnya itu. “abang Fatimah tidak suka kalau omongannya seperti itu, hidup mati seseorang hanya Allah yang tau jadi jangan selalu ngomongin kematian karena adek gak suka” ketus Fatimah kepada albi pertanda kemarahannya kepada sang suami. “bukan begitu maksud abang dek,abang hanya….” Belum selesai albi berkata sud
Albi bukan menjawab tapi membalasnya dengan senyuman dan gelengan dengan bersamaan pertanda dia tidak mau lebih memilih menahan sakitnya. “abang tak kasian dengan aku dan anak-anak, lantas siapa yang akan menjaga kami bang” ucap sedih Fatimah terhadap sang suami. “nyakin dek semisal abang sudah tak ada masih banyak yang akan sayang adek dengan anak-anak” ucapan albi seakan-akan pertada bahwa umurnya sudah tak lama lagi. “berapa kali adek bilang jangan sekali-kali abang ngomong seperti itu, kasian anak-anak yang masih ingin Bersama abahnya” ucap sendu Fatimah melihat sang suami terbarik tak berdaya. “lebih baik aku telfon kakakmu ini agar anak-anak di bawah pulang, sekalian abang akan simpan kotak ini di dalam mobil ya dek” ucap Marwan segera menepi dari Fatimah dan albi dan segera menelfon adeknya. Tut tut tut tut “iya hallo bang, ada apa?” jawab seseorang di Seberang sana. “cepat dek kerumah Fatimah lekas bawa anak-anaknya fatimah pulang” KLIK ucapan terakhir Marwan menga
“Jangan mentang-mentang kamu istrinya albi lantas tak mau melimpahkan semua tanggung jawab albi kepadaku!!!” dengan suara nyaring Bambang membuat batas kesabaran fataimah tidak terkendali. “tanggung jawab yang mana hah!! Tanggung jawab apa yang abang bicara, Dimana abang dan keluarga bang albi saat beliau sakit hah!! Oh iya aku lupa kalian kan datang tadi pagi bukan sih bukan untuk menjenguk dan mengurusi bang albi, tetapi kalian semua datang untuk menagih uang rewang sebesar serratus juta apaitu yang di katakan tanggung jawab iya ha!!” Fatimah sangat marah terhadap kakak iparnya itu dan melampiaskan semuanya kepada Bambang biarlah semua tau. Bisik bisik petakziah sudah terdengar rata-rata mereka semua mencemooh sikap Bambang yang meminta uang begitu banyaknya padahal biaya pemakaman di kampung itu gratis. “gila bener ya keluarga albi dari dulu takda berubah-berubahnya, sama aja” bisik bisik itu terdengar di telinga Bambang membuatnya marah dan meradang. “jangan kurang ajar kau ya