Albi bukan menjawab tapi membalasnya dengan senyuman dan gelengan dengan bersamaan pertanda dia tidak mau lebih memilih menahan sakitnya.
“abang tak kasian dengan aku dan anak-anak, lantas siapa yang akan menjaga kami bang” ucap sedih Fatimah terhadap sang suami. “nyakin dek semisal abang sudah tak ada masih banyak yang akan sayang adek dengan anak-anak” ucapan albi seakan-akan pertada bahwa umurnya sudah tak lama lagi. “berapa kali adek bilang jangan sekali-kali abang ngomong seperti itu, kasian anak-anak yang masih ingin Bersama abahnya” ucap sendu Fatimah melihat sang suami terbarik tak berdaya. “lebih baik aku telfon kakakmu ini agar anak-anak di bawah pulang, sekalian abang akan simpan kotak ini di dalam mobil ya dek” ucap Marwan segera menepi dari Fatimah dan albi dan segera menelfon adeknya. Tut tut tut tut “iya hallo bang, ada apa?” jawab seseorang di Seberang sana. “cepat dek kerumah Fatimah lekas bawa anak-anaknya fatimah pulang” KLIK ucapan terakhir Marwan mengakhiri percakapannya dan buru-buru masuk lagi ke dalam. “huhuhuhu abang kenapa huhuhuhuhu” tangis Fatimah pecah tersedu-sedu melihat suaminya akan sakaratul maut. “bi bisa dengar aku kan? Kalau bisa tolong aggukin kepalanya” tanya Marwan kepada suami adeknya itu karena kondisi albi yang semakin memburuk. “astafirullah abang adek!! Kenapa albi seperti ini” jerit asna setelah masuk ke kamar adeknya. “abah huhuhu abah huhuhu kenapa, abah kok tidur saja huhuhu?” Tanya anak-anaknya sambil menangis di samping abahnya yang sudah mulai tidak sadarkan diri. “abang huhuhu kasihani kami, jangan pergi dulu bang kasian anak-anak huhuhu” tangis pilu Fatimah di pelukan sang kakak memikirkan Nasib anak-anaknya itu. “albi dengarkan aku sekarang ikutin kata kataku asyhadu an laa ilaaha illallahahu, waasyhaduanna muhammadar rasuulullah” tuntun Marwan di kuping iparnya itu. “as yha du an laa ilaaha illallahahu waasyhaduanna muhammadar rasuulullah” pelan tapi pasti albi mengikuti ucapan bang Marwan setelah itu perlahan-lahan hembusan nafas albi menjadi semakin lirih dan tiada. “innalillahi wainnalihahi rajiun” ucap Marwan setelah itu menutup mata sang adek ipar. DEG “kak tolong jelaskan ini tidak mungkin kan? Bang albi masih disini kan ya?” tanya Fatimah seperti orang linglung bertanya kepada kakaknya itu. “yang sabar yadek ikhlaskan suamimu agar jalannya tidak berat” ucap asna kepada sang adek. “tidak !!! abang huhuhu kenapa abang jahat huhuhu adek gimana bang huhuhu anak anak gimana bang huhuhuhu” tangis Fatimah semakin pecah melihat kenyataan yang ada di depan matanya ini. “asna jaga Fatimah dan anak-anaknya abang mau keluar mau melapor kepada RT sini kalau warganya ada yang meninggal” ucap Marwan setelah itu berlalu dari sang adek. “ikhlaskan lah dek jangan beratkan suamimu kasian” ucap asna sambil menguatkan Fatimah yang kelihatan rapuh tersebut. “abah kenapa ninggalin adek ayok bangun huhuhuhu” tangisan anak albi yang paling kecil membuat siapa saja yang melihatnya kasian dan merasa miris. “assamualaikum pak Rt” panggil seseorang dari luar. Ceklek “waalaikumsalam, pak Marwan ada ya pak?” tanya pak Rt itu karena merasa heran karna di tamui oleh orang luar kampungnya. “begini pak saya mau menyampaikan berita duka adek ipar saya si albi meninggal dunia barusan” ucap Marwan kepada pak RT tersebut. “astafirullah yang bener pak?” tanya pak Rt itu dengan terkejut. “iya pak tolong di bantu di siarkan soalnya saya harus pulang pak terimakasih” ucap Marwan lalu segera berlalu dari sana. Setelah sampai di kediaman albi belum ada pelayat karena memang warga sana takda yang tau. “abang tolong aku bagaimana ini? Uang darimana adek mengurus semua ini” ucap Fatimah kepada Marwan. “tenang dek biar semua ini jadi urusan abang cukup fokus disini kamu, da kamu dek awasi disini jangan sampai ada tikus-tikus berkeliaran, abang mau pulang dulu mau jemput bakmu dan anak abang” ucap Marwan kepada adek-adeknya. “berita duka!!!! Innalillahi wainnalillahi rojiun, telah berpulang kerahmattullah albi Sanjaya suami dari ibu Fatimah Zahra pada jam duabelas siang!!! Dimohon kehadirannya sanak saudara dan sanak family agar segera merapat ke rumah duka!!” begitulah pengeras suara. “apa!!!! Ini tidak mungkin, ibuk bukkk!!!” teriak juleha setelah mendengar nama yang di sebutkan di pengeras suara itu. “ada apa sih kamu jul bangunin ibuk seperti ada apa saja” kesal bu Zainab yang tidurnya di ganggu. “gawat bu albi meninggal” ucap juleha seketika mengkagetkan bu Zainab. “apa!!!! Jangan bercanda kau jul” dengan wajah memerah bu Zainab berteriak kepada juleha anaknya. “sungguh bu juleha mendengar sendiri tadi dari pengeras suara di masjid” ucap juleha lagi menyakinkan sang ibu. “yaudah ayok kita kerumah albi jangan sampai semuanya di ambil alih si Fatimah itu” ucap bu Zainab bukan sendih karena anaknya meninggal namun yang di fikirannya hanya harta dan harta dan segera bergegas pergi kerumah duka. “sebentar bu juleha mau chat abang dan dadang agar ke rumah albi juga” ucap juleha sambil berjalan. Di kediaman albi sudah ramai pelayat yang hilir mudik datang bertakziah kepada Fatimah. “wah kotakan uang itu pasti banyak kalau nanti aku ambil gakpapa pastinya” ucap bu Zainab dalam hatinya sudah ada rencana-rencana jahat yang dia susun sedari tadi melihat kotak uang yang ada di luar. “ngapain tuh nenek lampir senyam-senyum sendiri, jangan-jangan dia mau ngambil uang yang ada di kotak itu, kalau iya tak akan aku biarkan hak dari keponakanku di ambil keluarga benalu itu” ucap asna yang sudah mengawasi keluarga benalu itu. “bu lihat deh balikan yang di kasih tetangga sini banyak banget” ucap juleha sambil berbisik di telinga ibunya. “iya tenang nanti kalau sudah selesai tujuh harinya albi kita ambil saja semua lumayan buat acara di rumah gak usah beli sembako” bisik-bisik bu Zainab kepada juleha namun masih saja bisa di dengar oleh salah satu tetangga yang datang disana. “gawat nih bisa-bisanya bu Zainab sama anaknya mau memanfaatkan kematian anaknya demi keuntungan mereka, tidak bisa di biarkan nih harus lapor kak asna” ucap tetangga tersebut yang kenal dengan asna. “Fatimah siapkan dana lima juta untuk urus semua pemakaman albi adekku” ucap enteng Bambang yang sudah ada disana. “huffttt maaf bang semuanya sudah di urus abangku jadi tak usah repot-repot mengurusnya lagi” ucap Fatimah yang sudah malas berdebat. “kenapa jadi orang luar yang mengurusnya, kan aku abangnya” ucap geram Bambang dengan intonasi keras sehingga membuat para petakziah melihat mereka. “sudah abang tinggal duduk dan kirim doa saja untuk suamiku” ucapnya kepada Bambang.“Jangan mentang-mentang kamu istrinya albi lantas tak mau melimpahkan semua tanggung jawab albi kepadaku!!!” dengan suara nyaring Bambang membuat batas kesabaran fataimah tidak terkendali. “tanggung jawab yang mana hah!! Tanggung jawab apa yang abang bicara, Dimana abang dan keluarga bang albi saat beliau sakit hah!! Oh iya aku lupa kalian kan datang tadi pagi bukan sih bukan untuk menjenguk dan mengurusi bang albi, tetapi kalian semua datang untuk menagih uang rewang sebesar serratus juta apaitu yang di katakan tanggung jawab iya ha!!” Fatimah sangat marah terhadap kakak iparnya itu dan melampiaskan semuanya kepada Bambang biarlah semua tau. Bisik bisik petakziah sudah terdengar rata-rata mereka semua mencemooh sikap Bambang yang meminta uang begitu banyaknya padahal biaya pemakaman di kampung itu gratis. “gila bener ya keluarga albi dari dulu takda berubah-berubahnya, sama aja” bisik bisik itu terdengar di telinga Bambang membuatnya marah dan meradang. “jangan kurang ajar kau ya
“tunggu dulu dek jangan pas langsung ngegas, mending kamu panggil Fatimah ke sini dulu biar bak yang awasi mereka” usul laras agar tidak semkain banyak orang yang tau. “benar juga usulan kakak biar aku kedepan dulu” ucap asna kemudian pergi kedepan. “bisa untung banyak kitab u sembako gak usah beli, malah kotakan uang di depan pasti jadi milik kita secara albi kan keluarga kita” ucap enteng juleha yang tidak tau malu mengakui semua yang bukan haknya. Disamping mereka mengangkut semua sembako itu mereka tidak sadar bahwa sang empunya rumah sudah memperhatikan tingkah gila ibu dan anak itu. “letakkan semua sembako itu, kalau tidak akan aku buat malu kalian berdua!!!” ucapan menggelegar seseorang membuat juleha yang mau mengambil sekarung beras itu jadi terhenti. DEG “waduh seperti suara Fatimah bu” ucap lirih juleha kepada sang ibu membuat mereka berdua memberhentikan aktifitasnya. “apa hak mu melarang aku membawa sembako-sembako ini?” ucap bu Zainab setelah berbalik kebelakang.
Setelah semua sudah siap berangkat kepemakaman Fatimah masih memastikan anak-anaknya tidur dengan tenang dan mengunci semua tempat termasuk kamarnya khawatir kejadian tadi terulang Kembali. “dek ayok kita berangkat sekarang, karena suamimu harus secepatnya di kebumikan” ajakan halus asna kepada adeknya itu membuat Fatimah hanya mengangguk pertanda dia hanya ingin diam saja. Hembusan nafas asna pertanda dia juga sangat Lelah namun melihat sang adek yang sedang kesusahan membuat dia menguatkan dirinya sendiri dan tidak mementingkan dirinya. Iring iringan keranda jenazah melaju dengan pelan membuat Fatimah yang mengikutinya dari belakang hanya bisa bersedih karena di tinggalkan sang suami dengan tiga anaknya yang masih belia. “mari kita doakan semoga pa kalbi bisa di terima di sisinya dan keluarga yang di tinggalkan di lapangkan hatinya” ucap pak ustad yang sudah selesai menguburkan albi di dalam peristirahatannya. Setelah di lakukan doa Bersama yang di pimpin oleh pak ustad semua ya
“kalian semua biadab!!!” teriakan Fatimah membuat semua orang yang ada di ruangan tersebut menjadi terkejut dan ketar ketir berlaku untuk keluarga bu Zainab. “ummi maafkan kami huhuhuhu telah mengambil sebutir telur tante juleha” ucap si sulung sambil memeluk uminya saking takut di marahi oleh om dan tantenya. “bahkan kalian mengakui hasil pemberian orang-orang untuk almarhum bang albi, Dimana hati kalian semua hah!!” amuk Fatimah sambil memeluk semua anak-anaknya. “lah albi sudah mati jadi semua sembako itu hak yang hidup lantas Dimana salah kami?” jawab juleha dengan tak tau dirinya. “salahnya kalian tak tau diri” bukan Fatimah yang menjawab akan tetapi asna yang menjawab karena ikut marah keponakannya di siksa oleh keluarga bu Zainab. “jangan ikut campur heh orang luar saja ikut ikuta” bahkan sudah dikatai tak tau diri juleha masih saja mengannggap dirinya benar. “mending kalian semua sekeluarga keluar dari rumahku” usir Fatimah karena sudah merasa Lelah dengan apa yang selal
Mengapa keluarga almarhum suamiku selalu yang di perebutkan adalah uang dan uang ya allah apa tidak ada rasa empati yang mereka berikan kepadaku, selalu yang mereka fikirkan adalah uang dan uang, benar kata bang albi bahwa jangan sekali-kali merasa kasian dengan keluarganya. Semoga apa yang akan aku putuskan nanti bisa berjalan dengan semestinya semua ini demi anak-anakku dan juga masa depan mereka juga. “astaga terbuat dari apa pula hati mereka ini tak tau diri banget jadi manusia” asna berucap lumayan kencang agar rombongan bu Zainab bisa mendengar, namun bukannya mereka menyadari tetapi tetap saja melewati para tamu tersebut. “sudah-sudah dek biarlah mereka mau bagaimana, jangan buat situasi di rumah dek Fatimah semakin panas” ucap lastri sambil mengelus-ngelus punggung asna. Melihat situasi yang sepertinya kian memanas Fatimah hanya bisa menghembuskan nafasnya saja “hufttt, silahkan bapak-bapak dan ibuk-ibuk juga di minum sama di cicipi yang kami suguhkan maaf ya hanya itu
“ masak kamu tidak paham apa yang saya bicarakan sih as, mereka itu sekeluarga tidak ada yang benar, kecuali si albi menurutku” dengan lancar bu sulis membuka semua aib tetangganya itu. “astaga bu sulis….!!! Terkejut asna karena sebegitu buruknya bu zainab di mata para tetangganya itu. “kamu masih gak percaya juga ya as, biar kamu tau saja bu zainab itu hanya luarnya saja yang baik namun hatinya busuk, dia itu ibu yang kejam as mungkin berlaku hanya untuk almarhum saja” ucap bu sulis sambil matanya berkaca-kaca menceritakan pahitnya kehidupan albi dulu kesehariannya yang harus banting tulang demi menghidupi dirinya sendiri. “apakah bang albi dulu semasa hidupnya membiayai dirinya sendiri bu?” Tanya asna dengan hati-hati kepada tetangganya itu. “benar as bahkan dari dia menginjak bangku SMP harus merasakan pahitnya mencari uang” ucap bu sulis lagi tampa di tutup-tutupin. Sungguh hatiku mencelos mendengar penuturan bu sulis betapa menderitanya bang albi selama hidup “malang sekali
“ya Allah tolong luaskan hati hamba, sabarkan hamba dalam menghadapi segala perkara yang ada dunia ini, sembuhkan penyakit suami hamba ya Allah janganlah engkau kasih penyakit yang begitu dasyatnya untuk suamiku, berkahilah segala jalan kami kedepannya amin Allah amin” munajat seorang istri yang memohon kesembuhan untuk suaminya itu Wanita itu tak berhenti dan bahkan terus melantunkan dzikir untuk suaminya yang sedang terbaring sakit tak berdaya di rumahnya yang sedang di temani oleh ketiga anak perempuannya juga. “fatimah…fatimah…” suara lirih seseorang memanggil istrinya, membuat sang empunya nama menolehkan kepalanya dan seketika berhenti berdzikir. “iya bang ada apa, apa abang butuh sesuatu” dengan suara pelan sang istri menghampiri suaminya. “tidak fa abang hanya ingin minum saja rasanya tenggorokan abang kering” pinta sang suami dengan suara lirih bahkan nyaris tak terdengar. “sebentar bang adek lepas mukenah dulu ya” ucap Fatimah buru-buru melepas mukenahnya itu dan men
Setelah menerima telfon bang albi mengeluh semakin sakit dadanya bahkan untuk bernafas saja rasanya susah sekali. “bang biar nantu selepas bang marwan ke sini fatimah akan minta antar abang ke rumah sakit lebih baik jangan menunda-nunda bang karena adek gakmau abang kenapa-napa” ucap fadia dengan wajah cemas melihat suaminya menahan sakit tersebut. Belum selesai Fatimah bercakap-cakap dengan suaminya datanglah segerombol orang yang tampa permisi langsung nyelonong masuk itu yang sialnya mereka keluarga dari sang suami. “astaga albi kenapa sudah siang kamu masih tiduran saja, pantesan saja hidupmu masih segini-gini ajah” ucap sang ibu yang begitu menyakiti hati anaknya serta menantunya. “astafirullah bu…! Bang albi bukannya malas-malasan tapi bang albi sakit bu sudah hampir seminggu berbaring saja di Kasur” jelas Fatimah kepada ibu mertuanya itu. “alah dek fa aku sakit saja masih bisa kerja di tahan pasti bisa kok lah ini albi manja banget” ucapan nyeletuk kakak pertama bang albi