‘’Kamu Kirana Farhana, aku ceraikan dengan talak 3!’
Ucapan yang belum genap lima menit itu terus terngiang di telinga Kirana. Dengan langkah sempoyan Kirana berjalan. Namun karena merasakan sakit di bagian lutut ia mendadak berhenti di tempat. Dilihatnya lutut itu yang berdarah, mungkin saat tadi Aditya yang mendorongnya tanpa perasaan, tanpa tahu bahwa lututnya terkena batu yang cukup keras. Kirana meringis sakit, darahnya mengucur tanpa bisa dicegah, bingung untuk menghentikan pendarahan agar tidak keluar semakin banyak. “Bersihkan lukanya dengan ini.” Di tengah rasa sakit itu tiba-tiba seseorang mengulurkan sebuah botol yang berisi cairan, entah apa, Kirana tidak tahu. Ia mendongak mendapati seorang petugas satpam dengan topi yang menutup setengah wajahnya. “Terima kasih, Pak. Tapi saya tidak apa-apa. Ini hanya luka kecil.” Mencoba tersenyum, Kirana mencoba kuat di hadapan orang yang mengasihaninya. “Ck! Kalau tidak dibersihkan lukanya akan terkena infeksi.” Pria itu berjongkok, mengeluarkan sebuah kasa dan juga cairan tersebut. Dengan baju satpam yang ia kenakan, Kirana dibuat tak percaya akan sosoknya. Perasaan seorang satpam tidak akan sepeduli ini, kan? “Ah!“ Kirana menjerit perih saat lukanya diberi cairan yang cukup banyak. Sangat perih, seperti terkena perasan jeruk nipis. “Maaf, cairannnya terlalu banyak. Tapi dengan begini lukamu nanti akan cepat berhenti.” Kirana hanya diam, ia menahan rasa perih dengan menggigit bibir bawahnya. “Shhh … ah … tolong pelan-pelan ….” Kirana tidak tahan untuk tidak mengeluarkan suara. Rasanya benar-benar sakit sekaligus perih saat orang itu menekan sedikit lukanya. Walau pelan namun terasa perihnya. “Ah!” Untuk sekian kali Kirana dibuat menjerit kala petugas satpam itu malah memberikan obat betadine. Namun tanpa Kirana ketahui jeritan itu justru tampak seperti sebuah desahan, yang mana terdengar oleh seseorang. Orang itu mengintip, menyaksikan atas apa yang terjadi. Tersadar bahwa dua orang itu melakukan hal mesum membuat seseorang itu pergi melaporkan. “Kamu bisa berdiri?” tanyanya setelah membersihkan sebagian luka Kirana. “Lumayan, sekarang sudah mulai bisa digerakan,Pak. Rasa sakitnya juga tidak sesakit tadi,” jawab Kirana. Ia tersenyum kecil sebagai tanda sopan, “terima kasih ya, Pak. Semoga dengan begini kehidupan Bapak selalu dilancarkan dan dipermudah. Terima kasih.” Kirana merasa ia sudah cukup berdiam diri di sini, ia harus segera pulang, pulang ke rumah yang entah harus ke mana. Pasalnya ia sudah dicerai, lantas jika ia kembali ke rumah mantan suaminya? Mungkin hanya hinaan yang akan ia dapati kembali. Tapi mengenai Ibu Aditya? Perempuan itu pasti akan mencarinya. Kirana menghela napas, lantas berdiri yang mana hampir terjatuh, namun untung petugas satpam itu dengan sigap menahan lengannya. Kirana terkejut, dengan cepat ia dorong dada pria itu. “Maaf—” “Nah, ini, nih! Dua orang ini yang telah melakukan kemesuman di halaman rumah Tuan Hengkara!” Sebuah teriakan membuat Kirana maupun petugas satpam itu menoleh, terkejut tatkala mendapati orang-orang berbondong-bondong ke arahnya. “Lihat, sekarang saja mereka sedang berpelukan!” ucapnya lantang. Kirana menggeleng, melepas paksa pelukan yang baru ia sadari bahwa keduanya tengah berpelukan.“Bukan, ini tidak seperti yang kalian pikirkan!” jawab Kirana. “Halah sudah berbuat berani berbohong pula! Kami punya bukti mengenai kemesuman kalian di sini! Jangan mengelak deh!” seru beberapa orang heboh. Kirana makin menggeleng, semua ini tidak seperti yang mereka pikirkan. “Orang seperti mereka harus mendapat hukuman?!” “Iya, mereka harus dihukum!” seru orang lain. “bisa-bisanya melakukan kemesuman di halaman rumah Tuan Hengkara!” “Tolong percaya, kami tidak melakukan—” “Tuan Hengkara datang, Tuan Hengkara datang!” Seru beberapa orang yang mana pemilik kediaman tersebut datang. Bukan hanya sosok pria yang dipanggil Tuan Hengkara yang datang, melainkan mantan suaminya—Aditya juga ada di sana. Berjalan tergesa dengan mata merah. Kemarahan itu tercetak jelas dalam sorot matanya. “Ada apa ini?” Suara tegas nan berat menambah ketegangna yang dirasa. Dia Tuan Hengkara, menatap dengan wajah yang penuh intimidasi. “Lihat, Tuan. Mereka, dua orang ini telah melakukan kemesuman di tempat Anda. Jika Anda tidak percaya Anda bisa mendengar rekaman ini.” Orang itu memperlihatkan ponselnya, memutar sesuatu yang mana suara Kirana yang terdengar seperti mendesah. ‘Ah’ ‘Shhh … ah … tolong pelan-pelan ….’ Suara itu, suara yang seharusnya terdengar menahan rasa perih dan nyeri justru terdengar seperti mendesah. Kirana yang mendengar itu saja seketika langsung menggeleng. “Bukan, kalian telah salah paham. Saya tidak berniat melakukan kemesuman di sini. Tadi, saya hanya—” “Jadi begini kelakuan kamu selama ini, Kiran?” ucap Aditya tak percaya. “menjijikan!” desisnya meludah ke kiri. “aku tak percaya, menantu yang dimanjakan Ibu ternyata begitu murahan. Setelah dicerai bukannya sadar diri malah makin menjadi-jadi!” “Kami tidak melakukan apapun! Semuanya—” “Halah jalang ya tetep aja jalang! Dasar wanita murahan!” ucap Derina ikut-ikutan. Tak memberi kesempatan Kirana untuk menyangkal apa yang sebenarnya terjadi. Aditya terkekeh sinis, entah kenapa melihat keterpurukan Kirana membuatnya senang. Selama ini hanya kebaikan yang ada padanya, sekarang terlihat bukan sosok aslinya? Cih! Memang wanita sepertinya pantas mendapatkan kesialan. Beruntung, beruntung ia menceraikannya hari ini, jika tidak malu sudah mukanya saat ini. “Tolong percaya sama kami, sumpah demi apapun kami—” “Setelah cerai kau bahkan memadu cinta dengan seorang satpam ini? Waww, kereen sekali.” Aditya menepuk tangan, ia tertawa senang, menatap petugas satpam itu dengan tawaan. Melihat dari bawah lantas ke atas yang mana wajahnya tertutup dengan topi. Hah, malulah dia telah berlaku mesum, mana di halaman rumah kediaman Hengkara. Dilihat dari pakaiannya terlihat jelas bahwa dia miskin. Sangat miskin. “Memang jodohmu itu yang seperti ini. Setara!” ucap Aditya lantang. Ucapan itu benar-benar terdengar sampai ke orang-orang yang ada di sana, sedang Kirana menangis terisak, ia tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. “Dibayar berapa kamu sama satpam ini, hah? 2 juta?” Tawa Aditya pecah, hal itu pula membuat orang lain ikut tertawa. Kirana mengepalkan tangannya, ia tidak bisa diam begini jika keadilannya sedang dipertaruhkan. “Kau—” “Tuan Hengkara, mereka sudah berlaku mesum di kediaman Anda sendiri, bagaimana Anda akan diam saja melihat hal tak senonoh seperti ini?” Aditya memotong ucapan Kirana yang hendak mengelak, sengaja ia melakukannya biar istrinya itu merasakan apa itu kesengsaraan. Siapa suruh berani meminta cerai lebih dulu, inilah akibat yang akan terjadi. Sok-soan memang. Kirana yang sudah menangis dari tadi semakin menggeleng, tidak, ini bukan salahnya, ia hanya diam di sini tersebab lututnya yang sakit. Dan mengenai mesum itu, sumpah ia tak melakukan apapun selain mengobati luka lututnya. “Anda harus ambil tindakan Tuan. Ini, petugas satpam ini harus mendapat balasan atas apa yang dia lakukan.” Aditya menarik tangan petugas satpam itu di hadapan Tuan Hengkara. Satpam tersebut tampak menunduk saja. Tuan Hengkara bingung sendiri, namun atas apa yang terjadi memang tidak bisa ditolerir. Mau bagaimanapun ia harus ambil tindakan. “Heh, kamu bisu ya! Katakan sesuatu pada Tuan Hengkara! Katakan kesalahan yang baru saja kamu lakukan dengan wanita itu!” desis Aditya tepat di wajahnya yang tertutup topi. Sangat menyedihkan, satpam itu sepertinya malu karena kepergok berlaku mesum di kediaman Tuan Hengkara. Lihat saja apa yang akan Aditya lakukan pada dua sejoli itu. Tentu saja memalukan keduanya! “Coba jelaskan, apa yang dikatakan mereka mengenai kejadian di sini benar?” Tuan Hengkara membuka suara, susana yang tegang makin tegang untuk Kirana yang saat ini tidak bisa berbuat apa-apa. Sedangkan yang lain sudah tersenyum puas tersebab bisa melihat adegan yang sangat langka ini. “Kau mendengar apa yang saya katakan? Atau—” “Ck! Apa yang harus aku jelaskan jika mereka sudah menyangkalnya sendiri, Ayah?” Deg! Apa? Ayah?! Petugas satpam itu membuka topinya, hingga… “Ya ampun Arion? Putraku!”“Ya ampun Arion? Putraku!” Tuan Hengkara segera memeluk putranya kala topi itu terlepas, membuat beberapa orang yang ada di sana menganga tak percaya. Apalagi teruntuk Aditya dan Derina, keduanya terkejut setengah mati. Ekspresi Kirana? Jangan tanyakan lagi, ia benar-benar terkejut atas apa yang ia dengar. Apa katanya? Putraku? Itu berarti orang yang baru saja menolongnya tak lain… ? “A--apa maksud Anda, dia adalah putra Anda?” tanya seseorang. “Jelas ini putraku, Arion Mahaprana Hengkara!” ujar Tuan Hengkara penuh bangga. Pria itu menepuk bahu Arion. Ya, dia Arion Mahaprana Hengkara, putra satu-satunya keluarga Hengkara! Pewaris tunggal Hengkara! “Kapan kamu pulang, Nak? Kenapa tidak berkabar?” tanya Tuan Hengkara merasa pangling akan putranya ini, wajar 5 tahun putranya itu berada di luar negeri dan sekarang dia sudah kembali. “Tentu saja untuk memberi kejutan, Ayah. Sekaligus melihat siapa yang pantas untuk bekerja di perusahaan Hengkara dan siapa yang tidak layak untuk bekerja
“Lukamu cukup dalam Nona, jadi pantas saja darahnya terus keluar.”Kirana menatap seorang wanita yang saat ini sedang menutupi lukanya dengan kasa. Setelah diberi obat kini lututnya diperban.“Sudah selesai, sekarang darahnya tidak akan keluar lagi,” ucap wanita itu yang belum diketahui namanya. Kirana tersenyum tipis. “Terima kasih Mbak, dan umm … maaf telah merepotkan Anda.”“Tidak usah berterima kasih, ini semua kan atas perintah Tuan Arion. Sudah menjadi tugas saya menuruti perintahnya.” Kirana tersenyum mengangguk, memang semua ini terjadi atas kebaikan Arion padanya. Padahal sebelumnya ia sudah menolak untuk disembuhkan namun karena Arion yang kala itu memaksa membuat Kirana mau tak mau menurut. Dan di sinilah ia berada, di rumah kediaman Tuan Hengkara.“Apa sekarang saya boleh pulang? Saya merasa tidak pantas menginjakkan kaki di sini. Apalagi saya bukan siapa-siapanya Tuan. Jadi tak enak,” ucap Kirana sembari celingak-celinguk. Diruangan ini memang hanya ada dirinya dan wanit
Kirana menarik napas dalam-dalam, bercandaan Arion cukup membuatnya setengah kesal. Aish! Salah sendiri kenapa terlalu berharap bahwa isinya adalah uang? Dasar matre! Arion tertawa renyah, ia menggelengkan kepalanya sedikit. “Saya bercanda, yang aslinya ini,” ucapnya kembali menyodorkan amplop cokelat. Kali ini isinya benar-benar uang. “ambil ya,” ucapnya lagi sembari menyimpan amplop tersebut ditelapak tangan Kirana. Kirana melirik, ada hal aneh yang justru ia pikirkan saat ini. Sikap Arion padanya kenapa begitu ramah? Sungguh, bukankah keduanya baru bertemu? Kenapa terasa aneh begini? Atau jangan-jangan ada sesuatu yang disembunyikan? Mengenai kebaikan Arion padanya? Kirana hendak menjawab namun tiba-tiba suara dering ponsel terdengar. Menyadari bawah itu milik Arion pria itu lantas melirik Kirana. “Jika kau ingin pergi pergilah. Nanti saya akan menyuruh salah satu pelayan untuk mengantarkanmu sampai ke pintu depan.” Arion pergi begitu saja setelah menerima telpon, benar-benar s
“Jika kau ingin pergi pergilah. Nanti saya akan menyuruh salah satu pelayan untuk mengantarkanmu sampai ke pintu depan." Arion berlalu meninggalkan Kirana begitu saja, namun tanpa Kirana ketahui bahwa pria itu diam-diam bersembunyi dibilik pintu yang tak jauh darinya. “Antarkan dia sampai ke pintu utama, setelahnya kau boleh pergi,” ucap Arion pada salah satu pelayan yang sudah ia suruh. “Baik Tuan.” Pelayan wanita itu sedikit membungkuk kemudian melenggang pergi menemui Kirana. Dalam pandangan yang tak pernah lepas dalam menatap Kirana, Arion menghubungi seseorang. “Ikuti gadis yang saya suruh. Ingat, jangan melakukan apapun selain sebuah kabar mengenai dirinya. Dan jangan lupa cari informasi mengenai dirinya!” ucap Arion di telpon, menatap Kirana yang sudah pergi menjauh. “Kau melupakan aku, Kiran …,” ucapnya lirih sebelum kemudian melenggang pergi meninggalkan ruangan tersebut. ***“Apa yang kau katakan? Oma tidak ada?” ucap Arion dengan raut gusar. Setelah beberapa menit dis
Kirana tersenyum canggung, ia menggaruk pangkal hidungnya. Tak berani menatap Arion maupun Tyas, Kirana hanya diam dengan perasaan malu. “Kamu sudah kenal juga dengan Kirana, Rion? Kenapa enggak bilang Oma?” “Aku sudah mengenalnya Oma, tapi dianya saja yang enggak kenal aku,” celetuk Arion tanpa disadari Kirana. Perempuan itu mendengar namun tidak mampu Kirana pahami maksudnya. “Ah maksudku, baru saja. Baru saja kami saling kenal,” ucap Arion membenarkan. Dalam diam Arion menatap Kirana, namun tanpa sengaja justru tatapan keduanya bertemu. Kirana dengan malunya langsung menunduk. Pipinya memerah merona dilihat seperti itu. “Ya sudah kalo kalian sudah kenal sebelumnya, biarkan dia masuk, kasihan!” ucap Tyas. Tyas menarik lengan Kirana, ia tersenyum tipis. “Kiran, ayo masuk!”“Tapi Oma—”“Nggak ada tapi-tapian! Percaya sama Oma nggak bakal ada yang nyakitin kamu di sini, nggak usah takut.”Kirana melirik sekilas pada Arion, bukan tidak ingin hanya saja ia merasa tak enak dengan pr
“Akh, Mas! Pelan-pelan. Sss– sakit ….” Wanita itu diseret paksa, menangis tertahan saat tangannya ditarik kian kuat. “Diam kamu! Malu-maluin aja!” Pria itu mengeram kesal, menghempaskan tubuhnya hingga wanita itu terjatuh. “Dasar istri kampungan! Malu-maluin aja! Udah aku bilang untuk diam di rumah! Kenapa malah datang ke sini dan ikut campur di dalam sana?!!” Napas pria itu menggebu, memerah marah. Dengan kasar pria itu mencengkam kedua pipi istrinya. Ya, wanita yang saat ini menangis adalah istrinya. “Udah aku peringati untuk tidak membuat keributan Kirana, tapi kamu dengan mudahnya masuk dan mempermalukan aku dengan pakaian kamu ini. Kau tidak sadar apa yang kamu lakukan, hah?”“M--mas, s--sakit….” Wanita itu, Kirana Farhana namanya, menangis kian deras saat suaminya tampak hilang kendali, ia ketakutan, tubuhnya gemetar hebat, kepalanya makin terangkat sebab tangan suaminya terus mencengkram pipinya. 2 tahun pernikahan bersama Aditya Darmawijaya, kehidupan Kirana tidak pernah