“Lukamu cukup dalam Nona, jadi pantas saja darahnya terus keluar.”Kirana menatap seorang wanita yang saat ini sedang menutupi lukanya dengan kasa. Setelah diberi obat kini lututnya diperban.“Sudah selesai, sekarang darahnya tidak akan keluar lagi,” ucap wanita itu yang belum diketahui namanya. Kirana tersenyum tipis. “Terima kasih Mbak, dan umm … maaf telah merepotkan Anda.”“Tidak usah berterima kasih, ini semua kan atas perintah Tuan Arion. Sudah menjadi tugas saya menuruti perintahnya.” Kirana tersenyum mengangguk, memang semua ini terjadi atas kebaikan Arion padanya. Padahal sebelumnya ia sudah menolak untuk disembuhkan namun karena Arion yang kala itu memaksa membuat Kirana mau tak mau menurut. Dan di sinilah ia berada, di rumah kediaman Tuan Hengkara.“Apa sekarang saya boleh pulang? Saya merasa tidak pantas menginjakkan kaki di sini. Apalagi saya bukan siapa-siapanya Tuan. Jadi tak enak,” ucap Kirana sembari celingak-celinguk. Diruangan ini memang hanya ada dirinya dan wanit
Kirana menarik napas dalam-dalam, bercandaan Arion cukup membuatnya setengah kesal. Aish! Salah sendiri kenapa terlalu berharap bahwa isinya adalah uang? Dasar matre! Arion tertawa renyah, ia menggelengkan kepalanya sedikit. “Saya bercanda, yang aslinya ini,” ucapnya kembali menyodorkan amplop cokelat. Kali ini isinya benar-benar uang. “ambil ya,” ucapnya lagi sembari menyimpan amplop tersebut ditelapak tangan Kirana. Kirana melirik, ada hal aneh yang justru ia pikirkan saat ini. Sikap Arion padanya kenapa begitu ramah? Sungguh, bukankah keduanya baru bertemu? Kenapa terasa aneh begini? Atau jangan-jangan ada sesuatu yang disembunyikan? Mengenai kebaikan Arion padanya? Kirana hendak menjawab namun tiba-tiba suara dering ponsel terdengar. Menyadari bawah itu milik Arion pria itu lantas melirik Kirana. “Jika kau ingin pergi pergilah. Nanti saya akan menyuruh salah satu pelayan untuk mengantarkanmu sampai ke pintu depan.” Arion pergi begitu saja setelah menerima telpon, benar-benar s
“Jika kau ingin pergi pergilah. Nanti saya akan menyuruh salah satu pelayan untuk mengantarkanmu sampai ke pintu depan." Arion berlalu meninggalkan Kirana begitu saja, namun tanpa Kirana ketahui bahwa pria itu diam-diam bersembunyi dibilik pintu yang tak jauh darinya. “Antarkan dia sampai ke pintu utama, setelahnya kau boleh pergi,” ucap Arion pada salah satu pelayan yang sudah ia suruh. “Baik Tuan.” Pelayan wanita itu sedikit membungkuk kemudian melenggang pergi menemui Kirana. Dalam pandangan yang tak pernah lepas dalam menatap Kirana, Arion menghubungi seseorang. “Ikuti gadis yang saya suruh. Ingat, jangan melakukan apapun selain sebuah kabar mengenai dirinya. Dan jangan lupa cari informasi mengenai dirinya!” ucap Arion di telpon, menatap Kirana yang sudah pergi menjauh. “Kau melupakan aku, Kiran …,” ucapnya lirih sebelum kemudian melenggang pergi meninggalkan ruangan tersebut. ***“Apa yang kau katakan? Oma tidak ada?” ucap Arion dengan raut gusar. Setelah beberapa menit dis
Kirana tersenyum canggung, ia menggaruk pangkal hidungnya. Tak berani menatap Arion maupun Tyas, Kirana hanya diam dengan perasaan malu. “Kamu sudah kenal juga dengan Kirana, Rion? Kenapa enggak bilang Oma?” “Aku sudah mengenalnya Oma, tapi dianya saja yang enggak kenal aku,” celetuk Arion tanpa disadari Kirana. Perempuan itu mendengar namun tidak mampu Kirana pahami maksudnya. “Ah maksudku, baru saja. Baru saja kami saling kenal,” ucap Arion membenarkan. Dalam diam Arion menatap Kirana, namun tanpa sengaja justru tatapan keduanya bertemu. Kirana dengan malunya langsung menunduk. Pipinya memerah merona dilihat seperti itu. “Ya sudah kalo kalian sudah kenal sebelumnya, biarkan dia masuk, kasihan!” ucap Tyas. Tyas menarik lengan Kirana, ia tersenyum tipis. “Kiran, ayo masuk!”“Tapi Oma—”“Nggak ada tapi-tapian! Percaya sama Oma nggak bakal ada yang nyakitin kamu di sini, nggak usah takut.”Kirana melirik sekilas pada Arion, bukan tidak ingin hanya saja ia merasa tak enak dengan pr
“Akh, Mas! Pelan-pelan. Sss– sakit ….” Wanita itu diseret paksa, menangis tertahan saat tangannya ditarik kian kuat. “Diam kamu! Malu-maluin aja!” Pria itu mengeram kesal, menghempaskan tubuhnya hingga wanita itu terjatuh. “Dasar istri kampungan! Malu-maluin aja! Udah aku bilang untuk diam di rumah! Kenapa malah datang ke sini dan ikut campur di dalam sana?!!” Napas pria itu menggebu, memerah marah. Dengan kasar pria itu mencengkam kedua pipi istrinya. Ya, wanita yang saat ini menangis adalah istrinya. “Udah aku peringati untuk tidak membuat keributan Kirana, tapi kamu dengan mudahnya masuk dan mempermalukan aku dengan pakaian kamu ini. Kau tidak sadar apa yang kamu lakukan, hah?”“M--mas, s--sakit….” Wanita itu, Kirana Farhana namanya, menangis kian deras saat suaminya tampak hilang kendali, ia ketakutan, tubuhnya gemetar hebat, kepalanya makin terangkat sebab tangan suaminya terus mencengkram pipinya. 2 tahun pernikahan bersama Aditya Darmawijaya, kehidupan Kirana tidak pernah
‘’Kamu Kirana Farhana, aku ceraikan dengan talak 3!’Ucapan yang belum genap lima menit itu terus terngiang di telinga Kirana. Dengan langkah sempoyan Kirana berjalan. Namun karena merasakan sakit di bagian lutut ia mendadak berhenti di tempat. Dilihatnya lutut itu yang berdarah, mungkin saat tadi Aditya yang mendorongnya tanpa perasaan, tanpa tahu bahwa lututnya terkena batu yang cukup keras. Kirana meringis sakit, darahnya mengucur tanpa bisa dicegah, bingung untuk menghentikan pendarahan agar tidak keluar semakin banyak.“Bersihkan lukanya dengan ini.” Di tengah rasa sakit itu tiba-tiba seseorang mengulurkan sebuah botol yang berisi cairan, entah apa, Kirana tidak tahu. Ia mendongak mendapati seorang petugas satpam dengan topi yang menutup setengah wajahnya. “Terima kasih, Pak. Tapi saya tidak apa-apa. Ini hanya luka kecil.” Mencoba tersenyum, Kirana mencoba kuat di hadapan orang yang mengasihaninya. “Ck! Kalau tidak dibersihkan lukanya akan terkena infeksi.” Pria itu berjongko