Kirana menarik napas dalam-dalam, bercandaan Arion cukup membuatnya setengah kesal. Aish! Salah sendiri kenapa terlalu berharap bahwa isinya adalah uang? Dasar matre!
Arion tertawa renyah, ia menggelengkan kepalanya sedikit. “Saya bercanda, yang aslinya ini,” ucapnya kembali menyodorkan amplop cokelat. Kali ini isinya benar-benar uang. “ambil ya,” ucapnya lagi sembari menyimpan amplop tersebut ditelapak tangan Kirana. Kirana melirik, ada hal aneh yang justru ia pikirkan saat ini. Sikap Arion padanya kenapa begitu ramah? Sungguh, bukankah keduanya baru bertemu? Kenapa terasa aneh begini? Atau jangan-jangan ada sesuatu yang disembunyikan? Mengenai kebaikan Arion padanya? Kirana hendak menjawab namun tiba-tiba suara dering ponsel terdengar. Menyadari bawah itu milik Arion pria itu lantas melirik Kirana. “Jika kau ingin pergi pergilah. Nanti saya akan menyuruh salah satu pelayan untuk mengantarkanmu sampai ke pintu depan.” Arion pergi begitu saja setelah menerima telpon, benar-benar situasi yang mencengkamkan, dirinya ditinggal sendiri! Dirumah pria itu lagi, anehnya tidak ada siapapun yang datang ke ruangan ini selain wanita tadi dan Arion. Aneh, benar-benar aneh! *** Menghela napas panjangnya, Kirana berjalan seorang diri dikeheningan malam. Tadi setelah dirumah Arion perempuan itu diantar oleh pelayan wanita hanya sampai gerbang utama setelahnya ia ditinggal pergi begitu saja. Tapi ada untungnya dengan begitu ia tak lagi berurusan dengan Arion, pria aneh yang tiba-tiba baik. Namun sekarang Kirana jadi bimbang sendiri, ia bingung untuk pulang, pulang ke rumah yang sekarang bukan rumahnya. Ah, jika begini mendadak pikiran Kirana tertuju pada Ibunya Aditya. Merasa bersalah sebab tidak menemuinya, pergi tanpa memberitahukannya. Melihat sebuah kursi di sisi jalan membuat Kirana duduk di sana. Ia menatap jalanan yang sepi. Sungguh, baru kali ini ia duduk seperti ini. Tidak punya tempat, tidak punya rumah dan tidak punya teman untuk ia ajakin bicara. Dirinya sendirian. Teringat akan tawaran Arion mengenai pertanyaan rumah, ia menolaknya sebab tak enak hati. Sekarang ia benar-benar bingung untuk pulang ke mana, apa ia pulang ke rumah Aditya saja? Hanya untuk malam ini? Tapi … Kirana terdiam kembali dalam lamunan. Ia ingin pulang ke rumah Aditya namun seringkali ia takut apabila nantinya hanya hinaan yang ia dapati. Tak memungkinkan Aditya akan murka kembali bukan? Dengan ucapan kasarnya, dengan hinaan setiap harinya, Kirana sudah cukup kenyang dengan itu semua. “Hufftttt….” Pada akhirnya Kirana hanya bisa menghela napas panjangnya. Dalam keheningan malam itu Kirana tiba-tiba mendengar sebuah suara langkah kaki. Ia yang semula memejamkan mata terbuka lebar takala langkah kaki itu semakin mendekat. Padahal tempatnya cukup tersembunyi tapi … Kirana was-was. sekelebat ucapan Arion terngiang ditelinganya. ‘Jika nanti ada berandalan atau preman, kau gunakan alat ini untuk memukulnya ya?’ Ucapan itu berhasil membuat Kirana mengambil sesuatu dari dalam amplop cokelat yang ia bawa-bawa ini. Ada dua alat untuk perlindungan dirinya, namun yang ia bisa gunakan hanya semprotan kecil ini. Entah semprotan apa yang pasti Kirana akan gunakan untuk melindungi dirinya. Langkah kaki itu kian mendekat, Kirana bersembunyi dibalik tanaman yang cukup lebat. “Aduh, ke mana lagi aku harus mencari? Mana malam semakin larut lagi!” Kirana terkejut saat suara wanita terdengar dalam pendengarannya. “Ya ampun … mana jaringannya nggak ada lagi!” ucapnya terlihat kesal. Sadar bahwa bukan penjahat membuat Kirana memasukan kembali alat semprotan. Mendatangi wanita tersebut yang terlihat kelipungan. “Permisi?” Dengan pelan Kirana menepuk bahunya. Wanita itu menoleh tampak terkejut namun sedetik kemudian tampak kegirangan. “Alhamdulillah ternyata ada orang di sini. Ya ampun Nak … bisa bantu Oma? Di sini Oma tersesat!” ucap wanita itu, memegang lengan Kinara secara spontan. Jika dilihat-lihat wanita ini sudah berumur lebih dari 60, terlihat dari kulit yang sudah sangat keriputan. “Nek, duduk dulu sepertinya nenek habis berjalan jauh ya?” ucap Kirana ramah, ia menarik pelan wanita yang tampak kelelahan itu. “Iya, Nak. Oma mau pulang tapi malah tersesat begini, Oma di tinggal pergi sama sopir Oma.” Kirana menatap prihatain, sudah tua malah ditinggal sendirian lagi. “Kenapa bisa?” “Iya, tadinya kan Oma mau jajan dulu, biasa jajanan anak-anak muda. Tempatnya itu ramai sekali, dan Oma turun di sana. Oma udah peringati sopirnya untuk diam di sini, tapi pas Oma pulang mobilnya tiba-tiba nggak ada. Dicari-cari malah tersesat ke sini. Mau menelpon malah nggak ada sinyal, mana Oma lupa jalan pulang lagi.” “Oma tinggal di mana? Biar aku antar.” Nenek tersebut tampak senang. “Kamu mau antar Oma? Sebentar,” ucapnya sembari mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. “Ini alamat rumah Oma,” ujarnya menyodorkan sebuah kertas. Kirana membacanya dan alamat ini sangat ia hapal. “Aku tau jalan ini, Oma. Mau aku antar?” “Beneran Nak? Apa tidak merepotkan kamu?” Kirana tersenyum menggeleng. “Tidak sama sekali Oma, ayo, malam semakin larut takutnya nanti ke malaman banget.” Nenek itu benar-benar kegirangan. “iya ayo, Nak!” *** “Nama kamu siapa?” Di dalam perjalanan, nenek itu bertanya. “Nama saya Kirana, Oma. Oma sendiri namanya siapa?” “Nama kamu cantik, kalau Oma ya Oma saja.” Kirana terkekeh kecil, lucu juga jawaban nenek yang satu ini. “Nama aku emang cantik, tapi orangnya enggak,” ucap Kirana kemudian. Sadar diri saja bahwa dirinya memang tidak cantik. Mantan suaminya saja sering mengatainya jelek. “Siapa bilang enggak cantik? Kamu cantik lho, hanya saja … perlu diurus,” ucap Nenek itu tersenyum,memperlihatkan sebagian gigi yang sudah ompong. Lagi dan lagi Kirana hanya mampu terkekeh kecil. “Kamu sendiri tinggal di mana? Apa jauh dari alamat Oma?” tanyanya. Kirana menghela napas sesaat, untuk pertanyaan ini apa perlu dijawab? “Nak?” “Eh, emm … anu Oma, aku … aku tak punya rumah.” "Apa? Kamu enggak punya rumah?" Kirana mengangguk kecil, sangat malu sebenarnya namun daripada harus berbohong? Lebih baik jujur saja bukan? “Kalau begitu tinggal saja di rumah Oma, kebetulan penghunianya sedikit kok.” Kirana tak percaya ini, seseorang tiba-tiba menawarkannya tempat tinggal? “Tenang, keluarga Oma baik-baik, jadi nggak bakal ada yang ganggu kamu.” “Oma enggak curiga?” “Kenapa harus curiga?” “Ya masalahnya kita baru kenal Oma, apa Oma tidak curiga kalo misalkan aku orang jahat yang berpura-pura baik?” Wanita itu hanya tertawa kecil. “Enggak. Oma tau mana orang yang baik dan mana yang hanya memanfaatkan keadaan. Kamu baik, Oma tau itu.” Kirana menunduk tersenyum, hatinya merasa senang tatkala seseorang mengatakan bahwa dirinya baik. Tidak sedikit orang mau membantunya dalam sekali pertemuan, dan nenek ini begitu baik, dia menawarkan tempat tinggal untuknya. Setelah Arion … ini kedua kalinya orang lain mau membantunya. “Apa tidak masalah kalo aku tinggal di rumah Oma? Masalahnya—” “Ya tidak masalah, tidak akan ada yang menegurmu untuk tinggal di sana. Semua urusan di rumah kan Oma yang atur, jadi kamu nggak usah takut begitu.” Kirana diam-diam melirik, dilihat dari gelagatannya, wanita ini tampak orang kaya. Tidak salah lagi dari pakaian serta tas tampak bermerek mahal. “Kamu tinggal di rumah Oma aja, ya? Jadi asisten Oma!” Hah? Jadi asistennya? “Nah, Oma sudah tau jalan ini!” serunya menghentikan langkah. Kirana baru sadar bahwa jalan ini memang jalan yang tertulis di alamat. Ah, ternyata sudah sampai saja. Tapi … tunggu! Kenapa ia merasa tak asing dengan jalan ini ya? “Ayo ikuti, Oma. Tidak jauh dari sini rumah Oma bakalan terlihat,” ucapnya menarik lengan Kirana. Dengan rasa sakit yang ditahan dibagian lututnya, Kirana hanya bisa tersenyum melihat keantusiasan nenek ini. “Nah itu rumah Oma,” tunjukknya setelah sampai. Kirana menatap pada bangunan yang ditunjuk Oma. Hanya dalam hitungan detik bola mata Kirana melebar sempurna. Rumah itu … Rumah kediaman Tuan Hengkara! Rumahnya Arion!“Jika kau ingin pergi pergilah. Nanti saya akan menyuruh salah satu pelayan untuk mengantarkanmu sampai ke pintu depan." Arion berlalu meninggalkan Kirana begitu saja, namun tanpa Kirana ketahui bahwa pria itu diam-diam bersembunyi dibilik pintu yang tak jauh darinya. “Antarkan dia sampai ke pintu utama, setelahnya kau boleh pergi,” ucap Arion pada salah satu pelayan yang sudah ia suruh. “Baik Tuan.” Pelayan wanita itu sedikit membungkuk kemudian melenggang pergi menemui Kirana. Dalam pandangan yang tak pernah lepas dalam menatap Kirana, Arion menghubungi seseorang. “Ikuti gadis yang saya suruh. Ingat, jangan melakukan apapun selain sebuah kabar mengenai dirinya. Dan jangan lupa cari informasi mengenai dirinya!” ucap Arion di telpon, menatap Kirana yang sudah pergi menjauh. “Kau melupakan aku, Kiran …,” ucapnya lirih sebelum kemudian melenggang pergi meninggalkan ruangan tersebut. ***“Apa yang kau katakan? Oma tidak ada?” ucap Arion dengan raut gusar. Setelah beberapa menit dis
Kirana tersenyum canggung, ia menggaruk pangkal hidungnya. Tak berani menatap Arion maupun Tyas, Kirana hanya diam dengan perasaan malu. “Kamu sudah kenal juga dengan Kirana, Rion? Kenapa enggak bilang Oma?” “Aku sudah mengenalnya Oma, tapi dianya saja yang enggak kenal aku,” celetuk Arion tanpa disadari Kirana. Perempuan itu mendengar namun tidak mampu Kirana pahami maksudnya. “Ah maksudku, baru saja. Baru saja kami saling kenal,” ucap Arion membenarkan. Dalam diam Arion menatap Kirana, namun tanpa sengaja justru tatapan keduanya bertemu. Kirana dengan malunya langsung menunduk. Pipinya memerah merona dilihat seperti itu. “Ya sudah kalo kalian sudah kenal sebelumnya, biarkan dia masuk, kasihan!” ucap Tyas. Tyas menarik lengan Kirana, ia tersenyum tipis. “Kiran, ayo masuk!”“Tapi Oma—”“Nggak ada tapi-tapian! Percaya sama Oma nggak bakal ada yang nyakitin kamu di sini, nggak usah takut.”Kirana melirik sekilas pada Arion, bukan tidak ingin hanya saja ia merasa tak enak dengan pr
“Akh, Mas! Pelan-pelan. Sss– sakit ….” Wanita itu diseret paksa, menangis tertahan saat tangannya ditarik kian kuat. “Diam kamu! Malu-maluin aja!” Pria itu mengeram kesal, menghempaskan tubuhnya hingga wanita itu terjatuh. “Dasar istri kampungan! Malu-maluin aja! Udah aku bilang untuk diam di rumah! Kenapa malah datang ke sini dan ikut campur di dalam sana?!!” Napas pria itu menggebu, memerah marah. Dengan kasar pria itu mencengkam kedua pipi istrinya. Ya, wanita yang saat ini menangis adalah istrinya. “Udah aku peringati untuk tidak membuat keributan Kirana, tapi kamu dengan mudahnya masuk dan mempermalukan aku dengan pakaian kamu ini. Kau tidak sadar apa yang kamu lakukan, hah?”“M--mas, s--sakit….” Wanita itu, Kirana Farhana namanya, menangis kian deras saat suaminya tampak hilang kendali, ia ketakutan, tubuhnya gemetar hebat, kepalanya makin terangkat sebab tangan suaminya terus mencengkram pipinya. 2 tahun pernikahan bersama Aditya Darmawijaya, kehidupan Kirana tidak pernah
‘’Kamu Kirana Farhana, aku ceraikan dengan talak 3!’Ucapan yang belum genap lima menit itu terus terngiang di telinga Kirana. Dengan langkah sempoyan Kirana berjalan. Namun karena merasakan sakit di bagian lutut ia mendadak berhenti di tempat. Dilihatnya lutut itu yang berdarah, mungkin saat tadi Aditya yang mendorongnya tanpa perasaan, tanpa tahu bahwa lututnya terkena batu yang cukup keras. Kirana meringis sakit, darahnya mengucur tanpa bisa dicegah, bingung untuk menghentikan pendarahan agar tidak keluar semakin banyak.“Bersihkan lukanya dengan ini.” Di tengah rasa sakit itu tiba-tiba seseorang mengulurkan sebuah botol yang berisi cairan, entah apa, Kirana tidak tahu. Ia mendongak mendapati seorang petugas satpam dengan topi yang menutup setengah wajahnya. “Terima kasih, Pak. Tapi saya tidak apa-apa. Ini hanya luka kecil.” Mencoba tersenyum, Kirana mencoba kuat di hadapan orang yang mengasihaninya. “Ck! Kalau tidak dibersihkan lukanya akan terkena infeksi.” Pria itu berjongko
“Ya ampun Arion? Putraku!” Tuan Hengkara segera memeluk putranya kala topi itu terlepas, membuat beberapa orang yang ada di sana menganga tak percaya. Apalagi teruntuk Aditya dan Derina, keduanya terkejut setengah mati. Ekspresi Kirana? Jangan tanyakan lagi, ia benar-benar terkejut atas apa yang ia dengar. Apa katanya? Putraku? Itu berarti orang yang baru saja menolongnya tak lain… ? “A--apa maksud Anda, dia adalah putra Anda?” tanya seseorang. “Jelas ini putraku, Arion Mahaprana Hengkara!” ujar Tuan Hengkara penuh bangga. Pria itu menepuk bahu Arion. Ya, dia Arion Mahaprana Hengkara, putra satu-satunya keluarga Hengkara! Pewaris tunggal Hengkara! “Kapan kamu pulang, Nak? Kenapa tidak berkabar?” tanya Tuan Hengkara merasa pangling akan putranya ini, wajar 5 tahun putranya itu berada di luar negeri dan sekarang dia sudah kembali. “Tentu saja untuk memberi kejutan, Ayah. Sekaligus melihat siapa yang pantas untuk bekerja di perusahaan Hengkara dan siapa yang tidak layak untuk bekerja
“Lukamu cukup dalam Nona, jadi pantas saja darahnya terus keluar.”Kirana menatap seorang wanita yang saat ini sedang menutupi lukanya dengan kasa. Setelah diberi obat kini lututnya diperban.“Sudah selesai, sekarang darahnya tidak akan keluar lagi,” ucap wanita itu yang belum diketahui namanya. Kirana tersenyum tipis. “Terima kasih Mbak, dan umm … maaf telah merepotkan Anda.”“Tidak usah berterima kasih, ini semua kan atas perintah Tuan Arion. Sudah menjadi tugas saya menuruti perintahnya.” Kirana tersenyum mengangguk, memang semua ini terjadi atas kebaikan Arion padanya. Padahal sebelumnya ia sudah menolak untuk disembuhkan namun karena Arion yang kala itu memaksa membuat Kirana mau tak mau menurut. Dan di sinilah ia berada, di rumah kediaman Tuan Hengkara.“Apa sekarang saya boleh pulang? Saya merasa tidak pantas menginjakkan kaki di sini. Apalagi saya bukan siapa-siapanya Tuan. Jadi tak enak,” ucap Kirana sembari celingak-celinguk. Diruangan ini memang hanya ada dirinya dan wanit