"Aku sudah bermain lembut padamu tapi ternyata kau malah suka bermain kasar. Baiklah, ayo kita lakukan, sepertinya itu lebih seru."
"Apa maksud and-hmmmp, lepasss hmmp."
***
Alena berulah lagi, tujuh hari tidak masuk sekolah, tiga kali memukuli teman sekelasnya, tidak mengerjakan satu pun soal ulangan Fisika, dan bolos jam pelajaran entah untuk yang ke berapa puluh kalinya. Begitu kiranya catatan kenakalan Alena bulan ini, dua tingkat lebih parah dibanding dengan kasus kenakalan gadis itu bulan lalu. Sepertinya ia tidak bisa tidur nyenyak jika sehari saja tak merepotkan pihak kesiswaan di sekolahnya. Kurang khidmat hidupnya jika ia tak memicu urat-urat kemarahan gurunya bermunculan. Surat panggilan orang tua sudah beberapa kali disampaikan namun tak sekali pun pihak keluarga Alena memenuhi panggilan itu.
Jelas ini menjadi masalah besar bagi sang wali kelas, Azeeya, ia bertanggung jawab penuh atas nasib anak didiknya yang mulai terancam drop out dari sekolah. Sekali pun Alena sering menimbulkan masalah, tentu Azeeya tidak rela kalau sampai muridnya didepak secara tidak hormat apalagi posisinya sekarang Alena sudah kelas XII. Tak lama lagi anak itu akan lulus dan menyambut kehidupan yang sesungguhnya. Alena tidak boleh membawa luka yang tidak seharusnya dari masa sekolah karena sedikit banyak kasus drop out ini pasti akan memengaruhi kondisi psikis gadis itu dengan atau tanpa disadari.
Oleh karena itu, hari ini, selepas perempuan 26 tahun itu selesai mengajar, dia memutuskan untuk mengunjungi kediaman Alena. Zeeya ingin memastikan sendiri surat panggilan orang tua itu tiba di tempat yang dituju dan langsung tersampaikan pada pihak yang seharusnya. Bukan maksud berburuk sangka pada Alena, namun kemungkinan besar selama ini surat yang dikirim pihak sekolah memang tidak pernah sampai ke tangan yang seharusnya—kedua orang tua Alena. Entah dibuang ke tong sampah atau hangus di tempat pembakaran, yang pasti Zeeya jamin surat panggilan kali ini akan sampai dengan selamat pada orang yang tepat.
Gerbang raksasa bercorak harimau dengan lilitan akar yang unik di sekitarnya terbuka ketika mobil Zeeya tiba di sana. Seorang pria sekitar empat puluh tahunan menghampiri gadis itu dan menanyakan identitas serta maksud dan tujuannya mengunjungi rumah yang lebih menyerupai mansion megah seharga milyaran itu. Jarak antara gerbang masuk dengan mansion utama lumayan jauh, butuh waktu sekitar sepuluh sampai lima belas menit perjalanan jika menggunakan mobil. Sepanjang mata memandang Zeeya menyaksikan pemandangan taman yang begitu luas, terdapat danau buatan yang indah dikelilingi oleh pohon pinus yang terawat dan tanaman hias yang tumbuh di sekitarnya. Di belahan lain, tampak lapangan golf lengkap dengan fasilitasnya. Mata Zeeya terbelalak dan tak berhenti berdecak kagum mendapati rumah semewah ini. Dia baru tahu bahwa ternyata orang tua Alena itu luar biasa kaya sampai memiliki hunian semegah istana kerajaan.
Hal semacam itu biasanya hanya Zeeya temukan di dongeng-dongeng dan cerita romansa saudagar kaya, nyatanya di dunia ini benar-benar ada manusia yang hidup bergelimang harta dan tinggal di sebuah tempat setingkat istana. Dari sana Zeeya sadar, bahwa orang yang akan ia hadapi sebentar lagi bukanlah orang biasa. Beragam strategi gadis itu siapkan agar tidak mempermalukan dirinya dan instansi yang mengirimnya ke tempat ini. Mobil Zeeya sudah tiba di pekarangan depan rumah, gadis itu cukup terkejut karena begitu Zeeya turun dari mobil, ia langsung disambut hangat oleh beberapa pelayan. Mereka sangat ramah dan memperlakukan Zeeya bak tamu agung. Gadis itu tidak mengerti kenapa bisa demikian, mungkin penjaga gerbang depan tadi yang menginformasikan tentang kedatangannya pada para pelayan ini.
"Anda diminta untuk langsung menunggu di ruang tamu Nona, silakan, lewat sini," ujar salah seorang pelayan perempuan berwajah ramah.Tutur kata dan pembawaannya pun sangat sopan membuat Zeeya nyaman dan tidak ragu untuk mengikuti anjurannya.
"Kami akan segera memberi tahu tuan Allendra tentang kedatangan Anda," ungkap pelayan itu lagi.
"Tunggu, apa saya bisa bertemu dulu dengan Alena sebelum menemui tuan Allendra?" pinta Zeeya dengan hati-hati.
Dirinya memang memiliki hal yang harus didiskusikan terlebih dahulu dengan Alena, Zeeya tidak ingin gegabah dan menyudutkan anak itu di depan orang tuanya. Sebisa mungkin dia akan mengambil jalan tengah agar tidak terlihat Alenalah yang paling bersalah dalam kasus ini. Bagaimana pun juga Alena itu masih remaja, Zeeya hanya khawatir jika Alena akan tertekan lebih parah jika semua beban ditimpakan padanya.
"Tentu, kalau begitu mari ikut saya. Kediaman Nona Alena ada di gedung sebelah timur," kata pelayan itu lalu lanjut berjalan.
Wah, ini rumah atau istana negara? Banyak sekali gedungnya, batin Zeeya terheran-heran sekaligus kagum.
Cepat ia mengikuti langkah sang pelayan agar tidak tersesat, Zeeya yakin sedikit saja dia lengah maka gadis itu akan kesulitan untuk kembali ke ruang utama tadi. Banyak koridor, ruangan yang sangat luas di masing-masing bagian, interior luar biasa mewah, lampu-lampu kristal menggantung cantik di setiap penjuru. Kepala sederhana Zeeya sulit menebak kira-kira berapa banyak uang yang dikeluarkan perbulannya untuk membayar listrik. Belum lagi biaya air dan lain-lain, sepertinya gajinya sebagai guru selama satu tahun penuh pun tidak akan cukup untuk membayar tagihan listrik rumah itu.
"Silakan tunggu di sini, saya akan memanggil nona Alena untuk menemui Anda."
"Baik, terima kasih."
Ruang tamu lagi?
Batin Zeeya semakin menangis melihat kekayaan keluarga Alena. Gadis itu mengedarkan pandangan ke sekitar, lagi dan lagi dia tidak berani menebak harga dari setiap ornamen dan guci-guci antik yang tersusun rapi di setiap sudut ruangan. Dia tidak mau pingsan di sana dan mempermalukan dirinya sendiri.
"Untuk apa Ibu ke sini?" tanya Alena begitu dia tiba di ruang tamu ke sekian rumah mewah itu.
Zeeya berdiri dan langsung terfokus pada luka di bibir dan pelipis Alena, gadis itu beranjak cepat—mendekat pada Alena dan menyentuh sudut bibir muridnya itu.
"Kau kenapa, Len?"
Alena segera menepis tangan Zeeya, sikapnya memang tidak sopan namun Zeeya berusaha memakluminya.
"Saya tanya untuk apa Ibu ke sini?"
"Ibu mau bertemu dengan orang tuamu."
"Mereka tidak ada."
"Tapi tadi katanya tuan Allendra ada di sini dan siap menemui Ibu."
"Allendra memang ada, orang tuaku yang sudah tidak ada."
"Lalu tuan Allendra siapa?"
“Seseorang yang tidak boleh didekati, dia berbahaya sebaiknya Ibu pulang saja dan lupakan rencana untuk menemuinya."
Setelah mengatakan itu Alena pun berbalik dan meninggalkan gurunya. Zeeya yang sempat tercenung akibat mencerna ucapan Alena lalu tersadar, dia memutuskan untuk mengejar Alena dan mengajak anak itu bicara empat mata lagi.
"Alena tunggu, kita harus bicara!" pekik Zeeya sambil terus mempercepat langkah agar tidak ketinggalan dari langkah Alena yang begitu cepat.
"Alena stop! Ibu benar-benar ingin membicarakan masalah serius denganmu. Kali ini kau tidak boleh menghindar lagi dan mari selesaikan semuanya. Sebentar lagi kau ujian, jadi tolong bekerja samalah dengan Ibu. Akan Ibu pastikan kau bisa lulus tahun ini, Len."
Tubuh Zeeya limbung ketika tak sengaja dia tersandung kakinya sendiri. Begitu dia berusaha menegapkan badan, sosok Alena sudah tidak terlihat lagi dalam jangkauan matanya. Gadis itu menghilang entah ditelan koridor sebelah mana. Ada tiga jalur yang terbentang di depan sana, kiri, kanan, dan tengah. Zeeya sama sekali tidak tahu ke arah mana Alena pergi. Dengan hanya berbekal insting, gadis itu pun memilih jalur kiri sambil terus memanggil-manggil Alena. Setelah melakukan pencarian cukup panjang akhirnya Zeeya berhasil menemukan sosok Alena.
Gadis remaja itu sedang berdiri di depan sebuah ruangan yang belum Zeeya ketahui fungsinya. Alena tampak mematung, menatap tajam ke dalam ruangan lantas kedua tangannya mengepal. Zeeya memindai pemandangan aneh itu dengan saksama, mencoba menerka hal apa yang Alena saksikan sampai dia bereaksi marah seperti itu. Alena tampak menahan emosi, tidak ingin diinterogasi lebih lanjut oleh Zeeya, gadis tomboy itu pun beranjak tanpa kata dan menyisakan beribu tanya di benak Zeeya.
“Apa yang dia lihat?” gumam Zeeya setelah berdiri di hadapan pintu ruangan tempat Alena mematung tadi.
Guru itu maju selangkah, memiringkan kepalanya untuk mengintip apakah gerangan yang membuat Alena bereaksi kesal tertahan. Merasa area pandangnya terbatas, Zeeya pun mendorong sedikit pintu itu untuk mendapat akses penglihatan yang lebih leluasa dan alangkah terkejutnya gadis itu begitu menemukan sejoli tengah beradegan panas di dalam sana. Penampilan si pria masih tampak rapi dengan kemeja putih dibalut jas hitam, ia mengenakan setelan formal. Sementara kondisi perempuannya sudah tidak karuan. Rambutnya berantakan, rok terangkat sedikit, dan mendesahkan suara menjijikkan menurut Zeeya. Seumur hidup, ini kali pertama Zeeya menyaksikan kegiatan semacam itu.
“Astaga!” pekik Zeeya refleks.
"Siapa itu?"
Jantung Zeeya tersentak begitu sang wanita menyadari keberadaannya. Pria yang tadi sibuk mencumbu wanita itu pun terganggu aktivitasnya, dia menatap heran sang lawan main kemudian wanita itu menjelaskan bahwa ada seseorang yang mengintip mereka. Mendengar itu Zeeya langsung panik, dia hendak melarikan diri dari sana namun terlambat. Gadis itu tidak bisa berpindah tempat seinci pun karena seseorang telah mencekal lengannya.
Mati aku! Gadis bodoh, kenapa pula kau harus mengintip mereka?!
"Ada yang bisa dibantu, Nona?"
Sekujur tubuh Zeeya merinding begitu suara husky dengan getaran lembut namun mencekam itu menyapa indra pendengarannya. Cara bicaranya memang dibuat seramah mungkin namun Zeeya merasakan aura yang berbeda dari nada suara itu. Gadis itu berbalik dan mendapati sosok pria tampan berwajah tegas sedang menyunggingkan senyum lebar namun terkesan aneh. Zeeya tidak nyaman melihatnya.
"Maaf, saya salah masuk kamar," Zeeya beralasan, mencoba bersikap setenang mungkin padahal saat ini jantungnya sudah nyaris meledak saking takutnya.
"Apa Anda guru yang dimaksud pelayan tadi?"
"Ah, iya, perkenalkan saya Azeeya, wali kelas Alena. Tujuan saya datang ke sini untuk—"
"Menemuiku?" potong pria itu masih dengan senyum anehnya.
Mereka berbicara di ambang pintu, kamar mewah itu sudah terbuka lebih lebar dan Zeeya bisa menyaksikan dengan jelas jika kini perempuan yang tadi penampilannya acak-acakan kini sudah tampil lebih baik dan sopan. Tidak lagi semengenaskan tadi.
"Bertemu dengan wali Alena tepatnya," koreksi Zeeya berusaha menjaga wibawanya agar tidak luntur, meski aura Zeeya kalah kuat dari lelaki di hadapannya ini namun dia tidak ingin terkesan lemah apalagi sampai tersudut oleh ucapan pria itu yang terkesan menekannya terus-terusan.
"Saya satu-satunya wali sah Alena yang masih hidup. Jadi sudah pasti Anda harus bertemu dengan saya, Nona Azeeya."
Zeeya tampak mengembuskan napas berat, mendadak ia teringat akan peringatan Alena yang menyuruhnya untuk tidak menemui Allendra, mungkin pria di depannya inilah orangnya. Dia terlihat berbahaya dan tidak bersahabat, sosok yang patut dijauhi oleh Zeeya.
"Kalau begitu bisakah kita bicara di tempat yang lebih nyaman?"
"Ide bagus, aku juga merasa di sini terlalu terbuka, bukan begitu?"
"Maksud Anda?" heran Zeeya dengan tatapan penuh curiga, sekali lagi pria itu hanya membalasnya dengan senyuman ganjil.
"Hailey pergi!" usir Allendra pada perempuan yang tadi.
"Tapi kita belum selesai Al, baru saja dimulai."
"Just go, you got it?"
Gadis itu mendengus sebal dan menunjukkan ekspresi yang tidak bersahabat pada Zeeya. Bahkan ketika dia keluar, Hailey sengaja menabrak bahu Zeeya dengan bahunya karena merasa gadis itu sudah mengacaukan rencananya dengan Allendra.
"Anda tidak harus mengusirnya seperti itu, kalau memang sibuk saya bisa mengunjungi Anda lain kali."
"Anda mungkin bisa mengunjungi saya kapan saja tapi saya tidak bisa menerima Anda setiap saat, kecuali jika saya ingin, so, come in please."
Kaki Zeeya membatu, berat rasanya untuk mengikuti langkah pria itu karena ia merasa jika selangkah saja ia melewati batas pintu ini maka rasanya sulit bagi Zeeya untuk keluar lagi. Dia tidak mengerti mengapa bisa memiliki perasaan semacam itu, serta merta ketakutan itu datang dengan alami tanpa diminta.
"Kenapa, ada masalah?" ucap pria itu lagi ketika tidak menemukan sang tamu mengikutinya.
Zeeya menggeleng cepat, dia berusaha mengenyahkan semua pemikiran aneh dan terus berpikir positif. Terkait kejadian kurang nyaman yang disaksikannya tadi, Zeeya akan berusaha melupakan itu.
Sebenarnya itu juga bukan urusan Zeeya, toh pria itu melakukan kegiatan tadi di kediamannya sendiri, di kamar pula. Jelas sekali gadis itu yang lancang, Zeeya tidak sopan karena menyaksikan sesuatu yang seharusnya tidak dia lihat. Namun nasi sudah menjadi bubur, telanjur basah jadi ya sudah. Gadis itu pun mengikuti langkah Allendra, dia dipersilakan duduk di sofa beludru berwarna abu-abu. Entah sudah berapa kali Zeeya memuji kemewahan dan fasilitas rumah itu. Dia masih saja terkejut dan terpesona melihat setiap interior di masing-masing ruangannya. Seperti sekarang ini, meski terkesan kelam dengan nuansa abu dan hitam tapi ruangan yang diprediksi adalah kamar Allendra ini cukup membuatnya betah memandangi suasananya lama-lama. Ingat, hanya suasananya saja tidak dengan penghuninya.
"Jadi masalah apa lagi yang diperbuat adik saya?"
"Anda tahu Alena sering berbuat onar?" kaget Zeeya dan lebih kaget lagi karena respons pria itu hanya mengangguk kecil seperti tidak begitu peduli.
"Tentu."
"Lantas mengapa Anda membiarkannya begitu saja? Sebentar, sebelumnya saya ingin bertanya, apa selama ini Anda sudah menerima surat panggilan dari pihak sekolah?"
Lagi, pria itu mengangguk tanpa memberi jawaban dengan lisannya.
"Dan Anda menolak hadir?"
"Bukan menolak, saya hanya tidak punya waktu."
Zeeya mendengus, emosinya mulai terpancing. Ternyata selama ini Alena sudah menyampaikan semua surat yang diberikan pihak sekolah, hanya walinya saja yang tidak tahu diri dan enggan memenuhi panggilan itu.
"Tujuh hari dalam seminggu, dua puluh empat jam dalam sehari, tidak bisakah Anda meluangkan waktu beberapa jam saja untuk mengurusi masalah adik Anda? Ah, saya rasa waktu tiga puluh menit saja sudah cukup. Ini terkait masa depan Alena, bagaimana Anda bisa tidak acuh seperti ini?"
"Tujuh hari dalam seminggu, dua puluh empat jam dalam sehari, dan tiga ratu enam puluh hari dalam setahun kuhabiskan semua waktu yang kupunya untuk bekerja. Tidak ada waktu untuk mengurusi hal yang tidak penting, kecuali kalau aku mau."
Wah, manusia ini lebih dari gila rupanya. Dia psikopat! Maki Zeeya dalam hatinya, hanya itu yang bisa dia lakukan sekarang.
"Tetap saja Anda tidak bisa menelantarkan Alena, dia butuh perhatian dan kasih sayang Anda. Melihat sikap Anda yang seperti ini agaknya saya mulai mengerti kenapa Alena selalu bertingkah nakal di sekolah. Semua itu pasti gara-gara keluarganya yang tidak peduli padanya, dan Anda sebagai kakak satu-satunya yang dia punya sungguh egois karena terlalu mementing diri Anda sendiri dan pekerjaan dibandingkan dengan Alena."
Ini kali pertama setelah sekian lama Allendra dimarahi dan diceramahi seseorang. Awalnya dia kesal namun setelah menatap gadis itu lekat-lekat kekesalan itu sirna seketika. Dia mulai merasa gadis di hadapannya ini sungguh unik dan menyenangkan, bermain-main dengannya pasti akan membuat Allendra puas.
"Untuk ukuran orang yang baru bertemu ucapan Anda terlalu lancang, nona Zeeya. Anda tidak tahu apa-apa tapi sudah berani mencela kehidupan keluarga saya. Itu tidak sopan namanya."
"Mohon maaf sebelumnya jika Anda tersinggung dengan ucapan saya, tapi saya serius, mulai saat ini dan ke depannya Anda harus lebih memperhatikan Alena. Anda tahu jika saat ini Alena terluka? Sudut bibir dan pelipisnya lebam, sepertinya dia baru bertengkar dengan seseorang di suatu tempat."
"Dia pandai bela diri, Anda tidak usah khawatir."
"Anda sungguh kakak yang tidak bertanggung jawab. Bisa-bisanya berkata sesantai itu di saat adik perempuan Anda terluka cukup parah. Mari kita akhiri pembicaraan ini, rasanya percuma, pembicaraan kita tidak akan pernah menemui titik temu. Saya permisi."
Allendra bergerak cepat dengan menghadang langkah Zeeya. Pria itu melangkah, terus merapatkan jaraknya dengan Zeeya sampai membuat gadis itu terus memundurkan langkah dan tibalah punggungnya membentur tembok. Zeeya sudah tidak bisa bergerak lagi sedangkan Allendra semakin mendekat padanya.
"Anda pikir bisa pergi begitu saja setelah mengatai saya sebagai kakak yang tidak bertanggung jawab, hm?"
"Anda mau apa?"
"Sepertinya kita seumuran, bagaimana kalau jangan bicara terlalu formal, kaku rasanya, aku tidak suka."
"Tolong jangan macam-macam, bagaimana pun saya ini guru adik Anda. Tolong jaga sikap Anda, ya!"
"Kau guru adikku, bukan guruku dan lagi ini bukan di sekolah jadi kita tidak perlu menjaga tata krama seformal itu. Santai saja, lagi pula di sini hanya ada kita berdua."
"Tuan Allendra, saya peringatkan Anda untuk tidak berbuat macam-macam!"
Pria itu memecah tawa ringan sambil terus memberikan tatapan seduktif, dipindainya tubuh Zeeya dari atas sampai ujung kaki. Tidak seprofosional para wanitanya selama ini namun gadis bertubuh mungil ini memiliki pesona yang membuat Allendra begitu betah menatapnya lama-lama. Baru bertemu sudah ingin memiliki, sah-sah saja bukan?
"Macam-macam yang bagaimana, Cantik?" bisik Allendra sensual, jarak wajahnya dengan Zeeya teramat dekat, mereka bahkan bisa merasakan embusan napas masing-masing dari jarak setipis itu.
"Menjauhlah!" Zeeya berusaha mendorong dada Allendra namun kekuatan gadis itu tidak berarti apa-apa bagi si pria.
"Aku ingin lebih dekat denganmu, tidak mau menjauh."
"Go away!"
"Tidak sebelum kita bermain sebentar."
Plak!
Satu tamparan keras berhasil mendarat di pipi Allendra, pria itu terkejut namun wajahnya masih terlihat biasa-biasa saja. Namun tidak dipungkiri bahwa kini garis bibir pria itu sudah mulai mendatar, rahangnya mengeras, dan urat-urat kemarahannya sudah mulai terlihat.
"Aku sudah bermain lembut padamu tapi ternyata kau malah suka bermain kasar. Baiklah, ayo kita lakukan, sepertinya itu lebih seru."
"Apa maksud and-hmmmp, lepasss hmmp."
Allendra mendesak Zeeya untuk membalas ciuman paksa pada bibir gadis itu, kemarahannya sudah terpancing. Tadinya dia ingin bermain dengan tempo yang pelan namun lawan mainnya menantang Allendra untuk melakukan permainan yang lebih cepat dan kasar. Sebagai pemain ulung tentu dia berani menerima tantangan itu, tidak alasan untuk menolak terlebih ketika dia sudah mencecap rasa manis dari bibir gadis cantik itu. Zeeya terus berontak sebisa mungkin, sisa kekuatannya dia gunakan untuk memberikan perlawanan. Dicakarnya pergelangan tangan Allendra dan saat pria itu lengah Zeeya segera mendorong tubuh Allendra lantas menampar pipi pria itu untuk yang kedua kalinya.
"Berengsek!" maki Zeeya kemudian pergi dari ruangan itu sambil menyeka bibirnya yang sudah ternoda oleh Allendra.
Sepeninggal gadis itu Allendra masih terengah-engah, bermain dengan gadis liar seperti Zeeya ternyata cukup menguras tenaganya. Dia sangat beringas dan susah diatur, lengannya bahkan sampai menjadi korban. Ada tiga cakaran kuku di lengan Allendra sekarang, pria itu tidak kesakitan sama sekali. Dia malah menerbitkan senyum senang melihat tanda cakar dari Zeeya, mereka berdua sudah sama-sama memberikan tanda di tubuh masing-masing. Artinya, keduanya sudah resmi terlibat dalam satu takdir. Alur kehidupan mereka baru saja bertemu dan Allendra janji dia akan menuntaskan permainan ini hingga akhir. Tidak ada yang bisa menghentikannya untuk mendapatkan apa yang dia mau.
"Aku suka dia," ujar Allendra menerbitkan senyum kepuasan yang sulit diartikan. Sungguh ini hari yang begitu membahagiakan untuknya.
Bersambung
"Aku ingin membunuh Allendra, Ibu mau membantuku?"***Gadis itu mengambil ancang-ancang, menapakkan kaki kanan di tembok gedung lalu melakukan gerakan melayang sampai kaki yang satunya menyentuh pipi seorang pria yang sejak tadi berlaga jagoan di hadapannya. Alena paling benci orang yang sok berkuasa atas apa pun yang bukan miliknya. Dia bukan orang baik, ya itu memang benar, tapi jika ada sesuatu yang tidak sedap dipandang tertangkap matanya tentu Alena tidak bisa tinggal diam. Suasana di gang sempit itu tampak sepi padahal hari sudah cukup pagi, hari ini Alena memang berangkat lebih awal dari biasanya karena malas diinterogasi dengan sederet pertanyaan tidak penting Allendra. Benar, memang pria itu satu-satunya walinya yang tersisa di dunia ini tapi sejak orang tuanya meninggal Alena merasa semua wali dan orang-orang yang peduli padanya pun ikut hilang. Allendra lebih mirip orang asing yang tidak peduli pada adik semata wayangnya.
Brak!Seseorang baru saja berbuat keributan di kantin sekolah, kalian salah jika mengira itu Alena, karena faktanya gadis yang dicurigai itu tidak melakukan apa-apa meski masih ada kaitan dengannya. Alena melihat sekilas orang yang menggebrak mejanya lalu membeliak malas dan lanjut menyantap makan siang yang dipesannya beberapa saat lalu."Sampai kapan kau mau berlaga seperti orang yang berkuasa di sekolah ini Alena? Kau bukan siapa-siapa tapi selalu bersikap semena-mena!" maki orang yang mengusik ketenangan Alena.Sontak kejadian itu menarik perhatian banyak orang, dalam sekejap mata mereka menjadi buah bibir dan tontonan menarik yang sangat sayang jika dilewatkan."Kau punya telinga tidak?! Jawab aku dan berhenti bersikap pongah!" teriak gadis itu lagi yang diperkirakan seusia Alena.Alena berusaha mengabaikan pancingan demi pancingan yang sedikit banyak mulai memengaruhi emosinya. Tapi gadis itu sedang tidak minat menghajar siapa pun hari ini ja
“Bisa bicara dengan tuan Allendra?” tanya Zeeya setelah dia menentukan pilihan. “Saya sendiri, siapa ini?” “Saya wali kelas Alena, Azeeya.” “Ahh, hai, apa kabar?” “Bisakah Anda datang ke sekolah sekarang?” “Kenapa, kau merindukanku?”***“Mohon maafkan Alena sekali ini saja Pak, saya janji akan membimbingnya menjadi lebih baik lagi. “Pihak sekolah sudah terlalu sering memberiny
"Saya benci pria yang tidak bertanggung jawab. Jadi berhentilah bermimpi, karena sampai kapan pun tujuan Anda tidak akan tercapai."Allendra memejam sedetik masih dengan senyum lebar di bibirnya. Gemas mendengar jawaban Zeeya yang benar-benar memacu adrenalin hatinya. Ia senang menemukan tantangan yang menyenangkan. Ia akan berterima kasih pada adiknya karena berkat Alena, Allendra menemukan Zeeya."Mau bertaruh denganku?"***"Aku tahu aku tampan, tidak perlu menatapku setajam itu. Kau membuatku semakin menyukaimu."Zeeya mendengus, seolah tidak cukup membuatnya mangkir dari jam kerja, pria itu kini membuat jantungnya ingin meledakkan amarah besar. Masa bodoh jika memang pria ini adalah orang berpengaruh dan sangat berbahaya seperti kata Alena, Zeeya tetap tidak bisa menerima tindakan semena-menanya. Tidak tahu aturan, tidak disiplin, arogan, dan sombong. Semua sifat yang dimiliki iblis ada padanya.
Alena berbaring dan menatap lurus langit-langit kamarnya yang bertabur bintang. Interior ruangan di kamar gadis itu memang lebih futuristik dibanding ruangan lain yang ada di istana megah keluarganya. Jika kamar Allendra didominasi warna hitam dan abu, maka berbeda dengan kamar Alena meski kesan yang didapat sama-sama gelap. Di kamar gadis itu warna putih dan biru lebih dominan. Lampu yang berpijar di bawah tempat tidurnya yang berbentuk bundar menyala terang sejak tadi.Tepatnya, sejak sang pemilik berbaring di atas kasur itu sambil merenungi kejadian demi kejadian yang telah terjadi hari ini. Sebelum benar-benar memeluk geming, Alena sempat memukul-mukul kasur dan meluapkan emosinya pada barang-barang di atas meja riasnya. Meja yang sama sekali tak menampung peralatan tempur perempuan ketika merias diri. Di sana hanya ada pelembap, bedak bayi, dan parfum kesukaan Alena. Selebihnya, tidak ada apa-apa lagi. Ah, mungkin di laci mejanya ada sisir dan hair dryer, itu pun jarang
"Ck, ck, ternyata kutukan Spancer itu benar adanya," gumam Vincent sambil geleng-geleng tak menyangka."Maksudmu?""Kau tidak tahu?""Tahu apa?"***"Selamat pagi," sapa seorang pria, menyapa Zeeya ketika gadis itu baru keluar dari rumahnya."Pagi, kau baru mau berangkat, Mark?""Iya, mobilmu mana?""Di bengkel.""Ada masalah apa memangnya?""Entah, aku tidak mengerti. Hanya saja kemarin keluar asap dari bagian kap depan. Maklum, mobil tua.""Mm, bagaimana kalau hari ini kau berangkat bersamaku?"Zeeya tersenyum sopan pada tetangga sekaligus teman kuliahnya ini. Dia bekerja di salah satu bank swasta sebagai manajer. Tubuhnya tinggi, memiliki tahi lalat di dagu, dan berkaca mata. Meski begitu, pria yang selalu tampak formal sepanjang Zeeya mengenalnya tetap terlihat ideal untuk dijadikan kriteria para gadis. Dia baik, ramah, dan sangat perhatian, dan cukup menyenang
"Jangan macam-macam, ini di sekolah.""Berarti kalau di luar sekolah boleh?"***Kehidupan itu tentang pusaran waktu, menyeretmu ke setiap sudut situasi tanpa ingin bertanya apakah kau siap atau tidak untuk menghadapinya. Seperti aliran sungai yang tidak akan berhenti berjalan sampai ia bermuara di titik yang semestinya. Sekali pun kau memaksa, agar apa yang tak diinginkan menghilang dari pandangan namun waktu tahu kapan dia harus memanjakanmu. Waktu tahu kapan ia harus mengabaikanmu. Waktu tahu, kapan ia harus berada di sisimu atau menjauh darimu sampai batas yang dia inginkan. Kau harus bahagia hari ini, maka itu adalah waktumu. Dia akan sukses esok hari, maka itu adalah waktunya. Kau yang belum mencapai titik membanggakan dalam hidup bukanlah pecundang yang tak dibutuhkan. Waktumu belum tiba namun bukan berarti kau harus meregang asa. Bukan berarti kau harus menyurutkan usaha. Selagi menanti waktu, mari bekerja
"Pulanglah tuan Allendra, saya yakin kekasih Anda sedang menunggu di rumah.""Kekasihku sedang menunggu di sini."***Dua orang itu saling melempar tatap, bingung mau mulai dari mana dan dengan cara apa. Tepatnya, Liam yang merasakan hal itu sementara Alena hanya duduk tenang sambil memperhatikan sang kapten basket yang entah mengapa bisa duduk berhadapan dengannya di perpustakaan hari ini."Bisa kita mulai?" tanya Liam, Alena diam saja."Mohon kerja samanya karena ini juga bukan kemauanku.""Siapa yang menyuruhmu?""Ketua Yayasan."“Lo tahu gue enggak suka belajar, kan?""Tahu."Alena mengangguk kemudian bersiap pergi."Duduk," kata Liam penuh tuntutan.Gadis itu menoleh sambil mengernyitkan kening."Aku tahu kau benci belajar dan tugasku sekarang adalah membuatmu melakukan apa yang kau benci.""Dibayar berapa lo sama si Pak tua itu?""Bicara yang sopan,
"Vincent, Natasha sudah kembali ke Inggris," ujar Zeeya berusaha bicara dengan sangat hati-hati. Matanya setia menanti reaksi pria yang baru datang dengan sekantung makanan pesanannya. "Iya, terus hubungannya denganku?" "Kau tidak mengucapkan selamat tinggal atau apa gitu padanya?" "Sudah." "Apa yang kau maksud hari di mana dia menciummu?" "Kau tau dari mana?" kaget Vincent, tampak tidak menyangka Zeeya mengetahui rahasia itu. "Natasha cerita padaku, katanya dia menciummu. Tapi itu kan sudah sangat lama, ada tiga bulan yang lalu." "Sama saja." Setelah mengatakan itu, Vincent mengambil minuman yang disajikan pelayan keluarga Spancer. Menyesap aroma dengan hidungnya terlebih dahulu lantas meneguknya secara perlahan. "Bagaimana bisa kau berbicara sejahat itu?" "Jahat apanya?" "Natasha tulus menyukaimu, Vin." "Tapi aku menyukai gadis lain." "Gadis yang kau sukai sudah jadi ist
Ketika kamu benar-benar menginginkan sesuatu lalu kamu memperjuangkannya tanpa membatasi dirimu dengan ketidakpercayaan, maka semesta akan menjadikannya nyata untukmu. Memang tidak mudah memegang prinsip itu, ujian akan datang dari berbagai arah—menempamu dengan perah berlumur perih. Selayaknya kehidupan yang tidak selalu mudah, putus asa dan ingin menyerah bisa muncul kapan saja. Melemahkan hatimu dengan letih yang menatih. Namun perih itu tak akan selamanya membuatmu merintih, sebab selalu ada bahagia yang dihadiahkan bagi mereka yang ikhlas menjalani itu semua. Zeeya sedang berada di fase itu sekarang, merasakan kebahagiaan berlipat ganda usai dijatuhi luka yang menyiksa. Selamat dari maut, berhasil mendatangkan Seandra ke dunia, melihat sang suami memangku bayinya. Semua itu adalah angan yang selalu ia berikan pada Tuhan lantas mewujud doa yang dikabulkan. Ternyata benar, sesulit apa pun keadaan yang sedang dihadapi, alangkah lebih baik jika kita tetap berpikir positif ser
Tidak ada yang tahu bahwa niat bersenang-senang yang didambakan Zeeya tadi sore akan berujung celaka. Wanita yang sebelumnya tampak paling semangat melakukan agenda kencan ganda ini sudah berbaring di atas belangkar dengan wajah pucat karena kehabisan banyak darah. Cairan merah beraroma amis itu terus keluar bahkan sampai mengaliri kedua kakinya, diiringi rasa sakit yang sudah tak terperi seberapa tingkatannya. Zeeya Beberap kali melirih perih, dia menangis karena rak sanggup menahan penyiksaan yang menimpanya. Tangan Allendra setia menggenggam jemari sang istri. Kedua orang tua Zeeya masih dalam perjalanan setelah sebelumnya dihubungi oleh Allendra.Allendra, pria itu tak henti-hentinya menenangkan dan mengelus pelipis sang istri yang sudah dibasahi keringat dingin. Belum hilang rasa kagetnya setelah melihat tubuh Zeeya menggelinding di tangga halaman SMA Sevit, kini pria itu kembali menerima kejutan lanjutan dengan insiden pendarahan istrinya. Kalau saja waktu bisa diulang,
Dering ponsel berbunyi, menarik Liam untuk menghentikan aktivitasnya sejenak yang tadi sedang sibuk mencarikan buku latihan soal tes masuk universitas negeri untuk kekasihnya. Lelaki itu menjawab panggilan dari seorang wanita tepat di samping Alena, tidak ragu apalagi sungkan. Liam malah sangat ingin Alena mendengarkan percakapan ini."Iya, Bu?""Kamu tadi ke rumah?""Mm, kenapa memang?""Ah, tidak, Ibu kaget karena motor kamu tidak ada di garasi.""Maaf, tadi tidak sempa
Liam menambah kecepatan motornya demi mengikis waktu, ia terlambat lima menit dari waktu yang dijanjikan. Terlambat bukan kebiasaan Liam, hanya saja kemacetan akhir pekan begitu sulit ia taklukkan terlebih tadi dia sempat terjebak sekitar satu jam di dalam bus sebelum akhirnya pulang ke rumah untuk mengambil motornya. Begitu motor sport warna hitam itu memasuki beranda depan kediaman Spancer, Liam menemukan kekasihnya sudah berdiri di sana seorang diri. Dari jarak tiga meter tampak ada dua pelayan yang ikut menanti, mungkin untuk memastikan bahwa Alena benar-benar pergi dengan orang yang sudah resmi mendapat izin Allendra untuk membawa Alena pergi keluar."Maaf, lama nunggunya, ya?" ucap Liam setelah ia melepas helm dan turun dari motornya.Alena menggeleng, sama sekali tidak merasa jika penantian yang dia lakukan terlalu panjang sampai mencapai titik bosan."Tidak kok, aku baru keluar. Lagi pula aku menunggu di rumahku sendiri, kalau pun tidak jadi ya tinggal m
Vincent memainkan sepatu kulitnya dengan menendang-nendang dedaunan yang turun tepat di kakinya. Pria itu duduk di sebuah kursi panjang, di atasnya terdapat daun rimbun dari pohon besar di belakang tubuhnya. Taman ini cukup ramai saat sore hari, terdapat orang tua dan anak yang asyik jalan-jalan, muda-mudi yang ngobrol-ngobrol santai, dan ada pula pasangan yang sedang merajut romansa dengan indahnya. Saat ini Vincent masih sendiri namun tak lama lagi seseorang akan menemuinya di sana.Semua sudah berakhir, kegilaan dan kenekatan yang Vincent buat harus segera diakhiri. Dia ingin mengakui semuanya pada orang itu dan meminta maaf dengan tulus atas semua kepalsuan yang sudah dia tebar. Mata tajam Vincent berkeliling memindai sekitar, sampailah manik itu menangkap sosok perempuan cantik dengan gayacasual-nya sedang melenggang cantik dan melempar senyum padanya meski jarak mereka masih jauh. Vincent segera bangkit, menanti dengan senyum kesopanan yang tidak kalah le
"I love you, Zeeya .""I love you too, Alle."Dua kalimat keramat itu terus terngiang-ngiang dalam benak Allendra. Dia yang sudah mengetahui kata sandi ponsel lamanya memutar video yang tadi dia tonton bersama sang istri berulang kali. Seperti mau memastikan bahwa laki-laki yang ada di dalam video itu memang dirinya. Memang dia yang matanya tampak begitu bersinar ketika menatap Zeeya . Seakan wanita itu adalah poros dari segala cahaya yang menyinari kehidupan pria itu. Sedikit demi sedikit Allendra belajar menerima istrinya, setidaknya sekarang dia tidak terlalu kejam seperti awal-awal. Meski tentu saja perdebatan di antara mereka tidak pernah usai. Selalu ada saja yang memantik emosi sampai akhirnya keduanya adu mulut tapi ujung-ujungnya kembali akur lagi."Aku sudah siap," kata Zeeya yang baru datang dan sudah berpakaian olahraga yang tampak lucu dikenakannya saat hamil.Allendra buru-buru menyimpan ponsel tadi lalu berdiri dari dudukn
Menikah dengan Zeeya adalah salah satu takdir mengejutkan yang pada akhirnya sulit Allendra tolak. Dua sisi di hatinya benar-benar memberikan rasa yang bertolak belakang untuk pria itu pahami apa alasannya. Dia ingin bertanya langsung pada Zeeya namun masih gengsi. Wanita hamil itu pasti akan besar kepala dan mengira Allendra telah takluk padanya karena berusaha mencari tahu masa lalu mereka. Allendra tidak ingin terlihat terpedaya oleh wanita itu meskipun nyatanya dia sudah telanjur mengalaminya dengan atau tanpa dia sadari.Ini hari kedua dia menyandang status sebagai suami seseorang, rasanya tidak terlalu berbeda dengan saat dia masih melajang. Yang berbeda hanyalah tidur pria itu kini semakin sering terusik karena kehadiran Zeeya . Wanita itu memang selalu bisa menguji kesabaran Allendra di berbagai kesempatan. Ada saja tingkahnya yang membuat pria itu takjub, kesal, geleng-geleng kepala, sampai pria itu tak tahu lagi harus bicara apa.Contohnya seperti kejadian ke
Allendra mati kutu di hadapan kedua orang tua Zeeya . Kemampuan berbicara diplomatisnya tiba-tiba hilang tak bersisa. Mungkin jika situasinya normal pria itu masih bisa menyapa dengan biasa tanpa ada rasa tidak enak yang begitu kuat, sekali pun ia tidak mengingat calon mertua yang hari ini sudah resmi menjadi mertuanya tanpa dia sangka-sangka. Saat ini Allendra harus berbesar hati menekan kesal yang sejak tadi siang terus meronta untuk dibebaskan. Tak mungkin pria itu melampiaskan kekesalannya pada Zeeya di hadapan orang tua wanita itu. Terlebih sekarang Allendra sedang menginap di kediaman istrinya."Hari ini kau pasti terkejut, kan, Nak?" tanya ayah Zeeya ramah sekali.Semua kesal dalam dada Allendra bisa dikondisikan dengan baik ketika ia berbincang dengan ayah Zeeya di ruang makan."Sudah jelas, Yah, Zeeya itu memang ada-ada saja kelakuannya. Jangan salah paham dulu ya nak Al, kami juga tidak tahu jika dia merencanakan hal gila bersama Vincent untuk menjebak