“Bisa bicara dengan tuan Allendra?” tanya Zeeya setelah dia menentukan pilihan.
“Saya sendiri, siapa ini?”
“Saya wali kelas Alena, Azeeya.”
“Ahh, hai, apa kabar?”
“Bisakah Anda datang ke sekolah sekarang?”
“Kenapa, kau merindukanku?”
***
“Mohon maafkan Alena sekali ini saja Pak, saya janji akan membimbingnya menjadi lebih baik lagi.
“Pihak sekolah sudah terlalu sering memberinya toleransi dan kami tidak bisa memberikan keringanan untuk ulahnya kali ini. Bagaimana bisa dia melakukan kekerasan di sekolah sampai membuat tangan temannya patah. Itu tindak kejahatan, seharusnya dia dilaporkan ke polisi.”
Azeeya menunduk dalam, kesalahan yang diperbuat muridnya memang terlampau besar. Sulit baginya untuk meringankan hukuman, Zeeya sudah berusaha membujuk guru kesiswaan agar kasus Alena ini tidak sampai ke telinga kepala sekolah namun guru kesiswaan itu tegas menolak. Menurutnya Alena memang harus segera diberi tindakan tegas, anak itu benar-benar keterlaluan, sudah tahu sedang menjalani masa hukuman karena satu kesalahan tapi dia malah berbuat kesalahan baru yang lebih fatal. Sungguh tidak bisa dimaafkan.
“Sebagai wali kelas Alena dan Ria bagaimana Anda bisa begitu condong pada Alena saja, Ibu Azeeya? Bukankah Ria juga anak didik Anda, seharusnya Anda juga memikirkan bagaimana kondisinya sekarang. Anda sama sekali tidak memikirkan bagaimana perasaan orang tuanya?”
Zeeya kehabisan kata, hangus sudah kekuatannya untuk membela Alena karena kondisinya sudah tidak memungkinkan. Dia pun cukup tertampar akan pernyataan guru kesiswaan yang secara tidak langsung menyebutkan pilih kasih pada Alena. Jujur, Zeeya sama sekali tidak berpikir seperti itu. Zeeya hanya berusaha menolong pihak yang memerlukan bantuannya lebih banyak. Dalam kasus ini, posisi Ria sudah cukup aman karena dia memiliki dukungan dari banyak pihak berpengaruh.
Sementara Alena? Kakaknya saja bahkan tak mengindahkan panggilan yang diminta pihak sekolah. Sudah satu minggu sejak guru itu mengunjungi kediaman Alena, semuanya masih tetap sama. Allendra tak kunjung datang dan masalah pun terkatung-katung tak kunjung selesai. Hari ini adalah batas akhir pihak sekolah akan mempertahankan murid nakal itu, bahkan dengan atau tanpa kasus baru ini pun Alena memang sudah akan didepak dari SMA Sevit.
Selesai berdiskusi dengan Zeeya, guru kesiswaan itu pun segera menyeret Alena ke ruang kepala sekolah bersama Liam dan Sera yang rencananya akan dijadikan saksi dalam kasus ini. Mereka segera mengadakan rapat darurat dengan dewan sekolah untuk meresmikan pengeluaran Alena dari Sevit sekaligus menentukan tindak lanjut dari kasus penyerangan yang dilakukan gadis itu. Di tengah perjalanan, guru kesiswaan yang membawa Alena mendapat panggilan bahwa cukup Alena saja yang masuk ke ruangan kepala sekolah. Zeeya menentang hal itu, dia memaksa untuk tetap ikut namun mendapat penolakan keras dari guru kesiswaan.
“Ini mandat langsung dari kepala sekolah, Anda tidak bisa menentangnya,” tekan guru kesiswaan itu. Dia pun menyeret Alena untuk ikut dan ekspresi yang ditunjukkan gadis itu terlampau santai di situasi genting yang akan menentukan nasibnya ini.
“Kami sudah boleh kembali ke kelas, Bu?” tanya Liam merasa kepentingannya sudah selesai.
“Boleh, silakan lanjutkan saja belajarnya,” jawab Zeeya di tengah rasa frustrasinya.
“Ayo, Sera.”
“Kakak ini bagaimana, kak Alena butuh bantuan dan kesaksian kita. Kita harus menjelaskan pada kepala sekolah dan guru-guru kalau semua ini bukan sepenuhnya kesalahan kak Alena. Kak Ria yang memulainya, kak Alena menyerangnya untuk membantuku. Lihat, aku juga terluka karena kak Ria.”
Sera menunjukkan luka di sikut dan lututnya pada Liam, dia keberatan pada keputusan kakak sepupunya yang begitu tak acuh pada kasus ini.
“Percuma saja kita memberi kesaksian, Sera, Alena sudah tidak tertolong.”
“Tapi setidaknya kita harus berada di pihaknya sampai akhir. Jangan biarkan dia merasa tertindas sendiri.”
“Alena bukan orang yang mudah ditindas seperti bayanganmu.”
“Diam!” bentak Zeeya kesal, kepala guru itu sedang pusing luar biasa dan semakin kacau keadaannya ketika mendengar Sera dan Liam berdebat sengit.
“Kalian berdua kembali ke kelas, Alena biar Ibu yang menanganinya.”
“Tapi Bu—“
“Sudah, ayo!” Liam menarik paksa Sera pergi dari sana sekaligus keluar dari lingkar permasalahan yang menjerat Alena.
Zeeya segera mengeluarkan ponsel dari saku jasnya, dia mencari kontak Allendra yang sempat diberikan oleh kepala pelayan yang menyambutnya tempo hari. Nomor ponsel itu diberikan ketika Zeeya belum bertemu langsung dengan Allendra, momen ketika Zeeya mengira bahwa pria bernama Allendra itu adalah ayah dari muridnya. Gadis itu tampak ragu untuk menekan ikon panggilan, Zeeya hanya takut kembali terlibat dengan Allendra jika gadis itu menghubunginya sekarang. Tapi bagaimana pun juga Allendra harus menangani masalah ini, sekali pun Alena benar-benar dikeluarkan dari sekolah, setidaknya ada pihak keluarga yang menjemputnya dan memberikan ketenangan walaupun sebenarnya Zeeya ragu hal itu akan terjadi.
“Bisa bicara dengan tuan Allendra?” tanya Zeeya setelah dia menentukan pilihan.
“Saya sendiri, siapa ini?”
“Saya wali kelas Alena, Azeeya.”
“Ahh, hai, apa kabar?”
“Bisakah Anda datang ke sekolah sekarang?”
“Kenapa, kau merindukanku?”
“Alena terlibat kasus penyerangan, dia mematahkan tangan teman sekelasnya dan sekerang kasusnya sedang ditindaklanjuti oleh kepala sekolah. Saya harap Anda bisa datang untuk menyelesaikan semuanya.”
“Wow, hebat sekali adikku. Kenapa tidak sekalian dengan leher dan kakinya saja.”
“Tuan Allendra!”
“Apa Sayang?”
“Ini bukan waktu yang tempat untuk Anda bercanda dan beromong kosong. Tolong penuhi panggilan ini, saya mohon.”
“Hm, bagaimana ya, sebenarnya aku ingin bertemu denganmu tapi aku sedang dalam perjalanan bisnis.”
“Tidak bisakah Anda pulang lebih cepat?”
“Aku baru berangkat Sayang ... mana mungkin pulang lagi.”
“Lalu Alena bagaimana?”
“Kenapa kau begitu mengkhawatirkannya?”
“Dia muridku!”
“Sebentar lagi jadi adikmu.”
Zeeya langsung mematikan panggilannya, percuma saja, seharusnya ia tahu akhirnya akan seperti ini. Tidak ada gunanya menghubungi Allendra, laki-laki itu sama sekali tidak membantu dan malah membuat kekesalan Zeeya semakin berlipat ganda dengan tingkah kurang ajarnya dan caranya memanggil Zeeya yang lancang. Berani sekali menyebut “Sayang”, Zeeya geli sekaligus tidak nyaman mendengarnya.
Selepas menghubungi Allendra, Zeeya langsung bergegas ke ruangan kepala sekolah, karena tidak diizinkan masuk alhasil gadis 26 tahun itu hanya bisa menunggu dengan cemas sambil mondar-mandir dan memainkan jarinya. Gelisah sekali karena dari luar ia sama sekali tidak bisa mendengar percakapan apa pun orang-orang di dalam sana. Bagaimana kondisi Alena sekarang, apa yang dilakukan orang-orang dewasa itu pada muridnya, kekhawatiran itu detik demi detiknya semakin menggumpal dan besar serupa bola salju yang menggelinding dari atas bukit.
Tiga puluh menit berlalu, bel istirahat kedua sudah dibunyikan dan proses interogasi Alena masih belum selesai. Zeeya semakin ketar-ketir, kondisi itu sedikit terusik ketika Sera dan Liam kembali hadir di hadapannya. Tepatnya Sera sengaja datang untuk mengetahui kondisi Alena sedangkan Liam hanya menemani adik sepupunya yang tertangkap ingin kembali menceburkan dirinya lagi ke dalam masalah Alena. Liam sampai kehabisan cara untuk menangani sisi keras kepala Sera. Sulit sekali diberi tahu. Daripada terjadi hal yang tidak diinginkan, jadi Liam memutuskan mengikuti Sera untuk sebatas melindungi serta mengawasinya.
“Kak Alena belum keluar juga, Bu?” tanya Sera dan dijawab oleh gelengan Zeeya.
Bersamaan dengan itu ruangan kepala sekolah terbuka menimbulkan decitan pelan sang pintu yang kini menampakkan sosok guru kesiswaan. Dia berdeham begitu mendapati keberadaan Liam, Sera, dan Zeeya. Gerak-geriknya seperti penjahat yang baru tertangkap basah, bola matanya bergerak gelisah tanda panik dan seperti menyembunyikan sesuatu. Guru kesiswaan itu pun pergi begitu saja, tak lama kemudian muncul Ria dengan kondisi tangannya yang sudah diperban. Sama halnya seperti guru kesiswaan tadi, Ria pun pergi meninggalkan ruangan itu sebelum diserang serangkaian pertanyaan. Zeeya semakin tidak enak hati, begitu gadis itu ingin merisak masuk tiba-tiba sosok Alena muncul dengan wajah datar. Dia memandang ketiga orang yang menyambutnya lalu melenggang pergi tanpa memedulikan orang-orang yang mengkhawatirkannya.
“Alena, kau baik-baik saja?” Zeeya menghadang langkah Alena yang hendak menuruni tangga.
“Baik,” jawabnya singkat.
Zeeya memindai penampilan muridnya dari atas sampai bawah dan dia membelalak saat menemukan sudut bibir Alena terluka lagi.
“Bibirmu berdarah, mereka menyakitimu?”
“Tidak, ini luka lama.”
“Mana mungkin luka lama, tadi Kakak baik-baik saja. Tidak ada satu luka pun di sana,” sahut Sera.
Liam diam menyimak saja, dia memilih berdiri di belakang Alena sambil bersidekap di saat Zeeya dan Sera mati-matian ingin berhadapan dengan gadis bermasalah itu. Fokus Liam sedikit terganggu ketika dia melihat bercak darah di kaus kaki panjang yang dikenakan Alena. Ah, tidak, bukan hanya bercak tapi darah itu masih mengalir deras sampai merembes dan membuat kaus kaki Alena di area betis belakang memerah.
“Aku tidak apa-apa, kalian jangan melebih-lebihkan.”
“Wajah Kakak pucat,” komentar Sera dan Zeeya membenarkan.
“Ayo kita ke UKS dulu, kau harus istirahat sebentar,” saran Zeeya hendak memapah Alena namun gadis itu menepis tangan gurunya.
“Aku bilang aku tidak apa-apa!”
Alena berusaha melangkah lagi, kali ini pelan-pelan karena kakinya sedikit kaku dan berat untuk digerakkan. Tubuh gadis itu tiba-tiba limbung, untung saja ada Sera dan Zeeya yang sigap menangkapnya.
“Liam tolong bantu kami menggendong Alena ke UKS,” pinta Zeeya.
Alena bukan gadis lemah tapi dia masih manusia biasa. Setelah dihukum keliling lapangan sepuluh kali lalu ia mendapat hukuman tambahan ketika di ruang kepala sekolah tadi. Betisnya dipukul dengan rotan berpuluh-puluh kali karena ia menolak mengakui semua kesalahannya. Alena bersikeras bahwa dia tidak bersalah dan Ria memang pantas mendapatkan tindakan keras dari Alena. Hebatnya, meskipun sudah dipukul puluhan kali gadis itu sama sekali tidak meneteskan air mata atau menunjukkan tanda-tanda kesakitan.
Ekspresinya tetap datar dan itu semakin membuat Ria jengkel. Seratus kali, genap pukulan rotan itu menerpa kedua betis Alena dan dia tetap bertahan sampai akhir. Kepala sekolah dan guru kesiswaan yang menghukum Alena pun tampak menyerah. Mereka tidak tahu terbuat dari apa tubuh Alena itu sampai dia bisa menahan sakit sehebat itu. Akan tetapi, tampaknya pertahanan Alena sedikit goyah kali ini. Dia merasa tubuhnya lemas dan tak bertenaga. Bahkan gadis itu tidak mampu menolak ketika dengan mudahnya Liam membopong Alena ala bridal. Alena masih sadar ketika langkah Liam membawanya menuruni tangga, ia ingin meminta diturunkan tapi suara Alena seakan menghilang ditelan rasa sakitnya. Pemandangan Liam yang membopong Alena menjadi buah bibir penduduk SMA Sevit yang melihatnya.
Pandangan mereka mengikuti arah pergi Liam dan Alena, bahkan ada beberapa siswa yang sengaja mengikuti mereka. Namun perhatian itu beralih saat orang-orang di sana mendengar deru mesin yang tidak biasa dari luar gedung sekolah. Mereka berlarian melihat keadaan di luar dan ternganga ketika melihat sebuah helikopter mendarat tepat di lapang utama SMA Sevit yang memang besar.
“Wahhh...”
Semua orang tercengang dengan kehadiran helikopter itu dan semakin menggila ketika sejumlah pria keluar dari helikopter itu. Satu yang paling mencuri perhatian dan sisanya tampak gagah penuh kekuatan. Anak-anak itu menjerit histeris seperti adegan-adegan di film-film ketika melihat pria tampan. Di sana pun ada pria menawan, dia tampil elegan dengan suite hitam dari atas sampai bawah, kemeja putihnya sedikit terlihat dan dasi senada pun tambah menyempurnakan tampilannya.
Belum lagi mantel panjang berwarna gading yang begitu cocok di tubuh atletisnya. Orang-orang itu berjalan dari lapang menuju gedung utama sekolah. Langkah tegap mereka begitu mengintimidasi, barisan manusia yang semula berjajar di pintu masuk pun tersibak dengan sendirinya. Memudahkan mereka untuk masuk dan kini sudah tiba di tempat tujuan. Allendra melihat sang adik sedang berada dalam pelukan seorang anak laki-laki ditemani satu siswi dan guru cantik yang dia sukai.
“Maaf, aku terlambat,” kata pria itu sambil menyunggingkan senyum penuh makna ke arah Zeeya.
Alena yang menyadari kehadiran kakaknya langsung minta diturunkan pada Liam, lelaki itu menurut saja dan membantu Alena untuk berdiri dengan benar.
“Kenapa Anda baru datang?” tanya Zeeya yang merasa kedatangan pria itu sia-sia. Kemungkinan besar putusan akhir sudah ditetapkan, Alena resmi dikeluarkan dari SMA Sevit.
“Rapatnya sudah selesai?”
Allendra semakin mendekat, bukan pada Alena melainkan Zeeya. Sang adik menatap sinis kakaknya kemudian mendecih. Senyum miring terbit kala itu, kekuatan Alena terkumpul kembali saat melihat Allendra di hadapannya.
“Peduli apa Anda tentang rapat itu, lihatlah, adik Anda terluka.”
Allendra mengalihkan pusat perhatiannya, dia mendekati sang adik kemudian memindai keadaan Alena dengan saksama. Ditatapnya luka pukul di sudut bibir gadis itu, seingatnya luka itu sudah mengering dua hari lalu. Tapi apa yang tampak kini adalah luka basah yang baru saja didapatkan Alena hari ini tentu saja. Allendra mengangguk paham kemudian mengeluarkan sapu tangannya dan menyeka keringat juga kotoran di sekitar pipi sang adik.
“Kau kalah?” bisiknya pada Alena.
Gadis itu mendelik, sudah ia duga Allendra akan mengatakan hal ini setelah melihat kondisinya sekarang.
“Bukan urusanmu!” Alena merebut sapu tangan itu dan menyeka keringatnya sendiri.
Orang lain yang melihat pemandangan itu terkagum-kagum karena mengira bahwa hubungan Alena dan kakaknya begitu manis. Sedangkan tiga orang yang menyaksikan interaksi itu lebih dekat justru merasa saat ini Alena dan Allendra sedang terlibat perang dingin.
“Pulanglah, nanti kupanggilkan dokter,” ungkap Allendra lagi dan Alena yang sudah selesai menggunakan sapu tangan kakaknya langsung melempar benda itu kembali pada Allendra. “Bawa pulang Alena dengan helikopter itu setelahnya bawakan mobilku ke sini,” perintah Allendra pada anak buahnya.
Seorang siswa kelas X yang tadi diminta mengambilkan barang-barang Alena oleh Zeeya sudah datang lalu memberikan tas sang kakak kelas langsung pada orangnya. Alena menerima tas itu tanpa mengucapkan terima kasih, dia berjalan lebih dulu lalu melempar tasnya ke belakang tepat pada sang pengawal. Dari enam orang pria yang mengawal Allendra, tiga di antaranya bertahan di tempat itu dan tiga lainnya ditugaskan mengantar Alena. Gadis yang sering disebut gelandangan oleh anak-anak Sevit pun kini tengah dipapah dan diperlakukan bak putri raja. Semua orang terkejut termasuk Sera yang masih merasa semua ini seperti mimpi.
“Aku ingin berbincang santai dulu dengan kepala sekolah, setelah itu baru menemuimu. Tidak akan lama, jadi tunggu aku ya,” ucap Allendra sambil mengedip nakal.
Zeeya menampakkan raut judes dan memberi tatapan nyalang pada pria kurang ajar itu, namun Allendra hanya terkekeh kemudian meninggalkan gadis itu. Sesuai rencana, tujuannya sekarang adalah ruang kepala sekolah.
Bersambung
"Saya benci pria yang tidak bertanggung jawab. Jadi berhentilah bermimpi, karena sampai kapan pun tujuan Anda tidak akan tercapai."Allendra memejam sedetik masih dengan senyum lebar di bibirnya. Gemas mendengar jawaban Zeeya yang benar-benar memacu adrenalin hatinya. Ia senang menemukan tantangan yang menyenangkan. Ia akan berterima kasih pada adiknya karena berkat Alena, Allendra menemukan Zeeya."Mau bertaruh denganku?"***"Aku tahu aku tampan, tidak perlu menatapku setajam itu. Kau membuatku semakin menyukaimu."Zeeya mendengus, seolah tidak cukup membuatnya mangkir dari jam kerja, pria itu kini membuat jantungnya ingin meledakkan amarah besar. Masa bodoh jika memang pria ini adalah orang berpengaruh dan sangat berbahaya seperti kata Alena, Zeeya tetap tidak bisa menerima tindakan semena-menanya. Tidak tahu aturan, tidak disiplin, arogan, dan sombong. Semua sifat yang dimiliki iblis ada padanya.
Alena berbaring dan menatap lurus langit-langit kamarnya yang bertabur bintang. Interior ruangan di kamar gadis itu memang lebih futuristik dibanding ruangan lain yang ada di istana megah keluarganya. Jika kamar Allendra didominasi warna hitam dan abu, maka berbeda dengan kamar Alena meski kesan yang didapat sama-sama gelap. Di kamar gadis itu warna putih dan biru lebih dominan. Lampu yang berpijar di bawah tempat tidurnya yang berbentuk bundar menyala terang sejak tadi.Tepatnya, sejak sang pemilik berbaring di atas kasur itu sambil merenungi kejadian demi kejadian yang telah terjadi hari ini. Sebelum benar-benar memeluk geming, Alena sempat memukul-mukul kasur dan meluapkan emosinya pada barang-barang di atas meja riasnya. Meja yang sama sekali tak menampung peralatan tempur perempuan ketika merias diri. Di sana hanya ada pelembap, bedak bayi, dan parfum kesukaan Alena. Selebihnya, tidak ada apa-apa lagi. Ah, mungkin di laci mejanya ada sisir dan hair dryer, itu pun jarang
"Ck, ck, ternyata kutukan Spancer itu benar adanya," gumam Vincent sambil geleng-geleng tak menyangka."Maksudmu?""Kau tidak tahu?""Tahu apa?"***"Selamat pagi," sapa seorang pria, menyapa Zeeya ketika gadis itu baru keluar dari rumahnya."Pagi, kau baru mau berangkat, Mark?""Iya, mobilmu mana?""Di bengkel.""Ada masalah apa memangnya?""Entah, aku tidak mengerti. Hanya saja kemarin keluar asap dari bagian kap depan. Maklum, mobil tua.""Mm, bagaimana kalau hari ini kau berangkat bersamaku?"Zeeya tersenyum sopan pada tetangga sekaligus teman kuliahnya ini. Dia bekerja di salah satu bank swasta sebagai manajer. Tubuhnya tinggi, memiliki tahi lalat di dagu, dan berkaca mata. Meski begitu, pria yang selalu tampak formal sepanjang Zeeya mengenalnya tetap terlihat ideal untuk dijadikan kriteria para gadis. Dia baik, ramah, dan sangat perhatian, dan cukup menyenang
"Jangan macam-macam, ini di sekolah.""Berarti kalau di luar sekolah boleh?"***Kehidupan itu tentang pusaran waktu, menyeretmu ke setiap sudut situasi tanpa ingin bertanya apakah kau siap atau tidak untuk menghadapinya. Seperti aliran sungai yang tidak akan berhenti berjalan sampai ia bermuara di titik yang semestinya. Sekali pun kau memaksa, agar apa yang tak diinginkan menghilang dari pandangan namun waktu tahu kapan dia harus memanjakanmu. Waktu tahu kapan ia harus mengabaikanmu. Waktu tahu, kapan ia harus berada di sisimu atau menjauh darimu sampai batas yang dia inginkan. Kau harus bahagia hari ini, maka itu adalah waktumu. Dia akan sukses esok hari, maka itu adalah waktunya. Kau yang belum mencapai titik membanggakan dalam hidup bukanlah pecundang yang tak dibutuhkan. Waktumu belum tiba namun bukan berarti kau harus meregang asa. Bukan berarti kau harus menyurutkan usaha. Selagi menanti waktu, mari bekerja
"Pulanglah tuan Allendra, saya yakin kekasih Anda sedang menunggu di rumah.""Kekasihku sedang menunggu di sini."***Dua orang itu saling melempar tatap, bingung mau mulai dari mana dan dengan cara apa. Tepatnya, Liam yang merasakan hal itu sementara Alena hanya duduk tenang sambil memperhatikan sang kapten basket yang entah mengapa bisa duduk berhadapan dengannya di perpustakaan hari ini."Bisa kita mulai?" tanya Liam, Alena diam saja."Mohon kerja samanya karena ini juga bukan kemauanku.""Siapa yang menyuruhmu?""Ketua Yayasan."“Lo tahu gue enggak suka belajar, kan?""Tahu."Alena mengangguk kemudian bersiap pergi."Duduk," kata Liam penuh tuntutan.Gadis itu menoleh sambil mengernyitkan kening."Aku tahu kau benci belajar dan tugasku sekarang adalah membuatmu melakukan apa yang kau benci.""Dibayar berapa lo sama si Pak tua itu?""Bicara yang sopan,
"Kenapa diam saja, makan, aku sengaja memesan menu termahal untukmu.""Saya mau pulang, bukan mau makan di restoran!" protes Zeeya, enggan menyentuh satu pun sajian makan malam lezat yang sengaja dipesan Allendra.Pria itu memesan beberapa menu makanan western dengan porsi yang tidak manusiawi. Setiap sudut meja dipenuhi dengan makanan. Sebenarnya, jauh di lubuk hati, gadis itu mulai tergoda dengan lambaian asap beraroma sedap yang menguar dari hidangan itu. Kalau saja bukan Allendra yang menyajikan semua ini, pasti setengahnya sudah habis Zeeya lahap. Jangan salah, walau berbadan kecil tapi nafsu makannya luar biasa rakus. Kebiasaan itu didukung oleh satu fakta melegakan, sebanyak apapun makanan yang masuk ke usus Zeeya, tidak akan berpengaruh sama sekali pada bobot tubuhnya. Tanpa perlu diet dia bisa makan banyak sesuka hati. Keuntungan yang menjadi impian sebagian besar perempuan di muka bumi."Makan dulu baru pulang. Kau pasti lapar, kan, dari tadi belum mak
Hujan turun kian deras, membasahi bumi sambil membawa serta siur angin kencang. Kaki dan tangan Zeeya mulai terasa kebas, bibirnya menggigil hampir dibekukan rasa dingin. Zeeya mengutuk Allendra dan semesta yang sengaja berkonspirasi membuatnya tersiksa. Kesialan demi kesialan berdatangan, sudah dibuat kesal seharian, di sekolah pekerjaannya menekan tidak tertahan, makan malam diusik, menyaksikan adegan tidak pantas di depan matanya, sampai gagal mendapatkan taksi meski sudah berulang kali ia memberi kode berhenti. Setiap taksi yang melintas sudah terisi penumpang, halte bus tidak tahu seberapa jauh lagi.Tiga puluh menit berjalan, gadis itu tak menemukan tanda-tanda halte atau pemberhentian kendaraan lainnya. Ingin meminta bala bantuan, ponselnya mati tak berdaya. Oh, lengkap sudah. Mungkinkah ini bentuk nyata kutukan Spancer? Mengapa tidak ada satu pun yang berjalan lancar sejak tadi. Sekujur tubuh Zeeya mati rasa saking dinginnya. Meneduh pun percuma karena tidak ada lagi
Brak!Pintu kamar Allendra terbuka, pria itu menoleh ke samping begitu pun dengan Zeeya. Alena berdiri di ambang pintu dengan ekspresi datar, dia melangkah memasuki kamar pria itu dan menusuk mata kakaknya dengan tatapan sinis. Allendra menarik dirinya dari Zeeya, kemudian duduk tegap menyambut adiknya dengan seringaian."Apa yang membawa adik kesayanganku berkunjung ke kamar terlarang ini, hm?"Zeeya melotot kaget mendapati muridnya memberikan tatapan yang sulit ia definisikan. Seperti sorot kecewa dan tak menyangka mungkin. Gadis itu pun duduk dengan benar, menurunkan pandangan karena malu tertangkap basah di posisi yang bisa membuat semua orang salah paham."Bu Zeeya, saya ingin bicara," kata Alena tanpa memedulikan pertanyaan kakaknya."Oh iya, ayo.""Kau tidak bisa mengajaknya tanpa seizinku, anak manis." Allendra bermaksud wanitanya."Tidak masalah, ayo, Len, kita bicara,” ungkap Zeeya lebih memilih mengikuti Alena dibandi
"Vincent, Natasha sudah kembali ke Inggris," ujar Zeeya berusaha bicara dengan sangat hati-hati. Matanya setia menanti reaksi pria yang baru datang dengan sekantung makanan pesanannya. "Iya, terus hubungannya denganku?" "Kau tidak mengucapkan selamat tinggal atau apa gitu padanya?" "Sudah." "Apa yang kau maksud hari di mana dia menciummu?" "Kau tau dari mana?" kaget Vincent, tampak tidak menyangka Zeeya mengetahui rahasia itu. "Natasha cerita padaku, katanya dia menciummu. Tapi itu kan sudah sangat lama, ada tiga bulan yang lalu." "Sama saja." Setelah mengatakan itu, Vincent mengambil minuman yang disajikan pelayan keluarga Spancer. Menyesap aroma dengan hidungnya terlebih dahulu lantas meneguknya secara perlahan. "Bagaimana bisa kau berbicara sejahat itu?" "Jahat apanya?" "Natasha tulus menyukaimu, Vin." "Tapi aku menyukai gadis lain." "Gadis yang kau sukai sudah jadi ist
Ketika kamu benar-benar menginginkan sesuatu lalu kamu memperjuangkannya tanpa membatasi dirimu dengan ketidakpercayaan, maka semesta akan menjadikannya nyata untukmu. Memang tidak mudah memegang prinsip itu, ujian akan datang dari berbagai arah—menempamu dengan perah berlumur perih. Selayaknya kehidupan yang tidak selalu mudah, putus asa dan ingin menyerah bisa muncul kapan saja. Melemahkan hatimu dengan letih yang menatih. Namun perih itu tak akan selamanya membuatmu merintih, sebab selalu ada bahagia yang dihadiahkan bagi mereka yang ikhlas menjalani itu semua. Zeeya sedang berada di fase itu sekarang, merasakan kebahagiaan berlipat ganda usai dijatuhi luka yang menyiksa. Selamat dari maut, berhasil mendatangkan Seandra ke dunia, melihat sang suami memangku bayinya. Semua itu adalah angan yang selalu ia berikan pada Tuhan lantas mewujud doa yang dikabulkan. Ternyata benar, sesulit apa pun keadaan yang sedang dihadapi, alangkah lebih baik jika kita tetap berpikir positif ser
Tidak ada yang tahu bahwa niat bersenang-senang yang didambakan Zeeya tadi sore akan berujung celaka. Wanita yang sebelumnya tampak paling semangat melakukan agenda kencan ganda ini sudah berbaring di atas belangkar dengan wajah pucat karena kehabisan banyak darah. Cairan merah beraroma amis itu terus keluar bahkan sampai mengaliri kedua kakinya, diiringi rasa sakit yang sudah tak terperi seberapa tingkatannya. Zeeya Beberap kali melirih perih, dia menangis karena rak sanggup menahan penyiksaan yang menimpanya. Tangan Allendra setia menggenggam jemari sang istri. Kedua orang tua Zeeya masih dalam perjalanan setelah sebelumnya dihubungi oleh Allendra.Allendra, pria itu tak henti-hentinya menenangkan dan mengelus pelipis sang istri yang sudah dibasahi keringat dingin. Belum hilang rasa kagetnya setelah melihat tubuh Zeeya menggelinding di tangga halaman SMA Sevit, kini pria itu kembali menerima kejutan lanjutan dengan insiden pendarahan istrinya. Kalau saja waktu bisa diulang,
Dering ponsel berbunyi, menarik Liam untuk menghentikan aktivitasnya sejenak yang tadi sedang sibuk mencarikan buku latihan soal tes masuk universitas negeri untuk kekasihnya. Lelaki itu menjawab panggilan dari seorang wanita tepat di samping Alena, tidak ragu apalagi sungkan. Liam malah sangat ingin Alena mendengarkan percakapan ini."Iya, Bu?""Kamu tadi ke rumah?""Mm, kenapa memang?""Ah, tidak, Ibu kaget karena motor kamu tidak ada di garasi.""Maaf, tadi tidak sempa
Liam menambah kecepatan motornya demi mengikis waktu, ia terlambat lima menit dari waktu yang dijanjikan. Terlambat bukan kebiasaan Liam, hanya saja kemacetan akhir pekan begitu sulit ia taklukkan terlebih tadi dia sempat terjebak sekitar satu jam di dalam bus sebelum akhirnya pulang ke rumah untuk mengambil motornya. Begitu motor sport warna hitam itu memasuki beranda depan kediaman Spancer, Liam menemukan kekasihnya sudah berdiri di sana seorang diri. Dari jarak tiga meter tampak ada dua pelayan yang ikut menanti, mungkin untuk memastikan bahwa Alena benar-benar pergi dengan orang yang sudah resmi mendapat izin Allendra untuk membawa Alena pergi keluar."Maaf, lama nunggunya, ya?" ucap Liam setelah ia melepas helm dan turun dari motornya.Alena menggeleng, sama sekali tidak merasa jika penantian yang dia lakukan terlalu panjang sampai mencapai titik bosan."Tidak kok, aku baru keluar. Lagi pula aku menunggu di rumahku sendiri, kalau pun tidak jadi ya tinggal m
Vincent memainkan sepatu kulitnya dengan menendang-nendang dedaunan yang turun tepat di kakinya. Pria itu duduk di sebuah kursi panjang, di atasnya terdapat daun rimbun dari pohon besar di belakang tubuhnya. Taman ini cukup ramai saat sore hari, terdapat orang tua dan anak yang asyik jalan-jalan, muda-mudi yang ngobrol-ngobrol santai, dan ada pula pasangan yang sedang merajut romansa dengan indahnya. Saat ini Vincent masih sendiri namun tak lama lagi seseorang akan menemuinya di sana.Semua sudah berakhir, kegilaan dan kenekatan yang Vincent buat harus segera diakhiri. Dia ingin mengakui semuanya pada orang itu dan meminta maaf dengan tulus atas semua kepalsuan yang sudah dia tebar. Mata tajam Vincent berkeliling memindai sekitar, sampailah manik itu menangkap sosok perempuan cantik dengan gayacasual-nya sedang melenggang cantik dan melempar senyum padanya meski jarak mereka masih jauh. Vincent segera bangkit, menanti dengan senyum kesopanan yang tidak kalah le
"I love you, Zeeya .""I love you too, Alle."Dua kalimat keramat itu terus terngiang-ngiang dalam benak Allendra. Dia yang sudah mengetahui kata sandi ponsel lamanya memutar video yang tadi dia tonton bersama sang istri berulang kali. Seperti mau memastikan bahwa laki-laki yang ada di dalam video itu memang dirinya. Memang dia yang matanya tampak begitu bersinar ketika menatap Zeeya . Seakan wanita itu adalah poros dari segala cahaya yang menyinari kehidupan pria itu. Sedikit demi sedikit Allendra belajar menerima istrinya, setidaknya sekarang dia tidak terlalu kejam seperti awal-awal. Meski tentu saja perdebatan di antara mereka tidak pernah usai. Selalu ada saja yang memantik emosi sampai akhirnya keduanya adu mulut tapi ujung-ujungnya kembali akur lagi."Aku sudah siap," kata Zeeya yang baru datang dan sudah berpakaian olahraga yang tampak lucu dikenakannya saat hamil.Allendra buru-buru menyimpan ponsel tadi lalu berdiri dari dudukn
Menikah dengan Zeeya adalah salah satu takdir mengejutkan yang pada akhirnya sulit Allendra tolak. Dua sisi di hatinya benar-benar memberikan rasa yang bertolak belakang untuk pria itu pahami apa alasannya. Dia ingin bertanya langsung pada Zeeya namun masih gengsi. Wanita hamil itu pasti akan besar kepala dan mengira Allendra telah takluk padanya karena berusaha mencari tahu masa lalu mereka. Allendra tidak ingin terlihat terpedaya oleh wanita itu meskipun nyatanya dia sudah telanjur mengalaminya dengan atau tanpa dia sadari.Ini hari kedua dia menyandang status sebagai suami seseorang, rasanya tidak terlalu berbeda dengan saat dia masih melajang. Yang berbeda hanyalah tidur pria itu kini semakin sering terusik karena kehadiran Zeeya . Wanita itu memang selalu bisa menguji kesabaran Allendra di berbagai kesempatan. Ada saja tingkahnya yang membuat pria itu takjub, kesal, geleng-geleng kepala, sampai pria itu tak tahu lagi harus bicara apa.Contohnya seperti kejadian ke
Allendra mati kutu di hadapan kedua orang tua Zeeya . Kemampuan berbicara diplomatisnya tiba-tiba hilang tak bersisa. Mungkin jika situasinya normal pria itu masih bisa menyapa dengan biasa tanpa ada rasa tidak enak yang begitu kuat, sekali pun ia tidak mengingat calon mertua yang hari ini sudah resmi menjadi mertuanya tanpa dia sangka-sangka. Saat ini Allendra harus berbesar hati menekan kesal yang sejak tadi siang terus meronta untuk dibebaskan. Tak mungkin pria itu melampiaskan kekesalannya pada Zeeya di hadapan orang tua wanita itu. Terlebih sekarang Allendra sedang menginap di kediaman istrinya."Hari ini kau pasti terkejut, kan, Nak?" tanya ayah Zeeya ramah sekali.Semua kesal dalam dada Allendra bisa dikondisikan dengan baik ketika ia berbincang dengan ayah Zeeya di ruang makan."Sudah jelas, Yah, Zeeya itu memang ada-ada saja kelakuannya. Jangan salah paham dulu ya nak Al, kami juga tidak tahu jika dia merencanakan hal gila bersama Vincent untuk menjebak