"Pulanglah tuan Allendra, saya yakin kekasih Anda sedang menunggu di rumah."
"Kekasihku sedang menunggu di sini."
***
Dua orang itu saling melempar tatap, bingung mau mulai dari mana dan dengan cara apa. Tepatnya, Liam yang merasakan hal itu sementara Alena hanya duduk tenang sambil memperhatikan sang kapten basket yang entah mengapa bisa duduk berhadapan dengannya di perpustakaan hari ini.
"Bisa kita mulai?" tanya Liam, Alena diam saja.
"Mohon kerja samanya karena ini juga bukan kemauanku."
"Siapa yang menyuruhmu?"
"Ketua Yayasan."
“Lo tahu gue enggak suka belajar, kan?"
"Tahu."
Alena mengangguk kemudian bersiap pergi.
"Duduk," kata Liam penuh tuntutan.
Gadis itu menoleh sambil mengernyitkan kening.
"Aku tahu kau benci belajar dan tugasku sekarang adalah membuatmu melakukan apa yang kau benci."
"Dibayar berapa lo sama si Pak tua itu?"
"Bicara yang sopan,
"Kenapa diam saja, makan, aku sengaja memesan menu termahal untukmu.""Saya mau pulang, bukan mau makan di restoran!" protes Zeeya, enggan menyentuh satu pun sajian makan malam lezat yang sengaja dipesan Allendra.Pria itu memesan beberapa menu makanan western dengan porsi yang tidak manusiawi. Setiap sudut meja dipenuhi dengan makanan. Sebenarnya, jauh di lubuk hati, gadis itu mulai tergoda dengan lambaian asap beraroma sedap yang menguar dari hidangan itu. Kalau saja bukan Allendra yang menyajikan semua ini, pasti setengahnya sudah habis Zeeya lahap. Jangan salah, walau berbadan kecil tapi nafsu makannya luar biasa rakus. Kebiasaan itu didukung oleh satu fakta melegakan, sebanyak apapun makanan yang masuk ke usus Zeeya, tidak akan berpengaruh sama sekali pada bobot tubuhnya. Tanpa perlu diet dia bisa makan banyak sesuka hati. Keuntungan yang menjadi impian sebagian besar perempuan di muka bumi."Makan dulu baru pulang. Kau pasti lapar, kan, dari tadi belum mak
Hujan turun kian deras, membasahi bumi sambil membawa serta siur angin kencang. Kaki dan tangan Zeeya mulai terasa kebas, bibirnya menggigil hampir dibekukan rasa dingin. Zeeya mengutuk Allendra dan semesta yang sengaja berkonspirasi membuatnya tersiksa. Kesialan demi kesialan berdatangan, sudah dibuat kesal seharian, di sekolah pekerjaannya menekan tidak tertahan, makan malam diusik, menyaksikan adegan tidak pantas di depan matanya, sampai gagal mendapatkan taksi meski sudah berulang kali ia memberi kode berhenti. Setiap taksi yang melintas sudah terisi penumpang, halte bus tidak tahu seberapa jauh lagi.Tiga puluh menit berjalan, gadis itu tak menemukan tanda-tanda halte atau pemberhentian kendaraan lainnya. Ingin meminta bala bantuan, ponselnya mati tak berdaya. Oh, lengkap sudah. Mungkinkah ini bentuk nyata kutukan Spancer? Mengapa tidak ada satu pun yang berjalan lancar sejak tadi. Sekujur tubuh Zeeya mati rasa saking dinginnya. Meneduh pun percuma karena tidak ada lagi
Brak!Pintu kamar Allendra terbuka, pria itu menoleh ke samping begitu pun dengan Zeeya. Alena berdiri di ambang pintu dengan ekspresi datar, dia melangkah memasuki kamar pria itu dan menusuk mata kakaknya dengan tatapan sinis. Allendra menarik dirinya dari Zeeya, kemudian duduk tegap menyambut adiknya dengan seringaian."Apa yang membawa adik kesayanganku berkunjung ke kamar terlarang ini, hm?"Zeeya melotot kaget mendapati muridnya memberikan tatapan yang sulit ia definisikan. Seperti sorot kecewa dan tak menyangka mungkin. Gadis itu pun duduk dengan benar, menurunkan pandangan karena malu tertangkap basah di posisi yang bisa membuat semua orang salah paham."Bu Zeeya, saya ingin bicara," kata Alena tanpa memedulikan pertanyaan kakaknya."Oh iya, ayo.""Kau tidak bisa mengajaknya tanpa seizinku, anak manis." Allendra bermaksud wanitanya."Tidak masalah, ayo, Len, kita bicara,” ungkap Zeeya lebih memilih mengikuti Alena dibandi
"Green tea segar tanpa bubble, sesuai pesananmu," kata Mark sambil memberikan minuman pada Zeeya."Terima kasih," ucap Zeeya lantas menyeruput minuman itu."Suka?" tanya Mark lagi.Zeeya mengangguk sambil tersenyum."Kau suka dengan filmnya?""Suka."Mereka berjalan berdampingan keluar dari area bioskop yang ada di salah satu mall terbesar pusat kota."Bagian mana yang kau suka?""Mm, saat si pemeran pria mengorbankan dirinya demi gadis yang dia cinta. Aku cukup tersentuh melihat dia yang rela mati dengan membawa segenap kebencian orang-orang. Maksudku, apa mungkin ada orang sebaik itu di dunia nyata? Dia rela dibenci bertahun-tahun oleh wanita yang dia cinta untuk sebuah kesalahan yang tidak pernah dia lakukan. Dia tidak mencoba melakukan pembenaran atau sekadar membela diri. Membiarkan dunia mencapnya jahat sampai akhir hayatnya. Bukankah itu tindakan yang bodoh?""Sebagian penonton mungkin menganggapnya demikian. Tapi
Alena ingin muntah melihat drama picisan ini. Sialnya, dia terlibat dan agak sulit melarikan diri karena beberapa ucapan yang relate dengan keadaannya. Gadis itu tahu, semua orang yang mendekatinya itu tidak tulus. Ada banyak motif yang melatarbelakangi, begitu pun dengan Liam dan Sera, mungkin. Dia tidak ingin repot menebak atau mencari tahu alasan itu, tidak ada gunanya juga baginya. Dia sudah berusaha abai tapi anehnya orang-orang selalu memancingnya untuk bertingkah. Sialan sekali memang."Jangan sembarangan, Kak, kalau bicara. Aku dan kak Liam bukan orang seperti itu. Kami tulus berteman dengan kak Alena karena dia orang yang baik. Kakak saja yang tidak mau tahu dan selalu menutup mata dan hati kakak atas kebaikan kak Alena.""Diam, Sera, aku tidak butuh pembelaanmu.""Tapi Kak—""Kubilang diam!""Lihatlah, orang sepertinya yang mati-matian kau bela bahkan tidak menghargaimu sama sekali, Sera. Jadi berhentilah bergaul dengannya."
"Perempuan mana lagi yang sedang berusaha kau taklukkan?""Perempuan unik.""Masih betah bermain-main dengan perasaan orang?" ungkap dokter itu sambil menyiapkan jarum suntik yang sudah diisi obat."Masih, ini menyenangkan."Dokter cantik itu menyuntikkan obat tadi pada lengan Allendra sambil menyunggingkan senyum."Cepat atau lambat kau akan mendapat karmamu, Al.""Tahu, aku sudah tidak sabar menunggu momen itu datang.""Akal dan hatimu memang sudah rusak."Allendra menoleh pada dokter itu, dia mengambil tangan si dokter dan menggenggamnya erat."Maka dari itu aku membutuhkanmu. Jangan tinggalkan aku, ya?"Dokter itu mendecih, sudah teramat sering dia melihat Allendra seperti ini. Bukan hanya padanya, tapi pada siapa pun yang menjadi targetnya."Aku tidak akan meninggalkanmu karena kau berhutang banyak padaku. Segera lunasi atau kusita semua hartamu."Dokter itu menarik tangannya dari genggaman Alle
"Aku tidak akan meminta apa pun padamu. Kau tidak perlu takut atau khawatir. Sejak awal, aku selalu bilang bahwa aku tidak berminat masuk dalam permainanmu. Kau boleh pergi jika memang sudah bosan. Kepedulianku padamu dan Alena adalah hakku. Kau tidak berhak melarang. Permisi."Zeeya mendorong Allendra kemudian berlalu dari tempatnya. Dia menyeka bibir, menggosok bekas ciuman yang tadi dia lakukan dengan Allendra. Cukup jauh gadis itu melangkah, tangannya lalu dicekal Allendra lagi."Kau salah jalan, harusnya ke sana!" kata Allendra menunjuk helikopter yang masih setia menunggu mereka."Apa yang kau inginkan dariku Allendra? Kumohon, jangan usik hidupku karena semua ini terlalu membingungkan. Aku takut terbiasa dengan kehadiranmu dan kuyakin kau tidak akan suka itu."Allendra terganggu dengan tatapan tulus Zeeya. Dia merasakan keanehan pada dirinya sendiri. Beberapa saat lalu, dia seolah ingin menghempas Zeeya dari kehidupannya. Namun ketika gadis i
Zeeya merasakan tubuhnya begitu ringan meski ada beberapa bagian dalam dirinya yang terasa linu. Kelopak matanya memgerjap perlahan menyesuaikan dengan cahaya pagi yang masuk lewat celah-celah gorden dalam ruangan besar itu. Matanya terbuka sempurna, dia merasakan sensasi dingin yang tak biasa. Dilihatnya tubuhnya belum mengenakan pakaian apapun dan masih tergulung di balik selimut yang semalam menjadi saksi betapa gila gadis itu beraksi.Mata Zeeya terbelalak begitu sadar bahwa yang ia lalui semalam bersama Allendra bukanlah mimpi. Ia benar-benar menyerahkan diri pada pria terlarang itu dengan suka rela dan tidak ada yang memaksanya. Bahkan Zeeya ingat betul Allendra berusaha menghentikannya dan sudah sering mewanti-wanti. Gadis itu menepuk jidat beberapa kali merutuki kebodohannya yang sudah terpedaya emosi dan nafsu. Mau ditaruh di mana nanti mukanya di depan Allendra? Harga diri yang selama ini dia agung-agungkan disajikan dengan begitu mudah dan murah. Ahhh, Zeeya ingin
"Vincent, Natasha sudah kembali ke Inggris," ujar Zeeya berusaha bicara dengan sangat hati-hati. Matanya setia menanti reaksi pria yang baru datang dengan sekantung makanan pesanannya. "Iya, terus hubungannya denganku?" "Kau tidak mengucapkan selamat tinggal atau apa gitu padanya?" "Sudah." "Apa yang kau maksud hari di mana dia menciummu?" "Kau tau dari mana?" kaget Vincent, tampak tidak menyangka Zeeya mengetahui rahasia itu. "Natasha cerita padaku, katanya dia menciummu. Tapi itu kan sudah sangat lama, ada tiga bulan yang lalu." "Sama saja." Setelah mengatakan itu, Vincent mengambil minuman yang disajikan pelayan keluarga Spancer. Menyesap aroma dengan hidungnya terlebih dahulu lantas meneguknya secara perlahan. "Bagaimana bisa kau berbicara sejahat itu?" "Jahat apanya?" "Natasha tulus menyukaimu, Vin." "Tapi aku menyukai gadis lain." "Gadis yang kau sukai sudah jadi ist
Ketika kamu benar-benar menginginkan sesuatu lalu kamu memperjuangkannya tanpa membatasi dirimu dengan ketidakpercayaan, maka semesta akan menjadikannya nyata untukmu. Memang tidak mudah memegang prinsip itu, ujian akan datang dari berbagai arah—menempamu dengan perah berlumur perih. Selayaknya kehidupan yang tidak selalu mudah, putus asa dan ingin menyerah bisa muncul kapan saja. Melemahkan hatimu dengan letih yang menatih. Namun perih itu tak akan selamanya membuatmu merintih, sebab selalu ada bahagia yang dihadiahkan bagi mereka yang ikhlas menjalani itu semua. Zeeya sedang berada di fase itu sekarang, merasakan kebahagiaan berlipat ganda usai dijatuhi luka yang menyiksa. Selamat dari maut, berhasil mendatangkan Seandra ke dunia, melihat sang suami memangku bayinya. Semua itu adalah angan yang selalu ia berikan pada Tuhan lantas mewujud doa yang dikabulkan. Ternyata benar, sesulit apa pun keadaan yang sedang dihadapi, alangkah lebih baik jika kita tetap berpikir positif ser
Tidak ada yang tahu bahwa niat bersenang-senang yang didambakan Zeeya tadi sore akan berujung celaka. Wanita yang sebelumnya tampak paling semangat melakukan agenda kencan ganda ini sudah berbaring di atas belangkar dengan wajah pucat karena kehabisan banyak darah. Cairan merah beraroma amis itu terus keluar bahkan sampai mengaliri kedua kakinya, diiringi rasa sakit yang sudah tak terperi seberapa tingkatannya. Zeeya Beberap kali melirih perih, dia menangis karena rak sanggup menahan penyiksaan yang menimpanya. Tangan Allendra setia menggenggam jemari sang istri. Kedua orang tua Zeeya masih dalam perjalanan setelah sebelumnya dihubungi oleh Allendra.Allendra, pria itu tak henti-hentinya menenangkan dan mengelus pelipis sang istri yang sudah dibasahi keringat dingin. Belum hilang rasa kagetnya setelah melihat tubuh Zeeya menggelinding di tangga halaman SMA Sevit, kini pria itu kembali menerima kejutan lanjutan dengan insiden pendarahan istrinya. Kalau saja waktu bisa diulang,
Dering ponsel berbunyi, menarik Liam untuk menghentikan aktivitasnya sejenak yang tadi sedang sibuk mencarikan buku latihan soal tes masuk universitas negeri untuk kekasihnya. Lelaki itu menjawab panggilan dari seorang wanita tepat di samping Alena, tidak ragu apalagi sungkan. Liam malah sangat ingin Alena mendengarkan percakapan ini."Iya, Bu?""Kamu tadi ke rumah?""Mm, kenapa memang?""Ah, tidak, Ibu kaget karena motor kamu tidak ada di garasi.""Maaf, tadi tidak sempa
Liam menambah kecepatan motornya demi mengikis waktu, ia terlambat lima menit dari waktu yang dijanjikan. Terlambat bukan kebiasaan Liam, hanya saja kemacetan akhir pekan begitu sulit ia taklukkan terlebih tadi dia sempat terjebak sekitar satu jam di dalam bus sebelum akhirnya pulang ke rumah untuk mengambil motornya. Begitu motor sport warna hitam itu memasuki beranda depan kediaman Spancer, Liam menemukan kekasihnya sudah berdiri di sana seorang diri. Dari jarak tiga meter tampak ada dua pelayan yang ikut menanti, mungkin untuk memastikan bahwa Alena benar-benar pergi dengan orang yang sudah resmi mendapat izin Allendra untuk membawa Alena pergi keluar."Maaf, lama nunggunya, ya?" ucap Liam setelah ia melepas helm dan turun dari motornya.Alena menggeleng, sama sekali tidak merasa jika penantian yang dia lakukan terlalu panjang sampai mencapai titik bosan."Tidak kok, aku baru keluar. Lagi pula aku menunggu di rumahku sendiri, kalau pun tidak jadi ya tinggal m
Vincent memainkan sepatu kulitnya dengan menendang-nendang dedaunan yang turun tepat di kakinya. Pria itu duduk di sebuah kursi panjang, di atasnya terdapat daun rimbun dari pohon besar di belakang tubuhnya. Taman ini cukup ramai saat sore hari, terdapat orang tua dan anak yang asyik jalan-jalan, muda-mudi yang ngobrol-ngobrol santai, dan ada pula pasangan yang sedang merajut romansa dengan indahnya. Saat ini Vincent masih sendiri namun tak lama lagi seseorang akan menemuinya di sana.Semua sudah berakhir, kegilaan dan kenekatan yang Vincent buat harus segera diakhiri. Dia ingin mengakui semuanya pada orang itu dan meminta maaf dengan tulus atas semua kepalsuan yang sudah dia tebar. Mata tajam Vincent berkeliling memindai sekitar, sampailah manik itu menangkap sosok perempuan cantik dengan gayacasual-nya sedang melenggang cantik dan melempar senyum padanya meski jarak mereka masih jauh. Vincent segera bangkit, menanti dengan senyum kesopanan yang tidak kalah le
"I love you, Zeeya .""I love you too, Alle."Dua kalimat keramat itu terus terngiang-ngiang dalam benak Allendra. Dia yang sudah mengetahui kata sandi ponsel lamanya memutar video yang tadi dia tonton bersama sang istri berulang kali. Seperti mau memastikan bahwa laki-laki yang ada di dalam video itu memang dirinya. Memang dia yang matanya tampak begitu bersinar ketika menatap Zeeya . Seakan wanita itu adalah poros dari segala cahaya yang menyinari kehidupan pria itu. Sedikit demi sedikit Allendra belajar menerima istrinya, setidaknya sekarang dia tidak terlalu kejam seperti awal-awal. Meski tentu saja perdebatan di antara mereka tidak pernah usai. Selalu ada saja yang memantik emosi sampai akhirnya keduanya adu mulut tapi ujung-ujungnya kembali akur lagi."Aku sudah siap," kata Zeeya yang baru datang dan sudah berpakaian olahraga yang tampak lucu dikenakannya saat hamil.Allendra buru-buru menyimpan ponsel tadi lalu berdiri dari dudukn
Menikah dengan Zeeya adalah salah satu takdir mengejutkan yang pada akhirnya sulit Allendra tolak. Dua sisi di hatinya benar-benar memberikan rasa yang bertolak belakang untuk pria itu pahami apa alasannya. Dia ingin bertanya langsung pada Zeeya namun masih gengsi. Wanita hamil itu pasti akan besar kepala dan mengira Allendra telah takluk padanya karena berusaha mencari tahu masa lalu mereka. Allendra tidak ingin terlihat terpedaya oleh wanita itu meskipun nyatanya dia sudah telanjur mengalaminya dengan atau tanpa dia sadari.Ini hari kedua dia menyandang status sebagai suami seseorang, rasanya tidak terlalu berbeda dengan saat dia masih melajang. Yang berbeda hanyalah tidur pria itu kini semakin sering terusik karena kehadiran Zeeya . Wanita itu memang selalu bisa menguji kesabaran Allendra di berbagai kesempatan. Ada saja tingkahnya yang membuat pria itu takjub, kesal, geleng-geleng kepala, sampai pria itu tak tahu lagi harus bicara apa.Contohnya seperti kejadian ke
Allendra mati kutu di hadapan kedua orang tua Zeeya . Kemampuan berbicara diplomatisnya tiba-tiba hilang tak bersisa. Mungkin jika situasinya normal pria itu masih bisa menyapa dengan biasa tanpa ada rasa tidak enak yang begitu kuat, sekali pun ia tidak mengingat calon mertua yang hari ini sudah resmi menjadi mertuanya tanpa dia sangka-sangka. Saat ini Allendra harus berbesar hati menekan kesal yang sejak tadi siang terus meronta untuk dibebaskan. Tak mungkin pria itu melampiaskan kekesalannya pada Zeeya di hadapan orang tua wanita itu. Terlebih sekarang Allendra sedang menginap di kediaman istrinya."Hari ini kau pasti terkejut, kan, Nak?" tanya ayah Zeeya ramah sekali.Semua kesal dalam dada Allendra bisa dikondisikan dengan baik ketika ia berbincang dengan ayah Zeeya di ruang makan."Sudah jelas, Yah, Zeeya itu memang ada-ada saja kelakuannya. Jangan salah paham dulu ya nak Al, kami juga tidak tahu jika dia merencanakan hal gila bersama Vincent untuk menjebak