Alena ingin muntah melihat drama picisan ini. Sialnya, dia terlibat dan agak sulit melarikan diri karena beberapa ucapan yang relate dengan keadaannya. Gadis itu tahu, semua orang yang mendekatinya itu tidak tulus. Ada banyak motif yang melatarbelakangi, begitu pun dengan Liam dan Sera, mungkin. Dia tidak ingin repot menebak atau mencari tahu alasan itu, tidak ada gunanya juga baginya. Dia sudah berusaha abai tapi anehnya orang-orang selalu memancingnya untuk bertingkah. Sialan sekali memang.
"Jangan sembarangan, Kak, kalau bicara. Aku dan kak Liam bukan orang seperti itu. Kami tulus berteman dengan kak Alena karena dia orang yang baik. Kakak saja yang tidak mau tahu dan selalu menutup mata dan hati kakak atas kebaikan kak Alena."
"Diam, Sera, aku tidak butuh pembelaanmu."
"Tapi Kak—"
"Kubilang diam!"
"Lihatlah, orang sepertinya yang mati-matian kau bela bahkan tidak menghargaimu sama sekali, Sera. Jadi berhentilah bergaul dengannya."
"Perempuan mana lagi yang sedang berusaha kau taklukkan?""Perempuan unik.""Masih betah bermain-main dengan perasaan orang?" ungkap dokter itu sambil menyiapkan jarum suntik yang sudah diisi obat."Masih, ini menyenangkan."Dokter cantik itu menyuntikkan obat tadi pada lengan Allendra sambil menyunggingkan senyum."Cepat atau lambat kau akan mendapat karmamu, Al.""Tahu, aku sudah tidak sabar menunggu momen itu datang.""Akal dan hatimu memang sudah rusak."Allendra menoleh pada dokter itu, dia mengambil tangan si dokter dan menggenggamnya erat."Maka dari itu aku membutuhkanmu. Jangan tinggalkan aku, ya?"Dokter itu mendecih, sudah teramat sering dia melihat Allendra seperti ini. Bukan hanya padanya, tapi pada siapa pun yang menjadi targetnya."Aku tidak akan meninggalkanmu karena kau berhutang banyak padaku. Segera lunasi atau kusita semua hartamu."Dokter itu menarik tangannya dari genggaman Alle
"Aku tidak akan meminta apa pun padamu. Kau tidak perlu takut atau khawatir. Sejak awal, aku selalu bilang bahwa aku tidak berminat masuk dalam permainanmu. Kau boleh pergi jika memang sudah bosan. Kepedulianku padamu dan Alena adalah hakku. Kau tidak berhak melarang. Permisi."Zeeya mendorong Allendra kemudian berlalu dari tempatnya. Dia menyeka bibir, menggosok bekas ciuman yang tadi dia lakukan dengan Allendra. Cukup jauh gadis itu melangkah, tangannya lalu dicekal Allendra lagi."Kau salah jalan, harusnya ke sana!" kata Allendra menunjuk helikopter yang masih setia menunggu mereka."Apa yang kau inginkan dariku Allendra? Kumohon, jangan usik hidupku karena semua ini terlalu membingungkan. Aku takut terbiasa dengan kehadiranmu dan kuyakin kau tidak akan suka itu."Allendra terganggu dengan tatapan tulus Zeeya. Dia merasakan keanehan pada dirinya sendiri. Beberapa saat lalu, dia seolah ingin menghempas Zeeya dari kehidupannya. Namun ketika gadis i
Zeeya merasakan tubuhnya begitu ringan meski ada beberapa bagian dalam dirinya yang terasa linu. Kelopak matanya memgerjap perlahan menyesuaikan dengan cahaya pagi yang masuk lewat celah-celah gorden dalam ruangan besar itu. Matanya terbuka sempurna, dia merasakan sensasi dingin yang tak biasa. Dilihatnya tubuhnya belum mengenakan pakaian apapun dan masih tergulung di balik selimut yang semalam menjadi saksi betapa gila gadis itu beraksi.Mata Zeeya terbelalak begitu sadar bahwa yang ia lalui semalam bersama Allendra bukanlah mimpi. Ia benar-benar menyerahkan diri pada pria terlarang itu dengan suka rela dan tidak ada yang memaksanya. Bahkan Zeeya ingat betul Allendra berusaha menghentikannya dan sudah sering mewanti-wanti. Gadis itu menepuk jidat beberapa kali merutuki kebodohannya yang sudah terpedaya emosi dan nafsu. Mau ditaruh di mana nanti mukanya di depan Allendra? Harga diri yang selama ini dia agung-agungkan disajikan dengan begitu mudah dan murah. Ahhh, Zeeya ingin
"Yah, hujan, Kak."Alena membuka tirai di kamar Sera, memeriksa keadaan di luar. Ia baru akan pamit pulang padahal."Tidak apa-apa, kehujanan tidak akan membuatku mati.""Ih, ngomongnya, nanti kalau hujan-hujanan lukisan aku hancur. Mending Kakak menginap saja di sini.""Tidak mau.""Kenapa? Aku tidurnya tidak ngorok, kok, serius.""Aku tidak pernah tidur di rumah orang lain.""Aku bukan orang lain tapi teman kakak.""Ya, maksudnya aku belum pernah menginap di rumah siapa pun.""Makanya Kakak harus coba, ah aku ada ide, kita pesta piyama saja malam ini, bagaimana?"Alena berdiri lantas mengambil lukisan dan tas gendongnya."Aku tetap mau pulang.""Telepon pengawal kakak kalau begitu.""Untuk apa?""Ya untuk jemput kakak ke sini. Aku tidak akan membiarkan Kakak pulang sendirian dalam keadaan hujan lebat.""Jangan harap aku akan melakukannya.""Ya, itu artinya Kakak memilih
Alena terus mengubah posisi tidurnya karena merasa tidak nyaman. Mungkin dia tidak biasa tidur di tempat asing karena itulah dia kesulitan memejamkan mata. Sementara Sera sudah tidur nyenyak usai kelelahan main uno sambil ketawa-ketiwi heboh. Alena menyerah, dia tidak bisa memaksa agar matanya memejam cepat. Gadis itu pun turun dari ranjang dan memutuskan keluar kamar Sera.Biasanya kalau tidak bisa tidur Alena akan diam di paviliun dekat kamarnya untuk mencari udara segar. Sekarang, dia tidak tahu harus ke mana dan berakhir mematung di depan pintu kamar Sera. Didengarnya suara ketikan keyboard dari kamar sebelah. Itu kamar Liam yang keadaan pintunya masih terbuka, Alena mendekat lantas mengintip lelaki itu sedang berkutat dengan komputer. Entah apa yang sedang dikerjakan laki-laki itu malam-malam begini.Tadinya Alena ingin kembali ke kamar Sera, tapi setelah ia ingat sesuatu gadis itu kembali diserang penasaran. Dia belum tahu alasan Allen
"Kak Alen, jalannya jangan cepet-cepet, ih!" kesal Sera saat ia tak sengaja berpapasan dengan Alena di halaman depan sekolah."Lelet," komentar Alena dan langsung membuat Sera cemberut lucu."Tadi kakak pulangnya pagi sekali, tidak bilang dulu padaku lagi.""Siapa suruh tidurmu seperti kerbau.""He he, kecapekan kayaknya, Kak. Kita ngobrol semalaman, kan.""Tepatnya kau yang mengoceh sendirian.""Iya juga, sih, he he. Eh, iya, semalam aku tidak sengaja bangun terus turun ke dapur untuk minum. Kulihat kakak dan kak Liam sedang asyik berduaan di ruang tamu. Ngobrolin apa, sih?""Mau tahu saja.""Ciyeee, Kakak, sudah main rahasia-rahasiaan nih sama aku.""Apa, sih?" Alena mulai kesal dengan godaan Sera namun gadis itu tidak berhenti mengoceh."Kak Liam lagi renggang tahu, Kak, sa
Allendra sedikit tidak nyaman ketika Zeeya memperhatikan kegaiatan makannya dengan intens. Perempuan itu menangkup dagu tanpa kedip, menyungging senyum aneh yang membuat Allendra merasa sedang diejek entah kenapa."Kau minta kucium?" tandas pria itu setelah berhasil menelan makanannya.Zeeya menggeleng dan masih menjaga senyum tadi dengan baik."Lalu kenapa kau menatapku dengan senyum seperti itu?""Memangnya kenapa, ada yang salah dengan senyumku?""Mm, aku merasa disudutkan."Zeeya menurunkan tangannya dari dagu, saat ini mereka sedang ada di kafe biasa, yang letaknya dekat SMA Sevit. Allendra mengajak Zeeya makan siang bersama sebelum kembali ke kantornya."Bagaimana rasanya berbaikan dengan Alena?""Aku tidak baikan dengannya.""Kau manis sekali saat menggendongnya ke UKS tadi."
"Terima kasih ya, Zee, sudah menyempatkan datang," ungkap Mark saat dia menghampiri Zeeya.Gadis itu terlihat sedang mengambil minuman seorang diri, Mark yang melihatnya buru-buru mendekat dan menyapa orang yang sejak tadi dia tunggu."Sama-sama, dapat makanan gratis mana mungkin aku melewatkannya. Terlebih aku tidak perlu repot berkendara untuk tiba di rumahmu.""Syukurlah, aku pikir kau tidak akan datang karena tadi orang tuamu hanya datang berdua.""Tadi aku harus memeriksa tugas anak-anak dulu jadi datangnya sedikit telat. Oh, ya, kau bilang pesta kecil-kecilan, ini sih meRia.""Biasa, keinginan orang tua. Aku manut-manut saja.""Bibi dan paman mana?" tanya Zeeya karena tak melihat kedua orang tua Mark, dia ingin menyapa mereka."Di dalam, sedang mengobrol dengan orang tuamu dan beberapa teman mereka yang lain.""
"Vincent, Natasha sudah kembali ke Inggris," ujar Zeeya berusaha bicara dengan sangat hati-hati. Matanya setia menanti reaksi pria yang baru datang dengan sekantung makanan pesanannya. "Iya, terus hubungannya denganku?" "Kau tidak mengucapkan selamat tinggal atau apa gitu padanya?" "Sudah." "Apa yang kau maksud hari di mana dia menciummu?" "Kau tau dari mana?" kaget Vincent, tampak tidak menyangka Zeeya mengetahui rahasia itu. "Natasha cerita padaku, katanya dia menciummu. Tapi itu kan sudah sangat lama, ada tiga bulan yang lalu." "Sama saja." Setelah mengatakan itu, Vincent mengambil minuman yang disajikan pelayan keluarga Spancer. Menyesap aroma dengan hidungnya terlebih dahulu lantas meneguknya secara perlahan. "Bagaimana bisa kau berbicara sejahat itu?" "Jahat apanya?" "Natasha tulus menyukaimu, Vin." "Tapi aku menyukai gadis lain." "Gadis yang kau sukai sudah jadi ist
Ketika kamu benar-benar menginginkan sesuatu lalu kamu memperjuangkannya tanpa membatasi dirimu dengan ketidakpercayaan, maka semesta akan menjadikannya nyata untukmu. Memang tidak mudah memegang prinsip itu, ujian akan datang dari berbagai arah—menempamu dengan perah berlumur perih. Selayaknya kehidupan yang tidak selalu mudah, putus asa dan ingin menyerah bisa muncul kapan saja. Melemahkan hatimu dengan letih yang menatih. Namun perih itu tak akan selamanya membuatmu merintih, sebab selalu ada bahagia yang dihadiahkan bagi mereka yang ikhlas menjalani itu semua. Zeeya sedang berada di fase itu sekarang, merasakan kebahagiaan berlipat ganda usai dijatuhi luka yang menyiksa. Selamat dari maut, berhasil mendatangkan Seandra ke dunia, melihat sang suami memangku bayinya. Semua itu adalah angan yang selalu ia berikan pada Tuhan lantas mewujud doa yang dikabulkan. Ternyata benar, sesulit apa pun keadaan yang sedang dihadapi, alangkah lebih baik jika kita tetap berpikir positif ser
Tidak ada yang tahu bahwa niat bersenang-senang yang didambakan Zeeya tadi sore akan berujung celaka. Wanita yang sebelumnya tampak paling semangat melakukan agenda kencan ganda ini sudah berbaring di atas belangkar dengan wajah pucat karena kehabisan banyak darah. Cairan merah beraroma amis itu terus keluar bahkan sampai mengaliri kedua kakinya, diiringi rasa sakit yang sudah tak terperi seberapa tingkatannya. Zeeya Beberap kali melirih perih, dia menangis karena rak sanggup menahan penyiksaan yang menimpanya. Tangan Allendra setia menggenggam jemari sang istri. Kedua orang tua Zeeya masih dalam perjalanan setelah sebelumnya dihubungi oleh Allendra.Allendra, pria itu tak henti-hentinya menenangkan dan mengelus pelipis sang istri yang sudah dibasahi keringat dingin. Belum hilang rasa kagetnya setelah melihat tubuh Zeeya menggelinding di tangga halaman SMA Sevit, kini pria itu kembali menerima kejutan lanjutan dengan insiden pendarahan istrinya. Kalau saja waktu bisa diulang,
Dering ponsel berbunyi, menarik Liam untuk menghentikan aktivitasnya sejenak yang tadi sedang sibuk mencarikan buku latihan soal tes masuk universitas negeri untuk kekasihnya. Lelaki itu menjawab panggilan dari seorang wanita tepat di samping Alena, tidak ragu apalagi sungkan. Liam malah sangat ingin Alena mendengarkan percakapan ini."Iya, Bu?""Kamu tadi ke rumah?""Mm, kenapa memang?""Ah, tidak, Ibu kaget karena motor kamu tidak ada di garasi.""Maaf, tadi tidak sempa
Liam menambah kecepatan motornya demi mengikis waktu, ia terlambat lima menit dari waktu yang dijanjikan. Terlambat bukan kebiasaan Liam, hanya saja kemacetan akhir pekan begitu sulit ia taklukkan terlebih tadi dia sempat terjebak sekitar satu jam di dalam bus sebelum akhirnya pulang ke rumah untuk mengambil motornya. Begitu motor sport warna hitam itu memasuki beranda depan kediaman Spancer, Liam menemukan kekasihnya sudah berdiri di sana seorang diri. Dari jarak tiga meter tampak ada dua pelayan yang ikut menanti, mungkin untuk memastikan bahwa Alena benar-benar pergi dengan orang yang sudah resmi mendapat izin Allendra untuk membawa Alena pergi keluar."Maaf, lama nunggunya, ya?" ucap Liam setelah ia melepas helm dan turun dari motornya.Alena menggeleng, sama sekali tidak merasa jika penantian yang dia lakukan terlalu panjang sampai mencapai titik bosan."Tidak kok, aku baru keluar. Lagi pula aku menunggu di rumahku sendiri, kalau pun tidak jadi ya tinggal m
Vincent memainkan sepatu kulitnya dengan menendang-nendang dedaunan yang turun tepat di kakinya. Pria itu duduk di sebuah kursi panjang, di atasnya terdapat daun rimbun dari pohon besar di belakang tubuhnya. Taman ini cukup ramai saat sore hari, terdapat orang tua dan anak yang asyik jalan-jalan, muda-mudi yang ngobrol-ngobrol santai, dan ada pula pasangan yang sedang merajut romansa dengan indahnya. Saat ini Vincent masih sendiri namun tak lama lagi seseorang akan menemuinya di sana.Semua sudah berakhir, kegilaan dan kenekatan yang Vincent buat harus segera diakhiri. Dia ingin mengakui semuanya pada orang itu dan meminta maaf dengan tulus atas semua kepalsuan yang sudah dia tebar. Mata tajam Vincent berkeliling memindai sekitar, sampailah manik itu menangkap sosok perempuan cantik dengan gayacasual-nya sedang melenggang cantik dan melempar senyum padanya meski jarak mereka masih jauh. Vincent segera bangkit, menanti dengan senyum kesopanan yang tidak kalah le
"I love you, Zeeya .""I love you too, Alle."Dua kalimat keramat itu terus terngiang-ngiang dalam benak Allendra. Dia yang sudah mengetahui kata sandi ponsel lamanya memutar video yang tadi dia tonton bersama sang istri berulang kali. Seperti mau memastikan bahwa laki-laki yang ada di dalam video itu memang dirinya. Memang dia yang matanya tampak begitu bersinar ketika menatap Zeeya . Seakan wanita itu adalah poros dari segala cahaya yang menyinari kehidupan pria itu. Sedikit demi sedikit Allendra belajar menerima istrinya, setidaknya sekarang dia tidak terlalu kejam seperti awal-awal. Meski tentu saja perdebatan di antara mereka tidak pernah usai. Selalu ada saja yang memantik emosi sampai akhirnya keduanya adu mulut tapi ujung-ujungnya kembali akur lagi."Aku sudah siap," kata Zeeya yang baru datang dan sudah berpakaian olahraga yang tampak lucu dikenakannya saat hamil.Allendra buru-buru menyimpan ponsel tadi lalu berdiri dari dudukn
Menikah dengan Zeeya adalah salah satu takdir mengejutkan yang pada akhirnya sulit Allendra tolak. Dua sisi di hatinya benar-benar memberikan rasa yang bertolak belakang untuk pria itu pahami apa alasannya. Dia ingin bertanya langsung pada Zeeya namun masih gengsi. Wanita hamil itu pasti akan besar kepala dan mengira Allendra telah takluk padanya karena berusaha mencari tahu masa lalu mereka. Allendra tidak ingin terlihat terpedaya oleh wanita itu meskipun nyatanya dia sudah telanjur mengalaminya dengan atau tanpa dia sadari.Ini hari kedua dia menyandang status sebagai suami seseorang, rasanya tidak terlalu berbeda dengan saat dia masih melajang. Yang berbeda hanyalah tidur pria itu kini semakin sering terusik karena kehadiran Zeeya . Wanita itu memang selalu bisa menguji kesabaran Allendra di berbagai kesempatan. Ada saja tingkahnya yang membuat pria itu takjub, kesal, geleng-geleng kepala, sampai pria itu tak tahu lagi harus bicara apa.Contohnya seperti kejadian ke
Allendra mati kutu di hadapan kedua orang tua Zeeya . Kemampuan berbicara diplomatisnya tiba-tiba hilang tak bersisa. Mungkin jika situasinya normal pria itu masih bisa menyapa dengan biasa tanpa ada rasa tidak enak yang begitu kuat, sekali pun ia tidak mengingat calon mertua yang hari ini sudah resmi menjadi mertuanya tanpa dia sangka-sangka. Saat ini Allendra harus berbesar hati menekan kesal yang sejak tadi siang terus meronta untuk dibebaskan. Tak mungkin pria itu melampiaskan kekesalannya pada Zeeya di hadapan orang tua wanita itu. Terlebih sekarang Allendra sedang menginap di kediaman istrinya."Hari ini kau pasti terkejut, kan, Nak?" tanya ayah Zeeya ramah sekali.Semua kesal dalam dada Allendra bisa dikondisikan dengan baik ketika ia berbincang dengan ayah Zeeya di ruang makan."Sudah jelas, Yah, Zeeya itu memang ada-ada saja kelakuannya. Jangan salah paham dulu ya nak Al, kami juga tidak tahu jika dia merencanakan hal gila bersama Vincent untuk menjebak