Pukul sembilan malam Tiano pulang dari pertemuan dengan beberapa rekannya. Laki-laki itu menghubungi penjaga rumahnya dan benar saja penjaga mengatakan kalau Sora belum pulang sama sekali. Tiano sudah curiga dengan gelagat gadis itu, Sora yang terus menerus menentang dan ingin mendapat pekerjaan baru. "Dia pasti ikut dengan Rachel," gumam Tiano seraya berdecak. "Ke mana pula gadis itu bekerja!"Kali ini Tiano meraih ponselnya, ia kembali mencoba menghubungi Sora lagi, namun panggilannya tidak dijawab. Hal ini membuat Tiano mengumpat kesal. "Kau memang kadang membuat kesabaranku menipis, Sora," gumam Tiano kesal. Mau tidak mau Tiano menghubungi beberapa orang kantor dan menanyakan di mana Rachel bekerja sampingan, hingga akhirnya Tiano tahu di mana gadis itu berada. Tiano pun langsung menuju ke tempat yang diinformasikan oleh beberapa orang kantor padanya. Di sebuah rumah makan kecil di tepi jalan, tempat yang kini sudah sepi pengunjung karena sudah malam. Dan dengan jelas sekali
"Bu, Sora ingin pulang..." Sora berucap tanpa suara, gadis itu menekuk kedua lututnya duduk bersandar sembari menangis tak sudah-sudah. Gadis itu merasakan dirinya semakin hari semakin tersiksa. Sora memang sangat berterima kasih atas kebaikan hati Tiano, tapi Sora tidak bisa hidup seperti ini terus menerus. "Apa yang harus aku lakukan?" lirih Sora mengusap air matanya. Tiba-tiba ponsel milik Sora bergetar, di layar nampak sebuah pesan masuk tanpa nama. Sora meraih ponselnya dan ia membaca pesan itu. "Tino," gumamnya. Kembaran Tiano itu kini menelfonnya, barulah Sora menjawab panggilan tersebut. "Halo..." Sora memelankan suaranya. "Woi Sora! Tiano ada di rumah atau tidak?!" pekik Tino di balik panggilan itu. "Ti-Tiano?" "Heem, kau kenapa? Kau menangis ya?" tanya Tino di balik panggilan itu. "Kenapa kau menangis hah? Tiano macam-macam denganmu?" "Tidak Tino, aku tidak papa," jawab Sora berbohong. "Jangan bohong! Dari suaramu aku tahu kau menangis! Ada apa? Kenapa menangis?
Tino mengajak Sora pergi bersamanya ke suatu tempat. Mereka berdua pergi ke sebuah rumah makan mewah yang cukup jauh. Sora tidak menyangka kalau kembaran Tiano adalah sosok yang baik dan sangat friendly, tidak berlebihan dalam perasaan seperti Tiano. "Pesan makanan yang kau mau," ujar Tiano menyerahkan buku menu pada Sora. "Terima kasih, Tino..." "Heem, santai saja!" Tino mengeluarkan ponselnya dan meletakkannya di atas meja setelah membaca pesan dari Tiano yang memintanya untuk berhati-hati saat pergi bersama Sora. "Tiano ini berlebihan sekali denganmu," ujar Tino usai memesan makanan. "Kau tahu sendiri seperti apa kembaranmu itu," jawab Sora menggembungkan pipinya. "Dia tidak pernah memberikan aku naas untuk bebas. Tapi aku terus berusaha untuk bebas darinya." "Oh ya?" Tino terkekeh dengan ekspresi Sora yang sangat-sangat antusias. Gadis ini rupanya cukup gigih dan pintar, Sora yang tidak pernah memiliki perasaan aneh-aneh atau berprasangka buruk pada Tino sejak pertama ber
"Ingat kata-kataku tadi, Sora! Jangan lupa, okay!" Tino menatap Sora yang baru saja turun dari dalam mobilnya. Gadis cantik itu menganggukkan kepalanya dan tersenyum manis. "Iya Tino, jangan khawatir," jawab Sora begitu lembut. "Bagus!" Laki-laki itu muda itu mengacungkan jempolnya. "Kalau begitu aku pamit, kau cepat masuk ke rumah sebelum siluman Tiano itu mengamuk!" Mendengar julukan itu membuat Sora tertawa, ia melambaikan tangannya pada Tino yang bergegas pergi meninggalkannya saat itu juga. Sora mengembuskan napasnya panjang, gadis itu menepuk-nepuk dadanya sebelum kakinya melangkah berputar menatap ke arah rumah. Mobil berwarna putih sudah ada di depan sana, tandanya Tiano ada di rumah dan pasti dia sedang menunggu Sora untuk diomeli. "Apa dia sudah dari tadi?" gumam Sora lirih. Ia melangkah cepat menuju rumah, namun langkah Sora terhenti saat ia menaiki tangga teras. "Rumahmu sepi sekali, jadi asik berduaan, iya kan? Emmm... Tiano, ayo jalan-jalan lagi..." "Nanti dulu
Keesokan harinya saat hari sudah malam, seharian puas Sora dan Rachel bekerja di rumah makan. Sora tidak merasa tertekan bekerja di tempat itu. "Sora, apa kau akan pulang?" tanya Rachel menatap Sora yang kini merapikan tasnya. "Heem. Besok kan kita harus ke kantor. Aku tidak mau dia marah-marah padaku," jawab Sora terkekeh. "Duh cepat sekali hari ini menjadi senin! Aku kan masih ingin rebahan dan bermain ponsel di kost!" seru Rachel cemberut. Sora menatapnya dengan tatapan gemas. Dia melangkah keluar dari dalam tempat kerjanya lebih dulu meninggalkan Rachel. "Aku duluan Rach!" pekik Sora. "Iya, hati-hati Sora!" balas gadis itu dari dalam. Angin malam ini membuat Sora merasakan dingin yang menusuk, hari ini memang sangat melelahkan. Namun ada juga yang membuat ia senang, siang tadi Suster Anika, yang menjaga Ibunya menghubungi Sora dan mengatakan kalau Ibunya kini sudah berjalan-jalan, bahkan ibunya sudah berangsur membaik. 'Aku harus mengumpulkan banyak uang, paling lambat sam
Saat Sora terbangun dari tidurnya pagi tadi, gadis itu terkejut siapa yang sudah membalut luka di tangannya dengan sangat rapi. Meskipun sebenarnya dia juga sudah tahu jawabannya. Namun Sora hanya tak menduga Tiano melakukannya. "Mana..." Suara dalam laki-laki itu membuat Sora menoleh ke belakang. Nampaknya ada Tiano yang berdiri di belakang sofa, laki-laki itu mengulurkan tangannya meraih tangan Sora. "Kalau kau tidak bisa memasang perban sendiri, kau bisa meminta tolong padaku. Lukamu tidak akan sembuh-sembuh nanti," ujarnya dengan sabar. "Iya." Sora mencicit pelan. "Iya apa, hem?" Tiano terkekeh. "Iya tolong maksudnya!" Sora cemberut seketika. Ekspresi yang selalu Tiano rindukan saat gadis itu cemberut. Tiano kembali mengganti perban di tangan Sora. Sedangkan sang empu hanya diam menatap wajah tampan di depannya ini. Benaknya bertanya-tanya, apa tidak lancang bila Sora bertanya tentang hal pribadinya?"Tiano..." "Heemm?" "Kemarin siang itu sebenernya aku pulang," cicit
Seharian tidak ada satu pekerjaan pun yang Tiano lakukan di kantornya. Ia hanya terus bermesraan dengan Sora dan bercanda membicarakan banyak hal. Sama halnya seperti saat ini, Sora sampai tertidur dalam pelukannya. Dengan pintu ruangan yang terkunci, mereka tidak diganggu oleh siapapun tanpa ada yang mengganggu. "Sayang bangun, sudah sore..." Tiano mengusap pipi Sora yang begitu lembut. "Bangun, Nona." Sora membuka kedua matanya tanpa beranjak sedikitpun. Gadis itu mengangkat wajahnya dan menatap jam dinding yang menunjukkan pukul setengah empat. "Sudah sore," cicitnya. "Heem. Tidak usah bekerja dulu," ujar Tiano sembari mengecupi pipi Sora yang gembil. "Aku tidak mau bolos bekerja tahu!" seru gadis itu hendak beranjak. Namun saat ia berdiri, kepalanya terasa seperti diputar, pandangannya menjadi gelap, hingga Sora kembali ambruk, untung saja Tiano sigap menangkapnya. Tiano langsung berdiri mendekapnya dan merasakan tubuh kecil gadis itu lemas. "Kau tidak papa? Apa yang terj
Saat Sora sudah tertidur, Tiano melepaskan pelukannya pada gadis itu. Diam-diam ia mencuri kecupan, bahkan sesekali membelai pipi mulutnya yang putih mengkilat. Terbesit perasaan jahat dalam dirinya, ingin memiliki Sora saat ini juga. Berupaya agar Sora tak bisa kabur darinya tanpa alasan apapun. "Kelinci kecilku yang lucu," bisik Tiano, lirih dan dalam. Ibu jarinya mengusap dagu kecil gadis itu sebelum Tiano beranjak dari atas ranjang perlahan-lahan. Laki-laki itu berjalan meraih ponsel miliknya di atas meja rias. Ia keluar dari dalam kamar seraya menghubungi seseorang. "Kau sudah ada di depan? Oh... Tunggu sebentar, aku bukakan pintu untukmu." Tiano berjalan ke lantai satu, ia membuka pintu di hadapannya hingga seorang laki-laki muncul membawa sebuah berkas penting di tangannya. Mereka berdua masuk ke dalam rumah dan langsung menuju ke ruangan kerja Tiano. "Kau sudah mendapatkannya?" tanya pemuda itu menatap laki-laki dengan setelan pakaian formal berwarna abu-abu yang melet
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut