Saat Sora terbangun dari tidurnya pagi tadi, gadis itu terkejut siapa yang sudah membalut luka di tangannya dengan sangat rapi. Meskipun sebenarnya dia juga sudah tahu jawabannya. Namun Sora hanya tak menduga Tiano melakukannya. "Mana..." Suara dalam laki-laki itu membuat Sora menoleh ke belakang. Nampaknya ada Tiano yang berdiri di belakang sofa, laki-laki itu mengulurkan tangannya meraih tangan Sora. "Kalau kau tidak bisa memasang perban sendiri, kau bisa meminta tolong padaku. Lukamu tidak akan sembuh-sembuh nanti," ujarnya dengan sabar. "Iya." Sora mencicit pelan. "Iya apa, hem?" Tiano terkekeh. "Iya tolong maksudnya!" Sora cemberut seketika. Ekspresi yang selalu Tiano rindukan saat gadis itu cemberut. Tiano kembali mengganti perban di tangan Sora. Sedangkan sang empu hanya diam menatap wajah tampan di depannya ini. Benaknya bertanya-tanya, apa tidak lancang bila Sora bertanya tentang hal pribadinya?"Tiano..." "Heemm?" "Kemarin siang itu sebenernya aku pulang," cicit
Seharian tidak ada satu pekerjaan pun yang Tiano lakukan di kantornya. Ia hanya terus bermesraan dengan Sora dan bercanda membicarakan banyak hal. Sama halnya seperti saat ini, Sora sampai tertidur dalam pelukannya. Dengan pintu ruangan yang terkunci, mereka tidak diganggu oleh siapapun tanpa ada yang mengganggu. "Sayang bangun, sudah sore..." Tiano mengusap pipi Sora yang begitu lembut. "Bangun, Nona." Sora membuka kedua matanya tanpa beranjak sedikitpun. Gadis itu mengangkat wajahnya dan menatap jam dinding yang menunjukkan pukul setengah empat. "Sudah sore," cicitnya. "Heem. Tidak usah bekerja dulu," ujar Tiano sembari mengecupi pipi Sora yang gembil. "Aku tidak mau bolos bekerja tahu!" seru gadis itu hendak beranjak. Namun saat ia berdiri, kepalanya terasa seperti diputar, pandangannya menjadi gelap, hingga Sora kembali ambruk, untung saja Tiano sigap menangkapnya. Tiano langsung berdiri mendekapnya dan merasakan tubuh kecil gadis itu lemas. "Kau tidak papa? Apa yang terj
Saat Sora sudah tertidur, Tiano melepaskan pelukannya pada gadis itu. Diam-diam ia mencuri kecupan, bahkan sesekali membelai pipi mulutnya yang putih mengkilat. Terbesit perasaan jahat dalam dirinya, ingin memiliki Sora saat ini juga. Berupaya agar Sora tak bisa kabur darinya tanpa alasan apapun. "Kelinci kecilku yang lucu," bisik Tiano, lirih dan dalam. Ibu jarinya mengusap dagu kecil gadis itu sebelum Tiano beranjak dari atas ranjang perlahan-lahan. Laki-laki itu berjalan meraih ponsel miliknya di atas meja rias. Ia keluar dari dalam kamar seraya menghubungi seseorang. "Kau sudah ada di depan? Oh... Tunggu sebentar, aku bukakan pintu untukmu." Tiano berjalan ke lantai satu, ia membuka pintu di hadapannya hingga seorang laki-laki muncul membawa sebuah berkas penting di tangannya. Mereka berdua masuk ke dalam rumah dan langsung menuju ke ruangan kerja Tiano. "Kau sudah mendapatkannya?" tanya pemuda itu menatap laki-laki dengan setelan pakaian formal berwarna abu-abu yang melet
Kedatangan Sora kali ini membuat Ibunya terkejut. Sora dengan wajah cemas mendekati Ibunya. Setelah dokter mengatakan kondisi Ibunya kembali drop, hal ini bisa mengarahkan Ibunya pada operasi jantung besar-besaran. Namun dengan kedatangan Sora, Hima terlihat tidak senang sama sekali, seperti ada yang dia sembunyikan. Meskipun Sora sibuk bercerita dan memeluknya sesekali dengan ekspresi bahagia. "Ibu... Apa Ibu tidak merindukanku? Sora bawakan kue kesukaan Ibu," ujar gadis itu meletakkan sebuah cake di atas meja. "Ibu kenapa diam saja? Ibu marah ya, Sora tidak pernah ke sini?" tanya gadis itu. Hima yang berbaring tiba-tiba menggelengkan kepalanya. Wanita itu seperti ingin menangis dan menepis tangan Sora begitu saja. Kedua mata Sora melebar dengan apa yang Ibunya lakukan. Hima memeluk bantalnya dan menangis, wanita itu menangis di hadapan putrinya yang tengah kebingungan dengan sikapnya. 'Nyonya Hima mendapatkan perawatan yang sangat berkelas di rumah sakit ini, padahal latar bel
'Padahal rasanya baru tadi semua biasa-biasa saja dan berjalan dengan baik seperti yang aku inginkan, tapi kenapa... Kenapa sekarang jadi begini?' Sora menangis tanpa suara di dalam bus. Gadis itu menuju ke rumah lamanya yang berada di Scarborough. Tidak ada pilihan lain, Sora ingin menjual tanah dan rumahnya untuk membayar semuanya pada Tiano, ia tidak mau Ibunya lebih kecewa lagi. Terlebih saat ini kondisi Hima benar-benar menurun drastis. "Ya Tuhan, ini sangat sulit," ucap Sora menundukkan kepalanya dan menangis. Sora telah menolak bantuan Tiano, ia meninggalkan laki-laki itu. Lebih baik ia dibenci oleh Tiano, daripada Sora harus dibenci oleh Ibunya sendiri. Perjalanan yang jauh, Sora kini sampai di rumah lamanya. Ia langsung mendatangi rumah Bibi Milly, kerabatnya yang selama ini merawat rumah Sora dan orang yang menyimpan sertifikat rumah tersebut. "Bibi Milly," panggil Sora di depan pintu. "Ya ampun Sora!" pekik wanita itu terkejut. "Ya ampun nak, apa yang membawamu ke si
Bola mata Sora melebar tak percaya dengan apa yang Tiano katakan. Dia menginginkannya, malam ini juga. Apa maksud dari menginginkannya? Sora tidak mengerti."Me-menginginkan apa maksudmu?" lirih Sora bingung.Laki-laki itu tidak menjawabnya, ia meraih tangan Sora dan menariknya. "Nanti kau akan tahu sendiri apa yang aku maksud, sekarang ayo pergi dari sini dan akan aku lunasi biaya operasi Ibumu." Sora mengikuti Tiano yang menggenggam tangannya. Dan benar saja, tidak ada orang yang peduli kepadanya selain Tiano. Dia lagi, dia lagi. Bukankah seharusnya dia bersyukur karena adanya laki-laki ini?Sora mengembuskan napasnya pelan. Mereka berada di tempat di mana Tiano membayar semua tagihan rumah sakit juga biaya operasi Hima yang akan dilangsungkan segera. "Operasinya akan kami lakukan besok pagi, kondisi Nyonya Hima sudah sangat menurun drastis, jauh dari kata standard. Jadi kami perlu penanganan yang cepat!" seru Dokter menjelaskan pada Tiano. Tiano pun mengangguk. "Aku tunggu ka
Saat kedua mata terbuka, Sora merasakan kehampaan yang luar biasa dalam hidupnya. Rasa sakit di tubuhnya, lelah, dan semuanya menjadi satu. Suara gemericik air di dalam kamar mandi membangunkannya. Sora tersentak kaget saat ia hendak bangun, tubuhnya seperti remuk dan sakit pada inti tubuhnya. "Astaga..." Gadis itu memejamkan kedua matanya. Perlahan ia meraih pakaiannya yang berada di tepi ranjang. Sora memakai pakaiannya dan duduk diam di sana, pikirannya berlarian ke mana-mana. 'Tidak ada gunanya aku menyesali semua ini. Lagipula, semuanya juga sudah hancur, tidak bisa aku kembalikan seperti semula.' Mati-matian Sora menahan air matanya agar tidak menangis. Sampai suara pintu kamar mandi terbuka. Tiano mendekatinya, laki-laki itu mengusap pucuk kepala Sora dengan lembut. "Cepat bersihkan tubuhmu," bisik Tiano mengecup pipinya singkat. "A-Aku..." "Kenapa? Kau mau gendong?" tawar Tiano, seperti tak terjadi apapun dengan mereka. Sora menggelengkan kepalanya, gadis itu beranja
'Sekarang aku benar-benar sendirian, aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini... Ibu, kenapa Ibu meninggalkan Sora...' Teriakan-teriakan penuh rasa sakit yang sesak menjerit tak tertolong di dalam kepala Sora. Gadis itu diam tertunduk di atas ranjang kamarnya memeluk kedua lututnya. Gaun panjang berwarna hitam yang ia pakai masih tersisa tanah pemakaman yang menempel. Pintu kamar terbuka, ruangan gelap itu menjadi sedikit terang. Sora menyembunyikan sesuatu pada kedua lipatan tangannya di atas lutut. "Sora, bajumu kotor, gantilah dengan yang bersih dan segera makan. Kau bisa sakit..." Tiano mengulurkan tangannya mengusap pucuk kepala gadis itu. Sora menggelengkan kepalanya. "Tidak, tinggalkan aku sendiri." "Kau akan larut dalam kesedihanmu saat sendirian. Jangan berpikir kalau kau akan kesepian." Tangisan gadis itu terhenti seketika, ia mendongakkan kepalanya menatap Tiano dengan tatapan dalam. "Bagaimana mungkin aku tidak kesepian... Di dunia ini aku hanya memiliki
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut