Kedatangan Sora kali ini membuat Ibunya terkejut. Sora dengan wajah cemas mendekati Ibunya. Setelah dokter mengatakan kondisi Ibunya kembali drop, hal ini bisa mengarahkan Ibunya pada operasi jantung besar-besaran. Namun dengan kedatangan Sora, Hima terlihat tidak senang sama sekali, seperti ada yang dia sembunyikan. Meskipun Sora sibuk bercerita dan memeluknya sesekali dengan ekspresi bahagia. "Ibu... Apa Ibu tidak merindukanku? Sora bawakan kue kesukaan Ibu," ujar gadis itu meletakkan sebuah cake di atas meja. "Ibu kenapa diam saja? Ibu marah ya, Sora tidak pernah ke sini?" tanya gadis itu. Hima yang berbaring tiba-tiba menggelengkan kepalanya. Wanita itu seperti ingin menangis dan menepis tangan Sora begitu saja. Kedua mata Sora melebar dengan apa yang Ibunya lakukan. Hima memeluk bantalnya dan menangis, wanita itu menangis di hadapan putrinya yang tengah kebingungan dengan sikapnya. 'Nyonya Hima mendapatkan perawatan yang sangat berkelas di rumah sakit ini, padahal latar bel
'Padahal rasanya baru tadi semua biasa-biasa saja dan berjalan dengan baik seperti yang aku inginkan, tapi kenapa... Kenapa sekarang jadi begini?' Sora menangis tanpa suara di dalam bus. Gadis itu menuju ke rumah lamanya yang berada di Scarborough. Tidak ada pilihan lain, Sora ingin menjual tanah dan rumahnya untuk membayar semuanya pada Tiano, ia tidak mau Ibunya lebih kecewa lagi. Terlebih saat ini kondisi Hima benar-benar menurun drastis. "Ya Tuhan, ini sangat sulit," ucap Sora menundukkan kepalanya dan menangis. Sora telah menolak bantuan Tiano, ia meninggalkan laki-laki itu. Lebih baik ia dibenci oleh Tiano, daripada Sora harus dibenci oleh Ibunya sendiri. Perjalanan yang jauh, Sora kini sampai di rumah lamanya. Ia langsung mendatangi rumah Bibi Milly, kerabatnya yang selama ini merawat rumah Sora dan orang yang menyimpan sertifikat rumah tersebut. "Bibi Milly," panggil Sora di depan pintu. "Ya ampun Sora!" pekik wanita itu terkejut. "Ya ampun nak, apa yang membawamu ke si
Bola mata Sora melebar tak percaya dengan apa yang Tiano katakan. Dia menginginkannya, malam ini juga. Apa maksud dari menginginkannya? Sora tidak mengerti."Me-menginginkan apa maksudmu?" lirih Sora bingung.Laki-laki itu tidak menjawabnya, ia meraih tangan Sora dan menariknya. "Nanti kau akan tahu sendiri apa yang aku maksud, sekarang ayo pergi dari sini dan akan aku lunasi biaya operasi Ibumu." Sora mengikuti Tiano yang menggenggam tangannya. Dan benar saja, tidak ada orang yang peduli kepadanya selain Tiano. Dia lagi, dia lagi. Bukankah seharusnya dia bersyukur karena adanya laki-laki ini?Sora mengembuskan napasnya pelan. Mereka berada di tempat di mana Tiano membayar semua tagihan rumah sakit juga biaya operasi Hima yang akan dilangsungkan segera. "Operasinya akan kami lakukan besok pagi, kondisi Nyonya Hima sudah sangat menurun drastis, jauh dari kata standard. Jadi kami perlu penanganan yang cepat!" seru Dokter menjelaskan pada Tiano. Tiano pun mengangguk. "Aku tunggu ka
Saat kedua mata terbuka, Sora merasakan kehampaan yang luar biasa dalam hidupnya. Rasa sakit di tubuhnya, lelah, dan semuanya menjadi satu. Suara gemericik air di dalam kamar mandi membangunkannya. Sora tersentak kaget saat ia hendak bangun, tubuhnya seperti remuk dan sakit pada inti tubuhnya. "Astaga..." Gadis itu memejamkan kedua matanya. Perlahan ia meraih pakaiannya yang berada di tepi ranjang. Sora memakai pakaiannya dan duduk diam di sana, pikirannya berlarian ke mana-mana. 'Tidak ada gunanya aku menyesali semua ini. Lagipula, semuanya juga sudah hancur, tidak bisa aku kembalikan seperti semula.' Mati-matian Sora menahan air matanya agar tidak menangis. Sampai suara pintu kamar mandi terbuka. Tiano mendekatinya, laki-laki itu mengusap pucuk kepala Sora dengan lembut. "Cepat bersihkan tubuhmu," bisik Tiano mengecup pipinya singkat. "A-Aku..." "Kenapa? Kau mau gendong?" tawar Tiano, seperti tak terjadi apapun dengan mereka. Sora menggelengkan kepalanya, gadis itu beranja
'Sekarang aku benar-benar sendirian, aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini... Ibu, kenapa Ibu meninggalkan Sora...' Teriakan-teriakan penuh rasa sakit yang sesak menjerit tak tertolong di dalam kepala Sora. Gadis itu diam tertunduk di atas ranjang kamarnya memeluk kedua lututnya. Gaun panjang berwarna hitam yang ia pakai masih tersisa tanah pemakaman yang menempel. Pintu kamar terbuka, ruangan gelap itu menjadi sedikit terang. Sora menyembunyikan sesuatu pada kedua lipatan tangannya di atas lutut. "Sora, bajumu kotor, gantilah dengan yang bersih dan segera makan. Kau bisa sakit..." Tiano mengulurkan tangannya mengusap pucuk kepala gadis itu. Sora menggelengkan kepalanya. "Tidak, tinggalkan aku sendiri." "Kau akan larut dalam kesedihanmu saat sendirian. Jangan berpikir kalau kau akan kesepian." Tangisan gadis itu terhenti seketika, ia mendongakkan kepalanya menatap Tiano dengan tatapan dalam. "Bagaimana mungkin aku tidak kesepian... Di dunia ini aku hanya memiliki
Tiano hari pulang ke Birmingham dan meminta Sora untuk menjaga diri di rumah sementara waktu. Kepulangannya kali ini ada yang ingin ia bahas dengan Papa dan Mamanya. Namun ternyata Sebastian pergi, hingga Tiano hanya bertiga dengan Mama dan juga adik kembarannya yang sedang ada di sana. "Kak Tiano tumben, emmm..." Tiana berjalan mendekati Tiano dan gadis itu berbisik tanpa suara, "Sora mana?""Dia di rumah," jawab Tiano pelan. "Hemm... Harusnya kan diajak, biar Tiana ada temannya! Aldrich pergi sama Papi!" seru gadis itu cemberut. Tiano hanya tersenyum gemas, ia mengusak pucuk kepala Tiana sebelum berjalan ke ruang makan di belakang. Pemuda itu melihat Maminya yang tengah menyiapkan makan malam. Tiano mendekatinya dan mengecup pipi Shela. "Mam..." "Ya ampun, Sayang! Gini dong pulang! Jangan seperti anak hilang!" pekik Shela memeluk putranya. "Tiano kan sibuk, Mam. Banyak hal yang harus diurus." "Oh iya, kata Papimu ada sesuatu yang ingin kau bicarakan dengan Mami. Ada apa, Ti
"Aku ingin pulang ke tempat asalku, tapi seseorang menahanku untuk pergi." Sora menundukkan kepalanya di hadapan seorang laki-laki, yang tak lain adalah Roy, sahabat dekatnya sejak kecil yang kini menjadi seorang koki di sebuah rumah makan ternama di London, beberapa Minggu ini. Ekspresi sedih Roy yang sangat terkejut mendengar apa yang Sora ungkapan. "Ja-jadi selama ini kau..." Laki-laki itu menghentikan ucapannya dan tersenyum tipis. Sora menangis di hadapannya, Roy mengusap punggung Sora dengan lembut. "Aku bisa membantumu, Sora," ujar Roy, itupun kalau kau benar-benar ingin bebas dan pergi dari laki-laki itu. "Aku sangat menyukai Tiano karena dia sangat perhatian denganku, Roy.... Tapi tidak lagi setelah aku tahu kalau keluarganya tidak akan memerimaku. Aku cukup tahu diri untuk semua itu." "Tapi dia mencintaimu, kan?!" Roy melebarkan kedua matanya. Sora mengangguk kecil. "Heem, bukan hanya cinta. Tapi aku tidak tahu apa yang dia rasakan, dia tidak ingin melepaskan aku sek
Tiano mendatangi rumah makan di mana Roy bekerja, ia ingin bertanya secara langsung pada laki-laki itu tentang apa yang dia bicarakan dengan Sora. Kedatangan Tiano membuat Toy terkejut. Mereka berdua pun kini bicara empat mata. "Apa saja yang Sora katakan padamu?" tanya Tiano dengan ekspresi datar. "Banyak hal. Dia ingin pulang ke Jepang, Sora adalah temanku sejak kecil, Tuan. Aku paham betul bagaimana Sora hidup sejak kecil." Tiano tersenyum miring. "Dan kau ingin membantunya pergil?" Tiano menyudutkannya. Roy terdiam, ia menghela napas dan menatap tajam Tiano. Tidak peduli siapapun yang berada di depannya, Roy tetap ingin membantu Sora. "Aku akan tetap membantu temanku apapun caranya! Aku tahu kau sangat menyayangi Sora, tapi caramu salah... Aku tidak yakin Sora akan bahagia dengan laki-laki sepertimu!" seru Roy dengan sarkas. Emosi Tiano sedikit terusik mendengar apa yang pemuda di depannya ini katakan. "Lalu kau yang terbaik untuknya, begitu?" Tiano mengangkat salah satu a