"Aku ingin pulang ke tempat asalku, tapi seseorang menahanku untuk pergi." Sora menundukkan kepalanya di hadapan seorang laki-laki, yang tak lain adalah Roy, sahabat dekatnya sejak kecil yang kini menjadi seorang koki di sebuah rumah makan ternama di London, beberapa Minggu ini. Ekspresi sedih Roy yang sangat terkejut mendengar apa yang Sora ungkapan. "Ja-jadi selama ini kau..." Laki-laki itu menghentikan ucapannya dan tersenyum tipis. Sora menangis di hadapannya, Roy mengusap punggung Sora dengan lembut. "Aku bisa membantumu, Sora," ujar Roy, itupun kalau kau benar-benar ingin bebas dan pergi dari laki-laki itu. "Aku sangat menyukai Tiano karena dia sangat perhatian denganku, Roy.... Tapi tidak lagi setelah aku tahu kalau keluarganya tidak akan memerimaku. Aku cukup tahu diri untuk semua itu." "Tapi dia mencintaimu, kan?!" Roy melebarkan kedua matanya. Sora mengangguk kecil. "Heem, bukan hanya cinta. Tapi aku tidak tahu apa yang dia rasakan, dia tidak ingin melepaskan aku sek
Tiano mendatangi rumah makan di mana Roy bekerja, ia ingin bertanya secara langsung pada laki-laki itu tentang apa yang dia bicarakan dengan Sora. Kedatangan Tiano membuat Toy terkejut. Mereka berdua pun kini bicara empat mata. "Apa saja yang Sora katakan padamu?" tanya Tiano dengan ekspresi datar. "Banyak hal. Dia ingin pulang ke Jepang, Sora adalah temanku sejak kecil, Tuan. Aku paham betul bagaimana Sora hidup sejak kecil." Tiano tersenyum miring. "Dan kau ingin membantunya pergil?" Tiano menyudutkannya. Roy terdiam, ia menghela napas dan menatap tajam Tiano. Tidak peduli siapapun yang berada di depannya, Roy tetap ingin membantu Sora. "Aku akan tetap membantu temanku apapun caranya! Aku tahu kau sangat menyayangi Sora, tapi caramu salah... Aku tidak yakin Sora akan bahagia dengan laki-laki sepertimu!" seru Roy dengan sarkas. Emosi Tiano sedikit terusik mendengar apa yang pemuda di depannya ini katakan. "Lalu kau yang terbaik untuknya, begitu?" Tiano mengangkat salah satu a
Hari-hari kini selalu hujan, dari pagi, siang, hingga malam hari dan cuaca menjadi sangat dingin. Sora pagi ini menunggu Tiano yang sudah berjanji padanya untuk membelikan anak anjing Samoyed seperti yang semalam dia katakan. "Tidak mungkin kalau dia bohong," gumam Sora menggigit ujung jemarinya. Kembali ia duduk di sebuah kursi kayu di dekat pintu. Dari dalam rumah, Bibi Ruri, pembantu baru di rumah Tiano, keluar dan mendekati Sora. "Non, mari masuk ke dalam, Non Sora kan tidak enak badan. Tuan pasti pulang bawa Samoyednya kok," ujar wanita itu mengusap pundak Sora. "Dia janji pukul delapan sampai rumah, Bi. Tapi sampai setengah sembilan begini belum sampai," rengek Sora seperti anak kecil. Wanita setengah baya itu tersenyum. Membujuk Sora sangatlah susah meskipun mereka baru kenal sejak petang tadi, tapi Bibi Ruri adalah wanita yang baik dan perhatian. Ia meninggalkan Sora di depan dan kembali membawa sebuah selimut di tangannya. "Kalau Non Sora tidak mau menunggu di dalam,
"Tiano, kau mau ke mana? Kenapa bersiap-siap? Kenapa pakai tidak pakai pakaian formal?" Sora membuntuti Tiano sejak gadis kecil itu bangun tidur. Namun Tiano hanya tersenyum saja, tidak menjawabnya. Merasa diabaikan, Sora kembali mengejarnya dengan wajah sedih. Gadis itu menarik lengan sang kekasih. "Tiano..." "Hemmm?" Laki-laki muda itu berdiri di depan cermin di ruang ganti. Sora merasa kesal, Tiano tidak menjawabnya dengan betul-betul. "Tiano, jawab yang benar kau mau ke mana?!" pekik Sora memeluk lelaki itu dari belakang. "Mau pulang, Sayang. Cepat mandi dan ikut bertemu Mami dan Papi." "Hah?" Sora mengerjapkan kedua matanya bingung dengan ajakan kekasihnya. Melihat ekspresi Sora yang menggemaskan, Tiano pun terkekeh. Laki-laki itu menangkup kedua pipi gembil Sora dan mengecup pipinya berkali-kali bergantian. "Emmm, sudah!" pekik Sora mendorong perut Tiano. "Sudah cepat mandi!" "Memangnya kenapa kok tumben mengajakku bertemu Mami dan Papi? Mau apa? Mereka tidak marah-
Semua keluarga berkumpul di ruang makan, bahkan Sebastian juga ikut bergabung di sana setelah kembali dari ruangan kerjanya bersama dengan Aldrich. Sora menjadi orang paling canggung. Bagaimanapun juga, dia pernah ditolak oleh keluarga ini di awal-awal. Apalagi untuk melihat ke arah calon Papa mertuanya, dia sangat takut. "Makan yang banyak, Sayang... Ayo, jangan malu-malu," ujar Shela pada anak-anaknya. "Iya Mi," jawab Tiana tersenyum. Sebastian memperhatikan Sora yang duduk di samping Tiana dan Irish. Melihat Sora dan Irish, laki-laki itu tersenyum, rasanya ia memiliki dua anak baru lagi. "Sora, bagaimana kabarmu?" tanya Sebastian tiba-tiba. Gadis itu seketika menoleh dan menundukkan kepalanya. "Kabar saja baik, Om!" jawabnya bersemangat. "Jangan memanggil Om, kita adalah keluarga. Kau sekarang sudah menjadi anakku, panggil Papi saja supaya kalian bisa dekat denganku dan Mami Shela, ya!" Sebastian tersenyum hangat. Sora mengangguk, ia menatap kagum sosok Sebastian. Ternyata
"Tiano, tolong dengarkan aku... Aku mau minta tolong padamu. Lihat aku!" Sora menarik-narik lengan Tiano, namun kekasihnya itu masih setia pada sebuah berkas di tangannya. Mereka berdua berada di sebuah ruangan yang dipenuhi banyak buku, atau lebih tepatnya sebuah perpustakaan keluarga yang berada di paviliun. "Tiano. Kenapa kau mengabaikan aku saat ada di sini?" Sora merengek sedih. Ekor mata abu-abu itu meliriknya saat bersedih. Barulah berkas di tangannya ia tutup dan mengangkat wajahnya menatap gadis kecil di sampingnya yang bersedih. "Sekarang katakan, ada apa?" tanya Tiano menyangga dagu. "Anu... Itu, aku ingin meminta tolong padamu untuk menasihati Tino. Aku merasa kasihan pada Irish, dia tadi menangis dan sangat sedih. Aku tahu bagaimana rasanya menjadi dia, dan aku merasa beruntung di posisiku sekarang, tapi tidak dengan Irish. Tolong... Kasihan sekali dia, jangan sampai dia tambah menderita karena ada di sini, kumohon Tiano..." Melihat ekspresi Sora yang sangat serius
Hari-hari berlalu cepat, lebih tepatnya dua minggu Sora tinggal bersama di kediaman keluarga Morgan. Sora merasa senang berada di sana, ada Tiana dan Irish yang menjadi temannya, dan Shela yang sangat menyayangi mereka, meskipun Tiano dan Tino, juga suami Tiana yang semakin sibuk. Saat hari sudah malam, Sora baru saja kembali ke paviliun depan. Bangunan mewah tempat yang ia tinggali, Tiano memilihkan tempat tinggal di sana untuknya dan Sora. "Huffttt... Lelahnya, aku ingin langsung tidur saja rasanya." Rengekan itu terdengar bersamaan pintu paviliun yang terbuka. "Lelah kenapa?" Suara berat seorang laki-laki membuat Sora menoleh ke belakang dengan cepat. Kedua mata Sora melebar, ia menutup mulutnya dan tak percaya, sejak kapan Tiano di dalam tempat ini?!"Lohh... Tiano, kok sudah pulang?!" pekik Tiana berjalan pelan ke arahnya. Laki-laki tampan itu hanya tersenyum kecil. Dia mengangguk dan mengulurkan tangannya. "Semua pekerjaanku sudah selesai." Tiano meminta Sora duduk di s
Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari berganti hari berlalu sesuai dengan yang Tiano inginkan. Seperti yang telah dia katakan pada Sora tentang sebuah pernikahan. Hal itu terjadi sekarang di mana ia dan Sora pun kini resmi menikah, bersamaan dengan Tino dan Irish. Acara yang begitu meriah tak pernah mereka duga, namun Sora dan Tiano, juga Irish dan Tino memilih kabur dari pesta dan pulang ke rumah. Mereka kini berada di rumah, juga ada Tiana dan Aldrich yang tengah berduaan. "Irish...!" Sora berlari mendekati Irish yang duduk di teras sendirian. "Oh, ha-hai!" balas sapa Iris melambaikan tangannya dan tersenyum manis. Sora duduk di samping Irish dan ia menyerah sebuah kotak besar dibungkus oleh kertas kado berwarna merah muda yang cantik. Dengan senang hati Irish menerimanya. "A-apa ini? Ke-kenapa memberikanku ha-hadiah?" tanya Irish dengan ekspresi terkejut. Sora tersenyum manis dan menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak papa, Irish. Besok siang aku akan kembali ke London,
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut