Semua keluarga berkumpul di ruang makan, bahkan Sebastian juga ikut bergabung di sana setelah kembali dari ruangan kerjanya bersama dengan Aldrich. Sora menjadi orang paling canggung. Bagaimanapun juga, dia pernah ditolak oleh keluarga ini di awal-awal. Apalagi untuk melihat ke arah calon Papa mertuanya, dia sangat takut. "Makan yang banyak, Sayang... Ayo, jangan malu-malu," ujar Shela pada anak-anaknya. "Iya Mi," jawab Tiana tersenyum. Sebastian memperhatikan Sora yang duduk di samping Tiana dan Irish. Melihat Sora dan Irish, laki-laki itu tersenyum, rasanya ia memiliki dua anak baru lagi. "Sora, bagaimana kabarmu?" tanya Sebastian tiba-tiba. Gadis itu seketika menoleh dan menundukkan kepalanya. "Kabar saja baik, Om!" jawabnya bersemangat. "Jangan memanggil Om, kita adalah keluarga. Kau sekarang sudah menjadi anakku, panggil Papi saja supaya kalian bisa dekat denganku dan Mami Shela, ya!" Sebastian tersenyum hangat. Sora mengangguk, ia menatap kagum sosok Sebastian. Ternyata
"Tiano, tolong dengarkan aku... Aku mau minta tolong padamu. Lihat aku!" Sora menarik-narik lengan Tiano, namun kekasihnya itu masih setia pada sebuah berkas di tangannya. Mereka berdua berada di sebuah ruangan yang dipenuhi banyak buku, atau lebih tepatnya sebuah perpustakaan keluarga yang berada di paviliun. "Tiano. Kenapa kau mengabaikan aku saat ada di sini?" Sora merengek sedih. Ekor mata abu-abu itu meliriknya saat bersedih. Barulah berkas di tangannya ia tutup dan mengangkat wajahnya menatap gadis kecil di sampingnya yang bersedih. "Sekarang katakan, ada apa?" tanya Tiano menyangga dagu. "Anu... Itu, aku ingin meminta tolong padamu untuk menasihati Tino. Aku merasa kasihan pada Irish, dia tadi menangis dan sangat sedih. Aku tahu bagaimana rasanya menjadi dia, dan aku merasa beruntung di posisiku sekarang, tapi tidak dengan Irish. Tolong... Kasihan sekali dia, jangan sampai dia tambah menderita karena ada di sini, kumohon Tiano..." Melihat ekspresi Sora yang sangat serius
Hari-hari berlalu cepat, lebih tepatnya dua minggu Sora tinggal bersama di kediaman keluarga Morgan. Sora merasa senang berada di sana, ada Tiana dan Irish yang menjadi temannya, dan Shela yang sangat menyayangi mereka, meskipun Tiano dan Tino, juga suami Tiana yang semakin sibuk. Saat hari sudah malam, Sora baru saja kembali ke paviliun depan. Bangunan mewah tempat yang ia tinggali, Tiano memilihkan tempat tinggal di sana untuknya dan Sora. "Huffttt... Lelahnya, aku ingin langsung tidur saja rasanya." Rengekan itu terdengar bersamaan pintu paviliun yang terbuka. "Lelah kenapa?" Suara berat seorang laki-laki membuat Sora menoleh ke belakang dengan cepat. Kedua mata Sora melebar, ia menutup mulutnya dan tak percaya, sejak kapan Tiano di dalam tempat ini?!"Lohh... Tiano, kok sudah pulang?!" pekik Tiana berjalan pelan ke arahnya. Laki-laki tampan itu hanya tersenyum kecil. Dia mengangguk dan mengulurkan tangannya. "Semua pekerjaanku sudah selesai." Tiano meminta Sora duduk di s
Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari berganti hari berlalu sesuai dengan yang Tiano inginkan. Seperti yang telah dia katakan pada Sora tentang sebuah pernikahan. Hal itu terjadi sekarang di mana ia dan Sora pun kini resmi menikah, bersamaan dengan Tino dan Irish. Acara yang begitu meriah tak pernah mereka duga, namun Sora dan Tiano, juga Irish dan Tino memilih kabur dari pesta dan pulang ke rumah. Mereka kini berada di rumah, juga ada Tiana dan Aldrich yang tengah berduaan. "Irish...!" Sora berlari mendekati Irish yang duduk di teras sendirian. "Oh, ha-hai!" balas sapa Iris melambaikan tangannya dan tersenyum manis. Sora duduk di samping Irish dan ia menyerah sebuah kotak besar dibungkus oleh kertas kado berwarna merah muda yang cantik. Dengan senang hati Irish menerimanya. "A-apa ini? Ke-kenapa memberikanku ha-hadiah?" tanya Irish dengan ekspresi terkejut. Sora tersenyum manis dan menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak papa, Irish. Besok siang aku akan kembali ke London,
'Kalian sudah resmi menikah, Irish harus ikut ke manapun Tino pergi. Itu tugas pertama Irish, paham Sayang!' Irish menghela napasnya panjang saat ia masuk ke dalam sebuah rumah megah milik Tino yang berada di kawasan perumahan elit Birmingham. Gadis cantik itu membawa koper besar berisi pakaiannya dan beberapa pakaian milik Tino. Tanpa ada inisiatif membantu Irish sedikit, Tino langsung melenggang masuk rumah dengan santai. "Di atas kamar ada dua, terserah kau mau pakai yang mana. Di bawah juga ada kamar tamu!" ujar Tino menunjuk beberapa ruangan. "Me-memangnya ki-kita tidak sekamar?" tanya Irish dengan polosnya. "Tentu saja tidak. Aku tidak bisa tidur kalau ada orang lain di sampingku!" Tino berjalan naik ke lantai dua sembari melepaskan mantelnya. "Kalau kau pakai kamar di atas, pakai yang di ujung!" "I-iya Tino." Irish menarik kopernya, tak berbohong kalau koper itu sangat-sangat berat.Dari pertengahan anak tangga Tino menatap ke bawah di mana Irish nampak kesulitan. Tubuhn
Semalaman Irish tidak bisa tidur, ia terus memikirkan Tino yang ternyata tidak sebaik seperti yang ia pikirkan. Sampai pagi hari ini Irish beranjak dari kamarnya dan menyiapkan sarapan di lantai satu. Ia membantu Bibi sibuk di dapur. "Non, kok Non Irish keluar dari kamar yang sana? Bukannya kamar Tuan...""A-Aku tidak sekamar de-dengan Tino, Bi," jawab Irish tersenyum tipis. Bibi pun sedikit terkejut mendengarnya. "Loh, kenapa? Kalian kan sudah menikah?!" Irish hanya menjawabnya dengan senyuman tipis. Harusnya Bibi paham kenapa Tino menolaknya untuk tidur bersama meskipun mereka sepasang suami dan istri. Sembari memotong beberapa sayuran, Irish tertunduk tersenyum getir. "Mungkin Ti-tino malu, Bi. Gadis yang di-dinikahinya gagap," ucap Irish tiba-tiba. Mendengar apa yang Irish katakan barusan, Bibi seketika menoleh dan tersenyum padanya. "Non Irish jangan berkata seperti itu." "Hemm, i-iya Bi. I-Ini pasti hanya pe-perasaan I-Irish saja." Gadis itu pun kembali fokus pada apa
"Kau sangat memuaskanku malam ini, Sayang..." Suara dua insan di dalam sebuah kamar membuat tubuh Shela menegang seketika. Gadis cantik dua puluh dua tahun itu baru saja masuk ke dalam apartemen kekasihnya untuk memberikan kejutan ulang tahun pada laki-laki tersebut. Namun, Shela malah disuguhi suara dua orang yang terdengar begitu mesra dari dalam kamar. Dengan dada bergemuruh hebat, Shela mendorong pintu di hadapannya dengan kuat, membuat dua manusia di atas ranjang besar itu tersentak kaget atas kehadirannya.Kue ulang tahun di tangan Shela pun terjatuh, gadis itu membekap mulutnya dengan tangan. Air mata tak tertahankan setelah tahu siapa wanita yang tengah berduaan dengan kekasihnya. "Shela!" pekik dua orang itu bersamaan seraya berebut selimut menutupi kedua tubuh polos mereka. "Teganya kalian melakukan ini di belakangku?!" teriak Shela, masih berdiri di dekat pintu dengan tatapan tidak percaya."Shela, aku bisa jelaskan... Ini tidak seperti yang kau lihat!" Vano, kekasihnya
"Eunghh berat..."Lenguhan terdengar dari bibir Shela saat merasakan beban berat melingkarkan di pinggang kecilnya. Seseorang memeluknya dengan sangat erat dan hangat di pagi hari. Tubuh Shela terasa sakit, kebas, dan remuk. Perlahan kedua matanya terbuka, ia menatap pakaiannya yang berada di lantai hotel. Sontak Shela langsung terkejut saat menyadari sesuatu. "Astaga..." Shela langsung terbangun, kesadarannya kembali penuh. "A-apa yang sudah aku lakukan?"Shela menutup mulutnya, menatap wajah laki-laki asing di belakangnya yang tertidur lelap dengan tubuh polosnya tertutup selimut. Detak jantung Shela berpacu cepat. Ia menggelengkan kepalanya pelan dan menutupi tubuhnya. "Si-siapa dia? Ya Tuhan, bagaimana ini semua bisa terjadi?!" Tanpa suara Shela menuruni ranjang dengan sepelan mungkin. Kedua kakinya lemas tak bertenaga saat ingatan malam panas yang telah ia lewati bersama pria tampan itu. Shela bergidik saat mengingat dirinya sendiri yang ikut melayani kebuasan pria itu. "Ah.