"Kau memanfaatkanku, menindasku karena aku sakit?" Monica memicingkan matanya pada Shela. Namun menantunya itu tetap menggelengkan kepalanya dan tidak membenarkan apa yang Mama mertuanya katakan. "Tidak Ma, bukan begitu," jawab Shela tersenyum manis. "Aku hanya ingin kita bisa saling mengasihi dan tidak ada yang terpecah antara Mama dan Shela. Mama sebagai mertua dan Shela sebagai menantu." "Apa kau tuli hah?! Berapa kali aku bilang padamu kalau aku tidak ingin dan aku tidak sudi punya menantu sepertimu, Shela!" sentak wanita itu dengan napas naik turun. Shela terdiam sejak, dia mengangguk. "Kalau begitu, Mama siap kehilangan Sebastian." Sungguh sosok Shela yang kini Monica hadapi adalah sosok wanita yang tidak bisa dia ajak main-main, Shela yang terus mengejar apa yang dikatakan oleh Monica. Mengancamnya, menghalang-halangi apa yang Monica serang padanya. Sungguh Shela tidak main-main juga dengan Mama mertuanya ini. "Semakin Mama membenci Shela, semakin Sebastian sayang pada S
Setelah kemarin Monica meminta Shela menjaganya, hari ini Shela sungguh-sungguh datang membawa si kembar. Bagaimanapun juga, dia tahu kalau Monica pasti merindukan Cucunya. Tino, Tiano dan Tiana kini duduk di atas brankar mengelilingi sang Nenek dengan tatapan kasihan. "Oma sakit apa sih, kok ngerepotin Mami dan Papi jauh-jauh dari Birmingham ke sini!" Tiano menatap Monica yang tengah mengelus-elus lembut rambut Tiana. Monica pun tersenyum senang dengan kehadiran mereka. "Tidak papa Tiano, Oma hanya pusing sedikit." "Itu karena Oma terlalu benci sama Mami kami, jadi Tuhan buat Oma pusing!" Tino menyahutinya dengan pedas. Shela senyam-senyum mendengar apa yang kembar katakan pada Monica. Mereka terlalu jujur dengan apa yang mereka ucapkan. Sedangkan sang Oma hanya tersenyum dan mengangguk-angguk saja. Meskipun kadang Monica menunjukkan sisi bengisnya di hadapan si kembar, tak jarang pula baginya menunjukkan sisi hangat saat ada Cucunya. Apalagi Monica yang sangat menyayangi Tian
Acara makan malam di kediaman keluarga Morgan tidak pernah terbayangkan di benak Shela. Berkumpul dengan kedua orang tua Sebastian dalam satu meja makan mewah di rumah megahnya. Shela duduk di samping Sebastian berhadapan dengan Monica. "Shela, jangan sedikit makannya. Pelayan di sini sudah memasak banyak," ujar Graham pada sang menantu. "Iya Pa, Shela kalau makan tidak terlalu banyak." "Nanti kau sakit seperti Mama," sahut Monica. Ucapan Monica membuat semua orang menatapnya, termasuk si kembar yang asik dengan piringnya masing-masing. Anak-anak itu terkekeh geli begitu mendengar Oma-nya tidak lagi teriak-teriak seperti dulu pada Shela. Tino berdehem pelan, dia mungkin ingin sedikit bermain-main dengan Oma-nya yang galak ini. "Jadi ini ceritanya makan malam bersama dalam acara Oma meminta maaf sama Mami karena sudah tidak marah-marah lagi?" tanya Tino menatap ke arah Monica. "Oma tidak marah kok, sama Mami kalian." Monica menjawab santai. "Iya sekarang. Dulu kalau lihat Mami
"Ini kesempatan terbaik untukmu, Sayang. Kau harus datang... Kau pemilik perusahaan besar Papamu sekarang ini! Ayo datang, bersamaku!" Sebastian membujuk Shela dengan susah payah, di sana juga ada Stevani dan Ferdi bersedekap menatap Shela. Setelah pagi-pagi sekali Stevani menelfon Sebastian untuk meminta mereka pulang dari kediaman keluarga Morgan. Stevani ingin semua karyawan kantor Milory tahu siapa pemilik tempat besar itu sekarang. "Shela, Mama tidak akan pergi karena bukan Mama yang menandatangani berkas kepemilikannya! Ayo pergi dan berangkat sekarang, Shela!" seru Stevani pada putrinya. Shela mendongak menatap sang Mama dengan sayu. "Shela... Shela malu Ma." "Malu?! Malu kenapa lagi, ya ampun...!" Stevani mengusap keningnya pusing. "Malu kenapa lagi nak? Kau ini pemilik perusahaan besar, kenapa kau malah malu, astaga putriku?!" Shela berdecak kecil, dia mendongak menatap Stevani dengan kedua alis bertaut. "Mama tidak akan tahu rasanya menjadi Shela! Posisi Shela, bayang
"Nona Shela selama beberapa tahun ini pergi ke mana? Emmm, Nyonya Stevani bilang kalau Nyonya Shela pergi bersekolah, ya?" Pertanyaan itu terlontar dari salah satu tamu yang ada di acara tersebut. Shela sudah menduga kalau akan ada yang bertanya-tanya tentang hal ini. "Ya, saya pergi ke suatu tempat. Keluarga saya berada dulu." Shela menjawab dengan asal. "Saya pikir pergi karena hamil duluan," sahut seorang wanita yang kini tersenyum tipis dan memainkan kipasnya. "Lalu, kenapa kalau memang hal itu benar? Toh saya juga sudah bersuami," jawab Shela dengan nada geram. "Saya rasa, ini acara penting, ternyata hanya acara mencari bahan gosip saja, ya?"Shela meletakkan segelas minumannya dan langsung meninggalkan beberapa wanita itu. Dengan langkah kesalnya, Shela mendekati Sebastian yang tengah berbincang dengan beberapa orang. "Sayang, ayo pulang!" ajak Shela langsung menarik lengan Sebastian. "Hei..." Laki-laki itu membalikkan badannya saat itu juga. "Ada apa, hem?" "Ayo pulang!
Dua Hari Kemudian.Setelah memutuskan untuk kembali ke Prancis, Shela dan Sebastian kini pun memulai hari-harinya seperti dulu. Si kembar yang hari ini sudah mulai aktif bersekolah dan Sebastian yang bersiap pergi ke kantornya. "Sayang, siapkan mentel hangatku!" seru Sebastian yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi. "Iya sebentar. Aku masih menyiapkan buku-buku milik si kembar." "Aku berangkat setelah ini, Sayang!" seru Sebastian lagi. Shela berdecak kesal, di atas ranjang kamarnya ada Tiana yang merengek menatap Mama dan Papanya heboh di pagi hari.Perjalanan yang melelahkan dari Inggris ke Prancis membuat Tiana demam tinggi sampai akhirnya anak itu tidak bisa pergi bersekolah. "Mami, kepala Tiana pusing! Mau gendong..." Anak itu merengek memukuli kepalanya. "Ya ampun Sayang. Iya, iya kita sebentar lagi ke rumah sakit ya, anak Mami," bisik Shela mengusap kening Tiana dan memeluk putri kecilnya. Sebastian menoleh, ia kini yakin kalau Shela tidak akan membantunya bersiap.
"Ck! Shela pasti mengomeliku! Gara-gara Vir sialan!" Sebastian mengumpat seraya melangkah melewati lorong rumah sakit.Pasalnya dia terlambat pulang hingga pukul delapan malam. Ada hal penting di kantornya yang membuat Sebastian harus mati-matian kerja dua kali.Sebastian membuka pintu rawat inap Tiana, di dalam sana dia melihat Shela yang duduk memeluk Tiana seraya tertidur. "Ya ampun, Sayang," lirih Sebastian menutup pintu. Laki-laki itu melangkah mendekat, ia mengusap pucuk kepala Shela dan mengecup pipi istrinya sampai wanita cantik itu bangun. "Baringkan dulu anak kita," bisik Sebastian mengambil Tiana dari gendongan istrinya. Shela hanya diam dan mengusap wajahnya pelan. Ekor matanya melirik jarum jam yang sudah menunjukkan pukul delapan malam. "Kau sudah makan?" tanya Sebastian merangkul pundak Shela. "Sudah, Adam membelikan aku nasi. Aku tidak mungkin keluar kalau kondisi Tiana sedang seperti ini, kan?" Laki-laki itu terdiam, dia mengangguk. Sebastian mengulurkan tanga
Sebastian siang ini bertemu dengan Gavin dan juga sepupu perempuan sahabatnya tersebut, yang akan melamar menjadi asisten pribadi Sebastian di kantor. Begitu pintu ruangan CEO terbuka, muncullah seorang gadis cantik berambut pendek sepundak, tersenyum manis, daan memberikan hormat padanya. "Selamat pagi, Pak Sebastian," sapa gadis itu. "Selamat pagi, silakan duduk," balas Sebastian meminta gadis itu duduk. Sebastian membaca surat lamaran pekerjaan milik gadis itu. Meskipun tidak membacanya secara rinci, Sebastian tahu betul kalau gadis ini satu rumah dengan Gavin, sahabat Sebastian. "Aku pikir kau masih kuliah, Pricila," ujar Sebastian menutup surat lamaran pekerjaan di tangannya. "Saya sudah tamat kuliah satu tahun yang lalu, Pak. Jadi... Saya ingin bekerja di sini," jawab gadis cantik bernama Pricila, tersebut. Sebastian mengangguk. "Gavin sudah menjelaskan semua tugasmu, kan?" tanya Sebastian pada gadis itu. "Sudah Pak. Jangan khawatir, Kak Gavin sudah menjelaskan semuanya.