"Kau sangat memuaskanku malam ini, Sayang..."
Suara dua insan di dalam sebuah kamar membuat tubuh Shela menegang seketika. Gadis cantik dua puluh dua tahun itu baru saja masuk ke dalam apartemen kekasihnya untuk memberikan kejutan ulang tahun pada laki-laki tersebut.Namun, Shela malah disuguhi suara dua orang yang terdengar begitu mesra dari dalam kamar. Dengan dada bergemuruh hebat, Shela mendorong pintu di hadapannya dengan kuat, membuat dua manusia di atas ranjang besar itu tersentak kaget atas kehadirannya.Kue ulang tahun di tangan Shela pun terjatuh, gadis itu membekap mulutnya dengan tangan. Air mata tak tertahankan setelah tahu siapa wanita yang tengah berduaan dengan kekasihnya. "Shela!" pekik dua orang itu bersamaan seraya berebut selimut menutupi kedua tubuh polos mereka."Teganya kalian melakukan ini di belakangku?!" teriak Shela, masih berdiri di dekat pintu dengan tatapan tidak percaya.
"Shela, aku bisa jelaskan... Ini tidak seperti yang kau lihat!" Vano, kekasihnya, buru-buru memakai pakaiannya dan mendekati Shela.Tapi Shela mundur cepat menjauhinya, merasa begitu jijik. Ia menatap tajam pria itu, lalu berganti pada wanita yang tidak berani melihat ke arahnya. Wanita yang selama ini Shela anggap sebagai sahabat nyatanya tak lebih dari musuh di dalam selimut. "Aku tidak perlu mendengar penjelasan apapun darimu, Vano! Tapi kenapa... kenapa harus sahabatku, hah?! Kenapa harus Cheryl?!" berangnya seraya menyeka air matanya.Gadis berbalut selimut itu hendak mendekati Shela. "Shela, aku dan Vano tidak bermaksud—"
"Cukup! Kau bukan lagi sahabatku, Cheryl! Aku... aku tidak akan memaafkan kalian berdua!" teriak Shela bersama isak tangisnya. Gegas Shela membalikkan badannya dan melangkah pergi. Shela tidak peduli dengan Vano yang berusaha mengejarnya.
"Shela tunggu... Dengarkan aku dulu, Shela!" Vano menahan lengan Shela, yang langsung ditepis olehnya.PLAK!Shela melayangkan satu tamparan yang mendarat dengan telak di pipi Vano, membuat lelaki itu tampak terkejut. "Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu!" tegasnya dengan raut wajah jijik menatap Vano. Tiga tahun menjalin hubungan dengan pria ini, tapi semuanya berakhir dengan pengkhianatan. Kekecewaan yang dirasakan Shela sudah tak terkira. Meski air mata masih mengalir di pipinya yang memerah, tetapi tatapan tajamnya membuat Vano tak bisa berkutik."Kita akhiri semuanya di sini, Vano," ucap Shela penuh penekanan. "Jangan sampai aku melihatmu muncul di hadapanku lagi!"Setelah mengatakan kalimat itu, Shela pun berlari keluar dari dalam gedung apartemen.Perasaannya begitu campur aduk. Shela tidak sudi menangisi pria yang sudah mengkhianatinya itu lebih lama. Air matanya terlalu berharga untuk pria berengsek seperti Vano. Namun, hatinya terasa begitu sakit.
"Hanya ada satu cara mengatasi hal ini," bisik Shela dengan suara serak. Ia mencegat taksi yang lewat dan meminta supir untuk mengantarkannya ke sebuah tempat yang cukup populer di tengah kota Paris. "Malam ini aku akan melupakan laki-laki brengsek itu!"
**
"Bisa-bisanya dia membohongiku... kurang apa aku padanya..." gumaman itu terucap dari bibir Shela yang tengah menenggak minumannya di dalam gelas. Kesadarannya pun mulai menipis karena pengaruh minuman yang memabukkan.Rasa sakit hati membawanya ke bar yang berada di dalam sebuah hotel mewah. Ia ingin melampiaskan perasaannya, menghabiskan semua kesedihannya malam ini agar besok ia bisa menjalani kehidupannya seperti biasa.
"Permisi Nona, ini kunci kamar yang kau pesan, di lantai dua, nomor tiga belas," ujar seorang pelayan menyerahkan sebuah kunci kamar pada Shela.
"Thank you," ucap Shela lirih, ia pun turun dari kursinya dan berlalu pergi.Shela berjalan sempoyongan di lorong hotel di lantai dua, masih sambil meracau dan memaki Vano. Ini pertama kalinya Shela mabuk seperti ini. Kesadarannya mulai menipis, benar-benar hilang kendali karena sakit hati.Malam ini Shela memutuskan menginap, karena tidak mungkin pulang dalam keadaan seperti ini. Kabur dari rumah di tengah malam dan mabuk-mabukan, Shela pasti akan dijahar habis-habisan oleh Mamanya.Di depan deretan pintu kamar, Shela terdiam sejenak mengucek kedua matanya. Pandangannya menjadi buram karena mabuk."Nomor tiga belas..." cicitnya menunjuk angka yang tertera di depan pintu. Ia sedikit memiringkan kepalanya, demi memastikan apakah ini benar-benar kamar yang sudah ia pesan. "Benar, ini dia kamarnya!" seru Shela.Nyatanya, itu bukan kamar nomor tiga belas. Melainkan nomor delapan belas. Shela membuka pintu yang salah, tapi ia terlalu mabuk untuk menyadari kesalahannya.Ia berjalan masuk sambil melepaskan kardigan biru yang ia pakai dan berjalan mendekati ranjang. Tanpa melihat sekitar, gadis itu langsung ambruk di sana.
"Aku ingin tidur nyenyak malam ini tanpa memikirkan apapun..." lirih Shela memukuli kepalanya pelan.Sampai tiba-tiba muncul seorang laki-laki berbalut kemeja putih dari arah pintu balkon kamar yang terbuka. Laki-laki berparas tampan membawa sebuah botol minuman di tangannya, tampak terkejut saat mendapati gadis cantik di atas ranjangnya hanya dengan balutan dress berlengan pita.Pria itu memijit pangkal hidungnya dan menggelengkan kepala, untuk memastikan bahwa ia tidak salah lihat.
"Siapa kau? Apa yang kau lakukan di kamarku?" tanya suara bariton itu sambil mendekat dan membungkukkan badannya di hadapan Shela.Kedua mata sayu Shela terbuka, kedua pipinya bersemu saat wajah tampan tersuguh di hadapannya."Aku?" Shela terkekeh kecil. "Hmm... aku ingin bersenang-senang dan melupakan si brengsek itu! Kau tahu Tuan... Huum, aku ingin bersenang-senang!" Kepalan tangan kecil Shela memukuli dada bidang orang asing tersebut. Dia bahkan tidak menyadari apa yang sedang ia lakukan. Shela benar-benar mabuk berat.Kening laki-laki itu berkerut bingung, ia yang juga tengah mabuk harus dihadapkan dengan gadis asing di kamarnya. Pria itu lantas menjauh. "Ck! Bangun dan pergi dari sini, Nona!" usirnya dengan nada ketus.Shela menggelengkan kepalanya kuat-kuat, beranjak duduk di atas ranjang dan memiringkan kepalanya dengan mata sayu."Ini kamarku, Tuan! Kamarku, nomor tiga belas!" seru Shela, tiba-tiba menarik kerah kemeja putih yang laki-laki itu pakai dan menunjuk ke arah pintu.Seulas senyuman tipis lantas terukir di bibir laki-laki itu. Teringat beberapa jam yang lalu saat minum bersama rekan-rekan kerja sekaligus sahabatnya, yang ingin mencarikan teman malam untuknya. Mungkinkah gadis ini?"Kenapa kau diam dan hanya menatapku? Apa aku tidak cantik?" tanya Shela dengan raut sedih. "Oh ya, aku memang tidak cantik, buktinya dia selingkuh dariku!"Shela hendak membuang muka, namun telapak tangan besar laki-laki itu menangkup satu pipinya untuk saling menatap. Keduanya berada dalam kesadaran yang menipis karena pengaruh minuman."Tidak, kau sangat cantik, dan kau salah mendapatkan pemangsa malam ini, Nona." Suara dalam laki-laki itu seolah menyihir Shela.Shela tersenyum kecil. Ia mengalungkan kedua lengannya di leher laki-laki itu tanpa sadar dan menariknya hingga keduanya ambruk di atas hamparan luas ranjang."Baiklah, maka ayo cepat lakukan!" seru Shela, terdengar begitu tak sabar. Seringai menghiasi bibir tipis laki-laki berparas tampan, berambut hitam tersebut. Malam ini, ia mendapatkan mangsa yang cantik, manis, menggemaskan dan tidak sabaran.Iris hitamnya menikmati tiap jengkal wajah ayu Shela sebelum tubuh Shela tersentak begitu bibir laki-laki itu menyapa bibirnya. Tidak ada balasan apapun. Ciuman itu terasa kaku, tapi entah kenapa hal itu membuat laki-laki itu semakin merasa tertantang."Kau tidak pernah melakukan hal ini? Kau yakin ingin melanjutkannya?" bisik laki-laki itu di hadapan bibir Shela."Aku..." Shela menggantung ucapannya, wajahnya memerah ragu. Ia menatap seraut wajah aristokrat di hadapannya lamat-lamat. Pria ini tampak begitu mempesona sampai tanpa sadar Shela menganggukkan kepalanya. Laki-laki itu tersenyum penuh kemenangan. "Kau tidak akan menyesali keputusanmu malam ini, Nona."Ucapan laki-laki itu pun menjadi kalimat terkahir yang dia ucapkan sebelum bibirnya mendarat tepat di atas bibir Shela yang lembut dan manis. Mulanya ia hanya melumatnya dengan penuh kehati-hatian, tapi lambat laun lumatannya berubah menjadi menggebu-gebu.Satu persatu pakaian yang melekat pada tubuh mereka terlepas. Malam ini, diselimuti rasa mabuk yang membelenggu, keduanya menghabiskan malam yang panas. Kedua insan itu berbagi kehangatan dan kenikmatan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.Shela menitikkan air mata, tak mampu menahan rasa sakit saat pria itu mendorong tubuhnya lebih dalam membelah bagian inti tubuh Shela."Tu-tuan..." Shela memekik tertahan."Sebut namaku, Manis. Sebastian... Sebastian Morgan," bisik laki-laki itu sambil mengecup bibir Shela sekali lagi untuk mengalihkan rasa sakitnya.
"Se-Sebastian..." Shela menyebut lirih namanya dan memeluk erat punggung kekar lelaki itu.Sebastian tampaknya tidak mampu menahan dirinya lagi. Ia sendiri pun sangat terkejut saat mengetahui gadis ini ternyata masih suci dan tak berpengalaman.Namun karena mabuk dan juga hasratnya yang menggebu, ia tidak mampu menahan untuk berhenti menyentuh Shela malam ini."Kau yang memulainya, Nona... Aku pastikan malam ini akan menjadi malam yang tak terlupakan..."
"Eunghh berat..."Lenguhan terdengar dari bibir Shela saat merasakan beban berat melingkarkan di pinggang kecilnya. Seseorang memeluknya dengan sangat erat dan hangat di pagi hari. Tubuh Shela terasa sakit, kebas, dan remuk. Perlahan kedua matanya terbuka, ia menatap pakaiannya yang berada di lantai hotel. Sontak Shela langsung terkejut saat menyadari sesuatu. "Astaga..." Shela langsung terbangun, kesadarannya kembali penuh. "A-apa yang sudah aku lakukan?"Shela menutup mulutnya, menatap wajah laki-laki asing di belakangnya yang tertidur lelap dengan tubuh polosnya tertutup selimut. Detak jantung Shela berpacu cepat. Ia menggelengkan kepalanya pelan dan menutupi tubuhnya. "Si-siapa dia? Ya Tuhan, bagaimana ini semua bisa terjadi?!" Tanpa suara Shela menuruni ranjang dengan sepelan mungkin. Kedua kakinya lemas tak bertenaga saat ingatan malam panas yang telah ia lewati bersama pria tampan itu. Shela bergidik saat mengingat dirinya sendiri yang ikut melayani kebuasan pria itu. "Ah.
Tiga hari berjalan sangat cepat, hari demi hari Shela semakin tersiksa dengan banyak kenyataan pahit dalam hidupnya. Hari ini adalah hari pernikahan Mamanya, hari sakral itu digelar di sebuah hotel berbintang milik Stevani. Shela menjadi satu-satunya yang sangat tidak bahagia dengan pernikahan Mamanya. "Shela jangan murung terus, Sayang. Tidak bisakah kau ikut turut bahagia di hari pernikahan Mama, hem?" Stevani menangkup pipi Shela. "Senyum dong Sayang, tidak enak dilihat semua tamu-tamu Mama." Gadis itu menepis pelan tangan sang Mama. "Ini hanya kebahagiaan Mama, bukan kebahagiaan Shela.""Astaga anak ini..." Shela melepaskan cekalan tangan sang Mama dan pergi, namun langkahnya terhenti begitu seorang laki-laki selalu ingin Shela hindari, kini berdiri tegap melangkah hendak menghampirinya. Takdir yang pahit membuat Shela akan sering berjumpa dengannya. Sebastian berjalan semakin dekat, Shela berniat menjauh sebelum satu lengannya ditahan oleh laki-laki itu dengan cepat. "Tun
Sudah beberapa hari ini Shela merasa ada yang aneh pada dirinya, ia terus ingin muntah dan tubuhnya yang mudah tidak bertenaga membuat Shela terus menerus mengurung diri di dalam kamar. Gadis itu kini duduk di tepi ranjangnya dan mengusap perutnya yang masih tak nyaman, perasaan cemas kembali menghampirinya. "Sudah lima minggu lebih aku terlambat datang bulan, apa mungkin aku..," lirih Shela menatap pantulan dirinya di cermin. Segera Shela beranjak dari duduknya, gadis itu berjalan membuka laci meja rias. Ragu-ragu Shela mengambil sebuah test pack yang pagi tadi ia beli. Shela berjalan masuk ke dalam kamar mandi dan mengunci pintunya rapat-rapat, cukup lama ia diam di sana dan menunggu. 'Semoga firasatku ini salah Ya Tuhan, semoga dugaanku tidak terjadi,' batin Shela penuh harap. Beberapa menit Shela menunggu, gadis itu meraih test pack dengan tangan gemetar. Dua garis merah begitu jelas telihat hasil dari test pack yang Shela pegang. Dan Shela kini benar-benar tengah hamil!Bag
Lima Tahun Kemudian...Birmingham, Inggris. "Tino, Tiano, dan Tiana, ayo anak-anak duduk yang manis, Mami akan membagi donatnya satu-satu." Shela berjalan mendekati tiga anak yang langsung duduk berbaris di sofa menunggunya. Sorot iris hitam ketiganya yang berbinar-binar melihat Mamanya membawakan donat untuk mereka. Lima tahun terasa cepat bagi Shela, setelah dia pergi jauh dari Paris dan datang ke Birmingham, Shela berhasil melahirkan tiga bayi kembar dan membesarkan mereka seorang diri. Bersama ketiga buah hatinya, Shela tidak pernah merasakan kesepian. Hidup mandiri, mempunyai sebuah usaha toko roti dan florist, Shela tidak cemas untuk memanjakan ketiga buah hatinya. "Mi, Kak Tiano sama Tino jangan dikasih, buat Tiana saja semua!" seru gadis berambut cokelat dikuncir dua yang tengah tertawa geli. "Tidak boleh rakus, Tiana. Kalau rakus nanti dimarahin Tuhan," seru Tiano menasihati kembarannya. "Iya, kalau kau nakal tidak akan aku temani! Biar saja main sendirian," imbuh Tino
"Mami bangun, Mami. Tiana perutnya sakit, mau muntah..." Suara Tiana yang merengek membuat Shela terjingkat dari tidurnya. Di sampingnya, Tiana duduk dengan wajah pucat dan membekam mulutnya. Telapak tangan mungilnya sudah dipenuhi darah yang menetes. "Astaga, Tiana!" Shela memekik hebat, ia langsung bangun dan menggendong putrinya. "Tiana kenapa tidak bangunin Mami, Sayang?" Anak itu menggelengkan kepalanya saja, tetes demi tetes darah jatuh di piyama yang Shela pakai. Shela segera membawa putrinya turun ke lantai satu, ia mengambil air hangat dalam baskom kecil dan mengelapnya."Tiana tadi makan apa? Kenapa bisa muntah darah lagi, Sayang?" Shela berkaca-kaca, wajah putrinya benar-benar pucat. "Minuman punya Kakak," cicitnya sedih. Shela meghela napasnya pelan, ia mengelap wajah Tiana dan membersihkannya. Setiap bulannya, Tiana selalu berobat, Shela juga berjuang untuk kesembuhan putrinya. "Duduk sebentar ya Sayang, masih mau muntah?""Tidak Mami," jawab anak itu tersenyum.
Sedangkan Tino dan Tiano berlari ke dapur, kedua anak laki-laki itu mendekati Maminya yang tengah memasak di dapur. "Mami..." "Mam, di depan ada yang datang! Papi pulang!" pekik Tiano menarik lengan Shela. Shela yang kaget dengan kedua putranya, segera ia mematikan kompornya dan menatap mereka bingung."Papi? Papi siapa, Sayang? Adik di mana?" Shela mencari-cari. "Adik di depan, adik dipeluk Papi!" jawab Tino heboh.Pikiran Shela sudah ke mana-mana, ia berlari cepat menuju ruang tamu. Bayangan kalau orang yang si kembar maksud adalah orang jahat! Sedangkan di depan, Tiana bersama Sebastian, anak itu masih enggan melepaskan pelukannya. "Papi kok tidak pulang-pulang? Tidak kangen Tiana, Kakak, sama Mami, ya?" tanya anak itu memeluk leher laki-laki yang dia anggap Papinya. Sebastian mengerjap menatap anak ini, ia masih tak paham. "Hei, anak manis... Kau ini sebenarnya siapa?" tanya Sebastian, ia malah mengalihkan pertanyaan Tiana. Bocah itu terdiam sesaat. Tiana memasang wajah s
Si kembar tertidur di kamar tamu yang berada di lantai satu, dan kamar itu milik Sebastian. Sedangkan Shela duduk diam di ruang keluarga, pikirannya sangat cemas. Malam ini terasa amat sepi menyekat pikiran Shela."Shela," sapa Sebastian muncul tiba-tiba. Sontak Shela menoleh dengan ekspresi kagetnya. "Om... Si kembar tidur di man-""Mereka tidur di kamarku," jawab Sebastian duduk di hadapan Shela dengan tatapan penuh intimidasi. Apa yang harus Shela lakukan saat ini? Bagaimana kalau Sebastian bertanya yang aneh-aneh lagi? Tatapannya membuat Shela tertunduk diam. "Jadi selama ini kau tinggal di sini? Kak Ferdi yang menyembunyikanmu di sini?" tanya Sebastian dengan nada dingin dan penuh ingin tahu. "Ya Om," jawab Shela singkat. "Lalu, di mana suamimu? Maksudku... Papa si kembar?" Sesuai dengan apa yang Shela duga kalau Sebastian pasti menanyakan hal ini. Lantas Shela menatapnya dan tersenyum tipis. "Itu... Papa mereka, emm... Dia-""Papa mereka benar-benar pergi atau kau memb
"Kakak kenapa tidak pernah bilang padaku kalau ternyata Shela ada di sini, Kak?!" Seruan itu terucap dari bibir Sebastian saat ia menghubungi Ferdi dari sambungan telepon. Ia tengah duduk di kursi agungnya yang berada di ruang kerja. Sebastian sengaja menghubungi Ferdi hanya untuk bertanya hal ini. "Itu sudah lama sekali Bas, biarkan Shela di sana tanpa diketahui oleh siapapun. Aku titip Shela dan ketiga Cucuku," ujar Ferdi berpesan."Hem, tapi Kak... Kalau aku boleh tahu, di mana suaminya Shela?" tanya Sebastian bertanya-tanya. "Itu rahasia, tolong jangan membahasnya, jaga perasaan Shela!" seru Ferdi sedikit membentak. Decakan lidah sebal terdengar dari Sebastian. Panggilan mereka pun tidak sampai lama, sebelum Ferdi memutuskan panggilan teleponnya yang sudah hampir satu jam. Sebastian diam menatap langit-langit, ia teringat kejadian lima tahun saat dirinya meniduri seorang gadis, lalu saat Sebastian bertanya pada temannya, apa temannya mengirimkan seorang wanita di kamar Sebas
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut