Tiga hari berjalan sangat cepat, hari demi hari Shela semakin tersiksa dengan banyak kenyataan pahit dalam hidupnya.
Hari ini adalah hari pernikahan Mamanya, hari sakral itu digelar di sebuah hotel berbintang milik Stevani. Shela menjadi satu-satunya yang sangat tidak bahagia dengan pernikahan Mamanya."Shela jangan murung terus, Sayang. Tidak bisakah kau ikut turut bahagia di hari pernikahan Mama, hem?" Stevani menangkup pipi Shela. "Senyum dong Sayang, tidak enak dilihat semua tamu-tamu Mama."Gadis itu menepis pelan tangan sang Mama."Ini hanya kebahagiaan Mama, bukan kebahagiaan Shela.""Astaga anak ini..."Shela melepaskan cekalan tangan sang Mama dan pergi, namun langkahnya terhenti begitu seorang laki-laki selalu ingin Shela hindari, kini berdiri tegap melangkah hendak menghampirinya.Takdir yang pahit membuat Shela akan sering berjumpa dengannya.Sebastian berjalan semakin dekat, Shela berniat menjauh sebelum satu lengannya ditahan oleh laki-laki itu dengan cepat."Tunggu Shela!" Sebastian menatapnya lekat tanpa melepaskan cekalan tangannya. "Ada yang ingin aku tanyakan padamu."Shela mengerjapkan kedua matanya gugup, di satu sisi Shela mencoba membebaskan tangannya dari cekalan Sebastian."A-ada apa? Apa yang ingin Om tanyakan?"Wajah Sebastian dipenuhi dengan rasa penasaran. Ia sedikit memangkas jarak antara dirinya dan Shela sampai benar-benar berhadapan sangat dekat dan menelisik."Apa kau gadis malam itu?" tanya Sebastian lirih memastikan.Shela menelan ludah. "Malam itu? Ma-malam apa? Aku tidak mengerti apa yang Om maksud," jawab Shela mengelak."Kau gadis mabuk yang masuk ke dalam kamar hotelku beberapa hari yang lalu, kan?"Shela berusahan menekan ketakutan yang menjalar di sekujur tubuhnya mendengar pertanyaan yang Sebastian lontarkan.Sekali lagi Shela menggelengkan kepalanya tegas dan menyentak tangan Sebastian."Aku tidak mengerti apa yang Om bicarakan,. Aku tidak pernah bertemu dengan Om Sebastian sebelumnya, jadi tolong jangan bertanya yang aneh-aneh. Permisi!"Detik itu juga, Shela berlalu meninggalkan Sebastian. Laki-laki itu menyergah napas kasar. Entah kenapa perasaannya mengatakan bahwa ia tidak mungkin salah mengenali Shela. Tetapi, ia tidak punya bukti apapun. Apalagi malam itu ia mabuk berat.Di sisi lain, Shela berjalan keluar dari hall pesta untuk menghindar dari Sebastian. Ia berdiri di dekat pintu dan diam di sana menenangkan dirinya yang terus diliputi rasa takut dan cemas."Ya Tuhan... Jadi dia mengingat aku? A-apa kira-kira dia percaya dengan apa yang aku katakan barusan? Astaga..." Terus Shela merutuki dirinya sendiri.Di tengah kekalutan yang kini melanda hatinya, tiba-tiba saja kedua mata Shela menyipit mendapati siluet seorang laki-laki yang begitu tak asing baginyaShela melebarkan kedua matanya terkejut begitu laki-laki itu menoleh ke arahnya."Apa yang dia lakukan di sini?"Saat itu juga Shela melangkah mendekati mantan kekasihnya yang tiba-tiba muncul di tengah pesta pernikahan Mamanya."Apa yang kau lakukan di sini?!" seru Shela dengannya yang sesekali melirik ke arah Mamanya di dalam pesta."Aku mencarimu, Shela. Aku... Aku merindukanmu dan ingin bertemu denganmu," jawab Vano, ekspresi wajahnya seolah-olah dia tidak pernah menyakiti perasaan Shela.Shela menoleh ke belakang di mana sang Mama menatap mereka, Stevani terlihat curiga. Tidak mau ada keributan di pesta itu, Shela pun menarik lengan Vano dan diajaknya pergi menjauh.Ia membawa Vano ke arah taman samping hotel megah itu. Di sana hanya ada mereka berdua saja."Aku peringatkan sekali lagi padamu, jangan pernah muncul lagi di hadapanku, Vano!" Shela membentak laki-laki berbalut jaket denim tersebut."Kenapa? Karena kejadian malam itu? Asal kau tahu, Sayang... Malam itu temanmu yang menggodaku! Percayalah, aku hanya mencintaimu, Shela." Vano berusaha meraih tangan Shela, ia berucap dengan nada suara yang dia lembutkan.Namun, itu semua hanya tipu muslihatnya, Shela tidak akan lagi semudah itu percaya pada laki-laki modelan Vano!Perlahan Shela mundur dan ia menjaga jarak dengan Vano. Shela menatapnya jijik, andai tidak di pesta pernikahan Mamanya, ia tidak sudi melihat wajah laki-laki ini lagi."Berhenti memanggilku Sayang! Jangan berharap kalau aku akan memaafkanmu, Vano. Kali ini aku sudah tidak punya kesempatan untuk laki-laki brengsek sepertimu! Aku dan kau, sudah berakhir!" tegas Shela dengan kedua mata berkaca-kaca.Laki-laki itu malah tertawa sumbang menggelengkan kepalanya, menganggap remeh apa yang Shela ucapkan."Kau pikir kau siapa, Shela? Kau tidak bisa memutuskan hubungan ini secara sepihak! Kau tidak berhak menyudahi hubungan kita kalau aku belum menginginkannya," desis Vano menyahut dan mencengkeram erat pergelangan tangan Shela dengan ekspresi tak terima."Lepas Vano! Apa yang kau lakukan?!" pekik Shela, kesakitan."Ikut denganku!" ajak laki-laki itu menarik lengannya kuat.Shela berusaha melepaskan cengkeraman kuat tangan Vano. Rasa ngilu itu di pergelangan tangannya membuat Shela meringis sakit.Tiba-tiba saja seorang muncul menepis tangan Vano kuat hingga terlepas cengkeramannya pada pergelangan tangan Shela.Sebastian berdiri tegap di tengah mereka, menunjukkan ekspresi wajah dingin dan aura yang menyeramkan pada Vano."Siapa kau hah?! Jangan ikut campur urusan-""Urusanmu denganku sekarang. Pergi kau dari sini sebelum aku menghabisimu," ujar Sebastian dengan nada dingin menusuk. Tatapan matanya nyalang dan tajam seolah siap menerjang siapapun yang berani melawannya.Vano mundur perlahan, merasa terintimidasi dengan aura menyeramkan pria itu. Ia memperhatikan Shela yang bersembunyi di belakang Sebastian. Tidak berani lagi Vano mendekatinya hingga ia memutuskan pergi dengan perasaan kesal.Shela masih berdiri dengan tubuh gemetar. Ia tidak tahu kenapa Sebastian bisa ada di sini dan menolongnya. Laki-laki itu membalikkan badannya menatap Shela lekat-lekat."Kau tidak papa?" Sebastian meraih tangan Shela dan mengusap bagian yang memerah.Dia juga menatap wajah cantik gadis di sampingnya yang nampak ketakutan. Shela menarik lengannya cepat dari tangan Sebastian."Aku tidak papa," jawabnya tertunduk menghindari tatapan Sebastian."Dia tidak akan kembali ke sini lagi, jangan khawatir," ucap Sebastian menyentuh pucuk kepala Shela."Te-terima kasih sudah menolongku," ucap Shela tertunduk sambil mengusap pergelangan tangannya sendiri.Sebastian tak begitu merespon, melainkan ia malah menarik pundak Shela dan diajaknya pergi dari tempat itu."Sudahlah, ayo kembali masuk ke dalam. Mamamu pasti bingung mencarimu."Mereka kembali berjalan menuju ke ruangan pesta, Shela berjalan di belakang Sebastian. Ia menatap punggung tegap di hadapannya dengan perasaan yang sulit diartikan.Shela masih tidak menyangka laki-laki itu tadi muncul menolongnya dari Vano. Bahkan dia mengancam dan berhasil membuat Vano pergi.Sesampainya di ruangan pesta, Shela melangkah mendekati sang Mama yang tengah berbincang dengan seorang perempuan cantik di sana."Ini dia Sebastian sudah kembali," ujar Stevani saat melihat kedatangan mereka. Seketika wanita cantik berambut pirang panjang, berbalut gaun satin biru di samping Stevani, dia bergegas mendekat dan memeluk Sebastian dengan erat."Siapa dia, Sayang?" tanya wanita itu pada Sebastian sambil menatap Shela."Dia Shela, putri tunggal Kak Stevani," jelas Sebastian, sebelum ia beralih menatap Shela. "Shela, perkenalkan ini Bella."Wanita bernama Bella itu tersenyum manis pada Shela, dia sangat cantik dan sepertinya dia juga wanita yang baik."Senang bertemu denganmu, Shela," sapa wanita itu ramah. "Aku Bella, calon istri Sebastian."Saat itu juga, seperti ada petir yang menggelegar di siang bolong. Shela tak tahu harus mengatakan apa. Lidahnya terasa begitu kelu. 'Bagaimana aku menjalani kehidupanku selanjutnya, Ya Tuhan...'
Sudah beberapa hari ini Shela merasa ada yang aneh pada dirinya, ia terus ingin muntah dan tubuhnya yang mudah tidak bertenaga membuat Shela terus menerus mengurung diri di dalam kamar. Gadis itu kini duduk di tepi ranjangnya dan mengusap perutnya yang masih tak nyaman, perasaan cemas kembali menghampirinya. "Sudah lima minggu lebih aku terlambat datang bulan, apa mungkin aku..," lirih Shela menatap pantulan dirinya di cermin. Segera Shela beranjak dari duduknya, gadis itu berjalan membuka laci meja rias. Ragu-ragu Shela mengambil sebuah test pack yang pagi tadi ia beli. Shela berjalan masuk ke dalam kamar mandi dan mengunci pintunya rapat-rapat, cukup lama ia diam di sana dan menunggu. 'Semoga firasatku ini salah Ya Tuhan, semoga dugaanku tidak terjadi,' batin Shela penuh harap. Beberapa menit Shela menunggu, gadis itu meraih test pack dengan tangan gemetar. Dua garis merah begitu jelas telihat hasil dari test pack yang Shela pegang. Dan Shela kini benar-benar tengah hamil!Bag
Lima Tahun Kemudian...Birmingham, Inggris. "Tino, Tiano, dan Tiana, ayo anak-anak duduk yang manis, Mami akan membagi donatnya satu-satu." Shela berjalan mendekati tiga anak yang langsung duduk berbaris di sofa menunggunya. Sorot iris hitam ketiganya yang berbinar-binar melihat Mamanya membawakan donat untuk mereka. Lima tahun terasa cepat bagi Shela, setelah dia pergi jauh dari Paris dan datang ke Birmingham, Shela berhasil melahirkan tiga bayi kembar dan membesarkan mereka seorang diri. Bersama ketiga buah hatinya, Shela tidak pernah merasakan kesepian. Hidup mandiri, mempunyai sebuah usaha toko roti dan florist, Shela tidak cemas untuk memanjakan ketiga buah hatinya. "Mi, Kak Tiano sama Tino jangan dikasih, buat Tiana saja semua!" seru gadis berambut cokelat dikuncir dua yang tengah tertawa geli. "Tidak boleh rakus, Tiana. Kalau rakus nanti dimarahin Tuhan," seru Tiano menasihati kembarannya. "Iya, kalau kau nakal tidak akan aku temani! Biar saja main sendirian," imbuh Tino
"Mami bangun, Mami. Tiana perutnya sakit, mau muntah..." Suara Tiana yang merengek membuat Shela terjingkat dari tidurnya. Di sampingnya, Tiana duduk dengan wajah pucat dan membekam mulutnya. Telapak tangan mungilnya sudah dipenuhi darah yang menetes. "Astaga, Tiana!" Shela memekik hebat, ia langsung bangun dan menggendong putrinya. "Tiana kenapa tidak bangunin Mami, Sayang?" Anak itu menggelengkan kepalanya saja, tetes demi tetes darah jatuh di piyama yang Shela pakai. Shela segera membawa putrinya turun ke lantai satu, ia mengambil air hangat dalam baskom kecil dan mengelapnya."Tiana tadi makan apa? Kenapa bisa muntah darah lagi, Sayang?" Shela berkaca-kaca, wajah putrinya benar-benar pucat. "Minuman punya Kakak," cicitnya sedih. Shela meghela napasnya pelan, ia mengelap wajah Tiana dan membersihkannya. Setiap bulannya, Tiana selalu berobat, Shela juga berjuang untuk kesembuhan putrinya. "Duduk sebentar ya Sayang, masih mau muntah?""Tidak Mami," jawab anak itu tersenyum.
Sedangkan Tino dan Tiano berlari ke dapur, kedua anak laki-laki itu mendekati Maminya yang tengah memasak di dapur. "Mami..." "Mam, di depan ada yang datang! Papi pulang!" pekik Tiano menarik lengan Shela. Shela yang kaget dengan kedua putranya, segera ia mematikan kompornya dan menatap mereka bingung."Papi? Papi siapa, Sayang? Adik di mana?" Shela mencari-cari. "Adik di depan, adik dipeluk Papi!" jawab Tino heboh.Pikiran Shela sudah ke mana-mana, ia berlari cepat menuju ruang tamu. Bayangan kalau orang yang si kembar maksud adalah orang jahat! Sedangkan di depan, Tiana bersama Sebastian, anak itu masih enggan melepaskan pelukannya. "Papi kok tidak pulang-pulang? Tidak kangen Tiana, Kakak, sama Mami, ya?" tanya anak itu memeluk leher laki-laki yang dia anggap Papinya. Sebastian mengerjap menatap anak ini, ia masih tak paham. "Hei, anak manis... Kau ini sebenarnya siapa?" tanya Sebastian, ia malah mengalihkan pertanyaan Tiana. Bocah itu terdiam sesaat. Tiana memasang wajah s
Si kembar tertidur di kamar tamu yang berada di lantai satu, dan kamar itu milik Sebastian. Sedangkan Shela duduk diam di ruang keluarga, pikirannya sangat cemas. Malam ini terasa amat sepi menyekat pikiran Shela."Shela," sapa Sebastian muncul tiba-tiba. Sontak Shela menoleh dengan ekspresi kagetnya. "Om... Si kembar tidur di man-""Mereka tidur di kamarku," jawab Sebastian duduk di hadapan Shela dengan tatapan penuh intimidasi. Apa yang harus Shela lakukan saat ini? Bagaimana kalau Sebastian bertanya yang aneh-aneh lagi? Tatapannya membuat Shela tertunduk diam. "Jadi selama ini kau tinggal di sini? Kak Ferdi yang menyembunyikanmu di sini?" tanya Sebastian dengan nada dingin dan penuh ingin tahu. "Ya Om," jawab Shela singkat. "Lalu, di mana suamimu? Maksudku... Papa si kembar?" Sesuai dengan apa yang Shela duga kalau Sebastian pasti menanyakan hal ini. Lantas Shela menatapnya dan tersenyum tipis. "Itu... Papa mereka, emm... Dia-""Papa mereka benar-benar pergi atau kau memb
"Kakak kenapa tidak pernah bilang padaku kalau ternyata Shela ada di sini, Kak?!" Seruan itu terucap dari bibir Sebastian saat ia menghubungi Ferdi dari sambungan telepon. Ia tengah duduk di kursi agungnya yang berada di ruang kerja. Sebastian sengaja menghubungi Ferdi hanya untuk bertanya hal ini. "Itu sudah lama sekali Bas, biarkan Shela di sana tanpa diketahui oleh siapapun. Aku titip Shela dan ketiga Cucuku," ujar Ferdi berpesan."Hem, tapi Kak... Kalau aku boleh tahu, di mana suaminya Shela?" tanya Sebastian bertanya-tanya. "Itu rahasia, tolong jangan membahasnya, jaga perasaan Shela!" seru Ferdi sedikit membentak. Decakan lidah sebal terdengar dari Sebastian. Panggilan mereka pun tidak sampai lama, sebelum Ferdi memutuskan panggilan teleponnya yang sudah hampir satu jam. Sebastian diam menatap langit-langit, ia teringat kejadian lima tahun saat dirinya meniduri seorang gadis, lalu saat Sebastian bertanya pada temannya, apa temannya mengirimkan seorang wanita di kamar Sebas
"Astaga, pergi ke mana Tiano... Jangan-jangan dia ada di dalam sama Om Bastian..." Shela menggigit ujung ibu jarinya dengan melangkah mondar-mandir di depan kamar Sebastian. Sejak tadi ia mencari anaknya, petang tadi saat Shela bangun ia tidak menemukan satu putranya. "Tiano, ya ampun..." Ditengah kegundahan Shela, tiba-tiba saja pintu kamar Sebastian terbuka. Laki-laki itu berdiri tegap tepat di hadapan Shela. Iris hitamnya begitu menusuk, wajah dingin tanpa ekspresi, laki-laki itu mendekati Shela tanpa berkata-kata, hingga refleks Shela melangkah mundur. "Om... I-itu, aku mencari Tiano, apa dia-""Dia ada di kamarku, dia tidur denganku semalam," jawab Sebastian pelan. Shela mengangguk, laki-laki itu menarik pelan lengan Shela hingga jarak mereka nyaris terpangkas, dan Shela menubruk tubuh kekarnya. Tatapan mata Sebastian begitu dingin, bibir Shela bergetar menatap wajah tampannya. "Siapa Papa dari anakmu, Shela?" tanya Sebastian berbisik. Iris cokelat mata Shela bergetar m
"Tino dan Tiano diam bersama Tante Morsil ya, Mami mau bawa adik ke rumah sakit. Kalian jangan nakal!" Shela menatap satu persatu wajah dua putranya yang kini menangis. Seperti biasa, drama pagi hari mereka mulai, kedua anak laki-laki itu ingin ikut Shela pergi ke rumah sakit."Pokoknya Tiano mau ikut, Mami!" pekik Tiano memeluk kaki Shela. "Tino juga! Kita berdua itu mau jagain Mami. Kita mau ikut," pekik keduanya.Shela menghela napasnya panjang. "Jangan Sayang, Mami tidak pergi jalan-jalan, tapi Mami mau pergi mengobatkan adik kalian!""Ya kan menemani Mami! Nanti kalau ada penjahat bagaimana? Siapa yang nolongin Mami?!" pekik Tiano dengan ekspresi wajah marah, persis sekali dengan Sebastian. Shela berdecak pelan, ia mengusap wajahnya gusar, sebelum Morsil muncul seraya menyerahkan Tiana pada Shela. "Sudah Shel, tinggal saja mereka berdua denganku," ujar Morsil. "Aaaaa... Mau ikut!" teriak Tiano dan Tino bersamaan. Morsil langsung menatap mereka dengan tatapan sengit. "Kalau
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut