Si kembar tertidur di kamar tamu yang berada di lantai satu, dan kamar itu milik Sebastian.
Sedangkan Shela duduk diam di ruang keluarga, pikirannya sangat cemas. Malam ini terasa amat sepi menyekat pikiran Shela."Shela," sapa Sebastian muncul tiba-tiba.Sontak Shela menoleh dengan ekspresi kagetnya."Om... Si kembar tidur di man-""Mereka tidur di kamarku," jawab Sebastian duduk di hadapan Shela dengan tatapan penuh intimidasi.Apa yang harus Shela lakukan saat ini? Bagaimana kalau Sebastian bertanya yang aneh-aneh lagi?Tatapannya membuat Shela tertunduk diam."Jadi selama ini kau tinggal di sini? Kak Ferdi yang menyembunyikanmu di sini?" tanya Sebastian dengan nada dingin dan penuh ingin tahu."Ya Om," jawab Shela singkat."Lalu, di mana suamimu? Maksudku... Papa si kembar?"Sesuai dengan apa yang Shela duga kalau Sebastian pasti menanyakan hal ini. Lantas Shela menatapnya dan tersenyum tipis."Itu... Papa mereka, emm... Dia-""Papa mereka benar-benar pergi atau kau membohongi mereka?" tebak Sebastian, kali ini dia sedikit mencondongkan badannya.Iris cokelat mata Shela bertabrakan dengan iris mata hitam kelam milik Sebastian.Gemetar tubuh Shela detik itu, tak ada kalimat yang tersusun dalam otaknya untuk menjawab pertanyaan Sebastian yang membuatnya sakit hati."Shela...""Om Sebastian, ini sudah malam, aku ngantuk. Besok aku harus bekerja. Aku ambil anak-anak ya... Om juga harus istirahat kan, permisi..."Tanpa pikir panjang, Shela langsung berdiri dari duduknya dan berjalan cepat masuk ke dalam kamar Sebastian menggendong si kembar satu persatu membawanya masuk ke dalam kamarnya yang berada di lantai dua.Shela juga langsung menutup pintu kamarnya dengan cepat. Gadis itu masih sama, dia terlihat takut dan canggung di hadapan Sebastian."gadis itu," lirih Sebastian merasa tak tenang.Di dalam kamar, Shela diam duduk di tepi ranjang menatap jendela kamarnya yang masih terbuka. Di sana Shela diam memikirkan Sebastian, ia semakin tidak tenang."Tidak... Aku tidak boleh terus di sini, aku harus mengumpulkan uang yang banyak dan membeli rumah sendiri!" seru Shela meneriaki dirinya sendiri. "Ya, aku harus menjauhkan si kembar dari Sebastian, apapun caranya!"Tegas Shela memutuskan, satu atap bersama Sebastian hanya akan membuatnya merasa tidak tenang dan terus merasa seperti dihantui.**Pagi-pagi sekali, Shela sudah memboyong tiga anaknya di toko roti miliknya. Tidak biasanya ia pergi sangat pagi, bahkan Tino sampai belum mandi dan melanjutkan tidur di kamar Morsil, rekan kerja Shela.Wanita berambut ikal itu, sudah sangat dekat dengan Shela hingga semua masalah yang terjadi pada Shela, cukup ia ketahui."Shel, are you okay?" Morsil menepuk pelan pundak Shela. "Aku perhatian kau dari tadi melamun terus, kenapa? Tiana sakit lagi, ya?"Shela menggelengkan kepalanya, ia meletakkan kepalanya di atas meja kaca dan Shela menangis tanpa suara."Morsil," lirih Shela menyeka air matanya, dia terus memperhatikan Tiano dan Tiana yang tengah bermain."Shel, ngomong dong! Jangan tiba-tiba nangis begini, mana aku paham apa masalahmu, Shela!" pekik Morsil menepuk pundak Shela pelan.Shela menundukkan kepalanya. "Laki-laki itu di sini," ujar Shela dengan punggung bergetar."Wait! Laki-laki? Oh God... Laki-laki?!" Morsil mendekatkan wajahnya dengan Shela. "Laki-laki... Sebastian?! Papanya si kembar?!" Morsil mendelik tak percaya.Anggukan Shela berikan sebagai jawaban. Ia menatap Morsil dengan tatapan sedih, dan sahabatnya itu pun langsung memeluk Shela."Bagaimana bisa laki-laki itu ada di sini, Shel?!" pekik Morsil menatap Shela lekat-lekat."Rumah yang selama ini aku tempati adalah rumah keluarga Morgan. Dan sekarang, pemilik rumah itu datang, Morsil." Shela tersenyum tipis. "Aku harus bekerja lebih giat dan membeli rumah sendiri, aku tidak mau satu atap dengan laki-laki itu."Morsil tersenyum kecil, ia menepuk pundak Shela dan menganggukkan kepalanya."Jangan khawatir Shela, aku akan membantumu.""Terima kasih."Di tengah kegiatan Shela dan Morsil, tiba-tiba saja pintu toko terbuka hingga dentingan lonceng berbunyi.Shela dan Morsil sontak menoleh ke depan sana."Paman!" pekik Tiana dan Tiano berlari mendekati laki-laki tampan berbalut pakaian formal tuxedo abu-abu yang kini berdiri di depan toko."Wahh, Paman mau ke mana? Kok rapi sekali? Mau jalan-jalan ya?" tanya Tiano memeluk kaki Sebastian."Paman... Tiana gendong!" Anak perempuan itu mengulurkan kedua tangannya.Sebastian menggendong Tiana dan mengusap pucuk kepala Tiano."Paman mau pergi ke kantor," jawab Sebastian tersenyum.Laki-laki itu masuk ke dalam toko, dia berjalan mendekati Shela dan Morsil. Terlihat jelas di sana Morsil yang terpaku menatap seorang Sebastian. Tak habis pikir saja, kakau Sebastian Morgan, laki-laki tampan berkarisma yang memiliki tubuh gagah sempurna."Kedai ini milikmu?" tanya Sebastian menatap Shela."Ya, Mama yang membelikan untukku, aku akan membeli apapun yang aku mau dari hasil pekerjaan ini, Om. Emm... Termasuk membeli rumah suatu saat nanti," jawab Shela dengan wajah canggung.Sebastian menarik satu kursi dan memangku Tiana."Rumah?" Laki-laki itu terdiam sesaat, sebelum ia memesan satu minuman hangat pada Morsil."Ya Om, aku ingin punya rumah sendiri," jawab Shela."Kenapa? Apa karena aku ada di sini, kau langsung ingin membeli rumah baru dan pindah?" tebak Sebastian benar sekali. "Bukannya aku sudah bilang padamu, kau bisa tinggal di rumah itu sampai kapanpun dan besarkan anak-anakmu di sana!"Tidak ada jawaban apapun dari Shela, namun wajahnya menunjukkan betapa ia resah dan sedih. Sulit baginya berada dalam situasi ini."Mami, Tiano tiak mau pindah! Tiano sekarang punya Paman Bastian, katanya Paman Bastian tidak papa kok kalau dianggap seperti Papinya kembar," seru Tiano memeluk lengan kiri Sebastian."Iya, sayang Paman banyak-banyak!" pekik Tiana memeluk leher Sebastian.Dari belakang Shela, muncul Tino memeluk wanita itu. Shela pun sontak menoleh ke belakang, ia tersenyum manis mengusap pucuk kepala Tino dan menggendongnya."Sayang, kok sudah bangun? Katanya tadi pusing?" tanya Shela mengusap rambut hitam putranya.Tino meletakkan kepalanya di pundak Shela dan diam di sana."Mami, Tino mau sarapan sama telur kecap. Putihnya dibuang, terus dikasih sosis, sama minum susu cokelat," pinta anak itu."Iya Sayang, tunggu sebentar ya," ujar Shela pada si sulung.Anak itu diam, ia menatap Sebastian yang memangku Tiana dan Tiano. Hingga tiba-tiba Tino terkekeh pelan menyaksikan mereka."Paman cocok deh jadi Papi kita," ujar Tino tiba-tiba dia memutari etalase dan berlari ke arah Sebastian. "Paman mau tidak gantiin Papi buat kita, habis kata Mami menunggu sepuluh tahun lagi. Kan sepuluh tahun itu lama, Paman."Sebastian terkekeh. "Tidak bisa Sayang, kalian sudah punya Papi sendiri, okay!""Iya, tapi Papi kami pasti seperti Paman!" pekik Tiana keras-keras.Dari arah dapur, Shela menoleh ke depan saat mendengar obrolan mereka, sontak Morsil menatapnya.Wanita itu tahu betapa sedihnya Shela."Shel, kalau kau merasa tidak suka dengan semua ini, cobalah untuk membuka hati, untuk laki-laki lain!""Kakak kenapa tidak pernah bilang padaku kalau ternyata Shela ada di sini, Kak?!" Seruan itu terucap dari bibir Sebastian saat ia menghubungi Ferdi dari sambungan telepon. Ia tengah duduk di kursi agungnya yang berada di ruang kerja. Sebastian sengaja menghubungi Ferdi hanya untuk bertanya hal ini. "Itu sudah lama sekali Bas, biarkan Shela di sana tanpa diketahui oleh siapapun. Aku titip Shela dan ketiga Cucuku," ujar Ferdi berpesan."Hem, tapi Kak... Kalau aku boleh tahu, di mana suaminya Shela?" tanya Sebastian bertanya-tanya. "Itu rahasia, tolong jangan membahasnya, jaga perasaan Shela!" seru Ferdi sedikit membentak. Decakan lidah sebal terdengar dari Sebastian. Panggilan mereka pun tidak sampai lama, sebelum Ferdi memutuskan panggilan teleponnya yang sudah hampir satu jam. Sebastian diam menatap langit-langit, ia teringat kejadian lima tahun saat dirinya meniduri seorang gadis, lalu saat Sebastian bertanya pada temannya, apa temannya mengirimkan seorang wanita di kamar Sebas
"Astaga, pergi ke mana Tiano... Jangan-jangan dia ada di dalam sama Om Bastian..." Shela menggigit ujung ibu jarinya dengan melangkah mondar-mandir di depan kamar Sebastian. Sejak tadi ia mencari anaknya, petang tadi saat Shela bangun ia tidak menemukan satu putranya. "Tiano, ya ampun..." Ditengah kegundahan Shela, tiba-tiba saja pintu kamar Sebastian terbuka. Laki-laki itu berdiri tegap tepat di hadapan Shela. Iris hitamnya begitu menusuk, wajah dingin tanpa ekspresi, laki-laki itu mendekati Shela tanpa berkata-kata, hingga refleks Shela melangkah mundur. "Om... I-itu, aku mencari Tiano, apa dia-""Dia ada di kamarku, dia tidur denganku semalam," jawab Sebastian pelan. Shela mengangguk, laki-laki itu menarik pelan lengan Shela hingga jarak mereka nyaris terpangkas, dan Shela menubruk tubuh kekarnya. Tatapan mata Sebastian begitu dingin, bibir Shela bergetar menatap wajah tampannya. "Siapa Papa dari anakmu, Shela?" tanya Sebastian berbisik. Iris cokelat mata Shela bergetar m
"Tino dan Tiano diam bersama Tante Morsil ya, Mami mau bawa adik ke rumah sakit. Kalian jangan nakal!" Shela menatap satu persatu wajah dua putranya yang kini menangis. Seperti biasa, drama pagi hari mereka mulai, kedua anak laki-laki itu ingin ikut Shela pergi ke rumah sakit."Pokoknya Tiano mau ikut, Mami!" pekik Tiano memeluk kaki Shela. "Tino juga! Kita berdua itu mau jagain Mami. Kita mau ikut," pekik keduanya.Shela menghela napasnya panjang. "Jangan Sayang, Mami tidak pergi jalan-jalan, tapi Mami mau pergi mengobatkan adik kalian!""Ya kan menemani Mami! Nanti kalau ada penjahat bagaimana? Siapa yang nolongin Mami?!" pekik Tiano dengan ekspresi wajah marah, persis sekali dengan Sebastian. Shela berdecak pelan, ia mengusap wajahnya gusar, sebelum Morsil muncul seraya menyerahkan Tiana pada Shela. "Sudah Shel, tinggal saja mereka berdua denganku," ujar Morsil. "Aaaaa... Mau ikut!" teriak Tiano dan Tino bersamaan. Morsil langsung menatap mereka dengan tatapan sengit. "Kalau
Tiga jam berlalu, Shela duduk di depan ruangan Tiana dirawat karena belum diizinkan masuk. Setelah melakukan pemeriksaan, dokter menyarankan Tiana dirawat beberapa hari saja di rumah sakit. Waktu berlalu degan cepat dan Shela tidak sendirian melainkan ditemani oleh Sebastian. Meskipun Shela awalnya merasa cemas dan takut, tapi kini ia menekan dirinya untuk terbiasa dengan pria ini. "Huuhh..." Shela hampir saja terjerembab di lantai andai Sebastian tidak reflek merangkulnya."Kau mengantuk?" tanya Sebastian menengok wajah gadis dalam rangkulannya. Shela menggeleng, tentu ia mengelak. Namun Sebastian tetap merangkulnya seolah memberikan ruang bagi Shela sekaligus menawarkan pundak sebagai sandaran. Di tengah kesunyian yang melanda, tiba-tiba ponsel milik Sebastian bergetar. Laki-laki itu mengambil ponselnya, dan jelas Shela melirik nama Bella di layar ponsel itu, namun Sebastian malah memutuskan panggilannya. "Kenapa tidak diangkat, istri Om pasti khawatir kalau tidak dijawab," uja
"Kalian ikut Paman bertemu teman-teman Paman dulu ya, masih ada yang perlu Paman bahas. Baru nanti kalau sudah, kita jalan-jalan beli mainan!" Sebastian membujuk Tino dan Tiano untuk ikut dengannya bertemu beberapa temannya. "Iya Paman, boleh kok," jawab Tiano. "Tino?" Sebastian menatap Tino yang kini menggandeng tangan Tiano"Iya pasrah... Daripada ditinggal di parkiran!" Tino menjawabnya cemberut. Sebastian terkekeh gemas mengusak pucuk kepala Tino. Gegas ia mengajak kedua bocah itu masuk ke dalam sebuah cafe elite. Di sana, Tino dan Tiano masuk lebih dulu. Mereka menatap sekitar, tempat itu sangat bagus, banyak lampu menggantung dan akuarium diisi banyak ikan hias. "Ayo ke sana, itu teman-teman Paman," ujar Sebastian menggiring si kembar. Mereka mendekati keempat orang laki-laki berpakaian formal yang tengah duduk di sebuah sofa cafe. Si kembar tiba-tiba berdiri di samping Vir. Laki-laki berambut cokelat itu langsung menoleh dan terjingkat. "Sorry terlambat," sahut Sebasti
"Om Sebastian tidak pulang? Ini kan sudah malam, besok Om juga harus ke kantor, kan?" Shela berdiri di hadapan Sebastian yang duduk di sofa merangkul Tino dan Tiano yang tengah tertidur di atas sofa besar di dalam kamar inap VIP di mana Tiana dirawat. Iris mata hitam laki-laki itu pun terangkat menatap Shela. "Kau mengusirku?" "Emm, tidak, bukan begitu. Tapi kan-""Kalau aku pulang kau di sini sendirian hanya bertiga menjaga Tiana, kau yakin?" Sebastian kali ini berdiri tegap di hadapan Shela. Tatapan Sebastian kali ini tidak Shela hindari."Ke-kenapa harus tidak yakin? Aku terbiasa sendiri.""Kau memperlakukan aku seperti orang asing, Shela. Aku ini Om-mu! Aku adik Papamu, meskipun bukan Papa kandungmu, tapi Kak Ferdi tetaplah Papamu! Dan aku sangat peduli padamu seperti keponakanku sendiri!" Keponakan sendiri. Kata itu berkeliaran di benak Shela, gadis itu pun menganggukkan kepalanya dan tersenyum tipis. "Om kan orang yang sibuk, aku hanya tidak mau-""Apa kau pikir aku seteg
Setelah tiga hari Tiana dirawat di rumah sakit, akhirnya kini anak itu sudah boleh dibawa pulang. Dia bertingkah semakin manja pada Sebastian. Hingga Tiano juga ikut-ikut manja pada Paman kesayangannya. "Enak kalau punya Papi seperti Paman, sudah tampan, uangnya banyak, punya mobil bagus, kita terus dibelikan mainan banyak, dan eumm... Pokoknya enak sekali, iya kan Tino?!" Tiano merangkul pundak kembarannya. "Biasa aja! Yang tampan banyak kok, yang kaya juga ban-""Yang penting Papinya Tiana itu Paman!" sahut Tiana, anak perempuan manis yang berada dalam gendongan Sebastian. Laki-laki itu hanya tersenyum, bagaimana bisa Tino melawan dua kembarannya. Kedua adiknya sangat menyukai Sebastian, tapi Tino tidak mau punya Papi seperti Sebastian karena baginya, Sebastian itu galak dan suka sekali menyuruh-nyuruh Maminya, membuat Shela repot. Seolah sudah menjadi rutinitas, setiap pagi Sebastian harus menggendong Tiana sebelum pergi ke kantor. Tidak enak baginya kalau ia tidak memanjakan
"Shela, bangun... Kau pasti lelah kan?"Sebastian membungkukkan badannya di hadapan Shela dan mengusap pucuk kepalanya. Kedua mata gadis itu perlahan terbuka, hingga Shela tersentak begitu mendapati Sebastian di hadapannya tepat. "Om," lirihnya begeming. "Tiana sudah tidur, sudah aku bawa ke kamarmu. Sekarang kau cepat istirahat, jangan tidur di sini," tutur Sebastian tersenyum tulus. Shela mengangguk kecil, ia berdiri dan melangkahkan kakinya menuju anak tangga. Namun tiba-tiba kaki Shela seperti tertahan oleh sesuatu yang membuat ia terdiam di tempat. Perlahan gadis itu menoleh ke arah Sebastian yang duduk di sofa dan mendongakkan kepalanya, laki-laki itu menyunggar rambut hitamnya, dia terlihat sangat lelah. "Om sudah makan?" tanya Shela, urung ia melangkah ke kamar dan malah mendekati Sebastian. "Hem? Belum, aku bisa membuat makanan sendiri nanti," jawab Sebastian santai. "Mau aku buatkan kopi, atau-""Aku hanya minta padamu, istirahatlah. Kau tampak pucat sekali, kau kuran
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut