"Shela, bangun... Kau pasti lelah kan?"Sebastian membungkukkan badannya di hadapan Shela dan mengusap pucuk kepalanya. Kedua mata gadis itu perlahan terbuka, hingga Shela tersentak begitu mendapati Sebastian di hadapannya tepat. "Om," lirihnya begeming. "Tiana sudah tidur, sudah aku bawa ke kamarmu. Sekarang kau cepat istirahat, jangan tidur di sini," tutur Sebastian tersenyum tulus. Shela mengangguk kecil, ia berdiri dan melangkahkan kakinya menuju anak tangga. Namun tiba-tiba kaki Shela seperti tertahan oleh sesuatu yang membuat ia terdiam di tempat. Perlahan gadis itu menoleh ke arah Sebastian yang duduk di sofa dan mendongakkan kepalanya, laki-laki itu menyunggar rambut hitamnya, dia terlihat sangat lelah. "Om sudah makan?" tanya Shela, urung ia melangkah ke kamar dan malah mendekati Sebastian. "Hem? Belum, aku bisa membuat makanan sendiri nanti," jawab Sebastian santai. "Mau aku buatkan kopi, atau-""Aku hanya minta padamu, istirahatlah. Kau tampak pucat sekali, kau kuran
Untuk pertama kalinya Tiano ikut bersama Sebastian ke kantor milik laki-laki yang sering ia panggil Paman tersebut. Sebastian menggendong Tiano dan mengajaknya masuk ke dalam gedung besar miliknya. Dan jelas saja mereka disambut banyak pasang mata yang menatapnya penuh tanda tanya. "Paman, ini tempat apa? Besar sekali... Tinggi! Wahh, ramai ya, kayak di mall!" seru Tiano tersenyum senang. Sebastian terkekeh. "Iya, ini namanya di kantor, Sayang" jawab Sebastian. "Wahh, bagus, bagus, Tiano suka. Di sini Bossnya yang mana? Galak tidak sama Paman?" tanya anak itu seraya memeluk leher Sebastian. "Tidak. Bossnya sangat baik, tampan, dan kaya raya." Anak itu menatap wajah Sebastian dari dekat dan dikecup pipinya sampai Sebastian melirik dan terkekeh. "Paman, Tiano panggil Papi ya? Kan di sini tidak ada Mami sama Kak Tino," pintanya, ia masih meminta izin. "Boleh, kapan saja boleh, Sayangku," jawab Sebastian, balik ia mengecupi gemas pipi anak manis dalam gendongannya. Tiano hanya me
"Kenapa bisa begini? Apa aku tadi bicara dan Tino mendengarkanku?" Shela mengusap wajahnya pelan, kepalanya terasa sangat pening. Ia duduk di bawah sofa menemani Tiana yang bermain, mereka sedang berdua saja di rumah, Tino marah pada Shela dan memilih tinggal di toko dengan Morsil. Pelan Shela menyeka air matanya. "Baru kali ini dia marah padaku, apa yang harus aku lakukan?" lirih Shela menangis tanpa suara. Tiana menoleh saat mendengar isakan pelan dari sang Mama. "Mami... Mami kok nangis? Siapa yang nakalin Mami?" Anak itu masih membawa mainannya, Tiana menunduk menatap wajah sang Mami. "Tidak Sayang, Mami tidak papa kok." Shela tersenyum manis. "Mami jangan nangis, nanti Tiana bilang ke Pa-"Ucapan Tiana terhenti bersamaan pintu rumahnya yang terbuka. Di sana muncul Sebastian dan Tiano yang baru saja pulang. Terlihat jelas wajah Tiano yang berbinar-binar kesenangan. Anak itu menggandeng tangan Sebastian masuk ke dalam rumah. "Tiano!" pekik Tiana berlari ke arahnya."Tiana
Tragedi Tino menangis semalam, membuat Shela sedih. Bahkan semalam Tino menolak bersama Shela, hingga ia tidur dalam gendongan Sebastian dan tidur bersamanya. Kini Shela berada di dapur, ia menyiapkan kopi dan juga sarapan untuk anak-anak dan juga Sebastian. Rumah sangat sepi, anaknya belum bangun. "Shela," sapa Sebastian, dia mengejutkan Shela saat tiba-tiba berjalan mendekatinya. Tatapannya dingin dan tak biasa. Shela menoleh. "Oh... Pagi Om, kopinya sudah aku aduk, sarapannya nan-"Ucapan Shela terhenti saat Sebastian tiba-tiba menarik lengan Shela dan mencekal erat kedua pundaknya. Satu langkah demi langkah kaki Sebastian membuat Shela mundur hingga punggungnya terhimpit lemari es. Tatapan iris hitamnya menekan Shela dengan desakan hebat. "Apa yang sebenarnya kau katakan pada Tino, tentang kita, aku terus kepikiran, kau tahu!" Sebastian mendekatkan wajahnya. "Anak kecil tidak akan pernah bisa berbohong, Tino tidak pernah sesedih ini kan, Shela? Harusnya kau jujur padaku, kala
"Paman, kita mau ke mana? Kok Paman minta Tiano pakai baju yang bagus? Mau jalan-jalan ya?" Anak itu berjalan membuntuti Sebastian masuk ke dalam kamar laki-laki itu bersama dengan Tino dan Tiana juga di belakangnya. "Iya, kita sudah rapi pakai baju yang bagus, mau ke mana sih, Paman? Rugi tahu kalau sudah tampan begini terus tidak ke mana-mana," protes Tino, dia naik ke atas ranjang kamar Sebastian. "Tentu saja mau jalan-jalan, lihat ikan paus dan ikan besar lainnya," jawab Sebastian seraya membuka lemari pakaiannya. Mendengar nama ikan paus, Tiana menoleh cepat dengan mata melebar. Anak itu, sangat ingin melihat ikan paus. Sejak dulu, bahkan Maminya hanya sekedar memberikan janji-janji saja dan belum pernah mewujudkannya. "Paman tidak bohong, kan?" Tiana sontak berdiri. "Tidak, anak pintar." Kembali Sebastian masuk ke dalam kamar ganti, ia mengganti pakaiannya cepat dengan sweeter hitam dibalut mantel hangat berwarna senada. Entah kenapa Sebastian ingin sekali menghabiskan
Setelah puas jalan-jalan, Sebastian mengajak Shela dan si kembar makan bersama di sebuah rumah makan mewah yang berada di hotel bintang lima Kota Birmingham. Anak-anak nampak puas dan bahagia, mereka tanpa komando memanggil Sebastian sebagai Papinya, meskipun sejatinya mereka bertiga tidak tahu kalau Sebastian benar-benar Papa biologisnya. "Mami, ini tidak mau... Ada kacangnya!" seru Tiana mendorong makanan dengan toping kacang. "Iya Tino juga, ini putih telurnya buat Mami, Tino tidak suka." Shela sibuk mengambil makanan yang mengganggu selera makan anak-anaknya, sementara Sebastian hanya menatap mereka dengan tatapan seksama. Kacang, putih telur, saus mayones, wijen hitam, semua itu makanan yang tidak Sebastian sukai. Menatap dua anak kecil yang duduk di hadapannya, bagai melihat cerminan dirinya sendiri. "Kenapa tidak suka kacang dan putih telur, Sayang?" tanya Sebastian pada mereka keduanya. "Dari kecil mereka tidak suka, mungkin menurun pada Papinya," jawab Shela tanpa sada
"Apa Tiana masih sering mimisan? Demam? Atau yang lainnya, Nyonya?" Dokter Leta bertanya pada Shela seraya memeriksa Tiana. Wanita berjas putih itu sudah kenal akrab dengan Shela. "Hanya beberapa hari yang lalu mimisan saja dok, tapi tidak lama," jawab Shela. Dokter itu mengangguk. "Iya, asal obatnya diminum rutin. Berat badannya sekarang naik lagi, Tiana sedang happy pasti, kan?" Dokter Leta menatap wajah manis Tiana. "Iya Bu Dokter, Tiana ditemani terus sama Papi," ujar anak itu menunjuk ke arah Sebastian yang berdiri di samping Shela. Wanita itu sontak tersenyum lagi, dia seolah ikut bahagia begitu melihat pasien kecilnya kondisinya kembali membaik. "Tuan Papinya Tiana, ya?" sapa dokter itu ramah. "Iya dok," jawab Sebastian. "Syukurlah, kalau dengan kedatangan Papinya, kondisi Tiana menjadi lebih baik lagi, semoga kedepannya Tiana bisa segera sembuh." Sebastian memperhatikan jelas-jelas penjelasan dokter."Tapi anak saya benar-benar bisa sembuh total kan, dok?" Sebastian m
Shela dan Sebastian masih di rumah sakit. Sebastian sedang mengurus administrasi pengobatannya Tiana. Laki-laki itu kemarin memberikan sebuah black card pada Shela, tapi kini ia malah membayarnya sendiri dan meminta Shela menyimpan kartu kredit istimewa itu. "Papi..." Tiana tersenyum saat Sebastian kembali. "Sudah selesai?" "Sudah Sayang," jawab Sebastian tersenyum manis seraya memberikan kertas pembayaran pada Shela. "Om tidak sibuk? Tidak ke kantor, ya?" tanya Shela menatap Sebastian seraya berjalan di lorong rumah sakit. Sebastian menatapnya balik. "Bisa nanti saja, aku ingin menemani Tiana lebih dulu," jawabnya. Anggukan pun Shela berikan, ia tidak mau melarang laki-laki itu untuk mendekati dan menghabiskan waktunya dengan Tiana, yang tak lain adalah buah hati Sebastian, tanpa laki-laki itu ketahui. Mereka melangkah keluar dari dalam rumah area rumah sakit. Ponsel milik Sebastian berdering, laki-laki itu seketika menghentikan langkahnya. "Ck, siapa lagi?!" decaknya kesal.
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut